Speaker hpku sengaja kuaktifkan, supaya Rahmi bisa mendengar pembicaraanku dengan Bang Yana :
"Bang, ini orang dari Samarinda sudah datang. Copy semua sertifikat dan master plan sudah diserahkan," kataku di dekat hpku.
"Baguslah. Kapan kamu mau survey ke Samarinda?"
"Kapan juga bisa. Tapi apa orangnya gak usah dipertemukan dengan Abang?"
"Lho...aku kan lagi di Papua."
"Abang di Papua? Kapan terbang ke Papua? Kok aku gak dikasih tau?"
"Baru tadi pagi tibanya juga. Ada acara mendadak sih. Gak sempat ngasitau siapa-siapa. Masalah yang di Samarinda, kamu survey aja ke sana. Lalu kamu yang putuskan kelanjutannya. Kamu kan adikku. Lagian kamu bukan pemula di dunia bisnis apa pun."
"Iya Bang. Jadi masalah M.O.U dan M.O.Anya tandatangani sama aku aja, gitu?"
"Ya iyalah. Pokoknya handle semuanya.Kamu decision makernya lah. Kamu cuma wajib lapor aja sama aku nanti. Oke?"
"Oke Bang. Mungkin dua hari lagi juga aku mau terbang ke Kaltim."
"Oke. Uang transport dan untuk notaris segala macam nanti talangin aja dulu ya."
"Beres Bang. Yang penting digantinya harus dua kali lipat. Hahahahaaa..."
"Alaaa....itu si soal gampang, Yad. Izin-izin sudah lengkap kah?"
"Sudah lengkap Bang. Kalau sudah clear surveynya, tinggal start aja."
"Oke. Yang teliti kerjanya nanti ya. Pandai-pandai juga adaptasi sama penduduk setempat. Ohya, kamu harus ajak Bu Arini yang arsitek itu, supaya kalkulasinya akurat. Nanti aku telepon Bu Arininya, supaya siap-siap untuk dampingi kamu di Samarinda. Ini aku sudah mau meeting sama orang-orang Amerika."
"Iya Bang...semoga sukses ya."
"Amien."
Setelah percakapan dengan Bang Yana ditutup, aku menoleh kepada Rahmi, "Dengar sendiri kan?"
Rahmi mengangguk dengan senyum manis sekali, lalu menelungkupi dadaku yang masih telanjang, mencium bibirku dengan mesra dan tanyanya, "Yang ditelepon tadi kakak kandung?"
"Iyalah, namanya juga dekat, dia Yana, saya Yadi."
"Nama panjangnya Suryana dan Suryadi, gitu?"
Aku mengiyakan. Lalu kami tertidur pulas.
Rasanya kebersamaanku dengan Rahmi terlalu singkat. Karena dua hari kemudian kami harus terbang ke Balikpapan, kemudian melanjutkan perjalanan ke Samarinda. Mbak Arini, arsitek yang selalu dipercaya untuk merancang dan melaksanakan pembangunan beberapa perumahan milik Bang Yana, masih ada kesibukan di Bandung dan baru menjumpaiku di Samarinda sehari berikutnya.
Semuanya berjalan mulus. Dengan cepat Mbak Arini melakukan tugasnya, sehingga dua hari kemudian aku dan Mbak Arini bisa meninggalkan Samarinda, menuju Balikpapan, kemudian terbang ke Jakarta.
Dalam penerbangan dari Balikpapan ke Jakarta ini, aku lebih banyak tercenung, membayangkan segala yang telah terjadi dengan Rahmi. Sampai hatiku mengumpat,"Ada apa dengan diriku ini? Kenapa wajah Rahmi terbayang-bayang terus? Apakah aku sudah jatuh cinta padanya? O, jangan! Jangan sampai ada cinta dengan siapa pun, karena aku sudah punya istri ! Aku hanya boleh mencintai istriku seorang ! Tapi kenapa wajah Rahmi terbayang-bayang terus?"
Pada saat masih berada di dalam penerbangan itulah tiba-tiba kurasakan tanganku digenggam oleh Mbak Arini yang duduk di sampingku, disertai ucapannya perlahan, "Sebenarnya saya takut naik pesawat terbang. Makanya waktu bolak-balik ke Surabaya juga selalu naik kereta api."
"Baca-baca doa aja, Mbak..." sahutku sambil berusaha menenangkan dengan mengelus punggung tangan yang sedang meremas tangan kiriku ini.
Tapi...justru pada saat itulah otak kotorku tiba-tiba saja memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya kukhayalkan. Mengkhayalkan seperti apa rasanya kalau aku meniduri perempuan setengah baya seperti Mbak Arini ini? Jauh...jauh benar aku mengkhayalkannya.
Sampai kami mendarat dengan mulus di bandara Soekarno-Hatta pun khayalan itu tetap menggodaku. Soalnya aku belum pernah merasakan menggauli wanita setengah baya. Padahal sering aku mendengar bincang-bincang di antara teman-temanku sejak masih di SMA sampai sekarang, tentang kelebihan-kelebihan wanita setengah baya. Bahkan sering juga aku membaca di situs-situs dewasa, yang sengaja membuat wanita setengah baya sebagai salah satu kategorinya. Dan otak ngeresku lalu bertanya, "Seperti apa ya rasanya meniduri perempuan empatpuluh tahunan seperti Mbak Arini ini?"
Lalu, ketika kami duduk di café, sambil menunggu kedatangan sopirku, yang katanya terjebak macet di jalan, terlontar begitu saja tawaranku kepada arsitek kepercayaan Bang Yana itu, "Sudah malam begini, bagaimana kalau kita istirahat aja dulu di Jakarta, Mbak?"
Mbak Arini menatapku sesaat, lalu berkata, "Boleh juga tuh. Tapi besok pagi anterin saya ke Tanah Abang dulu...ada yang mau dibeli di sana."
"Boleh," kataku sambil mengangguk. Dan diam-diam memperhatikan Mbak Arini dengan sudut mataku. Sebenarnya dia seksi juga. Bertubuh tinggi, berkulit kuning langsat dan berwajah lumayan cantik. Dan yang paling menonjol pada dirinya, adalah bahwa tubuhnya itu tinggi montok. Seperti apa ya payudara wanita setengah baya itu? Apakah aku akan berhasil dengan tujuan ngeresku ini?
Di saat aku masih membayangkan semuanya itu, tiba-tiba hpku berdering. Herman meneleponku, "Saya sudah di depan, Pak. Apakah saya harus parkir dulu dan jemput Bapak?"
"Oh, gak usah. Tunggu aja di situ, sebentar kami ke sana," kataku sambil bangkit dan menoleh ke arah Mbak Arini, "Mari Mbak....sopir saya sudah datang," ajakku.
Mbak Arini pun segera bangkit dan menjinjing tas pakaiannya yang tidak terlalu besar. Lalu kami menuju ke depan, di mana mobilku sudah menunggu.
"Langsung ke Bandung, Boss?" tanya Herman setelah aku dan Mbak Arini duduk di jok belakang, sementara Herman sudah menghidupkan mesin mobilku.
"Jangan...masih ada yang mau diurus di Jakarta. Ke Palmerah aja," sahutku.
"Siap Boss," kata Herman sambil menjalankan mobilku di jalan ke luar.
Rasanya tanganku sudah gatal...ingin menggerayangi Mbak Arini di dalam mobilku yang sudah berada di jalan tol ini. Tapi aku hanya berani memegang tangannya sambil berkata, "Sekarang udah hilang rasa takutnya kan?"
Mbak Arini tersenyum, "Tadi, begitu mendarat juga hati saya udah plong."
Lalu kubisiki telinganya, "Kalau masih ada takut-takutnya, nanti saya pelukin semalam suntuk."
Mbak Arini menatapku. Dan mencubit pahaku. Lalu membisiki telingaku, "Emang mau melukin perempuan yang udah tua gini?"
Kujawab dengan bisikan lagi, "Mau banget...Mbak kan belum tua...masih sedeng-sedengnya. Umur Mbak paling juga baru tigapuluh."
"Ngaco, saya udah tigapuluhdelapan Dek."
"Masa?! Tapi kelihatannya seperti masih tigapuluhan kok," kataku, sengaja ingin membuat dia senang.
Seperti diberi angin, tanganku mulai berani mengelus lututnya yang tak tertutup gaun hitamnya. Ia diam saja. Tapi ketika tanganku mau merayap ke pahanya yang terasa masih kencang, ia memberi isyarat dengan telunjuk ke arah sopirku. Maksudnya jangan melakukan sesuatu yang kurang pantas, karena sopirku bisa melihat dari kaca spion.
Terpaksa aku menahan diri, meski diam-diam batang kemaluanku sudah mulai menegang.
Gilanya, aku mulai nakal. Kutaruh bantal dari sandaranku ke atas pahaku. Lalu kutarik tangan Mbak Arini ke bawah bantal bujur sangkarku, sampai menyentuh ritsleting celana jeansku. Lalu berbisik ke telinga wanita itu, "Si ade udah bangun. Kasihan."
Lalu kutarik ritsleting celanaku, supaya tangan Mbak Arini bisa menyentuh sesuatu yang sudah ngaceng ini. Mudah-mudahan saja ia mau melakukan yang kupikirkan.
Dan...benar-benar tangan Mbak Arini menyelusup ke dalam...ke balik celana dalamku.
Ia melotot lalu membisikiku, "Gede banget.....!"
"Nanti saya kasihin buat Mbak," bisikku.
Ia tak berkata-kata lagi. Tapi tangannya kerasan, memegang batang kemaluanku sambil meremasnya perlahan. Membuat batang kemaluanku semakin tegang.
Tapi tak lama kemudian mobil sudah membelok ke pekarangan sebuah hotel yang sering kujadikan tempat nginap kalau sedang berada di Jakarta. Konon hotel ini dulunya sebuah apartment, namun lalu dijadikan hotel bintang tiga.
Buru-buru kutarik lagi ritsletingku sambil berkata kepada Mbak Arini, "Sudah sampai."
Herman selalu senang kalau mengantarku ke hotel seperti ini. Karena aku selalu memberinya uang makan yang lebih banyak daripada semestinya. Hitung-hitung uang tutup mulut aja.
Kami kebagian kamar di lantai tiga. Di dalam lift, sikap Mbak Arini jadi jauh berbeda. Ia terus-terusan menggandeng lenganku. Tapi tidak lama kemudian lift itu sudah berhenti dan buka pintu di lantai tiga.
Seperti biasa, kuberi tip kepada bellboy yang mengantarkan dan menjinjing tas kami. Kemudian kututupkan pintu kamar hotel dari dalam.
Kupeluk pinggang Mbak Arini dengan nafsu yang semakin bergejolak, "Akhirnya....yang saya khayalkan sejak kita berada di Samarinda....sekarang terwujud juga," kataku berbohong.Padahal sebenarnya pikiran ngeres itu baru timbul waktu berada di dalam pesawat terbang dari Balikpapan ke Jakarta tadi.
"Tapi...saya punya suami Dek," kata Mbak Arini bernada membentengi diri, tapi lengannya malah mendekap pinggangku.
"Biar aja. Kan saya juga punya istri..." kataku sambil meremas-remas bokongnya yang masih tertutup gaun hitamnya.
"Saya mau mandi dulu ah. Keringat Samarinda dan Balikpapan harus dibersihkan dulu."
"Iya," aku mengangguk, "Saya juga harus mandi dulu. Biar badan kita bersih dan seger."
Lagi-lagi aku berniat mengawalinya di kamar mandi. Seperti dengan Mona dan Rahmi.
Mbak Arini tidak menolak sedikit pun ketika aku mengikutinya, masuk ke dalam kamar mandi. Tenang saja ia melucuti dirinya sendiri, sampai tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhnya. "Tuh lihat....badan yang sudah tua gini gak menarik lagi kan?" cetusnya sambil melepaskan kancing kemeja tangan pendekku satu persatu.
"Siapa bilang? Berani sumpah....Mbak sangat seksi di mata saya," kataku sambil meremas buah dada montoknya yang ternyata masih kencang juga. Pasti ada perawatan khusus yang membuat payudara montoknya masih kencang.
Ketika aku sudah telanjang, Mbak Arini pun melepaskan celana dalamnya. Hmmm...indah sekali tubuh wanita setengah baya ini. Ia punya sepasang payudara yang gempal, pinggang yang kecil dan bokong yang besar. Sehingga kalau diumpamakan, tubuh Mbak Arini itu laksana biola stradivarius.
Dan ketika pandanganku tertumbuk ke bagian di antara kedua pangkal paha Mbak Arini, wow....tampak sebentuk kemaluan berbulu lebat sekali. Aku suka banget melihatnya. Dan tak sabar lagi, ingin segera menjamahnya.
Tapi Mbak Arini malah mendahuluiku. Ia memegang batang kemaluanku yang masih berdiri kencang ini sambil geleng-geleng kepala, "Edan...ternyata ada juga ya penis yang sebesar dan sepanjang gini..."
AKu membalasnya dengan mengelus kemaluan Mbak Rini sambil berkomentar, "Ternyata ada juga ya kemaluan berjembut selebat gini...merangsang sekali Mbak...oooh....bisa berhari-hari saya tahan Mbak di sini nanti."
"Boleh aja. Saya malah belum telepon suami. Saya gak bilang kalau hari ini sudah terbang ke Jakarta. Pasti disangkanya saya masih di Samarinda. Karena saya minta izinnya seminggu. Ternyata dua hari juga tugas saya sudah selesai."
"Oke, berarti Mbak masih punya waktu lima hari lagi. Mulai malam ini kita punya tugas yang sama selama lima hari."
"Apa tuh tugasnya?"
"Harus saling memuasi satu sama lain."
"Hmmm....siapa takut?" desis Mbak Arini sambil memegang penisku dengan tangan kanan, lalu mencolek-colekkan ke belahan kemaluannya yang dingangakan oleh tangan kirinya.
Tiba-tiba terdengar bunyi hp berdering. Mbak Arini kaget dan bergegas lari ke luar kamar mandi dalam keadaan telanjang. Memang hp dia yang berbunyi. Aku pun ikut nguping di ambang pintu kamar mandi.
Mbak Arini berkata di dekat mic hp yang ditempelkan ke kupingnya,"Iya Mas...sehat...Mas sama anak-anak sehat juga kan?........banyak banget kerjaannya Mas...sepertinya sepuluh hari lagi baru selesai. Gakpapa kan? Iya...iya....makasih Mas. Iya...Mas juga take care ya. Emwuaaah...."
Mbak Arini menutup sambungan teleponnya. Lalu melemparkan hpnya ke atas kasur. Lalu menghampiriku sambil berjingkrak-jingkrak, "Asyiiiik ! Saya dikasih izin sepuluh hari lagi ! Hihihihi....asyiiiiik !:"
Aku ikut senang mendengarnya.Karena kata-kata Mbak Arini itu kuanggap sebagai gambaran, bahwa ia ingin berlama-lama denganku di hotel ini. Bodoh sekali kalau aku menolak makanan lezat yang sudah tersaji di depan mataku ini. Aku akan bisa menikmatinya selama sepuluh hari sepuluh malam. Pasti aku akan kenyang menggasaknya kapan saja aku mau.
Mungkin besok aku pun akan menelepon istriku dan kasih laporan bahwa pekerjaanku di Samarinda masih banyak sekali.
Ketika Mbak Arini sedang mengikat rambut panjangnya, aku mulai memutar kran shower air panas. Membersihkan badanku dengan sabun cair yang selalu kubawa tiap kali bepergian.
Ketika Mbak Arini menghampiriku, langsung kupeluk pinggangnya sambil mendaratkan kecupan di bibir sensualnya. Air hangat memancar dari shower, membasahi tubuh kami. Aku pun jadi bersemangat untuk menyabuni tubuh yang masih terasa padat itu.
"Mbak suka senam ya?" cetusku waktu menyabuni buah dada Mbak Arini.
"Iya," Mbak Arini mengangguk, "Kan biar jangan cepat gembyor..."
Aku tak mau berkata-kata lagi, karena mulai asyik menyabuni kemaluan Mbak Arini seperti pernah kulakukan kepada Rahmi beberapa hari yang lalu. Di sini aku bisa menyimpulkan, bahwa lain perempuan lain rasa dan kesannya. Jadi salah sekali kalau orang bilang "Perempuan kan sama saja rasanya. Makanya satu istri aja takkan habis". Tapi biarlah ada orang berpendapoat seperti itu. Yang jelas, waktu menyabuni kemaluan Mbak Arini ini sensasi yang ditimbulkan berbeda dengan penyabunan kemaluan Mona maupun Rahmi. Terasa empuk-empuk kenyal waktu dua jariku menyelusup ke dalam liang kemaluan arsitek ini. Apalagi Mbak Arini makin lama makin aktif. Terus-terusan menyabuni batang kemaluanku dan menggerak-gerakkan genggamannya seperti sedang mengocok penisku. Bahkan pada suatu saat ia berjongkok di depanku. Menyelomoti batang kemaluanku dengan lahapnya.
Tapi aku tak mau berlama-lama dioral olehnya, takut ngecrot sebelum waktu yang kuinginkan. Maka kugerakkan tubuhnya agar berdiri lagi. Kukecilkan pancaran shower air hangat itu. Lalu dengan sigap kumainkan lagi liang kemaluannya dengan jemariku, dibantu oleh licinnya air sabun. Dan ketika ia mencolek-colekkan lagi batang kemaluanku ke mulut vaginanya, aku tak mau pasif lagi. Kudorong batang kemaluanku dan.....blesssssssssssss....langsung masuk dengan mudahnya ke dalam liang yang empuk dan hangat dan licin itu.
"Duuuh...dimasukin?! Aaaaah...terasa banget panjang gedenya...." Mbak Arini berdiri menyandar di dinding kamar mandi, sementara aku langsung lancar mengentotnya. Batang kemaluanku lancar sekali maju mundur di dalam liang kemaluan wanita setengah baya ini. Dan kedua tanganku bebas menggerayangi toge dan bogenya.
Mbak Arini pun tidak bersikap pasif. Meski sambil berdiri menyandar ke dinding, ia masih bisa meliuk-liukkan pinggulnya, sehingga batang kemaluanku serasa dibesot-besot, diperas-peras dan dipilin-pilin oleh liang kemaluannya.
Ketika aku meremas-remas bokongnya, ia pun membalas dengan meremas-remas bokongku. Dan desahan-desahan histerisnya mulai mengalahkan bunyi gemericik air yang terpancar kecil dari shower. Aaaah....hhhh....shhhhhh....hsssssss....shhhhhhh...hssssssss....shhhhhhh.....
Terkadang ia pun berkata tersengal-sengal, "Aaaa....aaaah Deeek.....ini ee...enak bangeeet...Deeek........ooooh............"
Dan: "Uuuuhhhh....sa....ssaya udah mau....mau lepas Deeek...ooooh....iya...entot yang kencang Deeeek...iya...iya gitu...oooooh....mmmmmmmmmmhhhhh..."
Sebenarnya aku pun tak mau berlama-lama lagi bersetubuh sambil berdiri begini. Karena itu aku berusaha mempercepat ejakulasiku dengan mempercepat dan memperkeras enjotanku...sampai akhirnya kubenamkan sekuat-kuatnya....disusul dengan berloncatannya semprotan air mani dari moncong meriamku......ooooh...fantastis sekali ngecrot berbarengan dengan orgasme partner seksualku.....sehingga kami saling cengkram seolah ingin meremukkan tubuh partner kami....
"Maaf, tadi dilepas di dalam, gakpapa kah?" tanyaku setelah mencabut batang kemaluanku yang sudah melemah.
"Gakpapa," sahut Mbak Arini, "saya kan ikutan KB. Duuuh...barusan kok edan banget sih rasanya? Punya Dek Yadi panjang gede gitu sih...."
Aku cuma tersenyum lesu, karena letihnya habis ejakulasi.
Tapi kami mandi lagi sebersih-bersihnya. Mbak Arini lebih teliti lagi membersihkan setiap sela di tubuhnya, termasuk kemaluannya yang berlepotan spermaku.
"Segerrrr..." kata Mbak Arini setelah mengeringkan tubuhnya dengan handuk.
"Tapi jadi lapar," kataku yang sudah duluan mengenakan pakaian.
"Restorannya di bawah ya?"
"Iya, di lantai satu. Ngapain turun ke bawah? Pesan aja, nanti dikirim ke sini."
Aku keluar duluan. Mendekati pesawat telepon yang terletak di atas meja kecil dekat tempat tidur. Lalu kupijit nomor restoran hotel.
"Saya mau nasi goreng seafood," kata Mbak Arini sambil menghampiriku, dengan cuma melilitkan handuk hotel di pinggangnya.
"Sama," aku mengangguk, "minumnya apa?"
"Air jeruk panas aja. Jangan jus dingin.".
Lalu aku bicara dengan bagian dapur, "Minta nasi goreng seafood dua, air jeruk panas satu, bir hitam dingin tiga botol ya."
Setelah makan dan menghabiskan bir hitam dua botol, aku mengajak Mbak Arini jalan-jalan, tapi ia menolak, "Udah kemaleman...Mending juga di sini...besok siang aja kalau mau jalan-jalan sih."
"Iya ya...mendingan juga berduaan gini...tenang, gak ada yang ganggu," kataku sambil memasukkan tanganku ke belahan kimononya yang terbuat dari kain handuk biru muda. Dan berhasil menyentuh kemaluannya yang berbulu lebat itu, karena ia tidak mengenakan celana dalam.
"Mbak..." kataku waktu tanganku sedang mengelus bulu kemaluan Mbak Arini di balik kimononya, "punya Mbak enak banget...sangat mengesankan...."
"Punya Dek Yadi juga enak banget," katanya sambil memasukkan tangannya ke balik celana piyamaku dan langsung menggenggam batang kemaluanku. Lalu kurasakan remasan lembutnya, membuat penisku menegang lagi.
"Mbak...dalam semalem kuat berapa kali?" tanyaku sambil menyelinapkan jemariku ke celah kemaluannya yang terasa hangat.
"Saya kan perempuan. Yaaa...sekuatnya suami saya aja..."
"Delapan kali semalam kuat gak?"
"Sepuluh kali juga kuat...perempuan kan gak perlu nunggu ngaceng dulu seperti laki-laki."
"Ohya?! Pernah threesome gak?"
"Dua cewek satu cowok maksudnya?"
"Kebalik. Dua cowok satu cewek."
"Belum sih. Nonton di bokep mah sering."
"Gangbang gimana?"
"Ah, gak mau gangbang mah. Nontonnya aja takut."
"Kalau threesome mau?"
"Iiih...sama siapa?"
"Saya punya sahabat. Kalau diajak pasti mau Mbak."
"Iiih...masa sih?"
"Kan jangan kepalang bikin petualangan. Mbak bisa dibikin sangat puas lho."
"Iyalah...pasti kenyang...dipuasin sama dua cowok. Tapi gak usah mengkhayal deh."
"Saya gak mengkhayal. Kalau sobat itu saya telepon, besok juga pasti datang ke sini."
Mbak Arini terlongong. Seperti mempertimbangkan tawaranku.
"Umurnya sebaya dengan umur saya. Orangnya juga ganteng, kayak saya lah. Dan...penisnya kira-kira sama dengan punya saya. Malah rada panjangan dikit..."
"Masa?" Mbak Arini menatapku. Dan aku yakin dia sudah mulai tertarik.
"Kita telepon sahabat saya itu ya," kataku sambil melihat-lihat reaksi Mbak Arini. Tapi ia tidak bereaksi.
Lalu kuambil hpku dan kupijat nomor Edo. Speakernya sengaja kuaktifkan supaya Mbak Arini bisa ikut mendengarkan.
"Lagi di mana?"
"Di Jakarta, Boss. Saya dengar Boss lagi di Samarinda ya?"
"Iya, lagi ngurus pekerjaan kakak saya. Tapi sekarang sudah di Jakarta juga."
"Ohya?! Kalau gitu saya bisa numpang pulang ke Bandung dong Boss."
"Gampang itu sih. Hihihihi...ada kabar baik nih...ada ibu arsitek sekarang sedang bersama saya. Mau join?"
"Serius Boss?!"
"Kapan saya pernah bohongin sahabat sendiri?"
"Oke... saya segera merapat. Di mana Boss sekarang?"
Lalu kusebutkan nama dan alamat hotel tempatku menginap. Sekalian kusebut nomor kamarku juga.
Setelah menutup hubungan telepon, aku menoleh ke arah Mbak Arini, "Kebetulan sahabat saya itu lagi ada di Jakarta. Berarti kita akan menghabiskan malam ini dengan sesuatu yang luar biasa."
"Dek Yadi pernah maen threesome sama cewek lain ya?"
"Jujur aja pernah. Tapi cuma satu kali itu. Dengan sahabatku itu juga. Wuiih....pokoknya seru Mbak. Potensi saya seolah meningkat drastis. Yang biasanya paling kuat cuma dua kali sehari, bisa jadi lima kali. Teman saya juga sama...."
"Wow, kalau dijumlahkan jadi sepuluh kali cewek itu digauli sama Dek Yadi dan temannya?"
"Hehehe...memang iya."
"Tapi ceweknya bukan PSK dan sejenisnya kan?"
"Oh, sorry Mbak. Seumur hidup saya belum pernah menyentuh PSK, perek dan sebangsanya."
"Takut kena penyakit ya?"
"Ya iyalah. Seninya juga gak ada."
Mbak Arini tersenyum. Lalu menciumi pipi dan leherku.
"Mbak udah siap threesome kan?" tanyaku.
"Hmmm...gimana ya? Mmmm...Iya deh. Kepalangan basah. Tapi...teman Dek Yadi itu ganteng gak?"
"Ganteng Mbak. Lihat aja nanti."
"Ih...saya jadi degdegan. Soalnya belum pernah gitu-gituan. Yang namanya selingkuh aja baru ngalami sekarang."
"Ohya? Tapi jujur deh...yang tadi enak kan?" kataku sambil menanggalkan kimono Mbak Arini, lalu mendorong dadanya agar celentang.
"Kalau gak enak, saya udah ngajak pulang sekarang," katanya sambil merenggangkan sepasang paha mulusnya, karena aku mulai mendekatkan wajahku ke kemaluannya yang berbulu lebat.
Dan Mbak Arini cuma menatap plafon kamar hotel, tak berkata-kata lagi, karena tanganku mulai menyibakkan bulu kemaluannyabibir dan lidahku, sementara bibir dan lidahku mulai menggasak bibir kemaluannya....lalu menjilati kelentitnya...mula-mula lembut saja....tapi makin lama makin menggila....sehingga kurasakan kedua kakinya mulai terkejang-kejang.
Baru beberapa saat kulakukan itu, Mbak Arini sudah memberi isyarat agar aku mulai memainkan peran penisku. Aku pun naik ke atas tubuh Mbak Arini yang sudah siap untuk kusetubuhi lagi ini. Dengan sekali dorong saja batang kemaluanku berhasil kubenamkan ke dalam liang surgawi Mbak Arini....blesssssssssssssssssssss.......
DIsusul dengan dekapan hangatnya arsitek kepercayaan kakakku itu. Maka aku pun mulai mengayun batang kemaluanku....makin lama makin cepat.....membuat Mbak Arini terengah-engah lagi.
Namun tiba-tiba terdengar dering hpku yang kuletakkan di dekat bantal. Kulambatkan gerakan penisku, karena aku sedang mengambil hpku. Lalu kudengar suara Edo di hpku, "Boss...saya sudah di depan pintu kamar Boss."
"Buka aja, gak dikunci," sahutku singkat. Lalu kulanjutkan mengenjot Mbak Arini yang terasa makin nikmat ini.
"Gak... dikunci?" tanya Mbak Arini heran.
"Iya...biar kita jangan terganggu," kataku sambil mempercepat ayunan batang kemaluanku.
"Tapi...ki...kita lagi telanjang....lagi beginian..."
"Sttt...jangan ribut....dia kan bakal gabung sama kita...."
Pintu kamar hotelku terbuka. Tampak Edo masuk, dengan celana denim dan baju kaus yang sama-sama hitam warnanya. Jujur kuakui, Edo itu ganteng. Mungkin aku kalah sedikit kalau dibandingkan dengan dia.
"Waaah...pertandingannya sudah dimulai," Edo menghampiriku setelah menutupkan dan mengunci pintu.
Mbak Arini tampak canggung waktu Edo mulai mendekati kami. Mungkin karena ia malu, ada orang yang belum dikenal melihatnya dalam keadaan telanjang dan sedang disetubuhi pula.
Aku sengaja mengangkat kepala dan dadaku dengan menahankan kedua telapak tangan di kasur. Kataku kepada Edo, "Kenalan dulu dong...ini Mbak Arini....ini Edo...tapi kenalannya jangan pake tangan....harus pake bibir....biar langsung akrab."
Mbak Arini seperti terkejut mendengar usulku itu. Tapi Edo langsung membungkuk dan mengarahkan wajahnya ke wajah Mbak Arini, lalu mencium bibir arsitek seksi itu. Bahkan agak lama mereka berciuman.
"Oke....cukup..." kataku, "kami mau selesaikan dulu ya....nanggung nih....tapi kalau mau nonton, harus telanjang dulu, biar fair..."
Edo melepaskan ciumannya di bibir Mbak Arini, lalu menanggalkan baju kaus dan celana denimnya. TInggal celana dalam yang masih tersisa di tubuhnya. Lalu ia duduk di dekat kapala Mbak Arini, menyandar ke sandaran bed.
Dan...ternyata Mbak Arini tidak tinggal diam. Tangannya diam-diam merayap ke pangkal paha Edo yang sedang duduk melonjorkan kaki di dekat kepalanya. Lalu kulihat tangan Mbak Arini masuk ke balik celana dalam Edo. Padahal aku sudah mempercepat ayunan penisku lagi.
Mungkin Mbak Arini ingin membuktikan ucapanku, bahwa penis Edo panjang gede seperti punyaku.
Di sisi lain, aku punya penilaian tersendiri mengenai Mbak Arini ini. Mungkin sebenarnya ia seorang wanita hypersex, namun selama ini cuma mendapatkan persetubuhan yang biasa-biasa saja. Maka mungkin Mbak Arini di dalam hatinya menyambut ide threesome ini, meski sikapnya pura-pura begini lah begitulah....hahahaaa...maklum perempuan, suka pura-pura ogah padahal pengen. Terbukti kini, ketika aku masih asyik mengenjot vaginanya, Mbak Arini malah asyik memainkan tangannya di balik celana dalam Edo. Bahkan lalu ia menyembulkannya dari balik celana dalam itu.
Mungkin Mbak Arini sudah gemas, ingin segera merasakan terjangan batang kemaluan Edo. Aku pun tak mau egois. Kupercepat enjotan batang kemaluanku, dengan maksud ingin cepat-cepat ejakulasi, agar Mbak Arini segera bisa menikmati kehangatan sahabatku.
Aku pun merasakan hendak ejakulasi. Cepat kucabut batang kemaluanku dari liang vagina Mbak Arini, secepatnya juga kuurut-urut penisku di atas perut perempuan seksi itu. Dan....sretttt...sraaaaattt...sret....srottttt.....sret...sret... moncong penisku menembak-nembakkan spermaku ke atas perut Mbak Arini.
Sengaja hal itu kulakukan, agar Edo tidak cuma kebagian lubang becek. Hahahaaa...
Ada perasaan cemburu ketika melihat Edo disambut dengan sikap bergairah waktu sudah telanjang dan mulai menggumuli Mbak Arini dengan garangnya. Namun itu cuma salah satu resiko berthreesome. Karena mungkin saja Mbak Arini sekarang lebih tertarik pada figur Edo.
Biarlah. Toh aku sudah ejakulasi. Mendingan juga ke kamar mandi, lalu mandi dengan air hangat, supaya badanku segar lagi.
0 Komentar