Silent rose part 5

 

Bab 5




"Thanks buat bokapnya Gea, kita dapat ijin untuk melakukan studi ke kilang minyak itu" Dimas berkata, Empat orang lain disana, ommy, Sandy, Gea dan Cintya bersorak senang, memancing perhatian dari kerumunan-kerumunan mahasiswa di sekitar mereka. Mereka berempat memang telah mengantongi ijin dari universitas untuk mengerjakan tugas akhir dalam bentuk tim, hal ini dikarenakan judul yang mereka ambil memiliki ruang lingkup yang cukup besar. "STUDI KASUS KILANG MINYAK LEPAS PANTAI TERHADAP LINGKUNGAN DAN ASPEK SOSIAL" merupakan judul yang mereka ambil.




Sebagai sasaran penelitian, mereka mengambil kilang minyak lepas pantai di pulau Bangka yang akhir-akhir ini menjadi sorotan media massa setelah nelayan-nelayan setempat pergi ke Jakarta untuk melakukan unjuk rasa di istana negara. Cintya, Gea dan Sandy bertugas menyiapkan literatur-literatur yang akan menjadi landasan teori juga acuan form survey yang akan mereka sebarkan ke penduduk sekitar. Sedang Tommy dan Dimas bertanggung jawab mengurus semua perijinan dan loby-loby yang diperlukan untuk penelitian.




"setelah 3 bulan kita memantapkan teori kita, kini saatnya terjun ke lapangan, data-data hasil survey adalah inti dari tugas akhir kita", Sandy, mahasiswa yang paling cerdas diantara mereka angkat bicara.


"gua ama Dimas sudah urus semua keperluan kita disana, termasuk akomodasi dan tempat kita menginap, lusa gua duluan kesana bareng Sandy. Cewek-cewek nyusul dua hari kemudian bareng Dimas" Tommy memaparkan prosedur bagaimana mereka akan ke lokasi penelitian. Tommy memang terbiasa berpetualang, dia ketua organisasi pecinta alam yang diikuti Cintya.


"kenapa ga barengan aja sih?" protes Cintya. Dia tidak suka jika ada yang bersikap genderisasi.


"surat pengantar dari kampus kan baru keluar tiga hari lagi? Selagi gua ngurus tuh surat, loe ama Gea siapin formnya" Dimas menjelaskan dengan tenang.


"dan gua sengaja bareng Sandy, siapa tahu profesor kita ini nemuin sesuatu yang bisa bikin tugas akhir kita makin jreng?. Nih anak kan otaknya selalu encer" Tommy menambahkan. Sandy yang disebut profesor pura-pura tidak memperhatikan.


"okey deh, lagian cowok gua kan ultah dua hari lagi, masa iya gua tinggal"Gea menimpali dengan centilnya. Cintya memandangnya sebal, meski dia tahu bahwa itu memang rencana terbaik yang mereka punya.






*_*_*​




Name : Antonius Handoko (Anton)


Age : 55


Sttus : Enviromental Hazard


Deathline : this year


Proof file : attached


Case Class : 42 STARS


.




-hadled by Silent Rose-




Ian tersenyum membaca isi e-mail yang diterimanya dari Association, meja kerjanya hanya berisi sebuah note dan laptopnya, namun di dinding-dinding ruangannya tertempel berbagai informasi dan beberapa rancangan metode yang akan dia gunakan untuk menyelesaikan case kali ini, informasi mengenai target, orang-orang kepercayaan target, kebiasaan dan kegemaran target juga informasi-informasi pendukung lainnya tertempel rapi di sisi dinding ruangan kerjanya.




Di ruangan kecil inilah ian sang Silent Rose menganalisa target, melakukan perhitungan probabilitas dan merencanakan metode yang akan dia gunakan. Ruangan rahasia ini sudah digunakan bertahun-tahun oleh Ayah dan kakeknya, yang dulu menyandang codename Silent Rose. Dan kini, sebagai Silent Rose generasi berikutnya, Ian mempergunakannya.




Ian masih mencoret-coret whiteboard besar di sudut ruangan. Sesaat dia berhenti dan memandang coretan-coretannya lalu tersenyum misterius. Setelah itu, fokus Ian beralih ke salah satu data yang tertempel di dinding. Foto Cintya, Gea, Tommy, Sandy dan Dimas terpampang disana, diatas informasi pribadi tentang mereka berlima. Ian mengambil smartphonenya dan menekan keypad, menghubungi satu nomor, setelah terdengar nada sambung ian memutuskan panggilan, menekan nomor lain, sama seperti nomor sebelumnya, ian memutuskan panggilan begitu terdengar nada panggil, dia melakukan hal yang sama ke 3 nomor lainnya. Setelah itu, ian keluar ruangan dan menghempaskan tubuhnya ke ranjang.




Kemacetan di jalan sekitar istana negara menjadi santapan media televisi selama beberapa hari terakhir. Unjuk rasa nelayan yang merasa kehilangan mata pencahariannya jadi bahan pembicaraan yang paling hangat. Hal itu juga yang membuat Cintya dan rekan-rekannya menjadikan pulau kecil yang masuk kepulauan Bangka sebagai sasaran tugas akhir mereka. Wise Crow mematikan TV-nya saat melihat ian masuk ke Green File Cafe.




"Berapa harga untuk semua ini?" tanpa basa-basi Ian menyodorkan secarik kertas, Wise Crow mengenakan kacamata bacanya dan membaca tulisan di kertas itu, mengambil penanya dan menuliskan beberapa digit angka di bawah tulisan itu sebelum menyodorkan kembali pada Ian.


"Dea", ucap Ian pelan. "kirimkan sesuai tempat dan waktu yang tertulis disini" Ian menyodorkan secarik kertas lain dari sakunya.


"Metode apa yang akan kau gunakan?", Wise Crow bertanya tanpa mengalihkan fokusnya dari gelas-gelas yang sedang dia bersihkan.


"i prefer to keep silent until the rose bleeding




*_*_*​




3 hari kemudian...




"Woi!!" Tommy berteriak melambaikan tangan pada Gea, Cintya dan Dimas yang baru saja keluar dari Toyota kijang merah milik Dimas. Tommy segera bergegas mendekati rombongan yang tampak sibuk menurunkan barang bawaan mereka.


"Kok bisa dapat rumah pantai ini? Bukannya kemarin kita ga dapat ijin dari kepala desa untuk menempati rumah ini?" Dimas bertanya sambil mengangkut barang-barangnya ke ruang tamu.


"waktu itu kan kita ga dapat ijin karena yang punya rumah ga ada. Pas gua ma Sandy sampe sini ternyata yang punya rumah ada", Tommy menjawab ringan.


"Gila loe!! Yang punya rumah kan udah meninggal 6 tahun yang lalu??!" Dimas terlihat kaget.


"emang gitu, tapi ternyata anaknya yang punya rumah masih hidup pren!. Dia juga baru berapa hari pulang ke kampung halamannya nih. Gua minta ijin eh dia oke aja..."


"wah rumah ini enak ya? Pinter kalian milihnya" Gea bersorak sambil matanya menyapu seisi ruangan.


"Sandy kemana?", Cintya bertanya sambil melihat sekeliling.


"Sandy ama yang punya rumah lagi keluar buat cari beberapa perlengkapan kapal. Di garasi belakang ada kapal tua, rencananya sih selama disini kita akan dipandu ama yang punya rumah" Tommy menjelaskan sambil meletakkan barang bawaan mereka. "Nih tas isinya kertas tapi berat banget sih?".


"Wah baik juga ya Bapak yang punya rumah.." komentar Cintya sambil membawa barang-barangnya masuk. "kamar gua yang mana?"




Setelah masing-masing dari mereka mendapat kamar dan menurunkan barang mereka, keempat mahasiswa-mahasiswi itu berkumpul di teras belakang yang langsung menghadap laut. Tidak jauh dari mereka terlihat sebuah kapal yacht buatan Jepang yang sudah agak usang. Keempat orang itu sedang membahas rencana-rencana penelitian mereka saat Sandy kembali.




"Lama amat loe Sand" ujar Tommy


"Gua kan sekalian nyebar angket? Paling nggak besok kita tinggal ke balai desa untuk mengumpulkan hasil angket", seperti biasa, Sandy selalu bersikap lebih cekatan dari yang lainnya.


"mantap bener professor kita satu nih..", ucap Gea sambil mengacungkan jempolnya.


"Oh ya, si Ian mana?" Tanya Tommy lagi. Yang lain langsung mengalihkan perhatian mereka pada Tommy.


"Ian? Ian siapa Tom?" Cintya heran, dia tidak pernah merasa ada mahasiswa di kelasnya yang bernama Ian.


"itu yang punya nih rumah Cint tuh dia lagi benerin kapal" jawab Sandy sambil menunjuk ke arah dermaga kecil di dekat mereka. Seorang pemuda tampak sedang mengutak-atik mesin kapal. Ya.. pemuda itu adalah Ian sang Silent Rose, hanya saja sekarang dia terlihat seperti nelayan muda dengan pakaian lusuh dan topi jeraminya. Cukup lama Ian mengotak-atik kapal itu, dia menutup kap mesin di belakang kapal lalu masuk ke ruang kemudi.




GRRREENNGGGG..




Suara mesin menyala memecah keheningan. Mesinnya terdengar cukup halus dan terlihat baik. Ian melongok ke arah Tommy dkk lalu mengacungkan jempolnya pertanda kondisi kapal baik-baik saja.




"cakep juga yang punya rumah..." komentar Gea yang langsung disambut dengan sorakan dari teman-temannya yang lain. Ian memandang sekumpulan mahasiswa itu dari ruang kemudi kapal tanpa ekspresi.




Malam itu mereka sibuk menyiapkan form-form yang akan disebar ke beberapa desa di pesisir pantai ini, Ian membantu memisahkan form-form sambil sesekali ikut dalam candaan dan obrolan mereka.




"pasti berat ya?" Mendapat kabar bahwa Ayah meninggal tapi tidak bisa datang untuk pemakamannya?, Gea berkomentar mendengar cerita Tommy tentang Ian yang selama ini bekerja sebagai awak kapal Jepang dan baru bisa kembali ke kampung halamannya setelah 8 tahun lamanya.


"itu sudah resiko pelaut" jawab Ian sambil meneguk kopiny."idak ada waktu yang bisa dibuang saat ada di atas laut" 


"jadi kamu baru menerima kabar tentang Ayahmu setelah 3 tahun?" Cintya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas di depannya. Ian menggeleng.


"Ayahku tidak meninggal disini..."


Sejenak suasana berubah hening. Semua mata kini tertuju pada Ian yang sedang melayangkan pandangan kosong entah kemana.




"setelah mendengar kabar tentang tenggelamnya kapalku beliau pergi melaut,tidak ada yang tahu kabarnya sampai teman sekapal Ayahku memberi kabar pada kepala desa tentang kematiannya. Tapi sampai saat ini, tidak ada bukti otentik bahwa beliau sudah mati.




Keadaan hening semakin terasa saat semua orang yang ada disana tampak tersihir dengan cerita Ian, semua mata memandangnya, menunggu lanjutan ceritanya, namun Ian tidak melanjutkan bicaranya.




baiknya aku memeriksa kapal, ujar Ian sambil beranjak menuju dermaga, melepaskan diri dari keheningan yang terasa tidak nyaman.




orangnya kuat ya? Kelihatan jantan dan cool!, komentar Gea dengan mata berbinar-binar. Dimas dan Tommy langsung menyahutinya dengan gurauan. Cintya tidak memperhatikan mereka bertiga, pandangannya kosong sejenak, sebelum kembali sibuk dengan form-formnya.








BERSAMBUNG 







Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar