Bab 10
Threesome Erna dan Erni
Pemandangannya indah banget ya?" itu komentar Erna waktu baru tiba di depan villa itu. Villa yang pernah kupakai wife swap dengan beberapa teman dan istri-istrinya.
Aku tidak tahu seperti apa perasaan istriku waktu tiba di villa itu. Mungkin ia teringat waktu pertama kalinya aku wife swap dengan Edo dan Raisha. Entahlah. Yang jelas aku sendiri sedang memperhatikan perilaku Erna yang memang jauh berbeda dengan istriku.Erna lebih tenang dan anggun penampilannya. Tubuhnya lebih langsing kalau dibandingkan dengan istriku. Dan yang jelas aku sangat terkesan dengan semua yang pernah terjadi di antara aku dan kakak iparku itu (yang beberapa hari lagi akan kunikahi secara siri itu).
Yang lucu adalah status kami nanti. Erna lebih tua setahun daripada istriku. Tapi kalau ditanya mana istri pertama dan istri muda? Maka nanti Erna akan menjadi istri mudaku, meski dalam keseharian istriku tetap akan memanggil Uni padanya.
Rasanya aku seolah menjadi seorang maharaja. Menggandeng dua orang wanita cantik ke dalam villa itu. Dan Erna mulai membiasakan diri, tak banyak complain diperlakukan mesra di depan adiknya.
Setelah berada di dalam kamar yang ada tempat tidur lebar itu, istriku tak ragu lagi melepaskan jersey hitam dan celana jeansnya. Sementara Erna masih asyik menikmati keindahan panorama di luar dari balik jendela kaca.
"Ayo buka dong bajunya..." kata istriku sambil memeluk kakaknya dari belakang.
Erna menoleh dan tampak kaget melihat adiknya sudah tinggal mengenakan celana dalam dan bra doang. "Mau ngapain?" tanyanya.
"Kan kita ke sini buat ngeroyok Bang Yadi. Hihihihi....masa Uni gak ngerti?"
Melihat keraguan Erna, maka aku yang menghampirinya. Membantunya menanggalkan gaun terusan batik sutranya. Sementara Erni sudah menanggalkan branya. Sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhnya.
Ketika Erna tinggal mengenakan bra dan celana dalam saja, Erni melepaskan kancing kait bra kakaknya di bagian punggungnya, sambil berkata, "Mulai sekarang kita harus kompak. Kalau telanjang satu orang, harus telanjang semuanya. Kita nikmati saja semuanya. Jangan memanjakan kesensian hati..."
Aku pun mendahului mereka. Sudah bertelanjang bulat ketika mereka masih bercelana dalam. Lalu bertanya kepada istriku, "Siapa dulu?"
Istriku menyahut sambil menunjuk ke arah Erna, "Dia dulu."
"Erni dulu lah," kata Erna tersipu.
"Gak," Erni menggeleng, "aku sih gampang nanti belakangan juga gakpapa."
Erna tampak canggung. Tapi aku cepat memeluknya untuk mencairkan kecanggungan itu. Lalu kulepaskan celana dalamnya sebagai satu-satunya benda yang masih melekat di tubuhnya.
Dan Erna cuka memejamkan matanya pada waktu kurebahkan, telentang di atas bed. Masih juga ia terpejam ketika aku mulai menjilati puting payudaranya yang sebelah kiri, sementara tanganku meremas-remas payudara kanannya.
Istriku cuma tersenyum-senyum melihat semua ini.
Aku pun mulai menarik celana dalam Erna dengan hati-hati, sampai terlepas dari kakinya. Erna masih memejamkan mata juga. Bahkan ketika aku mulai menciumi kemaluannya yang sekarang jembinya selalu dicukur habis itu, tampak kelopak matanya makin rapat menutupi bola matanya yang bening indah itu.
Pada saat itulah istriku sudah melepaskan celana dalamnya, lalu naik ke atas bed. Dan duduk di dekat kepala kakaknya.
Dan aku mulai menjilati kemaluan Erna. Aku akan membuat lubang kemaluannya sebasah mungkin, karena liang Erna kecil sekali (aku sudah hapal benar). Pernah aku langsung melakukan penetrasi di Jakarta. Dan Erna tampak kesakitan. Dan aku tak mau membuat kesalahan yang kedua kalinya.
Erna mulai terkejang-kejang ketika aku sudah memusatkan jilatanku pada kelentitnya.
"Udah Bang...masukin aja...kasihan tuh Uni..." kata istriku.
Aku tidak menyahutnya. Juga tidak mengikuti sarannya. Karena dalam soal kemaluan Erna, pasti aku lebih tau seluk beluknya. Dan aku menjilatinya terus. Membuat Erna menggeliatr dan mengejang terus menerus, sementara kemaluannya sudah basah kuyup oleh air liurku.
Kini aku merasa sudah waktunya untuk melakukan penetrasi.
Tanpa basa-basi lagi kuletakkan moncong penisku di ambang pintu surgawi Erna. Lalu kudesakkan sekuatnya, sehingga mulai menyelusup ke dalam liang kemaluan yang terasa lebih sempit daripada liang kemaluan istriku. Memang Erna memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan jika dibandingkan dengan adiknya. Soal ukuran toket dan kemulusan kulitnya kalah oleh istriku. Tapi badan Erna lebih langsing daripada istriku. Dan last but not least, liang kemaluannya itu, maaaak....selalu saja membuatku ketagihan.
Dan ketika batang kemaluanku sudah membenam ke dalam liang kewanitaan Erna, kakak istriku itu membuka matanya. Menatap ke arah istgriku dengan sorot seperti merasa bersalah. Tapi istriku cepat membelai rambutnya...dan mencium pipinya sambil berkata, "Aku makin sayang sama Uni...sayang sekali...."
Erna menatap adiknya, lalu menatapku...dengan senyum yang manis sekali. Membuatku semakin bersemangat menyetubuhinya.
Tapi ketika aku semakin asyik menyetubuhi Erna, tampaknya istriku mulai tergiur. Dan bergerak...berdiri di atas bed, dengan kedua kakinya berada di kanan kiri pinggang Erna, sambil mengangsurkan kemaluannya ke dekat wajahku. Aku mengerti, bahwa ia ingin merasakan cunnilingus.
Spontan aku pun melakukannya. Menjilati kemaluan istriku, sementara penisku tetap asyik mengentot memek Erna.
Aku tidak tahu seperti apa ekspresi wajah Erna karena terhalang oleh badan istriku. Yang jelas, baru saja sebentar aku menjilati kemaluan istriku, desah-desah histeris pun mulai terlontar dari mulut istriku.
Belasan menit hal itu terjadi. Sampai akhirnya istriku bergerak, merebahkan diri, terlentang di samping kakaknya, sambil mengelus-elus kemaluannya sendiri.
Aku pun tak mau membuat istriku tersiksa. Maka kucabut batang kemaluanku dari vagina Erna sambil berkata, "Gantian dulu ya...."
Lalu aku pindah ke atas perut istriku sambil memegang batang kemaluanku. Dan sekali dorong batang kemaluanku langsung amblas ke dalam liang kemaluan istriku yang sudah basah itu.
Sementara Erna memperhatikan semuanya itu dengan senyum dan terkadang tersipu-sipu kalau kulayangkan tatapan padanya. Dan karena ia menelentang di samping istriku, maka tanganku juga bisa mempermainkan kemaluannya pada saat aku sedang gencar mengenjot liang kemaluan istriku.
Erna cuma menatapku dengan sorot hangat, sementara tangannya mulai merayapi pahaku.
Cukup lama semuanya ini terjadi. Sampai akhirnya istriku merintih,
"Bang...oooh...aku udah lepas Bang...pindah ke Uni lagi gih."
Kuikuti permintaan istriku itu. Kucabut penisku dari liang vaginanya, lalu kupindahkan ke kemaluan Erna. Dan....blessssss.....amblas lagi di liang kemaluan Erna yang masih basah dan licin itu.
O, indahnya semuanya ini.
Persetubuhan threesome FFM dengan istri dan kakak iparku itu memang indah san membuatku puas. Meski "hanya" mampu ejakulasi dua kali, namun aku mulai merasakan perbedaan rasa istriku dengan kakaknya. Jujur, meski tubuh istriku lebih mulus dan agak montok, namun persetubuhanku dengan Erna lebih nikmat rasanya.
Namun sebulan kemudian, setelah Erna ditempatkan di rumah yang terletak di dalam gang kecil itu, ada saja kisah baru yang seolah mengantre...ingin dapat giliran ditulis di sini.
Kisahnya berawal dari ucapan istriku:
"Bang, ternyata ada tanteku, rumahnya gak jauh dari kantor Abang," kata istriku pada suatu hari.
"Ohya? Tante kontan?"
"Iya, adik kandung Mamah. Tadinya kusangka masih tinggal di Jakarta. Gak taunya udah pindah ke dekat kantor Abang itu."
"Oke, nanti kita kunjungi rumahnya, sayang."
Ternyata benar, rumah bibi istriku itu berdekatan dengan kantorku. Pada waktu pulang, kuterima tawaran dari Tante Lily, "Kalau lagi istirahat, main aja ke sini ya. Kan kantornya gak jauh dari sini."
"Iya Tante," sahutku sopan.
Dalam perjalanan pulang, istriku menjelaskan, "Kasian adik Mamah itu...umurnya sudah lebih dari tigapuluhlima tahun, tapi belum menikah juga."
"Belum menikah sama sekali?"
"Belum."
"Kirain dia itu janda atau suaminya sedang berada di kota lain."
"Mungkin tanda hitam di pipinya itu yang membuatnya jadi perawan tua."
Aku tak mau menanggapi, karena hal itu mungkin merupakan sesuatu yang sensitif .
Tapi di hari-hari berikutnya aku jadi sering bertamu ke rumah Tante Lily. Biasanya aku ke rumah Tante Lily pada waktu jam istirahat. Kalau aku mau ke rumah Tante Lily mudah sekali. Tinggal nyebrang dari kantorku, lalu masuk ke gang kecil. Rumah kedua di gang kecil itu adalah rumah Tante Lily.
Setiap kali aku datang, Tante Lily selalu menyuguhkan kopi panas, yang terbuat dari kopi mahal. Bukan seperti kopi yang dijual di kantin kantorku.
Biasanya aku suka membekal dua nasi bungkus yang kubeli dari kantin kantorku, dimakannya di rumah Tante Lily. Sering juga Tante Lily sengaja memasakkan makanan untukku. Baik sekali bibinya Erni itu. Kedatanganku selalu disambut dengan ramah. Sehingga dalam waktu singkat saja aku jadi merasa dekat padanya.
Kalau kuperhatikan secara diam-diam, Tante Lily itu lumayan bagus. Di usia 36 tahun ia pandai merawat tubuhnya yang semampai. Kulitnya pun putih mulus untuk ukuran orang Indonesia. Satu-satunya masalah adalah tanda hitam di sebelah kiri pipinya itu. Lumayan besar dan mengganggu (kira-kira sebesar diameter gelas). Padahal kalau dilihat dari sebelah kanan, ia itu cantik. Tapi kalau dilihat dari sebelah kiri, di situlah masalahnya. tahi lalat raksasa itu memang sangat mengganggu. Mungkin hal itu pula yang menyebabkan Tante Lily jadi perawan tua.
Setiap kali datang ke rumahnya, selalu kudahului dengan cium tangan, lalu cipika-cipiki. Begitu pula kalau aku pamitan mau pulang ke kantor lagi, aku cium tangan dan cipika-cipiki lagi. Dan terus terang, pada waktu menempelkan pipiku ke pipi kirinya yang ada tanda hitam itu, ada perasaan enggan untuk bersentuhan dengan tanda hitam itu. Tapi selalu kutindas perasaan enggan itu dengan bersikap seolah-olah tiada masalah
.
Aku ingin menyarankan agar tanda hitam itu dibuang saja, karena sudah majunya teknologi kYadikteran di zaman sekarang, khususnya di bidang kecantikan. Tapi aku takut saranku melukai perasaannya. Karena itu aku tak mau membahasnya, kecuali kalau ia yang mendahuluinya.
Pada suatu hari, di jam makan siang aku mendatangi rumah Tante Lily lagi seperti biasanya.
Tapi siang itu ia tidak seperti biasanya. Membalut lehernya dengan syal, memakai mantel tebal pula.
"Kenapa Tante? Sakit?" tanyaku setelah mencium tangannya.
"Cuma masuk angin," sahutnya sambil membiarkan aku tetap cipika-cipiki padanya.
"Udah ke dokter?"
"Ah, gak perlu, cuma masuk angin. Biasanya dikerok juga sembuh."
"Mau dikerokin?"
"Sama siapa? Si bibi yang biasa ngerokin lagi pulang kampung."
"Aku juga bisa ngerokin. Erni juga suka dikerokin sama aku,Tante."
Tante Lily memandangku sesaat. Lalu berkata, "Kalau kamu mau ngerokin, boleh juga...tapi di kamarku aja ya."
"Iya," sahutku sambil mengikuti langkah Tante Lily ke dalam kamarnya. Kamar yang tertata rapi sekali, seolah-olah gambaran sifat Tante Lily yang rajin. Meski rumahnya kecil, tapi semuanya ditata dengan sangat rapi. Jauh berbeda dengan kebiasaan istriku yang sering membiarkan barang-barang berantakan, tidak mau meletakkan pada tempatnya, sehingga aku sering membereskan semuanya itu.
Setelah berada di dalam kamarnya, Tante Lily menyerahkan cream dan sekeping koin,
"Pake ini aja ngeroknya ya," katanya. Lalu ia menanggalkan mantelnya. Dan tampak kebingungan setelah mantel itu terlepas. Mungkin karena mau tak mau ia harus menanggalkan dasternya, karena aku akan mengeroki punggungnya.
Lalu ia naik ke tempat tidur, masuk ke dalam selimut dan menanggalkan mantel itu di balik selimutnya. Kemudian ia menelungkup dengan sekujur tubuh tertutup oleh selimut.
Aku tersenyum sendiri. Dan mau tak mau aku harus menarik selimut itu sampai punggungnya terbuka.
Pada waktu aku menawarkan diri untuk mengeroki Tante Lily yang mengaku masuk angin itu, sampai aku masuk ke dalam kamarnya yang harum dan tertata rapi ini, sedikit pun aku tak punya niat macam-macam. Saat itu aku hanya merasa seperti mau menolong wanita yang usianya enam tahun lebih tua dariku itu. Tapi...setelah punggungnya terbuka, terlebih setelah kulepaskan kancing kait behanya....aku tertegun melihat punggung yang putih bersih itu. Bukan main mulusnya.
Aku menelan air liur waktu melumuri punggung putih itu dengan cream. Dan waktu cream itu kusapu-sapu dengan kedua tanganku ke seluruh bagian punggung sampai dekat karet celana dalam putih itu...terasa aku mulai dijalari pikiran aneh...sesuatu yang indah...
"Punggung Tante mulus banget..." gumamku sambil menekan-nekan punggung yang sudah dilumuri cream itu.
"Masa sih? Kamu bisa aja...." sahut Tante Lily yang wajahnya sedang menelungkupi bantal. Nada suaranya terdengar senang.
"Bener Tante," kataku sambil memberanikan diri menarik selimut sampai ke mata kaki Tante Lily.
Wow ! Pemandangan ini benar-benar merangsang ! Meski hanya bisa melihat bagian belakangnya, aku bisa mengamati betapa putih dan mulusnya tubuh Tante Lily ini.
"Gak usah dikeroki ya Tante. Sayang kalau punggung semulus ini dikerok-kerok dan jadi belang-belang nanti. Pijit aja ya," kataku sambil mengurut-urut punggung Tante Lily yang sudah licin oleh cream ini.
"Terserah kamu aja," sahut Tante Lily, "Dipijitin gitu juga enak, Yad."
"Kalau dipijit harus dari kaki," gumamku sambil menuangkan cream ke telapak tanganku. Lalu beralih memegang telapak kaki Tante Lily.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar