Di dalam dunia bisnisku, ada rekan yang kuanggap sebagai sahabat terdekatku. Edo namanya (maaf, bukan nama sebenarnya). Tapi ia seperti rekan-rekan yang lain, Edo pun selalu memanggilku Boss. Entah kenapa orang-orang di kelompokku selalu memanggilku boss. Padahal rekan-rekan semuanya kuanggap sejajar denganku, tidak ada yang atasan dan tidak ada yang bawahan. Tapi mungkin karena aku selalu berusaha murah hati, mereka lalu menganggapku sebagai boss. Dalam setiap perjalanan jarak jauh, misalnya, aku tak pernah berhitung-hitung untuk memakai mobilku berikut masalah bensinnya selalu aku yang menanggungnya. Meski urusan bisnis belum clear, aku tak pernah pelit untuk mentraktir makan kepada siapa pun yang sedang bersamaku. Apalagi soal rokok, aku tak pernah pelit-pelit.
Yah, maklumlah di antara rekan-rekan bisnisku tidak banyak yang sudah lumayan mapan seperti aku. Kebanyakan justru masih payah hidupnya, sehingga banyak yang mati-matian mencari informasi untuk target bisnis kelompokku. Sementara aku lebih banyak duduk manis, sambil menunggu informasi baru dari rekan-rekanku.
Kalau aku dianggap "number one" di dalam kelompok bisnisku, maka mungkin yang bisa dianggap "number two" adalah Edo itu. Karena rumahnya selalu dijadikan tempat kumpul-kumpul kelompok bisnisku, sehingga rumahnya sering mendapat julukan basecamp bagi kelompokku.
Edo memang pantas mendapat gelar orang kedua setelah aku. Karena selain pintu rumahnya selalu terbuka untuk rekan-rekan lain, ia juga tak pernah pelit-pelit untuk menyuguhi makanan-minuman kepada siapa pun yang sedang berkumpul di rumahnya.
Usia Edo boleh disebut sebaya denganku, sama-sama 30an lebih sedikit, begitu. Kami juga sama-sama sudah punya anak yang masih kecil.
Di antara kelompok bisnisku, Edo dan aku boleh disebut yang paling muda. Karena rekan-rekan yang lain rata-rata usianya di atas 40 tahun. Bahkan ada yang sudah 60 tahun lebih, tapi masih giat mencari duit dan bergabung dengan kelompokku.
Pada suatu hari, seperti biasa aku mendatangi rumah Edo untuk kumpul-kumpul sambil mencari-cari info bisnis. Tapi hari itu rumah Edo terasa sepi, belum ada rekan lain yang datang. Aku dan tuan rumah duduk di teras depan, yang biasa dijadikan tempat ngobrol. Kalau ada yang serius, barulah tamunya dipersilakan masuk ke dalam.
Setelah ngobrol ke barat ke timur, akhirnya Edo menanyakan sesuatu yang di luar masalah bisnis, "Boss....kelihatannya Mona itu udah dapet ya sama Boss?"
Aku terhenyak, sedikit kaget, karena tadinya kupikir tiada orang lain yang tahu masalah yang satu itu. Tapi sebagai seorang lelaki, yang terkadang bangga dalam "prestasi mendapatkan cewek", aku malah mengiyakannya.
Kataku, "Abis...teman-teman lain gak ada yang minat, ya kumanfaatkan aja."
"Boss kan selalu paling cepat mendapatkan cewek. Yang dari Malang itu juga tau-tau udah jadi milik Boss aja," kata Edo sambil tersenyum, "Ngomong-ngomong, waktu pertama Boss embat, dia masih perawan?"
"Iya," aku mengangguk, "kasihan kan umur segitu belum pernah merasakan lelaki."
"Padahal kulitnya putih bersih gitu ya Boss."
"Iya...putih dan mulus banget."
"Wajahnya juga gak jelek. Tapi penampilannya terlalu judes, makanya cowok-cowok jadi males mendekati dia."
"Iya. Sebenarnya dia itu lugu. Bukan dingin atau judes."
"Terus...Boss mau serius sama dia?"
"Serius?"
"Iya. Maksudnya...Boss mau nikahin dia?"
"Gak lah. Aku kan udah punya istri."
"Nah...kalau takkan menjurus ke hubungan resmi kenapa gak sharing sama saya Boss?"
Aku agak kaget mendengar "usul" sahabatku itu. Memang aku sudah banyak membaca pengalaman orang-orang, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Tentang swinger, threesome, gangbang dan sebangsanya. Tapi saat itu aku belum pernah melakukannya. Maka aku menjawab, "Ya berjuang aja sendiri. Siapa tau dia mau."
"Bukan gitu Boss. Maksudnya...kita bikin acara bertiga...biar seru. Tentu harus Boss yang memfasilitasi dan membujuknya dulu supaya mau."
Aku tercenung. Usul Edo cukup menarik. Tapi apakah Mona takkan menolak? Lalu bagaimana caranya supaya dia mau dithreesome?
"Boss," kata Edo lagi ketika aku masih tercenung, "Hari Minggu kita kan mau eksekusi pabrik bangkrut yang di Bogor itu."
"Terus?" aku memandang sahabatku.
"Kita ajak aja Mona," sahut Edo, "Dia kan teliti sekali kalau soal hitung menghitung. Kita terjunkan saja dia ke lapangan, sementara kita cukup hadir saja."
"Pembongkaran pabrik itu takkan cukup seminggu."
"Justru itu....kita nginep di hotel...lalu siangnya kita bekerja di lokasi, malamnya nginep di hotel."
"Hahahaa....sampeyan ini ada aja akalnya Do. Oke....nanti Mona kuajak. Mudah-mudahan aja dia lagi bersih pada waktunya."
"Maksud Boss bersih gimana?"
"Ya bersihlah, gak sedang datang bulan. Kalau lagi menstruasi kan gak bisa diapa-apain."
"Oh...iya...iyaaa...."
Pintu depan terbuka. Raisha (istri Edo) muncul, dengan dua cangkir kopi mengepul dan sepiring kue lapis legit di atas bakinya. Spontan kuhentikan pembicaraan mengenai Mona itu.
"Wah, kalau bertamu ke sini selalu merepotkan ya?" kataku ketika Raisha meletakkan cangkir-cangkir kopi dan piring kristal dengan kue lapis legitnya di atas meja kecil.
"Aaah...seadanya aja Pak," sahut Raisha sambil tersenyum, Silakan diminum..."
"Iya," aku mengangguk, "terimakasih."
Ketika istri Edo masuk lagi ke dalam, hpku bergetar. Ada BBM. Cepat kubuka. Ternyata dari Mona. Isinya, " Pak, barang itu harus disurvey, kapan bapak bisa ke sana?"
Itu kode yang kuanjurkan kalau ia merasa kangen padaku. Karena ada Edo, aku balas dengan bbm lagi, "Nanti jam 4 sore standby di tempat yang tempo hari ya."
"Oke."
Tak lama kemudian rekan-rekanku berdatangan satu persatu. Lalu kami tenggelam dalam pembahasan bisnis.
Jam 15.30 aku pamitan kepada rekan-rekanku. Edo mengantarkanku sampai di mobil yang kuparkir di depan rumahnya. Setengah berbisik ia bertanya, "Gimana Boss acara kita hari Minggu? Sudah pasti?"
"Sekarang kan baru Senin. Harus tau dulu jadwal menstruasinya. Kepastiannya mungkin besok. Oke?" sahutku perlahan juga, sambil menepuk bahu Edo.
"Oke Boss," Edo mengangguk-angguk dengan sorot ceria.
Belasan menit kemudian mobilku sudah kuparkir di depan sebuah rumah makan kecil. Inilah tempat yang sudah kujanjikan dengan Mona. Waktu melangkah masuk ke dalam rumah makan itu, pandanganku mencari-cari ke setiap sudut rumah makan. Mona belum datang. Langsung saja kupesan makanan, karena kebetulan perutku lapar juga.
Setelah kuhabiskan makanan yang kupesan, barulah Mona muncul. Dalam gaun terusan berwarna krem. Wow...ternyata kalau berdandan, Mona itu tampak manis juga.
"Udah lama menunggu?" tanyanya sambil duduk di kursi yang bersebrangan denganku.
"Lama sih gak, seperempat jaman gitu lah. Makan dulu ya."
"Masih kenyang, tadi makan dulu sebelum pergi ke sini."
Beberapa saat kemudian aku sudah di belakang setir mobilku bersama Mona yang duduk di sampingku.
"Mona kalau berdandan kelihatan manisnya," kataku sambil merayapkan tangan kiriku ke lutut gadis itu.
"Ah...Mas bisa gombal juga ya."
"Beneran, itu bukan gombal. Ohya...kira-kira hari Minggu yang akan datang lagi M gak?"
"Baru aja bersih dua hari yang lalu Mas. Emang kenapa?"
"Ada kerjaan di Bogor. Mungkin bisa semingguan di sana. Bisa ikut kan?"
"Iya," Mona mengangguk, "dari dulu saya kan gak pernah menolak ajakan Mas."
"Masalahnya kerjaan di Bogor itu butuh waktu agak lama."
"Gak apa-apa. Demi Mas...berbulan-bulan juga saya siap menemani."
Aku cuma tersenyum mendengar pernyataan itu.
Di mulut jalan kecil, kubelokkan mobilku. Lalu kuparkir di pelataran parkir sebuah hotel yang tersembunyi, tidak kelihatan dari jalan raya. Aku senang memakai hotel ini, karena suasananya tenang dan nyaman. Memang bukan hotel berbintang, tapi fasilitasnya lumayan bagus. Ada air panas, pakai AC dsb. Ekonomis tapi manis.
Mona sudah dua kali dibawa cek in di hotel ini. Dan kini untuk ketiga kalinya aku membawa Mona ke hotel ini.
Aku mendapat kamar di sudut lantai dua. Setelah memberikan tip kepada bellboy yang mengantarkanku ke kamar ini, kututupkan pintu, langsung kukunci. Dan duduk di pinggiran tempat tidur sambil menarik pergelangan tangan Mona.
Kududukkan Mona di atas pangkuanku, dengan wajah saling berhadapan.
"Sudah ke dokter?" tanyaku. Maksudku agar ia ikutan KB.
"Udah. Tapi untuk sementara hanya dikasih pil untuk sebulan. Kalau tidak ada reaksi negatif, baru nanti disuntik tiga bulan sekali atau enam bulan sekali katanya."
"Jadi sekarang aman buat dilepasin di dalam?!" kataku sambil mendekap pinggangnya erat-erat.
"Iya selama sebulan aman," sahutnya, "Nanti kalau udah disuntik si lebih lama lagi amannya."
"Sipppp !" cetusku sambil menyingkapkan gaunnya, lalu menanggalkannya.
Kucermati tubuh Mona yang tinggal mengenakan celana dalam dan bra itu. Sesungguhnya mulus sekali tubuh gadis ini. Tiada bekas luka atau apa pun di tubuhnya yang putih bersih ini. Aku beruntung bisa memiliki gadis ini, meski ia bukan istriku. Tapi mendadak aku teringat kata-kata Edo tadi: "....kalau takkan menjurus ke hubungan resmi kenapa gak sharing sama saya Boss?"
Dan ketika aku telah melepaskan branya, kuciumi leher dan puting payudara Mona, sementara khayalanku melayang-layang....membayangkan ketika aku sedang sharing dengan Edo di Bogor nanti. Apakah aku akan rela melihat tubuh semulus ini disetubuhi oleh Edo nanti? Ah...kenapa tidak rela? Toh Mona ini bukan istriku. Tapi benarkah aku akan merelakannya?
Entahlah. Yang jelas aku sudah menanggalkan celana dalam gadis ini. Kelihatan bulu kemaluannya sudah dirapikan, diguntingi di sana-sini. "Wow....kapan jembut lebat ini dirapikannya?"
"Kemaren," sahut Mona yang sudah menelentang pasrah di atas tempat tidur, "Kan Mas yang nyuruh dirapiin, biar jangan berantakan..."
"Iya, iya...ini lebih bagus..." kataku sambil mengelus-elus bulu kemaluan Mona yang sudah tampak rapi tapi tidak dibuang habis ini.
Mona pun mulai memberanikan diri menarik ritsleting celana corduroy abu-abuku, lalu menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku. Dan akhirnya ia berhasil menyembulkan batang kemaluanku. Terasa telapak tangannya hangat waktu menggenggam batang kemaluanku yang sudah tegang ini.
Aku jadi teringat dalam pertemuan sebelumnya aku sudah mengajarinya cara-cara felatio (menyelomoti penis). Dan tampaknya ia ingin semakin mahir. Batang kemaluanku dimasukkan ke dalam mulutnya. Terasa ia mengisap-isap, lalu mengeluarkan lagi dari mulutnya, kemudian ia menjilati testicleku...leher penisku dan moncongnya juga.
"Hmmm...ternyata Mona cerdas sekali ya....sudah enak nih permainan mulutnya," kataku sambil melepaskan baju kaus putihku.
"Siapa dulu dong gurunya?" sahut Mona sambil tersenyum, kemudian menarik celana panjang dan celana dalamku, sehingga kami jadi sama-sama bertelanjang bulat kini.
"Mau nyobain enam sembilan?" tanyaku.
"Gimana caranya?" ia tampak bingung.
Lalu aku menelentang. Kusuruh dia mengambil posisi sungsang, menelungkup di atas perutku dengan wajah menghadap ke penisku, sementara vaginanya berada di atas mulutku.
Tak sulit mengarahkan posisi yang baru buat Mona ini. Aku jadi bersemangat untuk menjilati kemaluan Mona yang sudah kungangakan di atas mulutku, karena aku tahu Mona sangat menjaga kebersihan, sehingga ketika lidahku mulai menjilati celah kemaluannya, tiada aroma yang tak sedap sedikit pun. Memang kata para pakar, kalau suka main oral, alat vital harus dijaga agar tetap hygienis.
Mona pun mulai aktif mengoral penisku, sesuai dengan yang pernah kuajarkan. Jemarinya mengurut-urut batang kemaluanku, sementara moncongnya dijilati tanpa canggung-canggung lagi. Tapi kurasakan selomotannya sering berhenti ketika aku mulai aktif menjilati clitorisnya. Bahkan terkadang pinggulnya menghempas, menekan wajahku sehingga aku jadi sulit bernapas.
Namun aku tak mau complain. Aku harus memakluminya, karena "jam terbang"nya masih sedikit sekali. Maka akhirnya kusuruh Mona menelentang, kemudian aku merayap ke atas perutnya sambil memegangi penisku yang sudah ngaceng berat ini.
Akibat permainan 69 tadi, walau cuma sebentar, vagina Mona jadi basah. Tak sulit bagi penisku untuk menerobos lubang hangatnya, langsung masuk setengahnya....disusul dengan dekapan erat gadis itu, dengan nafas yang tertahan.
Aku pun mulai mengayun penisku. Dan setiap kudorong sengaja kubenamkan lebih dalam. Sehingga akhirnya aku berhasil membenamkan sepenuhnya.
Mulailah aku menyetubuhi gadis itu untuk yang kesekian kalinya. Yang paling menyenangkan, aku akan bisa melepaskan air maniku di dalam vagina gadis itu, takkan lagi harus ngecrot di mana-mana.
Dan kali ini kelihatannya Mona seperti sedang meresapi benar nikmatnya hubungan badan kami. Mungkin karena sekarang ia sudah dibentengi oleh pil anti hamil dari seorang dokter yang kukenal baik. Sehingga seberapa rakus pun ia bersetubuh denganku, takkan menimbulkan kehamilan. Mungkin hal itulah yang membuatnya jadi leluasa menikmati setiap jelajahan seksual dariku.
Ketika aku mulai mengayun penisku dengan garangnya seorang lelaki, Mona menyambutku dengan remasan-remasan di bahuku, terkadang pula di kepalaku, sehingga pastilah rambutku mulai acak-acakan. Meski perlahan, desahan-desahan histerisnya pun mulai berkumandang di telingaku. Desahan histeris itu kadang-kadang terpaksa kuhentikan dengan ciuman ganasku. Dan ia tampak menikmatinya. Menikmati indahnya saling lumat ketika kemaluan kami sedang bergesekan dengan irama yang khas.
Dan kali ini aku ingin "uji coba" meletuskan spermaku di dalam vagina Mona, karena selama ini aku belum pernah melakukan bersamanya. Maka ketika Mona mulai berkelejotan secara khas, yang kukenal sebagai tanda-tanda akan mencapai orgasme, aku pun mempercepat ayunan penisku. Aku tak ingin berlama-lama lagi...ingin secepatnya menikmati indahnya ejakulasi dalam jepitan liang kemaluan gadis itu.
Lalu...kami seperti orang-orang yang sedang kerasukan...sama-sama mengejang, saling cengkram....saling remas.....dan ketika kurasakan lubang kewanitaan Mona berkedut-kedut, saat itu pula aku sedang membenamkan batang kejantananku sedalam mungkin.....lalu terasa moncong penisku menyemprot-nyemprotkan air mani ke dalam liang surgawi Mona.
Lalu kami sama-sama terkapar dalam kepuasan, karena berhasil mencapai titik ternikmat secara berbarengan. Tapi pelukan Mona tetap ketat, seolah tak mau berpisah lagi denganku. Maka kuciumi bibirnya berkali-kali. Lalu aku pun terkapar di atas perutnya.
0 Komentar