SENJA: PERJANJIAN SUNYI (2)
Keadaan Sae yang tiba-tiba pingsan membuatku panik. Aku segera membopongnya ke rumah, sementara Ratna memanggil Bu Rohmah. Kalau boleh aku berteriak, aku ingin teriak sekencang-kencangnya agar Sae segera sadar dan tidak terjadi sesuatu terhadap dirinya.
Aku segera membawa ke kamarnya, kamar yang pernah kami tidur berdua di sana. Kubaringkan tubuh lemahnya di atas kasur lalu memeluknya erat; tak terasa air mataku mengalir membasahi pipinya. Bu Euis dan teman-temanku sempat panik dan saling ribut tidak jelas, tapi kemudian mereda setelah Bu Rohmah datang. Dengan keahliannya di bidang pengobatan tradisional, Bu Rohmah memeriksa keadaan Sae dan memberitahu kami bahwa Sae hanya pingsan karena kelelahan.
Lega mendengarnya.. tapi juga sedih, takut, khawatir… Semua bercampur menjadi satu. Karena tak sanggup lagi melihat keadaannya yang tidak berdaya, aku beranjak ke luar kamar, dan merenung di depan rumah. Kunyalakan rokokku tanpa bisa kunikmati, tak kuacuhkan Raka dan juga Ega yang menenangkanku, Irma maupun Sore. Bahkan Ilham kuhajar dengan tinjuku karena ia sok bijaksana menasihati dan memintaku untuk menemani Sae di dalam.
Kunyalakan rokok ketigaku. Namun belum juga kuhisap, Mae muncul dari dalam rumah.
“Sae sudah sadar.” Ia memberitahu kami.
Serentak teman-temanku berlari ke dalam kamar. Aku? Aku hanya berani melangkah sampai depan pintu dan berdiri di balik tirai untuk mendengarkan apa yang terjadi di dalam. Sikap Sae yang tadi pagi tiba-tiba berubah dan memanggilku “sayang” di depan Sore membuatku takut. Takut membuatku luluh, dan tak mampu lagi menutupi perasaan cintaku di hadapan Sae yang sedang terbaring lemah seperti ini. Sae tidak boleh tahu kalau aku selalu menyayangi dan merindukannya. Aku sudah tak pantas lagi untuknya.
Ada rasa lega ketika kumendengar bahwa Sae memang hanya kelelahan, bukan pingsan karena sakit. Aku kembali duduk di depan rumah sambil menghela nafas. Lalu kuambil batang rokok yang tadi kubuang, dan kunyalakan kembali.
Bayangan Sae kembali muncul di benakku. Penderitaan batinnya ketika mendengar pengakuan tentang perselingkuhanku dengan Bu Rohmah kini hadir kembali. Selalu saja sakit ketika mengingat tangis pilunya. Sudah cukup aku membuatnya menderita seperti itu, dan kini aku harap ia juga tidak tambah menderita karena keadaan fisiknya.
“Aku cemburu.” Kata-kata itu masih menghantuiku ketika ia mengatakannya pada siang sebelum aku melakukan ritual dengan Bu Rohmah pada malam harinya.
Memang…
Aku pernah marah. Aku pernah bersumpah dan mempertanyakan tentang arti cinta di antara kami. Aku juga pernah marah dan merasakan cemburu yang sama ketika melihatnya berciuman dengan Jaka.
Dan…
Sejak pergumulanku sepanjang malam dengan Sawaka di bubulak, aku bisa menerima diriku apa adanya. Kuat dan lemahku kusadari, gagah dan rapuhku kuterima, juga kuakui segala cinta dan luka cemburuku. Sejak itu, aku belajar untuk menerima diri apa adanya, mencoba memahami apa mauku.
Sejak saat itu, aku hanya ingin menjadikan kelebihanku sebagai berkah bagi orang di sekitarku, tanpa mau menjadikan kerapuhanku sebagai batu sandungan bagi kebahagian mereka. Melihat orang-orang yang kucintai hidup bahagia, itu sudah cukup bagiku.
Tapi…
Caraku selalu saja salah. Aku masih juga belum paham siapa ‘aku yang sejati’, juga belum bisa mengekang dan mengendalikan egoku. Maksud hati ingin membuat Sae bahagia dengan cara lepas dari bayang-bayangku, tapi sebaliknya malah membuatnya semakin terluka.
Maafkan aku, sayang…
Kini...
Harus kuakui, aku juga manusia biasa yang punya cinta dan sesal karena aibku. Aku mencintai Sae apa adanya; dan aku tak mau menyangkal itu. Hatiku mendorongku untuk selalu memilikinya, tapi lingkaran mesum yang kulakukan di belakangnya membuatku tak sanggup kembali mendekat. Keputusanku ketika menolak kembali cintanya di saung kopi kala itu sudah bulat; meski itu bukan hanya membuat Sae yang terluka, aku lebih dari itu.
Aku ingin Sae menemukan pasangan terbaik bagi hidupnya, siapapun itu. Aku tak lagi pantas untuknya, meski aku akan selalu mencintai dan menjaganya dengan cara tersembunyiku.
Pingsannya kali ini membuatku semakin takut. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengannya. Aku ingin ia bahagia dan baik-baik saja.
Aku tahu selama ini ia menderita karenaku. Aku tahu setiap senja ia selalu menungguku di bubulak karena aku pun selalu ada di sana. Aku selalu sembunyi-sembunyi pergi ketika ia datang, dan setelahnya kuhabiskan sisa hariku di saung lama. Sampai saat ini, aku masih tahan melihatnya seperti ini. Kuharap penderitaan batinnya tidak lama lagi; daripada hidup bersamaku lalu ia akan menderita seumur hidup karena ketidakmampuanku untuk memberikan adaku yang terbaik untuknya, lebih baik aku melepaskannya dari segala keinginan egoku.
Lagi-lagi caraku adalah salah…
Kini ia bukan hanya menderita batin, tapi juga fisiknya melemah. Aku harus berbuat sesuatu dengan tetap bertahan pada rencanaku. Ya.. aku harus berbuat sesuatu dan itu adalah...
“Sae mencarimu.” Suara Ilham membuyarkan lamunanku.
“Oke.. Maaf tadi aku menonjokmu.” Aku berdiri dan menepuk bahu Ilham.
Ilham tak menjawab, tapi aku tahu ia cukup mengerti dan tidak membuatnya sakit hati.
Kumasuk ke dalam kamar, tapi Sae sudah tertidur kembali.
“Bu…” Aku memandang Bu Rohmah dan Bu Euis.
“Teman-teman…” Kali ini aku menatap mereka bergantian.
“Boleh aku berdua sebentar dengan Sae?” Aku memohon.
Tak ada jawaban, tapi satu per satu mereka meninggalkan kamar.
Dengan perasaan gundah, kutatap wajah Sae. Ia nampak tidur tenang, tapi tetap tak mampu menyembunyikan kelelahan batinnya. Kurapikan selendangnya yang selalu melingkar, kubelai rambutnya, dan kuelus wajahnya. Kutumpahkan rasa sayangku yang selama ini kupendam dalam-dalam.
“Maafkan aku, sayang.” Kubisikkan rasa sesalku seraya mengecup keningnya. Tak terasa air mataku berlinang, terdesak oleh gemuruh perasaanku yang terasa gaduh.
“Bukan maksudku membuatmu seperti ini. Aku hanya ingin kamu tegar dan tidak menungguku saat aku pergi nanti. Aku tak bisa.. tak bisa sayang.. setidaknya belum bisa.. untuk memilikimu kembali. Bukannya aku tak lagi menyayangimu, bukan pula karena aku melihatmu mesra bersama Jaka, yang membuatku tegar hati untuk tidak kembali; tetapi karena aku terlalu kotor untuk menerima cinta sucimu.”
“Aku berjanji akan selalu menyayangimu, sekalipun kita tak lagi satu. Aku akan menjagamu selalu selagiku mampu, aku akan melindungimu dengan caraku sendiri.”
Kuraih tangan Sae, kucium dan kugenggam erat.
“Maafkan aku karena telah membuatmu menunggu dan menunggu di setiap senjamu. Percayalah aku juga ada di sana menemani dan menjagamu.”
“Aku percaya kamu bisa tegar dan kuat. Aku yakin itu. Aku izinkan kamu menderita saat ini, tapi setelah kepergianku aku harap kamu bisa melupakannya, karena kamu telah terlatih selama berpuluh senja penantianmu.”
“Aku sayang kamu. Dan akan selalu menyayangimu selamanya.. tak akan ada gadis atau wanita lain yang bisa menggantikan kehebatan cintamu di hatiku. Ini janjiku.”
“Aku akan mengizinkamu meraih bahagiamu dengan siapapun pria yang kaupilih nanti, karena bahagiamu adalah bahagiaku. Sementara aku, biarkan aku menjalani takdirku; apapun itu.”
Kupeluk gadisku, kukabarkan segenap rasa sayangku pada lelap tidurnya. Sekali lagi.. kukecup dahinya dan meninggalkannya.
Setelah ngobrol sebentar aku pun mengajak Ilham dan Irma untuk keliling kampung dan membuat rencana-rencana ke depan berkaitan dengan pembangunan kampung Sawer. Sebenarnya aku tidak suka, tapi ku-iya-kan saja saat Sore memaksa ikut dengan kami. Sementara yang lain kembali ke pendopo dan rumah Bi Iyah.
Dengan tegas kusampaikan konsepku tanpa terganggu sikap Sore yang sangat berbeda dengan waktu bertemu di Bandung. Ilham mengambil beberapa foto dari hapenya, sementara Irma menyimak sambil sekali-kali membuat beberapa goresan dan tulisan di gadget-nya. Akhirnya kami pun membuat beberapa kesimpulan.
Pertama, pendopo akan menjadi pusat kampung, tempat aktivitas warga juga tempat pertunjukkan seni dan budaya.
Kedua, rumah warga yang sudah ada bisa dipertahankan, hanya tinggal diseragamkan model panggungnya.
Ketiga, ada beberapa lahan yang bisa dibangun untuk rumah baru, tapi juga ada beberapa titik yang tidak boleh dibangun.
Keempat, ada jalur-jalur yang bisa dijadikan sebagai parit buatan dengan air yang dialirkan dari mata air di dekat bubulak. Sementara jalan-jalan kampung akan dipasang batu dan kerikil supaya tidak becek di saat hujan.
Kelima, bubulak bisa dijadikan area untuk membangun beberapa gubuk sederhana bagi pendatang yang ingin menyepi dan tidak mau live in di rumah warga. Ini bisa mendatangkan penghasilan tambahan.
Keenam, ada beberapa titik indah yang akan dijadikan objek wisata seperti air terjun, area pesawahan, dan perkebunan sebagai agrowisata.
Dan ketujuh, kami menobatkan Ega sebagai orang yang akan mengawal semua rencana ini. Ia akan menjadi “kepala suku” yang harus kami persiapkan.
Setelah menyimpulkan itu semua, kutarik Ilham sedikit menjauh. Kusampaikan kalau aku ingin menyepi dan menenangkan diri. “Tidak boleh ada yang mencariku sampai aku kembali,” pesanku kepadanya. Ilham awalnya mencegahku, tapi setelah kujelaskan aku ingin menenangkan diri dan mencari jalan keluar atas hubunganku dengan Sae, akhirnya ia mengerti. Kami pun berpisah di sisi utara kampung, dan tak kuhiraukan Sore yang bertanya-tanya dan ingin ikut denganku.
Sebenarnya, aku hanya ingin menghabiskan senjaku di bubulak, mumpung Sae sedang istirahat dan -pikirku- senja ini ia tidak akan datang.
Aku pun duduk di atas batu tempat Sae biasa merenung dan menantiku. Aku ingin menghabiskan senja terakhirku di sini karena besok pasti tidak ada waktu lagi. Hari ini, aku akan menggantikan Sae mengantar langit senja beralih menjadi malam hari.
“sayaaang.”
“pria bodoh!”
“Dasar…”
“Gak peka!”
“Hihi.. kamu gitu banget sih ke aku teh"
“Gak mau tahu…”
“Biarin!”
“Bodo!”
Semua ucapan khasnya kini bertalu-talu dalam ingatanku. Membuatku tersenyum sendiri mengingatnya. “Aku selalu merindukan semuanya itu, Sa.” Aku bergumam sendiri.
Selain semua omongan khasnya, terbayang pula semua sikapnya jika kami sedang berdua.
Senyumnya yang khas dan menggemaskan..
Sendu matanya setelah kukecup bibirnya..
Kebiasaannya mengibaskan rambut setelah kupuji kecantikannya..
Kebiasaannya mendorong pipiku ketiga gemas atau grogi..
Kebiasaannya menggelembungkan kedua pipi ketika kuledek..
Caranyanya mengedipkan mata ketika minta disayang atau kucium mesra..
Caranya memeluk leherku sambil menggelayut di pangkuanku..
Caranya menggigit tepi bibirnya ketika tak bisa mengungkapkan keinginannya..
Caranya memeletkan lidah ketika menggodaku..
Caranya membenamkan kepalanya di dadaku..
Caranya menatapku sambil memainkan tepi rambutku..
Dan Sae..
Tidak pernah mencubitku.
Kuhadirkan semua kenanganku tentang Saeku, dan kuucapkan sekali lagi janjiku. Janji yang sama ketika aku memeluknya di tempat ini.
Kulihat petunjuk waktu di hapeku, jam 16.27. Masih banyak waktu... kunyalakan dan kuhisap rokokku tanpa membuang semua kenangan dan bayangan Sae.
Kuingat pula semua kekonyolanku ketika Sae memergoki sorot mataku yang mesum; kebodohanku ketika tak paham karena perubahan sikapnya ketika PMS; kekonyolanku ketika aku menyusulnya ke rumah Bu Rohmah pasca ritual; keteledoranku ketika kemesraan kami hampir kepergok Ardan; keteledoranku ketika Sae melihat bekas lipstik bu haji di pipiku; juga kebingunganku ketika mengejarnya di tengah hujan sambil menenteng pakaiannya; kebodohanku ketika membuang kalung yang semula mau kuhadiahkan baginya.
Dan yang paling menyakitkan… ketika aku membentaknya saat ia bertingkah mesra padaku di depan Jaka yang kukira adalah pacarnya.
Kusulut rokok keduaku.
Terbayang juga kebohongan-kebohonganku di belakangnya… ketika aku tidur dengan Bu Rohmah; rencana jahatku yang kemudian menjerumuskan Jaka dan Ardan pada lingkaran mesum, yang akhirnya menjerumuskan Ratna dengan ibunya; perselingkuhanku dengan bu haji dan janjiku untuk tidak meninggalkannya sampai ia sendiri yang memintanya; tindakan kriminalku yang menghajar anak buah Pak Ikin dan membakar gudang tokonya.
Dan yang tak kalah menyakitkan… ketika aku bilang “tidak” saat ia bertanya apakah aku masih menyayanginya. Semua kebohonganku inilah yang membuatku merasa tidak lagi pantas untuk menerima cinta Sae.
Kuambil lagi rokok ketigaku. Namun belum juga kusulut, aku merasakan kehadirannya. Segera aku berlari ke tempat tersembunyi, tempat yang selama ini aku ada di sana. Aku sangat tidak menyangka bahwa ia akan datang. “Apakah ia sudah sembuh?” Aku bertanya-tanya dalam hati.
Benar saja.. sosoknya muncul. Aku lega melihatnya nampak segar, meski letihnya masih tergurat di wajah cantiknya, tetapi juga sedih menyadari kekerasan hatinya untuk menantiku. Syukurlah ramuan Bu Rohmah cukup cepat bekerja... tetapi kenapa Sae begitu keras kepala untuk menanti datangku di tempat ini?
Melihat Sae baik-baik saja, aku menyelinap meninggalkan bubulak. Kini tekadku sudah bulat.. aku pun melangkah ke leuweung girang, tempat yang selama ini kupakai menjalankan ritual bersama dua wanita yang berbeda.
Tak lupa aku memanggil Sawaka dan Mantili untuk datang ke sana.
Setibanya di tempat yang kutuju, aku langsung duduk bersila di atas batu tempat aku bercinta dengan wanita pertama dan keduaku, sementara Sawaka dan Mantili mengawal di sebelah kiri-kananku.
Kubuka semua ingatanku tentang kakek dan semua wasiatnya, tentang mimpiku membangun Sawer, tentang sahabat-sahabatku, dan -tentu saja- tentang Sae. Setelah kubisikkan niatku kepada Sawaka dan Mantili, kupejamkan mataku secara perlahan. Seluruh panca inderaku memusat pada satu orang: SAE. Perlahan aku semakin berkonsentrasi.. semakin fokus dan fokus.. makin memasuki keheningan yang dalam..
Nampaklah Sae... ia masih duduk di batu yang sama, juga tempat yang sama. Kucoba masuk untuk membaca pikiran dan isi hatinya, namun ada selubung kuat yang menghalanginya. Beberapa kali kucoba, namun sama saja. Gagal. Aku pun mengalah… Aku tak ingin memaksa daripada akhirnya malah mencelakakan Sae sendiri.
Akhirnya, dengan segenap energi yang kumiliki, aku kembali fokus pada tujuan utamaku.
Kukosongkan diriku dari segala nafsu dan ego, dari segala pikiran-pikiran jahat dan kotor, juga dari segala prasangka yang pernah ada. Setelah memasuki alam sunyata (kekosongan batin), kuhembuskan separuh energi serta kekuatanku kepada Sae. Kuberikan separuh diriku untuknya agar Sae selalu terlindungi dari segala marabahaya, penyakit dan juga pengaruh-pengaruh jahat yang mungkin saja menimpanya selama aku pergi.
Tanpa Sae tahu, aku telah memberikan Sawaka dan Mantili sebagai pelindungnya, sekaligus menjadi penjaganya di mana pun ia berada. Aku.. Senja.. tak bisa lagi memanggil Sawaka dan Mantili semauku, aku hanya memiliki kuasa atas mereka hanya di Sawer ini. Bukan di desa, bukan di Bandung, bukan di mana pun. Hanya di Sawer ini. Kini separuh kekuatanku sudah menjadi milik Sae.
Kukembalikan kembali kesadaranku. Perlahan aku menyadari lingkungan sekitarku. Kudengar kembali suara-suara di dalam hutan, seiring hilangnya gambaran Sae.
Aku kembali.. dan badanku sangat lemas.
Kubaringkan tubuhku di atas batu, di antara Sawaka dan Mantili… Lelah kini sudah menguasai tubuhku. Dengan diiringi suara samar lengking kecapi suling dari pendopo, aku pun tertidur.
0 Komentar