Cincin dari masa lalu part 10

 

BAB 10








Aku terjaga saat mendengar gemuruh hujan yang entah sejak kapan turun dengan lebatnya, sementara angin berhembus kencang. Tubuhku terasa basah karena cipratan air yang masuk melalui jendela. Aku mengerjap, sambil mengusap tubuh yang sedang menindih dan memelukku.




“Yank.” bisikku.




Maya pun menggeliat dan mengangkat wajahnya, sejenak kami melirik keluar, memandang derasnya air yang membuat genangan di tanah. Lalu mata kami saling bertemu pandang, pelukan pun saling kami eratkan untuk saling menghangatkan. Kukecup bibirnya yang merekah, dan ia pun membalas. Kami hanyut dalam khusyuknya percumbuan. Ingatan akan kemesraan sebelum kami tertidur malah membuatku merasa bergairah. Mungkin benar, kalau sudah yakin saling menyayangi, mengapa harus menunggu pelaminan untuk saling memberi dan mereguk kenikmatan. Teori yang bodoh, tapi aku memang menginginkannya.




Kekasihku melenguh saat lidahku menerobos dan langsung menggelitik lidahnya. Kami saling mengecap, saling melumat, saling menggigit, juga saling membelit. Kecipak bunyi mulut kami seakan bersaing dengan bunyi hujan, dan lenguh serta desah kami seakan mau bersaing dengan gemuruh angin yang menerpa pepohonan.




Maya sedikit tercekat saat aku meremas pinggulnya, dan memosisikan dirinya agar selangkangan kami saling menempel. Kami saling pandang dengan sedikit terengah.




“Boleh?” tanyaku dengan suara serak karena gairah.


“Kalau kamu menginginkannya sekarang, aku mah nurut aja.” jawabnya pasrah.




Kukecup kembali bibirnya dengan penuh rasa sayang. Kukabarkan cinta yang teramat besar, kusampaikan pula tekadku untuk memilikinya selamanya. Ia membalas cumbuanku dengan penuh perasaan, seakan tahu apa yang kusampaikan, sekaligus menjadi kabar akan ketulusan kasih sayang dan pengabdian yang hendak ia berikan.




Kudorong tubuhnya agar bangkit. Aku bersandar pada dinding sementara kekasihku mengangkang menduduki kedua pahaku. Kedua pahanya langsung terpampang menggiurkan. Sekali lagi kutatap wajahnya, sebelum mengangkat tepi kaos yang ia kenakan. Gerakan ini terasa lambat ketika kuangkat kian ke atas, mataku nanar saat melihat kulit perut kekasihku yang putih dan ramping. Aku tercekat saat melihat beha putihnya, berdebar melihat belahan payudaranya yang menyembul indah.




Maya mengangkat kedua tangannya agar kaos terlolos sepenuhnya. Dada dan ketiaknya yang putih bersih membuatku benar-benar lupa diri penuh gairah. Tak sabar kulempar kaosnya lalu mendekap kekasihku erat sambil menciumi lehernya, turun pada belahan payudaranya. Kekasihku gelisah sambil semakin merapatkan tubuhnya, wajahnya terbenam pada pundak bagian belakangku, tangannya resah meremasi rambutku.




Dengan tangan bergetar kuusapi kulit punggungnya, kuraih pula kaitan behanya.




Kliiik!!




Aku menarik diri sesaat, nanar melihat kedua payudara mancung di hadapanku. Sangat putih dengan guratan urat yang bersemu biru, kedua putingnya memancung di tengah lingkaran kecoklatan. Maya meloloskan kedua tali yang terkait pada bahunya. Membuat seluruh tubuhnya benar-benar terbuka. Ia seakan pamer akan apa yang selama ini ia sembunyikan.




Segera kubuka kaosku sendiri, dan menubruknya membuat gadisku memekik sambil terjengkang. Sigap aku menahan kepalanya agar tidak terbentur, lalu menindih dan melumat bibirnya. Dadaku terasa geli karena kedua payudaranya yang mengganjal.




“Yank, uuuh..” lenguhnya saat ciumanku menyusur daun telinganya. Lalu merambat turun pada lehernya. Tak sabar aku segera meremas payudaranya kirinya dan mulutku mengecup puting kanannya. Erang panjang pun terdengar, sementara aku hanya mendengus terbakar gairah.




Aku seakan memiliki mainan baru saat asik mengecupi payudara indah kekasihku, sementara tanganku juga tak henti meremas. Kemaluanku terasa sesak karena tegang maksimal.




Kuemut bagian bawah lembah payudaranya sambil menjepit putingnya di antara dua jariku. Kekasih semakin mendesah, kulitnya mulai lembab karena jentik keringat. Kujelajahi perutnya dengan bibir dan lidahku, lalu menggelitik pusarnya. Tanganku sudah berpindah mengusap dan meremasi pahanya yang tak hentinya bergoyang. Roknya sudah terangkat sehingga celana dalam putihnya terpampang di hadapan mataku.




Sesaat aku mendongak, sorot mata sayu kami beradu. Wajah kekasihku begitu merah, dan jentik keringat membasahi keningnya, sebagian mengalir pada pelipisnya. Kami kepanasan di tengah deras hujan dan hembusan angin kencang.




Ia mengangguk saat terus kutatap. Segera kubuka kaitan roknya dan kuloloskan dengan jantung berdebar kencang. Tak ada penolakan ketika aku meloloskannya. Ia malah mengangkat pinggul untuk membantu tugasku. Sekalian, kutarik juga karet celana dalamnya.




Aku hanya meneguk air liur saat melihat pangkal pahanya. Rok dan celana dalamnya kulempar sembarangan. Kekasihku menutup muka karena malu, sementara aku terpaku pada bulu-bulu hitam nan halus kemaluannya. Kuloloskan celana panjang dan celana dalamku sambil tetap lekat menatap gundukan kemaluannya.




Menyadari bahwa aku tidak menyentuhnya, Maya menurunkan kedua tangannya. Nafasnya panjang dan bibirnya terbuka saat melihat kemaluanku untuk pertama kalinya. Kedua payudaranya turun-naik seiring sengal nafasnya. Setelah melempar celanaku, aku menyentuh vaginanya dan ia refleks merenggangkan kedua pahanya. Terasa lembab dan basah. Lenguhan pun kembali terdengar.




Sebagai orang awam yang baru pertama kali melakukan “ritual” seperti ini, aku tidak terlalu banyak tahu akan apa yang harus kulakukan. Aku segera menempatkan diri di antara kedua pahanya yang terangkat karena lutut yang ditekuk. Kemaluanku langsung berkedut saat kemaluanku menyentuh bibir sarang yang menjadi pasangannya.




Kami kembali saling melumat dan saling meremas. Saling mendesah dan berbagi gairah.




“Sayang, mmmmh…” ia mendesah saat kemaluanku mulai menggeseki celah vaginanya. Lembut dan basah.




Kuraih batang penisku lalu mencucukkan ujungnya pada celah lembabnya. Tubuh Maya bergetar, pun pula aku merasakan penisku semakin berkedut.




Cleeeep!!




Kami sama-sama meringis karena geli yang dirasakan.




Cleeeep!!




Kudorong lagi. Aku mendengus, sementara kekasihku terdengar sedikit merintih.




Cleeeep!!




Kepala penisku semakin masuk, disambut oleh kedutan bibir-bibir vaginanya. Tapi ada selaput lembut yang menahan desakanku.




Kutekan sedikit, tapi kekasihku menahan pinggulku.




“Yaankk.. uuuh.. periiih.” dengusnya.




Menyadari bahwa Maya masih perawan, aku merunduk, lalu bertatapan begitu dekat. Kuusap jentik keringat di wajahnya.




“Kita hentikan?” tanyaku, meski hati tak menginginkan semua ini terhenti.




Maya menatapku sendu, lalu menggeleng. Ada bulir air mata yang menetes di ujung matanya.




“Pelan-pelan, sayang.” lirihnya.




Kucium kedua kelopak matanya, lalu berpindah melumat bibirnya. Kami saling menyambut dan melumat. Kutekan lagi penisku, membuat gadisku berhenti mengulum. Bibirnya seakan kaku.




Cleeeep!!




“Aaaah.. yaaang.. uuuh sakiit.” rintihannya terdengar begitu memelas, membuat aku bimbang.




Lain ucap, lain rintih, lain pula gerak tangan. Ia malah menekan pinggulku semakin keras. Berulang kali aku menarik nafas panjang, dan…




Cleeeep!! Cleeeep!! Bleeeesssss!!!




Aku mengerang nikmat, Maya menjerit sakit saat seluruh batang penisku amblas. Ada sedikit sakit kurasakan saat penisku dijepit ruang sempit, namun juga geli saat bagai dihisap dan diremas kedutan dinding vaginanya. Kuangkat wajahku, kusadari bahwa kekasihku sedang meringis kesakitan. Keringat dan air mata membaur di pipinya.




Refleks kukecupi wajahnya, dan berakhir pada bibirnya. Kukecupi bibir sensual yang begitu menggairahkan, meski Maya hanya membalas seadanya. Satu tangan mulai kembali menjelajahi payudaranya, sementara satu lagi kupakai untuk menopang tubuh.




Lama-kelamaan tubuh kaku kekasihku berubah relaks, ia mulai membalas ciumanku dan tangannya meremasi punggung dan rambutku. Kedutan pada vaginanya semakin kuat dan kerap, terasa basah dan licin.




Perlahan kuangkat pinggulku, penisku tertarik, seiring lenguh dan rintih. Kutekan lagi pelan.. begitu seterusnya.




“Mmmh.. yank. “ lenguhannya mengabarkan nikmat. Ia sudah bisa mengatasi rasa sakitnya. Bahkan tubuhnya sedikit melengkung di bawahku saat melingkarkan kedua kaki pada pinggangku.




Tusukanku semakin kerap, seirama dengan goyangannya. Tubuh kami licin karena keringat, kemaluan kami basah berkecipak. Goyanganku semakin keras dan kerap, dengus dan lenguh beradu, tusuk dan kayuh semakin liar. Aku menusuk, ia menyambut; aku menggoyang ia menjemput.




Penisku terasa dihisap saat terbenam, diremas saat diangkat.




“Sayang.. aku.. aku…” kekasihku terbata-bata tanpa mampu melanjutkan ucapannya. Gerakannya semakin liar, dan ia sudah tak bisa mengontrol suara lenguh dan erang.




Mendapat perlakuannya, pertahananku seakan mau jebol. Penisku berkedut kencang, beradu dengan hisapan-hisapan vaginanya. Bagai kalap, aku semakin menggencarkan kayuhanku, sementara gadisku menutup mulutnya agar meredam erangan.




Penisku terasa mengembang seiiring desakan sperma yang menjalar.




Kukayuh dan kukayuh.. ia menggoyang semakin tak beraturan. Kedua kakinya makin lekat melingkar. Jemari tangannya mencengkeram punggungku kuat.




Srrrrr…!!!




Ada semburan kencang dari dalam vaginanya, tubuhnya mulai mengejang, bibirnya mengerang.




“Sayaaang!!” geramku saat pertahananku bobol.




Srrrrrr!!!




Creeettt!!! Ccraaaat!!! Croooottt!!!




Kantung kemihku seakan meledak, spermaku menyembur di dalam vaginya. Cairan kenikmatan kami saling menyembur di dalam lubang sempitnya.




Jerit dan pekik sudah tak mampu kami tahan. Kemaluanku terbenam utuh, berbagi cairan, berbagi kedutan, berbagi getar dan remasan. Tubuh kami sama-sama mengejang, sama-sama bergetar. Sampai akhirnya aku ambruk dalam dekapannya.




Pacu kemaluan kami berganti deru nafas karena nikmat yang tak terkira. Kesadaran kami seakan hilang seketika. Entah berapa lama aku terhempas, entah berapa lama aku terkulai. Kubuka mataku.




Ploooop!!!




Kemaluanku terlepas. Geli dan nikmat bercampur menjadi satu. Aliran basah pun mengiringi perpisahan alat vital kami. Menyadari apa yang sudah terjadi, aku tercekat.




“Tidaaaaak!!!!”




Aku berteriak, nafasku terengah. Aku telah menodai kekasihku.




“Sayang? Sayaaang!!! Bangun sayang!! Kamu mimpi apa?”




Terdengar suara yang memanggilku, kedua pipiku dibelai lembut, lalu sebuah ciuman mendarat di dahiku.




Segera kubuka mata dan mengamati keadaan. Dengan nafas tersengal, aku menatap wajah yang begitu dekat memandangku dengan khawatir.




“May.. May.. aku…” aku tergagap.




Segera kuambil jarak dan mengamati sosok Maya. Bingung dan lega bercampur menjadi satu saat melihatnya masih berpakaian utuh. Kulihat ke arah jendela, tidak ada hujan di luar sana.




“Kamu mimpi apa, sayang? Nih minum dulu.” Maya masih nampak khawatir lalu menyodorkan botol minum, dan kuteguk bagai kehausan.




Kuletakkan kembali botol di lantai, lalu memeluk kekasihku dengan erat. Ia hanya membalasnya sambil mengusapi rambutku. Ia membiarkan dadanya menjadi sandaran, untuk memberiku rasa tenang.




Sejenak aku mengingat… ternyata aku hanya bermimpi. Tetapi kenapa begitu nyata, dan itu terjadi sebagaimana begitulah adanya. Kurasakan kemaluanku basah, seperti habis mimpi basah.




“Yank, aku tidak menodaimu, kan?” ucapku setelah mampu menguasai diri.


“Kamu ngomong apa, sih yank? Apanya yang dinodai? Kamu mimpi apa, sih.” kekasihku mengusapi wajahku. Wajah dan senyumnya mengembang sekedar untuk menenangkan, walaupun rasa khawatir memancar di sana.




Sekali lagi kupeluk tubuhnya, mungkin memang sudah saatnya aku jujur. Aku harus mengawali kasih-sayang kami dengan keterbukaan. Kalau memang Maya masih mau menerimaku, aku akan sangat bahagia. Tapi kalau tidak, aku siap menerima resikonya, meskipun dengan itu aku akan terluka… terluka karena mencintai orang tanpa bisa memilikinya.




“May..” aku berhenti sebentar untuk menelan air liur, membasahi kerongkonganku yang terasa kembali kering. “Aku… aku.. sudah.. ti.. tidak perjaka.”








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar