KETIKA SENJA PART 60 (TAMAT)

 

DIA…


Dia sahabat kami…


Aku lelaki… dan aku menangis di hari perkawinanku. Bukan karena aku menyesal dan tidak mencintai wanitaku.. sungguh bukan… aku menangis saat memeluk sosok sahabat yang paling berperan dalam hidupku…




Aku kelu.. dan aku tak mau membuka bibirku walau sekedar untuk mengucapkan kata: selamat jalan. Aku tak ingin itu malah membuat tangisku meledak. Biar pelukan persahabatan ini yang menjadi kabar atas segala rasa terima kasih dan ucapan selamat jalanku.




Dia Senja… dan besok ia akan pergi.. jauh dari kami…




Kulepaskan pelukan kami… kutinju dadanya sekedar untuk mengungkapkan kekaguman dan rasa sayang… Dan Senja… Ia pun hanya diam.




Kupeluk istriku yang masih berpakaian pengantin, tanpa berani memandang pelukan dia dengan Ega, Jaka, Mayang, dan Ratna. Tak kuhiraukan suasana haru yang ada. Biar hanya istriku yang tahu dan merasakan suasana hatiku saat ini.




“Jangan antar atau temui aku besok pagi..” Kudengar suara dalamnya.


“Tetaplah satu.. tetaplah sehati.. dalam menjalani hidup dan mimpi-mimpi kita…” Ucapnya lagi.




Kami antar kepergian Senja sambil menatap punggungnya… Dengan satu helaan nafas kami pun saling bubar.. Ega menggandeng Ratna, Jaka menuntun Mayang…




Kukecup kening istriku.. kukabarkan rasa sayangku kepadanya, sekaligus rasa kehilangan yang amat sangat dalam karena Senja. Kutuntun istriku ke dalam kamar pengantin kami… kamar yang akan menjadi awal langkah kami sebagai suami-istri.. Cinta kami kini bersatu.. dan ada sosok lain yang menopang kesatuan cinta ini. Itu adalah dia.. dia sahabatku, sahabat kami semua.








Dia Saeku…




Setelah mendengar semua nasihat kedua orangtuaku di pagi-pagi buta ini, aku bersujud di hadapan mereka.




“Pak, Senja mohon restu untuk mencari kakak. Maafkan kalau selama ini Senja banyak berdosa pada bapak dan sering mengecewakan bapak.” Aku bersimpuh mencium kedua tangannya. Lalu kami berpelukan sambil berlinang air mata.




Aku bergeser dan bersujud di pangkuan ibuku.




“Bu…” Mendengar tangisnya aku sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Ibu segera meraih tubuhku dan memelukku. Kami pun berpelukan sambil menangis.


“Maafkan Senja, bu. Mohon ampuni semua kesalahan Senja selama ini.” Akhirnya aku bisa kembali bersuara, meski harus terbata-bata. Dengan berderai air mata, ibu mencium keningku, juga kedua pipiku.




Kupeluk sekali lagi dua sosok yang telah menjadi pahlawan hidupku; pahlawan yang telah mencintai dan membesarkanku dengan cinta tak terbatas mereka. Pahlawan yang menjadikanku menjadi seorang pria seperti sekarang ini.




“Senja titip Sae…” Tak kulanjutkan karena lidahku menjadi kelu kembali. Ibu mengangguk, sementara bapak hanya diam membisu. Itulah cara bapak menyembunyikan cinta dan sedihnya.




Kuraih tas gendongku, tanpa sanggup menatap mereka lagi, aku beranjak keluar rumah diantar bapak dan ibu sampai ambang pintu. Dari sudut mataku nampak mereka mematung… isak tangis ibu masih terdengar.. Kelak isak itu akan selalu menjadi kenangan di saat-saat rapuh hidupku.




Kususuri gelapnya subuh… bukan… bukan ke perbatasan, tapi ke kubulak… tempat terindah dalam hidupku.




Kududuk di atas batu, tempat ia biasa menungguku.




“Sayang.. aku hanya bisa pamit lewat langit pagi. Sesuai inginmu, aku tak akan menemuimu… biarlah kutinggalkan jejak cintaku di sini. Nanti… di senja ke dua puluh tujuhmu, kau akan tahu bahwa aku mencintaimu.”




Ya.. pelukan kami di saung adalah pelukan terakhir kami, meskipun itu bukan perjumpaan terakhir kami. Itulah pelukan terakhir dari kisah cinta kami; kisah cinta yang kuakhiri melalui bahasa hati dan diam kami. Hati kami sudah saling mengatakannya… kami saling menyayangi… Tapi hati kami juga saling mengikat janji untuk membiarkan semuanya berakhir sampai di sini; belum saatnya kami saling memiliki kembali.




Kami mengijinkan semesta untuk memisahkan kami, juga memberi tahu kepada waktu bahwa kami ikhlas berpisah. Sampai kapan…? Kami tidak mau melawan takdir dan kehendak Tuhan. Kalau Ia memang merestui, tentu kami akan menyatu kembali.. tapi kalau tidak, kami tidak akan pernah membenci Sang Pencipta kami sendiri. Satu yang pasti.. kami saling mencintai. Kami pun sepakat berpisah.. berpisah tanpa harus saling membohongi atau melukai, tapi berpisah dengan cinta abadi yang kami miliki.




Langit Sawer…


Beri teduhmu untuk kekasih hatiku…


Karena dia adalah tetap Saeku…


Dengan atau tanpa saling menyatu.




Kucium gelang yang melingkar di lenganku. Dan akan selalu melingkar… sampai ajal memisahkan. Inilah janji dan buktiku.. bukti kalau ia selalu ada di dalam hatiku.




Kulangkahkan kakiku...


Langkah awal meraih mimpi…


Langkah awal perjalanan, juga petualangan pencarianku…


Langkah awal yang memisahkan kami.








Dia Senjaku…






Tadi…




Setelah berpisah dengan bu haji dan teman-temanku dari Bandung, aku pun menjauh. Aku tak sanggup melihat suasana perpisahan kekasih hatiku dengan para sahabatku yang lain. Dan aku… biarlah pelukan terakhir subuh itu menjadi perpisahan kami.




Aku telah merasakan jujur tak terucapnya.. kejujuran terdalam bahwa ada aku di hatinya. Itu sudah cukup bagiku.




Itu yang kumau.. aku ingin ia tak menyangkal cintanya, tapi mengakui itu, sekaligus menerima diri apa adanya. Menerima bahwa ia berharga, bukan mengutuki diri sebagai orang yang kotor karena mesum masa lalunya; karena kutahu.. itu ia lakukan bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan karena takdir-warisan leluhur kami.




Di masih kekasihku.. Dan akan selalu begitu..


Dia tetap akan menjadi Senjaku, meski status cinta kami tak lagi satu.




Selendang ini akan selalu menjadi tanda, ia selalu ada bersamaku. Dan kalung ini akan menjadi penantian berharga.. entah ia datang kembali untuk mengalungkannya atau tidak. Namun aku tidak akan menyesal.. sekalipun mungkin saat itu tidak akan pernah terjadi. Bagiku, penantian itu selalu berharga.




Aku tak menyesal walau akhirnya pernyataan kejujuran cinta kami terjadi di saung lama, bukan di bubulak seperti yang kuharapkan. Meski begitu, aku akan tetap ada di sana, di senja kedua puluh enamku.




Aku pun melangkah menuju bubulak.. sedihku masih ada.. tapi kecewa dan lukaku sudah tak ada lagi. Ia sangat mencintaiku.. mengetahui itu.. sudah cukup bagiku.




Deg.




Perjumpaan ini sangat tidak kuharapkan.. sosoknya tiba-tiba muncul menuju saung lama. Aku hanya bisa mematung dan jantungku berdebar kencang. Demikian juga Senja hanya terpaku. Jarak kami hanya sekitar lima belas meter saja.




Sorot mata kami beradu.. sementara lidah ini terlalu kelu.. juga tubuhku terasa beku.




Lekat.. tatapan dan sorot mata kami saling melekat.




Cinta, rindu, sedih, perih… kagum, bangga, sayang… pilu, perih, tak ingin ini terjadi… semua beradu menjadi satu.




Sorot mata kami seolah saling mencumbu, sekaligus berbagi perih perpisahan.




Perlahan aku melangkah mundur tanpa memalingkan wajah sedikitpun, kalau bisa, tak ingin juga aku berkedip. Demikian juga kekasihku.. Senja menatapku sendu sambil memundurkan langkahnya.




Kukabarkan sayangku, kuberitakan cintaku, kukirimkan sedihku… Bahagia dan pedih menjadi satu.




Samar.. jauh.. semakin jauh.. semakin samar.. sosoknya menghilang…




Kubalikkan tubuhku, dan berlari ke arah bubulak. Semoga ini menjadi tangis terakhir dalam perjalanan pedihku.




Kini…




Angin subuh menerpa tubuhku, dinginnya terasa begitu menusuk. Seraya mengeratkan lilitan selendangku, tak kutepiskan pandanganku dari jalan setapak di bawah bukit sana.




Air mataku tak lagi keluar, tapi perih dan panasnya seakan membuatku tersesak. Tubuh itu.. tak salah lagi, ia adalah kekasihku.




Meski dalam keremangan aku bisa mengenali sosoknya yang berjalan gontai meninggalkan kampung. Langkahnya tak lagi tegap, dan wajahnya tak lagi gagah. Ia lunglai menunduk…




“Jangan begitu, sayang. Kamu harus tegar…” Aku berkata lirih sambil meremas selendang di dadaku, juga menggenggam kalungnya erat-serat.




Aku merasa sedih melihat kekasihku pergi tanpa bersemangat. Itu pasti karena aku… Karena aku yang tak membolehkannya menemuiku, untuk sekedar memberi pelukan atau kata perpisahan. Aku tak ingin berjumpa di saat terakhir, apalagi sampai ia memeluk dan menciumku. Karena kalau sampai itu terjadi, aku pasti tidak akan mengizinkannya pergi.




Kugigit bibirku untuk menahan semua gejolak perasaanku; sementara di bawah sana, bayangannya semakin menjauh. Kelopak mataku membengkak, ada air yang mendesak.. meleleh di pipiku.




Kekasihku makin menjauh, muncul-tenggelam di antara rimbun pepohohan dan menghilang di balik hutan. Hilaaang… Ia telah pergi memenuhi janjinya untuk tidak menemuiku sebelum pergi. Dan kini… aku menyesal telah memintanya seperti itu.




“Senjaaaaaaaaaa….!!!”




Teriakku melengking membelah sunyi pagi.




Hiks.. hiks…




Sekali lagi kuberteriak memanggil namanya: “Senjaaaaaaa… aku sayang kamu… selamanya…”




Aku yakin ia masih bisa mendengar teriakanku.. tapi aku juga yakin ia tidak akan berlari kembali… Satu yang pasti, aku tak akan salah, kekasihku pasti melanjutkan langkahnya sambil menangis…




Nanti…


Di senja ke dua puluh tujuhku… aku akan meminta maaf karena telah membuatnya sedih oleh teriakan sayangku. Akan kukirim juga doa dan cintaku untuk mengiringinya. Dan itu akan menjadi senja terakhir penantianku, sekaligus senja pertamaku tanpa ada dia di Sawer ini.

TAMAT


Posting Komentar

3 Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Cerita yg sangat membuatku terharu..ceritanya lengkap ..semuanya ada..percintaan, mistis,bisnis dan sangat2 melow..ditunggu kelanjutannya ya ..🙏🏻🙏🏻

    BalasHapus