KETIKA SENJA PART 59

 

Aku terbangun ketika hari sudah hampir tengah malam. Hutan terasa sangat sepi, dan suara musik dari pendopo sudah berhenti. Kupeluk Sawaka dan Mantili bergantian, lalu kami berlari ke tengah kampung. Kuputuskan untuk mampir sebentar ke saung lama, sementara Sawaka dan Mantili kusuruh untuk melakukan kembali tugas mereka.




Deg..




Sosok Sae sedang mondar-mandir gelisah di depan Saung. Kudekati secara perlahan.




“Sa, ngapain malam-malam di sini?” Aku menyapanya.




Seketika wajah panik Sae berubah menjadi marah. Garis wajahnya menjadi tegas dan sorot matanya tajam menusuk.




Plak!!




“Kamu dari mana?”


“Duh.. kamu kenapa sih, asal maen tampar aja?” Aku mengusap pipi yang terasa panas karena tamparannya.


“Dari mana??” Sae makin galak.


“Aku.. aku.. ketiduran di saung sawah. Kamu sendiri ngapain di sini?” Aku mencoba berbohong.




Plak!!




“Pembohong!! Aku mencarimu.. dasar brengsek!!” Sae makin sewot.




Tangannya kembali melayang untuk menamparku lagi, tapi segera kutangkap.




“Sa.. Sa.. kamu tenang dulu, jangan ngamuk-ngamuk begini. Sakit tauuu…”


“Brengsek! Bodoh! Pembohong!”




Mulut Sae terus memaki, tapi tubuhnya tiba-tiba memelukku erat.




Tangisnya pecah.




Lidahku tiba-tiba menjadi kelu; kubalas pelukannya dan kubiarkan Sae menumpahkan semua perasaannya melalui tangisan derasnya.




“————”




Setelah tangisnya berkurang, kubimbing tubuh Sae masuk ke dalam saung. Kami pun duduk berdampingan, kepalanya bersandar di pundakku.




“—— tik tok tik tok ——”




“Yang kamu lakukan ke aku itu jahat, Ja.” Akhirnya Sae membuka suara. Air matanya sudah tidak mengalir, tapi isaknya masih belum berhenti.


“…”


“Kamu jahat!”


“…”


“Brengsek!”


“…”


“Bodoh!”


“…”


“Kamu jahat. Jahat.. Jahaat…!!”


“…”




Sae bangkit... lalu duduk menyamping di pangkuanku sambil memeluk leherku dan membenamkan wajahnya di dadaku. Kubalas pelukannya sekedar untuk menyangga tubuhnya.




Pelukan ini.. pelukan yang selalu kurindukan. Perlahan tapi pasti.. kujadikan pelukanku sebagai ungkapan rasa sayangku. Dan kami lakukan dalam diam…




Aku bisa merasakannya.. merasakan curahan kasih sayang yang Sae berikan; dan kuberikan hal yang sama untuknya. Tanpa ucap, tanpa suara. Setelah sekian lama kami saling merindu, akhirnya kami kembali menyatu dalam pelukan ini. Dan aku tidak berdaya lagi.. untuk menyangkal atau menolaknya.. Aku kalah.. kalah oleh cintanya yang tiada batas, juga kalah oleh rasa sayangku yang selama ini kusembunyikan dan kupendam dalam-dalam.




“Bodoh.. bodoh.. bodoh..”




Setelah sekian lama akhirnya Sae bersuara. Ia mengucapkan kata yang sama secara berulang-ulang tanpa melepas pelukannya. Terus dan terus.. kubiarkan saja.. sampai ia nampak lelah. Kueratkan pelukanku dan suaranya makin lemah dan lemah.. hilang.. Sae pun lelap dalam pelukanku.




Jiwa kami saling lelah.. rindu kami beradu meski tak lagi satu.. Semuanya kubiarkan dalam dekapan sunyi ini. Kudekap kekasih hatiku, dan kuberi ruang baginya untuk terlelap. Sementara aku.. aku hanya ingin menikmati keheningan ini. Penyatuan sunyi antara kami berdua.








“Sa, bangun.” Aku membangunkannya saat kulirik jam di hapeku.


“…”


“Sa..” Aku memanggilnya lebih keras.


“…”


“Sa..” Kali ini sambil menepuk dan mengguncang tubuhnya.


“…”




Deg.




Haruskah?




Aku menarik nafas panjang. Haruskah aku membangunkannya seperti dulu biasa kulakukan.




“Sa bangun.. Kamu kan harus merias Ardan dan Bi Iyah.” Aku coba bertahan dan membangunkannya lagi.


“…”




Fiuuuh… baiklah…




Kurenggangkan pelukanku. Kutundukkan wajahku sementara tangan kiriku masih menyangga bahunya, kuputar sedikit kepalanya dengan tangan kananku. Kini wajah kami saling menghadap. Selalu saja.. aku selalu menyukai paras cantiknya.. paras cantik nan polos.. juga murni.. saat terlelap begini..




Dengan berdebar semakin kuturunkan wajahku. Dengan bergetar.. kukecup tipis bibirnya.




Cup!!




Aku tak ingin melepaskannya, tapi harus. Tak boleh lagi…




“Mmmh…” Sae menggeliat, sesaat setelah kujauhkan wajahku.


“Bangun, Sa. Sudah setengah tiga.”


“Bentar lagi.” Sae masih bermalas-malas sambil mengeratkan pelukannya.


“Bangun yuks.. kamu kan harus merias.”


“He eh..” Sae menjawab, tapi tak juga melepaskan diri.


“Lima menit.” Aku yang sudah mau memaksanya bangun, terpaksa urung ketika mendengar ucapannya. Refleks kuelus kepala dan rambutnya; juga kubelai wajahnya. Kulakukan dalam diam.. demikian pun Sae menikmatinya dalam diam.


“Yuks..” Kataku akhirnya.




Dengan malas Sae benar-benar membuka matanya. Kami saling menatap. Sorot mata kami saling beradu dekat.




“Ja..” Suara lirih keluar dari bibirnya.


“Hmmm..?”


“Mau sekarang atau nanti?”


“Maksudmu?”


“Kalung!”




Deg.




“Aku gak ngerti.”


“Huh! Pura-pura bodoh..” Sae merajuk sambil melepaskan pelukannya.




Tubuh kami pun terpisah setelah hampir semalaman berpelukan.




Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa ketika Sae menunjukkan kalung yang pernah kubuang. Lidahku kelu.




“Mau sekarang atau nanti?” Sae mengulang pertanyaannya.


“Da.. dari mana kamu mendapatkan kalung itu, Sa?” Aku benar-benar gugup.


“Dasar bodoh.. Mau sekarang atau nanti??”


“…” Aku tetap tak bisa berkata-kata.


“Aku ingin kamu sendiri yang mengalungkannya.”


“…” Jantungku berdegup kencang.


“Kalau kamu pasangkan sekarang, berarti aku akan menunggumu kembali sampai kapan pun.” Sae berbicara dengan tegas dan lugas.


“…”


“Tapi kalau kamu tidak mau memasangkannya sekarang, aku pun akan tetap menunggumu untuk mengalungkannya.. sampai kapan pun…”


“…”




Aku merasakan kalau Sae tidak main-main. Dan pilihannya sama saja, ia akan menungguku.




“Gini Sa…” Sekuat tenaga aku mengendalikan perasaan kalutku dan juga rasa gugup.


“Aku.. aku.. sudah kotor. Tak pantas lagi untukmu…”


“Baju kotor saja bisa dicuci, masa kamu masih terus bersikap bodoh seperti ini.. Mau sampai kapan, Ja?” Sae menarik nafas dalam.


“Aku.. aku…”


“Apa? Sudah tidak menyayangiku lagi?” Sae memotongku, lalu lanjutnya, “Aku tahu kamu, Ja. Aku tahu semua tentangmu karena aku menyayangimu apa adanya.”


“Aku tahu kamu bukan hanya membohongiku.. tapi juga telah membohongi dirimu sendiri.. aku merasakannya.. karena aku menyayangimu..”


“Kamu kan yang melakukannya kemarin sore waktu aku di bubulak..? Gak usah mengelak..!!! Aku pun bisa merasakannya.. walau aku sendiri tidak tahu itu apa…”




Semua kata-kata itu menghujam perasaanku.. membuatku hanya bisa menunduk diam.




“Jadi?” Sae makin mendesakku.


“…”


“Baik kalau begitu, Ja. Aku menganggap kamu tidak mau memasangkan kalung ini di leherku.” Sae menarik nafas berat. “Tapi ingat.. aku akan selalu menunggumu untuk memasangnya.”


“…”


“Setelah ini, aku masih punya hutang satu senja lagi di bubulak. Aku akan menunggumu sekali lagi, tapi jika kamu masih tidak mau datang juga tidak apa-apa. Satu pintaku, jangan pernah mengucapkan selamat tinggal saat kepergianmu, dan jangan temui aku sebelum keberangkatanmu. Karena aku tak akan sanggup melepasmu.”




Sae berbicara panjang lebar. Lugas, tegas.. dan itu bukan permohonan, melainkan perintah. Aku kenal Sae.. aku sudah tahu makna dari setiap nada dan penekanan ucapannya.




“Satu lagi... Tak sedikit pun aku menganggapmu sebagai pria yang kotor maka aku tidak merasa perlu untuk membersihkan atau memulihkanmu. Itu tugasmu karena kamu sendirilah yang menggap diri kotor. Aku hanya akan menunggu kembalimu setelah kamu sadar siapa dirimu, dan siapa aku bagimu.”




Seluruh bangunan hidupku terasa runtuh. Tak ada lagi kekuatan apapun yang kumiliki.




“Sa.. izinkan aku..” Bibirku bergetar dan tak mampu lagi melanjutkan ucapanku.


“Hmmmmfff.” Kupeluk Sae dengan sisa keberanianku.




Kami pun berpelukan. Tanpa kata, tanpa suara. Lama dan lama kami seperti ini… Sebuah janji pun kuucapkan dalam hati.




Kulepaskan pelukanku, kurapikan rambutnya yang masih kusut, kukecup keningnya.




“Terima kasih.” Kami berucap bersamaan.




Sekali lagi kami berpelukan.




"Akankah pelukan ini abadi?" Tanyaku pada angin pagi.




Pagi yang indah untuk Ardan dan Bi Iyah; untuk Sawer dan warganya; untuk sahabat-sahabatku dan cinta mereka. Entahlah untuk kami...


Posting Komentar

0 Komentar