Cincin dari masa lalu part 11

 

BAB 11

TULUSNYA HATI MAYA DAN...

Sekali lagi kupeluk tubuhnya, mungkin memang sudah saatnya aku jujur. Aku harus mengawali kasih-sayang kami dengan keterbukaan. Kalau memang Maya masih mau menerimaku, aku akan sangat bahagia. Tapi kalau tidak, aku siap menerima resikonya, meskipun dengan itu aku akan terluka… terluka karena mencintai orang tanpa bisa memilikinya.

“May..” aku berhenti sebentar untuk menelan ludah, membasahi kerongkonganku yang terasa kembali kering. “Aku… aku.. sudah.. ti.. tidak perjaka.”

Tubuh Maya terasa kaku seketika. Aku bagai memeluk patung. Keadaan ini membuat hatiku bagai teriris; keindahan-kemesraan kami seolah lenyap seketika. Harapan akan indahnya hidup yang akan kami jalani bersama pun mendadak sirna. Belum lagi aku masih kalut karena mimpi itu, mimpi ketika kami sama-sama melepas lajang di pondok kebun kopi milik orangtua almarhumah. Hari indah meski di luar batas, sekaligus hari kelam yang membuat kami berpisah selamanya.

Aku menangis. Entah karena rasa kehilangan ini yang membuatku seperti ini, atau karena takut akan kehilangan yang kedua kalinya. Tanpa sadar aku mengeluarkan cincinku dan menggenggamnya dengan tubuh terguncang. Aku sudah tidak tahu ekspresi dan keadaan Maya, aku tiba-tiba larut dalam kesedihan saat kenangan ini kembali datang.

“Wa..!! Wa, kamu kenapa?” bahkan panggilannya kuabaikan.

Aku menunduk sambil menutupi wajahku. Aku bahkan tidak mengerti mengapa bisa seperti ini. Perasaanku tidak karuan, bayangannya selalu datang saat aku hendak memulai hubungan yang baru. Bahkan mimpi itu.. bukan sekedar mimpi, tapi memang begitu adanya di masa lalu.

“Wa?” Maya kembali memanggilku.

Kali ini ia meraih tanganku dari wajahku. Dipeluknya tubuhku. Ia seakan mau memberikan dadanya sebagai sanggaan atas rapuh hidupku. Sempat terpintas pikiran kenapa Maya masih mau memelukku, tapi rasa sedih ini terlampau menguasaiku.

“Ceritalah, Wa. Mungkin aku tidak akan bisa membantumu, tapi setidaknya aku punya telinga dan hati untuk mendengarkan.” tak ada kemarahan ataupun kekecewaan di balik nada suaranya. Suara itu terdengar begitu tulus dan jujur.

Aku terenyuh mendengarnya. Kupeluk erat tubuhnya, dan air mataku mulai berhenti. Malu juga menangis seperti ini di dalam pelukannnya, tapi ada daya, aku bukan lelaki hebat yang bisa menanggung beban perasaanku dengan tegar.

Kulepaskan pelukannya dan kuusap air mataku. “Maaf,” lirihku sambil memberanikan diri menatapnya. Kulihat ia tersenyum, walau tak seindah dan sebahagia saat kebersamaan tadi.

“Sebentar aku bikinkan kamu minum dulu.” ujarnya. Ia menatapku tajam seakan mau memastikan aku akan baik-baik saja. Begitu melihat anggukkanku, Maya pun beranjak meninggalkan kamar. Di bawah memang ada dapur kecil yang bisa dipakai untuk umum.

Aku duduk sambil melamun, tatapanku kosong ke arah pintu. Aku bagai sedang menunggu penghakiman dari Maya. Aku belum siap seandainya ia berkata: cinta kita cukup sampai di sini, sebelum tertanam terlalu dalam.

Berulang kali aku menghembuskan nafas panjang, sampai sebuah bayangan muncul di depan pintu.

“Kenapa, lu? Bengong kayak cacing sange.”

Dalam keadaan normal mungkin aku akan menggerutu mendengarnya. Tapi aku hanya tersenyum kecut sambil melihat ke arahnya. Dia adalah Cintung.

“Gegara cewek ya? Cewek yang kemarin atau mikirin mantan?” ia berlagak sok tahu, tapi tetap saja membuatku terperanjat.

“Nggak kok, Tung. Aku hanya…”

“Ingat spion, Wa.” Ia memotong ucapanku. Katanya lagi, “Orang nyopir saja selalu melihat ke depan, melihat ke belakang mah sekali-kali saja lewat spion untuk memastikan bahwa keadaan aman. Tapi karena kamu masih belajar nyopir, ya baik juga sih banyak-banyak melihat ke belakang.”


“Kamu ngomong apaan sih, Tung?” aku bertanya heran, manusia satu ini memang selalu aneh, padahal kami belum pernah ngobrol bareng. Teman kostannya di sini saja aku masih belum tahu.


“Temanmu siapa sih, Tung? Kamar nomor be…”


Lagi ucapanku ia potong, “Gue jalan dulu ya. Ada janji nih.”




Aku hanya bengong ketika ia berlalu begitu saja. Ingin aku mengejar dan memakinya, tapi aku tak punya cukup energi untuk mengurusinya. Isi kepalaku masih berkecamuk. Kuputuskan untuk kembali berdiam diri sambil memikirkan kebingunganku sendiri.




“Maaf, lama yah.”




Aku mendongak melihat ke arah Maya. Ada yang ia sembunyikan di balik senyumnya, matanya sedikit sembab.




“Makasih.” ujarku pelan sambil menerima teh hangat yang ia sodorkan.




Kuseruput beberapa kali lalu meletakkan cangkirnya di atas lantai. Maya duduk di tepi kasur, di sampingku. Aku hanya menunduk, tak berani menatapnya.




“Maaf.” lirihku lagi.


“Gak usah minta maaf, Wa.” bahkan ia tidak memanggilku “sayang” lagi. “Ada yang mau kamu ceritakan?” lanjutnya, juga tanpa memandangku.




Ti tok tik tok.




Sejenak kami saling berdiam. Setelah menguatkan diri, kutarik nafas panjang-panjang. “Namanya Maya, sama sepertimu. Lengkapnya Ramayanti Yanuar…” aku memulai percakapan.




Kuceritakan sedikit kisahku tentang almarhumah, sampai kejadian siang itu. Ketika kami sama-sama ke kebun untuk memetik kopi. Tiba-tiba hujan turun dan kami berteduh di dalam pondok miliknya, sampai pada kejadian kami sama-sama tak bisa saling menahan hasrat. Kami tidak bisa menahan diri, tak bisa menunggu sampai saat pernikahan kami yang tinggal tiga bulan lagi. Yeaaah.. saat itu kami memutuskan nikah muda.




Semakin aku bercerita, semua kenangan itu datang kembali. Terasa menyakitkan, tapi harus kuungkapkan; Maya harus tahu tentang masa laluku.






Kami saling mencumbu sesaat sebelum mengenakan kembali pakaian masing-masing. Apa yang sudah kami lakukan memang salah, tapi tiada penyesalan ketika memberikan hal yang paling berharga pada orang yang paling disayang.




Sore pun menjelang, sementara hujan tak kunjung reda. Kekasihku, menggeliat dari dalam pelukanku, lalu tengadah. “Kita pulang aja, yank, hujannya gak akan reda kayaknya.” ucapnya.




Kukecup bibir manisnya, lalu mengangguk setuju. Kami turun dari bale-bale pondok sambil berpegangan tangan. Merasakan lingkaran cincinnya, segera kuraih jemarinya, dan kukecup cincin pertunangan kami. Aku tidak akan pernah bisa melupakan senyuman itu, senyuman bahagia yang sangat indah.




Maya menggendong pucuk daun singkong yang digulung daun pisang, sementara aku memikul rumput untuk pakan kambing. Kami beriringin menuruni jalan setapak di bawah guyuran hujan. Meski begitu, langkah kami terasa ringan karena kebahagiaan yang kami rasakan. Sekali-kali saling menggoda dengan apa yang baru saja kami lakukan.




Setelah melewati jalan setapak yang membelah perkebunan kopi, kami tiba di perkebunan kapulaga milik Pak RT, lalu berbelok ke timur menyusuri lereng bukit. Kami pun tiba di sawahku. Maya mampir sebentar untuk mengambil alat mandi yang kami simpan di dalam saung, lalu kembali beriringan menapaki pematang. Setelah ini kami akan mandi di pancuran yang terletak di tepi sungai.




Begitu tiba di ujung pematang, sebelum kembali menuruni jalan setapak yang menuju sungai kecil di dalam lembah, Maya berhenti dan berbalik sambil menatapku. Senyumnya begitu cerah, tak semendung langit yang tak hentinya menurunkan hujan yang makin deras. Ia nampak begitu menawan dalam balutan baju basahnya. Aku mengernyit sambil menatapnya.




Maya mengusap wajahnya yang basah. Ia pun mendekat, sambil sedikit menjinjit ia mengecup bibirku.




“Nanti dilihat orang, sayang.” ucapku gemas melihat tingkahnya.


“Emangnya kenapa? Aku kan sayang.” jawabnya manja.




Kalau tidak sedang memikul rumput, aku pasti sudah mendekapnya. Maya tahu itu, ia malah semakin menggodaku dengan mengecup kembali bibirku dengan tetap menjaga jarak tubuhnya. Aku sedikit mendoyongkan tubuh ke depan, saat bibir kami mau terlepas. Ia memeletkan lidah lalu melanjutkan langkah. Kami menuruni bibir tebing, menapaki undakan batu yang menjadi pijakan.




“Sayaang. Hati-hati ah!!!” aku berteriak saat ia masih sering menengok ke belakang. Padahal jalanan cukup terjal dan berbatu. Bukannya menjawab, ia malah memeletkan lidah.




Belum juga kering tenggorokanku karena mengingatkannya supaya hati-hati, tiba-tiba kakinya tidak menapak pijakan dengan tepat. Kekasihku tergelincir dan…”








Aku sudah tak sanggup melanjutkan ceritaku. Ingatan itu begitu menyakitkan, dadaku terasa sesak. Aku hanya bisa menutupi wajah walau tak ada lagi air mata. Maya merapatkan duduknya dan menarik kepalaku pada bahunya. Tangannya mengusapi bahu kiriku. Ia lakukan semuanya dalam diam.




Setelah saling diam cukup lama, Maya mengambilkan kembali cangkir teh dan memberikannya padaku. Kuteguk sampai habis, karena sudah dingin.




“Terima kasih.” akhirnya aku berani kembali menatapnya.




Deeeg!!




Ternyata wajah Maya basah oleh air mata. Menyadari kuperhatikan, ia langsung mengusapi wajahnya sambil mencoba tersenyum.




“Udah, ceritanya gak usah dilanjutin, lain kali aja.” ujarnya sambil mengusap rambutku. Lanjutnya lagi, “Maaf kalau aku telah membuatmu kembali mengingat masa lalu.”




Aku tersenyum kecut mendengarnya. Kugelengkan kepalaku sambil meraih dan menggenggam tangannya. Tiba-tiba aku merasa takut, takut kalau aku harus kehilangan lagi. Ketakutan inilah yang membuatku punya nyali kembali untuk kembali ke masa laluku.




Kuceritakan kepanikanku saat itu, juga jerit dan tangisku. Aku hanya bisa menangis dan menangis saat aku menggapai tubuh gadisku yang tergeletak berlumur darah. Ada sepasang suami-istri yang baru pulang dari sawah yang mendengar teriakan-teriakanku, merekalah yang menjadi saksi saat kekasihku merenggang nyawa dalam pelukanku. Ia melepaskan nafasnya yang terakhir sesaat setelah mengembalikan cincinnya.




“Cukup, sayang. Jangan kamu lanjutkan.” Maya merangkul tubuhku. Ia mencurahkan rasa simpati dan empatinya dalam pelukan ini. Sikapnya membuatku merasa lebih tegar dan nyaman.




Maya telah membuatku berani menceritakan kembali apa yang selama ini ingin kukubur dalam-dalam. Sebelumnya, jangankan menceritakannya, mengingatnya pun kalau bisa aku tidaklah mau. Kini aku mengalami yang berbeda. Kenangan itu memang menyakitkan, tanpa kusadari, ternyata obatnya adalah dengan berani mengingat dan menceritakannya. Teramat sakit, namun memberi cukup kelegaan setelahnya.




“Makasih.” ucapku.




Maya mengangkat wajahnya dan menatapku lekat. Aku mencoba tersenyum dan disambut oleh senyumannya.




“Makasih udah membuatku berani mengeluarkan semua yang selama ini ingin kukubur dalam-dalam.” ucapku lagi dengan tulus.


“Dan itu kamu lakukan demi aku.” matanya berkaca-kaca.




Aku mengangguk pelan.




“Mulai sekarang kamu harus kuat. Kalau kamu rapuh, lalu kemana aku harus menyandarkan diri. Jangan seperti ini, masa depan masih jauh lebih panjang daripada apa yang sudah dilalui.”


“May, kamu.. kamu masih mau menerimaku?”




Ia tidak menjawabku. Ia mengulurkan tangannya pada leherku, “Boleh?” tanyanya sambil memegang rantai kalungku.




Aku mengangguk, membiarkan Maya mengeluarkan bandulnya. Ia menunduk dan mengecup cincin itu cukup lama. Aku hanya mematung melihat tingkahnya, aku masih ragu untuk menyentuhnya, apalagi memeluknya.




“Kamu ngapain, May?” tanyaku pelan saat ia mengembalikan kembali cincin itu ke balik kaosku.


“berdoa.”


“doa apa?”


“rahasia!!”


“…”


“Jujur aku sempat kaget mendengar pengakuanmu. Tapi setelah mendengar ceritamu, aku sadar, bahwa kamu adalah pemuda yang baik. Aku lebih menghargai ini…!!! Daripada yang bersih tubuhnya, tapi tidak hatinya.” ucap Maya sambil menempelkan telapak tangannya pada dada kiriku.




Melihatku hanya bengong, ia berkata lagi, “Aku tahu, tadi kamu ketakutan karena kaupikir sudah menodaiku, iya kan?”




Aku hanya mengangguk sambil menunduk.




Hmmmmff!!




Maya memelukku, teramat erat ia mendekapku. “Aku menyayangimu, ijinkan aku menjadi bagian dari hatimu, meski aku mungkin takkan pernah bisa menggantikannya sepenuhnya.”




Ketulusan hati gadis dalam dekapanku ini membuatku begitu terenyuh. Kukecup kepalanya sambil mencoba menahan agar tidak ada air mata yang meleleh meski kelopak mataku terasa panas. Kubiarkan tubuhnya terlepas. “Jaga kemurnian ini untukku,” ia menepuk dadaku sekali lagi sambil tersenyum.




Kukecup keningnya dengan segenap hati, kukabarkan rasa sayang dan syukurku karena dipertemukan dengannya.




“Bantu aku.” bisikku sambil mengusap pipinya.


“Untuk?”


“Untuk menyayangimu sebagai kamu, bukan karena bayangan masa lalu, bukan pula karena kamu mirip dengannya.”


“Kamu sudah melakukannya, sayang.”




Kukecup dan kukulum lembut bibirnya. Kami kembali berciuman syahdu, saling memberikan dan menerima kasih sayang.








https://t.me/cerita_dewasaa








Maya adalah gadis yang memiliki pemikiran dewasa, tidak juga possesif; tapi kalau sudah manja, jangankan pulang, untuk sekedar melepas pelukan saja ia tidak mau. Setelah membersihkan diri karena si jalu muntah saat mimpi siang tadi, aku dan Maya makan bersama di kamarku. Kami memesan nasi dan bebek goreng melalui jasa aplikasi online. Dengan telaten aku menyuapi Maya, ia sama sekali tidak mau makan tanpa kusuapi. Dan… kemesraan kami terciduk oleh manusia bernama Rad dan Lia. Tapi yasudahlah.. tak ada yang perlu dirahasiakan di antara kami.




Dan kini.. Maya akhirnya mau pulang saat waktu sudah menunjukkan jam delapan malam. Kuturun dari mobil setelah berbagi peluk dan cumbu sebelum kami berpisah. Butuh waktu hampir setengah jam sendiri sebelum aku benar-benar keluar dari mobil yang ia parkir di depan sekolah, dan Maya pun melajukan kendaraannya dengan pelan seakan enggan mengakhiri kebersamaan sepanjang hari ini.




Setelah ia tak nampak lagi ketika memasuki jalan yang menuju gerbang tol, aku melangkah memasuki gang. Sudah kusampaikan kepada Maya, dan aku sudah menguatkan hati, bahwa malam ini juga aku akan langsung menemui Nur. Semoga esok benar-benar menjadi hari baru dengan harmonisnya kembali hubungan di antara kami bertiga: satu kekasih, dan yang satu lagi sahabat.




Kudengan suara kunci dibuka sesaat setelah aku mengetuk beberapa kali. “Kamu, Wa? Ada apa?” sapanya.




Aku hanya melongo melihat wanita setengah baya yang sudah mengenakan daster tidur dan mengekspos belahan payudara dan setengah pahanya.




“Heh..!! Itu mata!!!” hardikkan halusnya membuatku sadar dan menggidikan badan.


“Ma.. maaf, Bu. Nurnya ada?” aku berkata gugup.


“Masuk!” perpaduan nada tegas dan lembut keluar dari bibirnya.




Aku melangkah melewati tubuhnya yang hendak menutup pintu. Pori-poriku rasanya merinding saat kulit lengan kami bersentuhan. Entah mengapa, selalu ada desir-desir gairah saat aku berada di dekatnya, padahal dengan Maya saja aku masih bisa mengontrol diri.




“Nur ada di kamarnya. Tapi ibu mau ngomong dulu ama kamu.” ucapnya sambil melirik ke sebuah pintu kamar yang tertutup rapat.


“Kamu belum puas dengan si Maya, matamu masih jelalatan.” sambungnya lagi.




Kata-katanya membuatku terkesiap, ternyata Bu Ratih tahu kalau seharian Maya ada di kamarku. Pikiran jelek langsung melintas bahwa aku akan diusir dari kostan ini.




Bu Ratih menyolek lenganku yang hanya mematung sambil menunduk. Kembali hatiku berdesir menerima sentuhannya, sebuah perasaan asing bercampur dengan rasa takut. Jantungku kian berdebar saat ia menuntun tanganku dan duduk bersisian di sofa panjang ruang tamu. Kepalaku yang menunduk malah membuatku bisa melirik pangkal pahanya yang menggiurkan.




“Maya! Maya! Sayang!” kusambat nama kekasihku untuk membuatku sadar dan menetralisir perasaan.


“Bbbu.. Nurnya di mana?” tanyaku dengan suara bergetar karena sedang menguasai keadaan.


“Ada di kamar. Dari sore tidak mau keluar. Karena kamu tuuh…” jawabnya menggantung.




Ucapannya membuatku mengangkat kepala dan kami berpandangan. Tidak ada sinar kemarahan di sana. Sorot matanya malah terlihat sendu tanpa kutahu misteri hati sang pemiliknya.




"Gini, wa. Urusanmu dengan nur kamu selesaikan sendiri, ibu mah gak mau ikut campur. Ibu hanya minta kamu supaya jangan menyakiti hatinya. Dan.. dan.. ada yang mau ibu tanyakan.” ucapan terakhirnya nampak ragu-ragu.


“Apa itu, bu?” kali ini aku sudah lebih berani menatapnya.


“Cintung!”




Deggh!!




“Kamu kenal Cintung?”


“Iya, bu. Beberapa kali kami bertemu meski hanya sekedar saling sapa.”


“Jadi kamu melihatnya??”


“Mmaksud ibu?”


“Eh.. itu anu.. nggak.” ekspresinya sukar digambarkan. Kaget, kagum, senang, dan takut seakan bercampur menjadi satu di dalam dirinya.




Aku hanya keheranan melihat reaksinya, tapi obrolan kami harus terhenti saat tiba-tiba Lintang menangis di dalam kamar. “Lintang nangis, tuh. Yaudah kamu temui Nur di kamarnya. Awas kalau kalian macem-macem.” ucapnya sambil berdiri. Pikiranku kentang karena rasa penasaran.




Heran juga, karena ia seakan membolehkanku memasuki kamar Nur dan ngobrol di sana. Aku hanya mengangguk sambil ikut berdiri.




“Eh, Wa..!”


“Iya, bu?”


"Kamu tidak pernah memberi ibu nomor hapemu. Berapa?" Tanyanya sambil menunduk mengambil smartphone-nya yang tergeletak di atas meja. Mataku terbelalak saat melihat kedua payudaranya yang menggantung, seakan mau tumpah.




Dengan sedikit gugup kusebutkan nomorku dan ia dengan lincah mengetik angka-angka yang kusebutkan.




“Terima kasih.” ucapnya. Lalu ia beranjak cepat ke dalam kamarnya karena tangisan Lintang semakin keras.




Kembali aku hanya melongo saat melihat pinggul dan paha belakangnya. Lembah bawah bokongnya hampir terlihat karena dasternya terganjal oleh bongkahan lebar dan bergoyng akibat gerak langkah panjangnya.




"Ini ujian, wa." aku membatin sendiri sambil kembali mengingat kekasihku yang sudah begitu luas hati menerimaku dan masa laluku apa adanya.




Segera aku memokuskan diri pada Nur. Aku melangkah perlahan menuju sebuah kamar yang Bu Ratih tunjukkan. Aku mematung cukup lama di depan pintu sambil berkali-kali mengatur nafas. Berulang kali aku urung mengetuk karena perasaan yang berkecamuk.




Tok! Tok! Took!!




Sial!! Tangan ini akhirnya mengetuk juga, padahal hatiku belum siap.




“Masuk, bi.” suara Nur terdengar serak di dalam.




Harusnya aku menjawab bahwa aku bukan Bu Ratih, tapi entah mengapa bibirku seakan kelu dan tangan ini malah memutar gagang pintu.




Cekleeeek!!!




“Kiyaaaa!!” Nur menjerit sambil menangkup kedua payudaranya yang terbuka.




Sementara aku hanya melongo melihatnya. Bagian bawah tubuh Nur hanya dilindungi segitiga berwarna hitam, yang sangat kontras dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Sedangkan bagian atasnya tidak mengenakan apapun.




Melihatku terpaku pada selangkangannya, Nur langsung menutupi bagian bawah tubuhnya dengan satu tangan, tapi dengan itu payudaranya jadi terlepas dan menggantung indah. Putingnya mungil dan mancung.




Indah.. terlalu indah pemandangan itu. Perutnya begitu langsing, meski kedua payudaranya besar dan pinggulnya lebar. Ia seakan menjadi ciri gadis idaman, calon istri yang menggairahkan di atas pelaminan, sekaligus calon ibu yang sempurna untuk melahirkan anak-anak.




Keadaannya sontak membuat jantungku berdebar kencang. Lebih kencang daripada saat aku sedang bercumbu dengan Maya, lebih kencang daripada saat aku melihat tubuh seksi Bu Ratih. Pandanganku nanar. Dan.. kemaluanku menggeliat, mendongak mencari ruang.










BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar