BAB 12
SANG DOSEN DAN CEU NINGRUM
Indah.. terlalu indah pemandangan itu. Perutnya begitu langsing, meski kedua payudaranya besar dan pinggulnya lebar. Ia seakan menjadi ciri gadis idaman, calon istri yang menggairahkan di atas pelaminan, sekaligus calon ibu yang sempurna untuk melahirkan anak-anak.
Keadaannya sontak membuat jantungku berdebar kencang. Lebih kencang daripada saat aku sedang bercumbu dengan Maya, lebih kencang daripada saat aku melihat tubuh seksi Bu Ratih. Dan.. kemaluanku menggeliat, mendongak mencari ruang.
“Sirnaaaa!!!
Nur memekik sambil menarik daster yang terlipat di atas kasur untuk menutupi tubuhnya. Mendengar teriakkannya, aku terperanjat dan sadar akan keadaan. Segera aku berbalik memunggunginya, jantungku masih berdebar kencang dan nafasku sedikit tersengal
“Keluaaar!!!”
Ia berteriak lagi. Dengan cepat aku meraih gagang pintu dan menutupnya tanpa berani lagi menengok ke belakang. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang Nur lakukan. Kakiku melangkah menjauhi kamarnya sambil mengusapi wajahku yang terasa panas karena melihat pemandangan baru saja.
“Ini ada apa, sih Mala? Kok ter…”
Bruuuukkk!!!
Hmmmmmfff!!!
Bluuuuuffff!!!
Suara Bu Ratih terpotong saat tubuh kami bertubrukan. Meski panik, aku masih memiliki sedikit kesadaran untuk meraih tubuhnya yang hampir terjengkang. Kutangkap bahunya, dan kulindungi kepalanya dengan tangan satu lagi agar tidak terbentur pada buffet. Bu Ratih yang juga kaget, meraih apapun pada tubuhku agar tidak terhempas. Namun gerakannya malah membuatku kehilangan keseimbangan.
Sreeeet!!
Buuuuuggg!!!
Tubuh kami terhempas di atas lantai. Sedetik sebelumnya aku masih berhasil memutar badan agar tubuhnya tidak membentur ubin, dengan resiko aku sendiri yang harus terjerembab di bawahnya. Aku hanya bisa meringis karena pinggul dan bahuku terhentak ke atas lantai.
Hmmmfff!!
Nyooooi…!!!
Duuuuk…!!!
Kepala belakangku membentur lantai saat terdorong oleh dadanya. Wajahku terbenam di antara celah kedua payudaranya yang besar. Sangat empuk dan kenyal kurasakan. Waktu seakan berhenti ketika kami saling diam selama beberapa detik. Mungkin ia masih shock karena tiba-tiba kami tubrukan dan terjatuh, sedangkan selain menahan rasa sakit, aku masih shock sekaligus sesak nafas karena wajahku benar-benar tersembunyi di antara dua gundukan kenyalnya.
Sesaat kemudian Bu Ratih bangkit sehingga wajahku terbebas dari himpitan payudaranya. Drama ini seakan belum mau berakhir saat mataku disuguhi dua payudara yang menggelayut tanpa beha; menggantung indah dengan aerola kecoklatan dan dua puting besar.
Adalah gerutuannya yang membuatku sadar. Bu Ratih berusaha bangkit sambil ngomel dan menarik kerah dasternya ke atas. Harta indahnya mulai menghilang dari pandanganku, tapi saat ia bangkit, aku masih bisa melihat pangkal pahanya yang terbungkus celana dalam hitam. Pahanya sangat gempal dan putih tanpa noda.
Wajahku terasa panas, entah karena malu atau karena gairah, sementara muka Bu Ratih merah padam. Begonya, aku malah tetap terpaku di atas lantai sambil tak luput melihat pahanya.
“Mesum kamu.” geramnya, “Cepetan bangun sebelum Mala ngeliat!!”
Ucapannya membuatku segera sadar. Susah payah aku segera bangkit dan berdiri di hadapannya. “Ma.. maafkan aku, bu.” aku terbata sambil menundukkan kepala.
Bu Ratih hanya mendengus pendek lalu tergopoh membuka pintu kamar Nur. “Ada apa ini?” tanyanya.
Kulihat Nur sedang duduk di atas kasur sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Kini ia sudah mengenakan daster yang tadi ia pakai untuk menutupi tubuhnya. Mendengar suara Bu Ratih, Nur membuka katupan tangannya. Mukanya ditekuk penuh kesal dan amarah, kedua matanya memerah.
Begitu melihatku, ia langsung memekik, “Pergi kamu!!”
Jari lentiknya menunjuk-nunjuk, mengusirku.
“Nur, a.. akuu..”
“Pergiiii!!!”
Aku hanya tercekat melihat amarahnya. “Udah kamu pergi dulu, biar bibi yang bicara dengan Nur.” ucap Bu Ratih. Aku mengangguk kaku, lalu dengan gontai meninggalkan mereka berdua.
Semuanya terjadi begitu saja tanpa terduga, membuatku tidak bisa berpikir jernih. Kaget, takut, horni, juga rasa bersalah, semuanya bercampur di balik dadaku. Rasa itu masih ditambah dengan rasa jengkel dan kecewa pada Nur yang telah memperlakukanku sedemikian rupa, seolah akulah satu-satunya orang yang dipersalahkan.
“Kunyuk!!” aku memaki diri sendiri saat menutup pintu rumah.
Heeeeh?? Aku mencari sumber suara. Aku tidak memaki seorang diri. Ada seseorang yang mengikuti makianku.
Entah harus kesal atau heran, saat melihat sosoknya yang sedang cengengesan di halaman. Cintung menatapku sambil menghisap sebatang rokok.
“Sudah?” tanyanya.
“Naon (apa?)” aku balik bertanya.
“Melihat tontonannya.”
“Kok bisa tahu?”
Sikapnya membuatku benar-benar penasaran. Rasa kesalku berubah heran saat mendengar ucapannya. Ia seolah tahu apa yang terjadi barusan, padahal jelas-jelas di dalam rumah hanya ada aku, Nur, dan Bu Ratih.
“Rokok.” ia tak acuh akan rasa penasaranku.
Kucatut sebatang rokok yang ia sodorkan dan menyulutnya dari korek api yang ia nyalakan.
“Nuhun,” ucapku pendek. Kuhisap rokokku dalam diam sekedar menenangkan pikiran, sekaligus rasa heran akan manusia satu ini, yang ada dan tiadanya malah membuatku semakin kebingungan.
“Kamu itu sebenarnya siapa?” aku memulai obrolan.
“Kamu selingkuhan Bu Ratih?” lanjutku lagi tanpa tedeng aling-aling.
Mendengar pertanyaanku, Cintung malah tertawa. Aku mendengus kesal sambil menghisap kembali rokokku.
Kebingungan ini kian menjadi saat aku bisa merasa dekat dengannya. Perasaanku mengatakan bahwa kami sudah saling mengenal cukup lama, padahal nyata-nyata kami baru saling bertemu di kostan ini. Itu pun hanya saling berpapasan tanpa pernah ngobrol bareng, kecuali mendengar ucapan-ucapan anehnya.
“Lu benar, Wa.” celetuknya dengan enteng.
“Maksudnya?”
“Kita sudah saling mengenal lama, tapi lu selalu gak peduli.”
“Kupreeet!!” spontan aku memaki saat menyadari bahwa ia seakan bisa membaca pikiranku.
“Kamu adalah orang kedua yang selalu memaki seperti itu.” ia masih berlagak tak acuh.
“Siapa lagi?”
“Suatu saat kamu akan tahu.”
“…”
Kuamati tubuh Cintung dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jelas dia bukan setan karena kakinya menapak. Tidak ada yang aneh dari posturnya, ia adalah pemuda biasa sama sepertiku. Tapi memang ada yang sedikit berbeda, yaitu sorot matanya. Perpaduan antara binar tajam menggetarkan dan teduh menenangkan.
“Gue hampir yakin, tapi waktunya belum tiba. Gue masih mau lihat saat purnama nanti.” ucapnya tanpa memedulikan sikapku padanya.
“…”
Percuma aku bertanya, ia tidak akan menjawab. Tapi ucapannya membuatku sedikit tengadah untuk melihat langit tanpa bintang. Purnama tinggal tujuh hari lagi.
“Purnama nanti…” ucapannya kali ini terdengar cukup dalam dan tegas, “kalau memang terbukti, setelahnya lu harus pulang kampung karena ada yang menunggu lu di sana.”
“Mmak..”
Aku batal melanjutkan pertanyaanku, saat Cintung tiba-tiba menepuk bahuku, dan beranjak pergi. Bahkan bibir ini tak mampu berucap untuk memanggilnya, atau sekedar bertanya untuk menuntaskan rasa penasaran. Tubuhnya hilang di balik gang.
“Uhuk.. uhuk..” aku terbatuk saat menghisap rokokku kembali.
Sial!! Ternyata rokok yang kuhisap adalah kretek GGM zaman bapakku dulu. Aneh memang, karena tadi rasanya seperti rokok putih biasa.
Segera kubuang dan kuinjak sampai mati. Aku pun melangkah gontai menuju kostan. Maya pasti sudah menungguku untuk tidur. Ia tidak akan bisa terlelap sebelum kutelpon terlebih dahulu. Itulah ritual baruku sejak aku memacarinya.
https://t.me/cerita_dewasaa
Sudah empat hari sejak kejadian malam itu. Bisa ditebak, Nur semakin tidak mengacuhkanku. Ia seakan kucing-kucingan saat aku menunggunya untuk berangkat kuliah bareng. Di kampus ada dan tiadaku tidaklah ia anggap, ia lebih sibuk dan asyik dengan genk barunya. Di kostan ia juga tidak pernah mau menjumpaiku. Lia dan Rad tahu itu, pun pula Maya.
Adalah Bu Ratih yang masih mau bersikap ramah padaku. Peristiwa malam itu seakan tidak pernah ada. Ia malah menasihatiku supaya sabar menghadapi Nur, ia sudah tahu duduk perkaranya. Dari Bu Ratih, aku tahu, bahwa malam itu, keponakannya memang sedang berganti baju tidur.
Sikapnya beberapa hari ini malah berbanding terbalik dengan Nur. Ia lebih sering menungguku di depan rumah saat aku akan berangkat kuliah. Memang itu ia lakukan seolah tidak sengaja dan kebetulan semata, tapi rasanya aneh kalau ia sangat tahu jadwalku. Bukan hanya itu, ia juga semakin sering mengirim pesan WA hanya sekedar untuk menanyakan apakah aku sudah makan atau belum, sudah bangun atau belum, dan lain sebagainya. Tak jarang ia pun curhat walau sekedar melalui pesan yang ia ketik panjang; kedekatan kami berdua pun sudah tak terhindarkan, meski sebatas berbalas pesan.
Sikap Nur padaku, membuatku melihatnya secara berbeda. Aku mulai kehilangan respect. Sikap dingin dan tak acuhnya lama-lama membuatku kesal juga. Apa peduliku? Apa rugiku? Aku memang pernah punya rasa di awal perjumpaan kami, tapi sekarang aku sudah punya Maya yang selalu perhatian dan mau mengerti aku apa adanya. Daripada memikirkannya, aku lebih memilih fokus pada kuliah. Apalagi aku sudah mulai kerja jualan martabak bersama Kang Narto di alun-alun. Lumayan.. sekali membantunya, aku mendapat upah empat puluh lima ribu, kadang lebih jika jualan kami ramai.
Seperti malam ini, aku duduk di atas bangku plastik sambil menghisap sebatang rokok. Kang Narto menjejeriku sambil menunggu pembeli.
“Kang, kalau gini terus usaha kita tidak akan maju.” aku memulai percakapan.
Mataku menyapu jejeran gerobak di samping kiri dan kanan lapak kami yang rata-rata menjual martabak juga.
“Kumaha kitu, Wa?” tanya Kang Narto.
“Kita coba merintis layanan pesan-antar, kang.” kusampaikan ideku. “Jadi selain melayani pembeli di sini, kita juga bisa melayani pembeli yang memesan martabak melalui WA. Nah, kita anterin deh pesanan mereka langsung ke rumah mereka atau alamat yang mereka berikan.”
Kang Narto hanya diam menunggu penjelasanku. Kujelaskan konsep delivery order yang sudah mulai dilakukan oleh banyak rumah makan, catering, dan restoran fast food. Modalnya kami sudah punya, yaitu hape dan motor miliknya.
“Jadi nanti kita tetap jualan di sini, dan kalau ada yang delivery order biar aku yang bagian nganterin. Kita layani yang dekat-dekat sini aja dulu.” aku mengakhiri penjelasanku.
“Idemu boleh juga, Wa.” Kang Narto nampak tertarik.
“Kalau akang setuju, besok saya buatkan stiker nomor WA akang untuk dipasang di kaca gerobak, lalu kita juga bisa promo kepada pembeli yang datang ke sini.” aku mulai bersemangat.
“Boleh, Wa. Kita coba, semoga saja jualan kita semakin laku ya.” jawabnya tak kalah antusias.
“Kalau bisa, akang juga coba membuat variasi rasa sehingga martabak kita punya pembeda dengan penjual yang lain.” ucapku lagi.
Kang Narto hanya manggut-manggut sambil mengernyit. Nampaknya ia sedang berpikir keras. Obrolan kami terhenti saat ada pengendara motor berjaket hijau yang berhenti dan memarkirkan kendaraannya di depan gerobak kami.
“Kang, Martabak manisnya dua, dan martabak telor satu.” ucapnya.
“Siap, jang. Diantos ya.” jawab Kang Narto.
Kang Narto langsung membuat adonan sementara aku mulai menyiapkan loyang.
“Banyak juga pesannya, kang.” aku mulai ngajak ngobrol pembeli.
“Iya, kang, biasa pesanan online.” jawabnya ramah sambil menyulut sebatang rokok.
Jawabannya membuat otakku bekerja cepat, rasanya aku menemukan ide baru untuk memperluas jaringan pemasaran kami. Halaah.. pemasaran!! Dengan sigap aku dan Kang Narto menyiapkan pesanannya sambil melanjutkan obrolan ringan di antara kami. Dari percakapan ringan ini, aku jadi tahu kalau ia bernama Juned dan bekerja sebagai tukang ojek online.
“Mangga, kang. Lain kali kalau ada yang pesan lagi, akang beli di sini lagi aja, kami kasih persenan.” ucapku sambil menyerahkan bungkusan martabak yang ia pesan.
“Wah, bener nih, Wa?” tanya Juned senang.
“Iya atuh, kang. Masa aku bohong.” jawabku.
Kusenggol tangan Kang Narto yang sudah mau protes.
“Hade kang. Siaplah kalo gitu mah.” jawab Juned, “Jadi berapa semuanya?”
“Dua puluh dua ribu. Tapi karena Kang Juned adalah ‘partner’ pertama kami, maka dua puluh ribu saja.” aku langsung menyerobot sebelum keduluan oleh Kang Narto.
Dengan cepat, kuambil alih tugas Kang Narto untuk membuatkan nota, dengan tetap mencantumkan harga dua puluh dua ribu.
“Mangga, kang Juned.” kusodorkan nota padanya.
“Nuhun, Wa. Mangga.”
“Mangga.”
Juned pun meninggalkan kami sambil sekali lagi mengucapkan terima kasih. Kuserahkan uang kepada Kang Narto yang masih nampak bingung.
“Jadi gini, kang.” aku langsung tanggap pada sikapnya. “Sekarang kan sudah mulai banyak tuh orang-orang yang beli makanan melalui jasa ojek online, pake aplikasi gitulah… Nah, kita bisa ngajak mereka untuk bekerjasama dengan cara membeli martabak dari kita. Yeaah.. mungkin untungnya tidak banyak, tapi kalau omzet kita nambah kan tetap saja masih untung.”
“Bisaan kamu mah, Wa. Bener juga ide kamu teh, kita coba aja, nanti akang promosi ke semua tukang ojek online yang akang kenal.” jawabnya.
“Tak perlu tempat besar untuk punya pelanggan banyak, kang.” ucapku.
“Terima kasih, sayang.” aku membatin. Ide ini sebenarnya datang dari Maya, tapi aku baru mengerti sekarang akan apa yang ia maksud dengan ‘beli makanan secara online’.
Rencana pun kami buat. Tak lupa aku membuat draft pesan broadcast pada aplikasi WA di hapeku. Kukirimkan ke Kang Narto supaya ia sebarkan kepada semua kenalannya.
Keasikan obrolan kami sedikit terhenti saat ada sebuah sedan yang berhenti di depan gerobak kami. Sigap aku berdiri untuk menyambutnya.
Aku terpana saat melihat sosok yang keluar dari balik kemudi. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Seorang gadis manis menjejakkan kaki jenjangnya yang berbalutkan jeans ketat, bagian atasnya mengenakan t-shirt putih dengan kedua payudara membusung. Rambut sebahunya yang diberi ornamen cat pirang tergerai, memberi kesan anggun pada wajah cantiknya yang terpulas make-up tipis. Lehernya indah dengan kilauan kalung emas yang melingkar. Tak kulihat bandulnya, karena tersembunyi di balik kaosnya.
Ia turun sambil menelpon seseorang. Bibirnya begitu merekah saat berbicara, nampak begitu lembut dan halus dengan pulasan tipis dan memberi kesan selalu basah. Giginya berbaris indah dan putih.
Aku hanya mematung sambil mengagumi kecantikannya, sekaligus mengamati setiap gerak-geriknya. Perasaanku kian berdesir tanpa kumau, jantungku berdegup kencang tanpa bisa kukontrol. Perasaan ini adalah perasaan yang sama ketika aku melihat seorang gadis di parkiran Kopi Sawaka; dan gadis ini.. adalah gadis yang sama pula.
“Yaudah, ya mah. Ni aku sudah sampai di tukang martabaknya.” suara itu terdengar begitu merdu saat ia mengakhiri percakapan.
Adalah colekan Kang Narto yang membuatku terkejut dan mengerjap dari keterpesonaanku. Kusembunyikan tarikan nafas panjangku, sekedar mengendalikan perasaan dan bersiap menyapanya.
“Mang, martabak manis satu.”
Aku benar-benar kecewa, saat kata-kata itu bukan disampaikan kepada kami, tetapi kepada Mang Suripto, penjual martabak sebelah kami.
“Kamu kenapa, sih Wa?” bisik Kang Narto saat melihatku hanya mematung.
“Ngg..nggak, kang.” aku sedikit gugup, meski begitu mataku enggan berpaling dari sosok manis itu.
“Matamu yang sopan, Wa.” ucap Kang Narto sambil menggeser posisi berdirinya sehingga pandanganku tertutup.
Aku mendengus sambil duduk di atas kursi plastik. Kini aku kembali bisa memandangnya yang sedang berdiri sambil tetap sibuk dengan layar smartphone-nya. Mungkin karena sadar kuperhatikan, ia pun melirik ke arahku. Sesaat sorot mata kami beradu pandang, membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Tatapan itu begitu tajam, sekaligus mengandung daya tarik yang meneduhkan.
Ia nampak mengerutkan dahinya, lalu menunduk untuk melihat penampilannya sendiri, dan menatapku lagi. Aku hanya terpana dan terpaku. Aku baru sadar saat ia melengos dengan ekspresi tidak senang. Bahkan dalam sikap seperti itu pun, ia tidak kehilangan daya tariknya.
“Wa, eling Wa..!!” bisikan Kang Narto membuatku kembali sadar.
Dengan gugup aku menyatut rokokku dan menyulutnya. Sial posisinya terbalik, membuat Kang Narto terbahak. Tawanya tentu saja mengundang banyak mata, termasuk gadis itu, untuk melihat ke arahku. Aku hanya bisa mengutuki diri sambil membalikkan batang rokok. Kuhisap dalam-dalam sambil berusaha eling seperti apa yang dikatakan Kang Narto.
“Sayang.” aku menyambat kekasihku untuk sekedar menjernihkan pikiran.
Kadang aku tidak habis pikir, kenapa aku masih sering tidak bisa mengendalikan diri, terutama mata ini, saat melihat gadis lain; padahal Maya sudah begitu sempurna untukku. Tak seharusnya aku seperti ini, tapi tetap saja terulang dan terulang lagi. Setelah Bu Ratih, kini aku seakan hanyut dalam angan semu terhadap gadis itu.
Tepat dihisapan terakhir rokokku, si gadis pun beranjak sambil menenteng bungkusan martabaknya, setelah membayar terlebih dahulu tentu saja. Sadar bahwa masih kuperhatikan, ia pun urung membuka pintu mobilnya, lalu melangkah ke arahku. Aku kembali terpana, jantungku kembali berdebar.
“Mas, tolong matanya dijaga!!! Gak sopan!!!”
Ketus, teramat ketus suara itu. Tidak ada keramahan. Terdengar sangat galak dan bertolak belakang dengan wajah manisnya.
Aku hanya bisa tergagap, dan ia sudah kembali ke dalam mobil tanpa menengok lagi. Ia pun melajukan mobilnya dengan kasar, bahkan tanpa membayar parkir. Kejadian ini teramat singkat, tapi aku harus menanggung akibatnya yang kupikir akan berlangsung panjang selama beberapa hari ke depan. Ridho, si tukang parkir mengumpat dan mengomeliku; sementara para penjual tetangga dan beberapa pembeli menertawakan dan meledekku habis-habisan. Bahkan Kang Narto yang kalem pun, tak hentinya tertawa saat aku menjadi bulan-bulanan banyak orang.
Aku hanya bisa menerima nasib, sambil tersenyum kecut dan sekali-kali membalas mereka dengan umpatan. Tapi memang begitulah kami, bersaing jualan boleh, tapi tetap akrab satu sama lain. Meskipun kali ini, keakraban itu harus berupa pembulian terhadapku.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar