Seperti kutulis di episode sebelumnya, perjalanan bisnisku selalu diwarnai oleh kehadiran perempuan-perempuan yang seolah dikirim untuk mengisi lembaran kehidupanku. Padahal aku tak pernah sengaja mencarinya. Tapi mereka berdatangan satu persatu di dalam kehidupanku. Hal itu membuat semangatku selalu berkobar-kobar....maju terus untuk menekuni bisnisku sambil memetik bunga-bunga yang berdatangan sendiri ke pangkuanku.
Pada suatu hari, aku berada di sebuah café di bandara Soekarno Hatta, untuk menunggu kedatangan utusan dari Samarinda yang membutuhkan perusahaan pengembang untuk perumahan di Kaltim.
Sudah agak lama aku menunggu di café itu. Waktu aku menanyakan ke petugas bandara, kudapat informasi "Pesawatnya delay Pak. Mungkin sekarang baru take off dari Sepinggan."
Huh...lumayan menjengkelkan juga. Aku harus menunggu di bandara lebih lama daripada waktu penerbangan dari Sepinggan ke Soekarno-Hatta. Kalau tahu harus menunggu lama-lama begini, mending kusuruh sopirku saja menjemputnya tadi.
Tapi...yah...dalam bisnis kesabaranku memang sering diuji. Sabar...sabar....orang sabar tititnya lebar....Uff....
Aku nongkrong terus di café itu, malas untuk bertanya-tanya lagi kepada petugas bandara. Biarlah. Sedatangnya saja. Kalau sudah datang, nanti juga pasti ada yang menghubungiku lewat handphone.
Setelah cukup tersiksa menunggu di café itu, akhirnya hpku berdering. Ada nomor tak dikenal meneleponku. Agak ragu aku mengangkatnya, karena biasanya ada saja yang iseng menelepon tanpa tujuan yang jelas.
Terdengar suara perempuan di hpku, "Dengan Pak Yadi? Ini saya utusan Pak Burhan, dari Samarinda."
"Oh, yayaya," sambutku gembira. Lalu kusebutkan nama café tempatku menunggu.
"Baik Pak....saya sedang menunggu tas pakaian saya dulu. Nanti saya ke situ. Maaf ya Pak Yadi harus menunggu gini."
"Gak apa-apa. Oke, saya tunggu di sini," kataku berusaha ramah. Meski heran, kenapa Pak Burhan mengutus ibu-ibu segala ke Jakarta? Jangan-jangan nanti malah merepotkanku saja.
Tapi...begitu seorang wanita muda bertubuh tinggi semampai dan bergaun hijau tosca menegurku, "Pak Yadi?"
"Iya...iya...mmm...yang dari Samarinda?" sahutku tergagap. Masalahnya, maaak, kusangka ibu-ibu tua yang datang dari Samarinda itu, ternyata ia seorang wanita muda sekali. Aku yakin usianya belum 25 tahun Dan...cantik banget perempuan muda yang berdiri di depanku itu.
Wanita muda itu menjabat tanganku, " Rahmi," katanya memperkenalkan namanya, "Pak Burhan itu abang saya. Kebetulan dia lagi ada kesibukan di Tenggarong, jadi menyuruh saya ke sini."
"Oh..iya...iya..." aku mengangguk-angguk, agak gugup jadinya, sementara jabatan tangannya belum kulepaskan.
"Saya pikir Pak Yadi sudah tua...eee...ternyata masih muda." kata waniita muda itu.
"Hehehe...sama. Tadi juga waktu terima telepon dari anda, saya pikir mau ketemu ibu-ibu. ternyata masih muda banget."
Setelah berada di mobilku yang dikemudikan oleh Herman (sopirku), Rahmi bercerita betapa melelahkannya penerbangan tadi. Karena ia harus naik mobil dulu dari Samarinda ke Balikpapan, jauh lebih cepat daripada waktunya. Tapi penerbangan dari Balikpapan ke Jakarta justru delay lebih dari sejam.
Lalu ia juga bercerita bahwa ia sengaja menawarkan diri untuk menjadi utusan abangnya ke Jakarta, karena ingin sekalian belanja celana jeans dan brownies kukus di Bandung.
"Kalau begitu sekarang kita langsung ke Bandung saja, gimana?" kataku.
"Ya atur-atur aja gimana baiknya," jawab Rahmi yang duduk di sampingku di jok belakang, "Saya kan gak keburu-buru Pak."
Rasanya gak enak juga Rahmi memanggilku Pak-Pak terus. Karena aku belum tergolong tua. Tapi biarlah. Mungkin itu tanda bahwa ia menghormatiku.
"Emang lama-lama di Bandung gak marah suaminya?" tanyaku pada saat mobilku sedang meluncur dengan cepatnya di jalan tol.
"Hmm...saya gak punya suami Pak," kata Rahmi bernada sendu.
"Ooo...belum menikah?"
"Aaah....malu nyeritainnya. Saya ini janda Pak...."
Aku terhenyak. Janda? pikirku, semuda gitu sudah menjadi janda?
"Perkawinan saya cuma berlangsung beberapa bulan," kata Rahmi lagi, "suami saya meninggal setahun yang lalu."
"Sakit apa?"
"Yah...sudah tua aja Pak. Perbedaan umur kami jauh sekali. Waktu saya nikah, umur saya baru duapuluh dua, suami saya sudah hampir enampuluh tahun. "
Pengakuan Rahmi itu tidak membuatku heran. Karena yang aku tahu, banyak petambang di Kalimantan beristri lebih dari seorang. Bahkan ada petambang yang kukenal, punya istri muda yang baru lulus SMP. Maklum, duit punya kuasa.
Ya, sebenarnya pengusaha di Kalimantan, kalau sudah kaya tak kepalangan kayanya. Rumah cuma terbuat dari kayu ulin (kayu ulin mahal lho), tapi jip Hammer berderet di depan rumahnya. Pesawat jet pribadinya selalu nongkrong di bandara. Pilot pribadinya juga selalu stand by, menunggu tugas dari sang boss.
Aku bahkan pernah menerima pesanan khusus dari seorang petambang Kalsel. Ia minta dikirim tenaga satpam untuk keamanan perusahaannya. Jumlah pesanannya tidak tanggung-tanggung....minta 200 orang !
"Ini langsung ke Bandung Pak?" tanya Herman membuyarkan terawanganku.
"Iya. Nanti istirahatnya di kilometer limatujuh aja. "
"Iya," Herman mengangguk, "Kalau di kilometer sembilanbelas sering susah parkir. Terlalu banyak yang istirahat di situ."
Aku tak menanggapi ucapan sopirku itu. Bahkan sering curi-curi pandang pada Rahmi yang berkulit putih bersih itu. Diam-diam aku pun menghitung-hitung umurnya. Nikah di usia 22, hanya beberapa bulan kemudian suaminya meninggal. Dan suaminya meninggal setahun yang lalu. Berarti umurnya sekarang di bawah 24 tahun.
Lalu kenapa otakku jadi berpikir yang bukan-bukan setelah mendengar pengakuannya, bahwa statusnya janda?
Tapi dari mana aku harus memulainya?
"Ohya, master plan dan surat-surat penting ada di dalam koper saya," kata Rahmi ketika aku masih memutar-mutar otakku, "Nanti aja di Bandung saya serahkan ya."
"Iya," aku mengangguk, "kebetulan calon developernya kakak saya sendiri. Takkan banyak prosedur, karena semuanya sudah dipercayakan pada saya."
"Wah, kebetulan dong. Pemilik tanahnya kakak saya, developernya kakak Pak Yadi. Jadi kita ini sama-sama ring satu dong."
Aku cuma tersenyum. Tapi pandanganku tertumbuk pada cincin bermata blue sapphire yang melingkari jari tangan kanan Rahmi. Aku merasa punya jalan untuk memegang tangannya sambil berkata, "Wah, blue sapphirenya bagus banget...!"
Rahmi tersipu, "Cuma blue sapphire Martapura kok Pak."
"Hush...permata buatan Martapura bagus-bagus kok. Apalagi kalau dipakai oleh tangan yang begini halusnya," kataku sambil mengelus punggung tangan Rahmi.
Wanita muda yang cantik itu menatapku dengan senyum. Dan membiarkan tangannya tetap kupegang. Aku pun enggan melepaskannya. Maka tangan berjemari lentik-lentik itu kuletakkan di atas pahku, sambil kugenggam dengan penuh kehangatan.
Lalu kudengarkan semacam biodata Rahmi dari mulutnya sendiri, "Saya sebenarnya asli orang Martapura, tapi sejak kecil saya ikut kakak saya di Samarinda."
Aku cuma mendengarkannya dengan sikap serius, tanpa membuka identitasku sendiri. Tanpa menjelaskan bahwa sebenarnya ibuku juga orang Banjar. Biarlah ia mengiraku orang Jawa saja. Karena namaku memang mirip nama orang Jawa.
Dan...tangan gemulai yang hangat ini tetap berada di dalam genggamanku. Bahkan terkadang kuarasakan tangannya meremas tanganku. Hmmm...kisah apa lagi yang akan terjadi pada diriku? Que serra serra...what ever will be, will be...apa yang mau terjadi, terjadilah....!
Di KM 57, kami hanya istirahat sebentar. Untuk minum kopi dan makan snack saja. Sengaja aku mengajak sopirku minum kopi, supaya tidak ngantuk waktu nyetir sampai Bandung nanti.
"Di Bandung ada famili?" tanyaku ketika mobilku sudah meninggalkan rest area dan melaju kencang lagi di jalan tol.
"Gak ada," Rahmi menggeleng.
"Kalau gitu nanti di Bandung nginap di hotel aja?"
"Iya," ia mengangguk, "Bagaimana baiknya aja Pak."
Terawanganku melayang-layang lagi. Gila, pikirku, cewek ini punya daya tarik yang luar biasa bagiku. Membuatku berkhayal terus. Tapi tangannya sering meremas tanganku. Bukankah ini pertanda "welcome" darinya?
Terawanganku makin membubung di langit khayalanku. Memang terkadang wajah istriku terkilas dalam khayalanku. Tapi aku seakan berkata di dalam hatiku, "Maafkan suamimu ini sayang. Barangkali lelaki memang ditakdirkan seperti ini. Bahwa secara spiritual lelaki bisa merasa cukup dengan seorang wanita saja. Tapi secara biologis, tidak bisa."
Hari mulai malam ketika mobilku keluar dari pintu tol Pasteur, Bandung.
Seperti yang kuperintahkan, sopirku membelokkan mobil ke pintu gerbang sebuah hotel bintang lima. Entah kenapa, aku tak berani membawa Rahmi ke hotel yang biasa kupakai kencan dengan Mona. Karena sepintas pun sudah kelihatan bahwa Rahmi itu kelasnya lain.
Setelah memberi uang makan kepada sopirku dan pesan agar ia tidur di mobil seperti biasa, aku melangkah ke dalam hotel. Pada waktu melangkah ke bagian reservation, aku bertanya kepada Rahmi, "Berani tidur sendirian di hotel ini?"
"Ya nggak lah. Saya kan perempuan Pak," sahutnya dengan tatapan bergoyang.
"Oke," aku mengangguk, "akan saya temani selama Rahmi ada di Bandung ya."
"Makasih," Rahmi tampak ceria dan menggenggam pergelangan tanganku lagi.
Kami mendapatkan kamar di lantai 8. Bellboy mengantar kami masuk lift dan menuju pintu kamar yang sudah disediakan. Setelah bellboy itu menyimpan koper Rahmi dan tas kerjaku yang selalu berisi pakaian 2-3 set, kuberikan tip padanya. Bellboy itu meninggalkan aku berdua dengan Rahmi.
Setelah pintu ditutupkan, kuhampiri Rahmi yang sedang memandang ke luar jendela, memandang gemerlapannya kota Bandung di malam hari.
Entah dari mana datangnya keberanian ini. Meski ada resiko besar dalam bisnisku, seandainya ia marah, tapi aku yakin ia pun menunggu sikap jantanku. Kuawali dengan sergapan di pinggangnya dari belakang. Terasa badannya mengejut. Membuat harum parfum yang ia kenakan semakin tersiar ke penciumanku.
"Gak mau mandi dulu?" kataku semakin mempererat pelukanku.
"Mau..." sahutnya sambil mengelus kedua tanganku yang berada di daerah perutnya.
"Mandi pengen ditemeni juga?" bisikku di dekat telinga kirinya.
"Nanti kalau saya jadi horny gimana Pak?"
"Untuk tamu kehormatan, akan saya lakukan apa pun, asalkan tamunya senang. Tapi jangan panggil pak-pakan ah....saya kan belum tua-tua bener."
Tiba-tiba ia membalikkan badannya. Menatapku dengan senyum yang sangat menawan. Kurasa tinggi badannya hampir sama dengan tinggiku, karena bibirnya terasa sejajar dengan bibirku. Dan bibir indah itu terbuka, seperti menunggu terkaman bibirku.
Tanpa berpikir panjang lagi kupagut bibir indah itu. Oh, kehangatannya membuatku serasa melayang-layang. Indah sekali. Maka kulumat bibir itu dengan sepenuh
Setelah lumatanku terlepas, terdengar suaranya, "Mandinya nanti aja ya Pak...emmm...Mas..."
"Iya," sahutku sambil membuka kancing kait di bagian punggung gaun hijau toscanya. Lalu dengan hati-hati kutarik ritsleting di bawah kancing kait itu. Dan ia diam saja. Bahkan semakin mempererat pelukannya. Makin terasa kehangatan tubuh wanita muda ini.
Namun ketika aku berusaha menurunkan gaunnya, ia melepaskan pelukannya, agar bisa meloloskan lengannya dari gaun hijau tosca itu. Lalu dengan mudah kuturunkan gaun itu sampai jatuh di sekitar kakinya. Ia pun melangkah mundur. Dan aku membungkuk, memungut gaunnya, lalu kulemparkan ke atas tempat tidur.
Kini wanita muda bernama Rahmi itu tinggal mengenakan bra dan cd saja. Semakin tampak betapa mulusnya tubuh tinggi semampai itu.
Dan tiba-tiba ia menarik lenganku...mengajakku melangkah ke arah pintu kamar mandi.
"Mendingan mandi dulu ah," katanya, "biar seger."
Sekilas terbayang di dalam ingatanku, kejadian di dalam kamar mandi hotel di Bogor dengan gadis bernama Mona itu. Tapi apa yang terjadi di hotel mewah ini, sungguh beda suasananya. Perasaanku juga lain, jauh berbeda dengan waktu mandi bersama Mona.
Di dalam kamar mandi, aku masih berpakaian lengkap. Sementara Rahmi sudah menanggalkan branya. Tinggal celana dalam yang masihmelekat di tubuhnya. Ia menutupi sepasang payudaranya dengan sikap malu-malu. Dan bertanya, "Mas mau mandi gak?"
"Iya. Pengen nyabunin Rahmi juga, kalau boleh."
"Lha...masa mandi pakaian lengkap gitu?"
"Terpesona melihat keindahan tubuh Rahmi. Cemerlang sekali."
"Dari awal jabatan tangan di bandara, saya udah tau kalau mas tertarik pada saya," kata Rahmi pada waktu aku sedang menanggalkan celana panjang dan kemeja tangan pendekku.
"Dan saya yakin, Rahmi juga gak nolak," kataku ketika tubuhku tinggal mengenakan celana dalam saja. Seperti Rahmi itu.
"Kalau nolak, masa saya biarkan Mas masuk ke sini," kata Rahmi dengan senyum manja.
Aku pun tak tahan lagi. Ingin segera memeluknya. Dan ia tetap menutupi sepasang payudaranya dengan kedua telapak tangannya. Ketika aku memeluknya, srrrr....rasanya ada desir hasrat yang dahsyat di dalam batinku. "Kenapa ditutupin? Kan sudah mau direlakan untuk saya," kataku sambil berusaha menepiskan kedua tangan Rahmi dari payudaranya.
"Malu Mas. Tetek saya kecil," kata Rahmi setelah sepasang payudaranya terbuka.
"Ah...ini payudara ideal...kecil tidak, toge juga gak. Sempurna....!" kataku sambil membungkuk dan menciumi payudara janda muda itu.
"Cowok kan biasanya seneng yang gede."
"Ah siapa bilang? Saya malah suka yang sedang-sedang begini. Mmmm...masih padat pula, seperti belum pernah netekin," kataku sambil mengelus-elus payudara Rahmi dengan lembut.
"Lho...saya emang belum pernah melahirkan Mas."
"Ohya?" aku makin senang. Mulai membayangkan betapa kecilnya lubang yang masih tertutup celana dalam itu.
"Katanya mau mandi...kok masih pake celana dalam?" cetusku sambil menunjuk ke celana dalam Rahmi yang putih bersih itu.
Rahmi malah memegang kewdua pergelangan tanganku dengan sikap manja, "Mas aja yang bukain...."
"Dengan senang hati..." sahutku sambil menurunkan celana dalam putih itu dengan hati-hati. Sedikit demi sedikit kemaluan Rahmi mulai tampak di mataku. Sebentuk kemaluan perempuan yang indah, ditumbuhi bulu yang agak jarang, sehingga tidak menutupi pandangan ke arah kulit permukaan kemaluannya. Karena ingin mengamati lebih jelas lagi, aku sampai berjongkok di depan kemaluan Rahmi.
"Iiiih...dipelototin gitu....malu iiih..." Rahmi memegang bahuku.
Tapi aku malah sengaja mendekatkan mataku, memperhatikan indahnya kemaluan Rahmi...lalu menciuminya....sehingga terdengar suara Rahmi, "Maaaas...mas...iiih...saya sampai merinding nih."
Aku pun bangkit, menanggalkan celana dalamku, sehingga tiada rahasia lagi bahwa penisku sudah ngaceng berat ! Lalu kuputar kran shower air hangat. Air hangat pun memancar dengan derasnya, membasahi tubuh kami yang sudah telanjang ini.
Ketika aku memeluk pinggangnya, sehingga penisku bersentuhan dengan vaginanya, ia berkata, "Mas punya ilmu apa sih? Begitu ketemu di bandara tadi, saya langsung tertarik sama Mas...."
Bangga juga aku mendengar pengakuannya. Lalu kataku, "Ah, di sini sih gak ada ilmu-ilmuan seperti di Kalimantan. Mungkin karena Rahmi type saya dan...."
"...Dan Mas type saya," Rahmi memotong kata-kataku.
Aku tersenyum. Lalu mematikan pancaran shower sambil menuangkan sabun cair ke telapak tanganku. Dan mulai menyabuni tubuh tinggi semampai berkulit putih cemerlang itu.
Aku senang benar waktu menyabuni sepasang payudara Rahmi, yang kutaksir ukuran branya 34...masih padat, putingnya mancung meruncing...membuatku bergairah untuk menyabuni sambil meremasnya.
Pada saat yang sama kedua tangan Rahmi malah asyik mempermainkan batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini, "Gede banget," cetusnya, "panjang pula..."
aku tidak menyahutnya. Bahkan kuambil lagi sabun cair kental bening itu, untuk menyabuni sesuatu yang terindah di bawah perut Rahmi.
Wuiih ! Masih kecil banget liang kemaluan Rahmi ini....membuatku makin bernafsu menyabuninya, mengelusnya dengan jemari yang terkadang menyelusup ke dalam. Lalu kuputar kran shower. Air hangat memancar lagi, untuk membersihkan busa sabun dari tubuh kami. Tapi selanjutnya kukecilkan pancaran air hangat itu, sampai tinggal mengalir sebesar lidi.....dan kuambil lagi cairan sabun bening itu, kubalurkan ke kemaluan Rahmi sebanyak mungkin, dibantu dengan air hangat sedikit...hingga semakin licin kemaluan rahmi dibuatnya. Setelah licin sekali, kusentuhkan moncong penisku ke mulut vagina Rahmi.....dan ia diam saja.
Aku agak menekuk lututku supaya moncong kemaluanku tepat pada sasarannya. Licinnya liang vagina Rahmi membuatku tak terlalu sulit membenamkannya....blessss.....
"Massss...." Rahmi memekik perlahan sambil memeluk leherku, "Kok dimasukin?"
"Sudah gak tahan..." sahutku, "Rahmi terlalu merangsang sih..."
"Aduuuh Mas.........Mas...aaaah..." Rahmi mulai mendesah-desah ketika aku mulai menggeser-geserkan penisku, maju-mundur-maju-mundur-maju-mundur....wow ! Setelah dilicinkan dengan sabun sebanyak-banyaknya pun terasa liang vagina Rami begini sempitnya. Terasa seperti mencengkram sekali. Apalagi kalau tidak dilicinkan dulu...gak kebayang sempitnya.
Masih sempat tanganku menjangkau kran shower, lalu air hangat memancar lagi dengan derasnya. Namun aku tetap asyik mengayun batang kemaluanku. tetap asyik menggeser-geserkannya dalam jepitan liang kemaluan yang begini sempit dan menjepitnya.
Tapi tampaknya Rahmi merasa terganggu dengan pancaran air hangat dari shower itu, karena airnya mengepul dan uapnya memenuhi ke setiap sudut kamar mandi. Satu saat ia berkata, "Mas...lanjutkan di kamar aja yuk....sesek napas nih kalau di sini..."
"Oke, kita selesaikan mandi dulu ya."
Meski malas menunda kenikmatan ini, terpaksa kucabut dulu batang kemaluanku dari jepitan liang sempit itu. Lalu kami membasahi sekujur tubuh kami dengan air hangat sepuas mungkin. Lalu kuambil handuk putih yang tersedia di dekat meja washtafel. Kuberikan sehelai kepada Rahmi, yang sehelai lagi untuk kupakai mengeringkan tubuhku.
Setelah mengeringkan sekujur tubuhnya, Rahmi berlari-lari kecil keluar dari kamar mandi, dalam keadaan masih telanjang bulat. Aku pun membelitkan handuk di pinggangku, lalu mengikutinya.
Di atas tempat tidur, Rahmi sudah rebah dengan selimut menutupi tubuhnya. Aku pun masuk ke dalam selimut itu, lalu menciumi pipi dan bibirnya berulang-ulang.
"Kita ini aneh ya Mas," kata Rahmi sambil merayapkan tangannya ke pahaku, lalu menyelinap ke balik lilitan handukku dan akhirnya menggenggam batang kemaluanku yang masih sangat tegang ini, "Kita baru kenal jam-jaman tapi udah melangkah jauh banget."
"Sebenarnya untuk zaman sekarang sih gak aneh-aneh banget. Orang lain banyak yang kenalan di dunia maya, lalu janjian, lalu ML di pertemuan pertama," kataku ketika kurasakan tangan Rahmi mulai meremas-remas penisku di balik selimut kami. "Tapi yang jelas, hari ini hati saya sangat bahagiaaaaaa...." ucapan ini kulanjutkan dengan ciuman mesra di bibir Rahmi. Dan Rahmi menanggapi dengan pelukan erat ketika aku mulai berada di atas tubuhnya, dengan bibir tetap saling lumat dengannya.
Entah kenapa, sekali ini aku seperti kena batunya. Bahwa gairahku begini dahsyatnya, hal yang tak pernah kualami sebelumnya manakala berhadapan dengan wanita-wanita yang singgah dalam kehidupanku.
Karena itu aku ingin melakukannya dengan hati-hati sekali (walaupun tadi di kamar mandi langsung kebablasan, karena ingin meyakinkan saja bahwa aku boleh memiliki tubuhnya sampai puncaknya).
Setelah cukup lama bibirku saling lumat dengannya, kukecupi leher jenjangnya yang tercium harum, bahkan kujilati dengan perasaan yang semakin mendayu-dayu. Rahmi pun menyambutku dengan elusan-elusan lembut di rambutku. Elusan-elusan lembut itu tetap kurasakan ketika aku mulai asyik mencelucupi puting payudaranya yang kecil tapi menonjol ini. Sementara tanganku mulai mengelus kemaluannya yang berbulu halus dan jarang itu...oooh...ini indah sekali. Rahmi pun terasa menikmatinya, karena tubuhnya mulai menghangat, napasnya mulai tertahan-tahan...terlebih setelah jemariku mulai mengelus celah kewanitaannya...menyelusup ke dalam lubang kecilnya yang mulai membasah....
Tapi ketika aku sudah menurunkan kepalaku, sudah menciumi pusar perutnya, Rahmi mengangkat kepalaku, menariknya ke atas sambil berkata terengah, "Udah Mas...masukin aja," ucapan itu disertai genggaman pada penisku yang sudah tegang sekali.
Aku biarkan Rahmi mengarahkan "topi bajaku" agar tepat arahnya. Setelah ada isyarat mata Rahmi, baru aku mendorongnya, sementara sepasang paha Rahmi sudah direntangkan lebar-lebar. "Pelan-pelan ya...biar jangan sakit...." desisnya.
Mski sulit, namun akhirnya aku berhasil membenamkan penisku sampai lehernya. Sesak sekali rasanya. Mungkin karena kemaluan Rahmi sudah dikeringkan oleh handuk di kamar mandi tadi. Aku berusaha melakukannya dengan hati-hati. Kuayun dulu penisku sedikit demi sedikit....makin lama enjotanku makin jauh ke dalam, sampai akhirnya aku berhasil mengenjot sampai penisku terbenam full (pada waktu didorong).
Selimut yang menutupi tubuh kami tadi, sudah tersingkir sendiri, bahkan akhirnya terjatuh ke lantai. Dan aku makin lancar mengayun penisku di dalam jepitan liang kemaluan Rahmi yang terasa sempit sekali, namun justru membuatku nikmat sekali.
"Mas...aaaaah....Mas.....aaah....gede banget sih tititnya.....aaaaahhhh...." Rahmi mulai berceloteh-celoteh histeris, dengan mata merem melek, dengan remasan-remasan gemas di bahuku....bahkan terkadang menjambak dan mengacak-acak rambutku.
Aku pun sering melumat bibirnya sambil meremas-remas payudaranya yang kencang kenyal, dan Rahmi membalas dengan gigitan-gigitan kecil di leherku. Wow, mungkin ini persetubuhan paling indah dalam hidupku.
Aku pun menghentikan enjotan penisku dan berbisik ke telinga Rahmi, "Jujur....punya Rahmi enak sekali..."
"Punya istri Mas gimana?" Rahmi menatapku dengan sorot menyelidik.
"Pokoknya punya Rahmi jauh lebih enak...sungguh..."
"Punya Mas juga jauh lebih enak daripada punya almarhum suami saya."
"Masa sih?" cetusku yang dilanjutkan dengan ayunan penisku kembali.
Obrolan singkat itu membuatku bisa mengatur potensiku sendiri. Sehingga ketika Rahmi menggeliat sambil berbisik tersengal, "Mas....saya udah mau nyampe...." aku justru belum apa-apa. Dan bukan lelaki ego. Aku ingin agar persetubuhan pertama ini berkesan di hati Rahmi. Maka ketika Rahmi mengejang sambil menahan napasnya, aku percepat ayunan batang kemaluanku....lalu kurasakan liang vaginanya berkedut-kedut disusul dengan menggenangnya lendir di dalam lubang surgawi Rahmi.
Lalu kubenamkan batang kemaluanku sedalam-dalamnya, tanpa kugerakkan dulu. Sementara kedua tanganku sejak tadi sudah aktif meremas-remas payudaranya, kemudian kucium bibirnya dengan mesra.
Dan terdengar elahan napasnya, "Aaaaah.....luar biasa Mas.....makasih ya."
"Udah orga kan?" bisikku.
"Udah...masa gak terasa?"
Aku diamkan dulu penisku tertanam di dalam liang vagina Rahmi. Hitung-hitung ngasih kesempatan untuk rehat pada Rahmi dan juga untuk diriku sendiri.
Setelah Rahmi kelihatan pulih fisiknya, aku pun mulai mengayun penisku kembali. Dan aku tidak mengajaknya ke posisi-posisi lain. Biarlah, aku mau menikmatinya dengan posisi klasik saja.
Beberapa saat kemudian, "Mas....aaaah....Mas kuat banget sih? Mmm....jangan dilepasin di dalam ya Mas."
Aku mengangguk sambil memperganas ayunan penisku. Biasanya kalau pihak wanita sudah orgasme, liang kemaluannya suka jadi becek. Tapi vagina Rahmi tidak. Entah apa rahasianya. Memang basah dan licin tapi tidak becek.
Tapi aku tak mau persetubuhan ini menjadi siksaan buat Rahmi. Maka setelah Rahmi orgasme lagi yang kedua kalinya, aku pun buru-buru "menyelesaikannya". Kupercepat gerakan batang kemaluanku. Dan ketika terasa sudah mau ejakulasi, buru-buru kucabut batang kemaluanku dari liang vagina Rahmi. Aku bergerak cepat, meletakkan batang kemaluanku di antara sepasang buah dada Rahmi. Tadinya aku ingin melepaskan di buah dada Rahmi. Tapi ia cepat menangkap batang kemaluanku yang sedang gawat-gawatnya ini, kemudian menyelomotinya dengan binal sekali. Dan oooohhh....moncong penisku menembak-nembakkan air mani ke dalam mulut Rahmi. Yang membuatku terharu, Rahmi menelan seluruh air mani yang terpancar ke dalam mulutnya. Tak disisakan setetes pun.
Jujur...ini luar biasa buatku.
0 Komentar