SAE: PERJANJIAN SUNYI (1)
“Ja, kenapa sih mukamu lempeng aja kayak penggaris?” Kudengar Teh Sore menegur Senja yang sedang memasang kursi pengantin. Mereka tidak menyadari kehadiranku yang membawa secangkir kopi untuk Senja.
“Eh.. Oh… Nggak kok, Re.” Senja menjawab dengan gugup.
“Kamu tuh…”
“Yang lain ke mana?” Tanya Senja.
“Lagi di rumah Bi Iyah.”
“Kok kamu gak ikut?”
“Aku ingin berdua denganmu.”
Mendengar percakapan mereka hatiku terasa panas. Sikap Teh Sore sangat menyebalkan. Aku sangat tidak suka melihat cara dia memandang Senja, dan sikapnya yang nempel terus ke tubuh kekasihku. Kuurungkan niatku mengantar kopi, lalu berlindung di balik tiang pendopo.
“Kamu beneran sudah putus dengan Sae?”
“Kamu sudah tahu sendiri.” Kudengar Senja menjawab dengan suara datar.
“Lalu?”
“Maksudmu?”
“Ya lalu gimana? Kamu beneran sudah tidak sayang Sae lagi?”
“Bukan urusanmu.”
“Laaah.. kok gitu? Jutek banget jawabnya.”
“…”
Kuintip ke arah mereka. Senja masih melanjutkan pekerjaannya, sementara Teh Sore bersikap seolah membantu Senja sambil menempelkan tubuhnya. Tidak bisa dibiarkan…
“Selamat pagi, Teh Sore. Gimana semalam bisa tidur?” Aku menyapanya.
Teh Sore yang mendengar sapaanku tampak terkejut, sementara Senja hanya senyum sebentar lalu melanjutkan pekerjaannya.
“Pagi Sa. Bii.. bisa.. makasih.”
“Syukur atuh kalau bisa tidur mah. Maaf, ya Teh, kalau tempatnya seadanya. Maklum namanya juga di kampung.”
“Eh.. hehee.. nggak apa-apa, Sa. Kan aku juga dari kampung.. hanya kampungku di Palembang.”
“Hihi.. Teteh sudah sarapan?”
“Sudah Sa. Makasih.”
“Yank, ini aku buatkan kopi untukmu.” Aku mengalihkan perhatianku kepada Senja sambil menyodorkan cangkir yang kubawa.
“Sa?” Senja menatapku bingung, sementara Teh Sore terbelalak kaget.
“Kamu udah sarapan, sayang?” Aku menatap Senja dengan senyuman.
“Sae!”
“Hihi.. kamu tuh kebiasaan. Pagi-pagi udah galak…” Kucolek lengannya tanpa sempat ia tepis.
Senja hanya menerima kopi yang kusodorkan dengan kikuk, aku tahu kalau ia ingin marah tapi tidak bisa karena ada Teh Sore dan juga beberapa warga yang mulai datang ke pendopo.
Belum juga aku menjalankan niatku agar Teh Sore berpikir dua kali untuk menggoda Senja, tiba-tiba teman-teman dari Bandung bersama Mayang dan Ratna datang. Kami pun saling bertegur sapa dengan ceria; tentu saja kusembunyikan rasa sebalku terhadap perilaku Teh Sore.
“Sayaaaang…” Irma menyapa Senja sambil memeluknya, dan disambut oleh kekasihku. Aku hanya bisa tertawa melihatnya, begitu juga yang lain. Melihat mereka, aku sama sekali tidak cemburu, entahlah.. aku juga tidak tahu kenapa. Mungkin karena ia kekasih Ilham, yang adalah juga sahabatku.
“Ehem.. modus.. modus… duuuh.. pagi-pagi udah panas begini.” Teh Mae memeluk lenganku sambil memeletkan lidah ke arah Ilham.
“Kutu kupret..” Serentak Ilham menarik tubuh Irma sambil matanya melotot ke arah Senja. Tentu saja kami dibuat tertawa karena tingkah mereka.
Sementara mereka masih tertawa, aku mengambil tikar di pojokkan dan menggelarnya. Kami pun duduk melingkar. Ilham sengaja memeluk pinggang Irma karena kekasihnya itu masih saja bersikap manja ke Senja. Sementara Teh Mae selalu ingin dekat denganku. Meski begitu, aku merasakan kemesraan pandangan antara dia dan A Raka. Tak lama kemudian Ega dan Jaka juga datang membuat suasana semakin riuh.
“Hai onyet-onyet…” Tiba-tiba Ardan muncul dengan riangnya.
“…” Semua mata memandangnya geram.
“Hallo.. pagi semua…” Ardan mengulangi sapaannya.
Buuuuk!
Jaka menimpuk Ardan pakai asbak kosong.
“Njiiiirrr…” Ardan meringis. “Apa-apaan sih, nyet?” Kesalnya.
"Silaing (kamu - bahasa kasar) yang apa-apaan… Calon pengantin gak boleh keliaran!” Kali ini Ega yang merongos.
“Hehee.. bosen euy ..” Ardan menyadari kenapa kami menyambutnya dengan sikap kesal.
“Sana balik!!!” Aku ikut menghardiknya.
“Sumpah bosen pisan diem melulu di rumah.. di sini dulu bentar yah..” Ardan memohon sambil duduk.
“Gaaak!!!” Kami koor bersamaan.
“Widiiih.. galak amit.” Ardan protes sambil memelas.
“Sudah-sudah.. biarin aja.” Senja menengahi. “Mumpung kita lengkap, sekalian ada yang mau kusampaikan.” Lanjutnya.
Mendengarnya kami semua diam; tak satu pun yang berani membantah suara beratnya. Ardan duduk di sebelahku sambil mencolek daguku, tapi kuabaikan karena lebih penasaran pada sikap Senja yang tiba-tiba berubah serius.
Deg.. deg.. deg…
Semua mata memandangnya. Teman-temanku dari Bandung tampak santai, Irma kali ini malah membalas kemesraan Ilham dengan menyandarkan kepala di pundaknya. Teh Mae memeluk pinggangku dengan lembut, dan Teh Sore menatap Senja dengan senyuman senang.
Raut muka Ardan berubah sedih, demikian juga Ega; meski Ega bersikap lebih tenang ia nampak menyembunyikan sesuatu. Perasaanku mengatakan bahwa mereka berdua sudah tahu apa yang akan Senja sampaikan. Sedangkan Jaka, Ratna dan Mayang hanya diam menunggu.
Aku? Perasaanku sangat tidak enak.
“Saatnya sudah tiba.. kekasihku akan pergi.” Batinku seolah memberi tahu apa yang akan terjadi. Tiba-tiba saja kelopak mataku terasa panas.
“Eheeemmm…” Senja memulai omongannya dengan berdehem.
“Seperti yang sudah kubilang kepada teman-teman dari Bandung, juga sahabat-sahabatku di Sawer…” Senja menarik nafas panjang sambil tengadah menatap langit-langit pendopo. “Setelah perkawinan Ardan, aku akan mencari kakakku ke Bandung sambil membantu Raka menjalankan usaha kopi kita di sana.”
“———”
Dadaku terasa sesak.
“Kapan?”
Sebuah tanya keluar dari bibirku tanpa berani melihat wajah kekasihku.
“Aku akan ikut rombongan dari Bandung besok lusa.”
Aku sudah tahu saat ini akan tiba, tapi mendengarnya tetap saja membuat dadaku sesak dan mataku kian panas meski tiada lagi air mata. Air mataku sudah habis selama senja-senja penantianku, kini yang tersisa hanya luka dan pedih yang kusembunyikan dalam setiap diamku.
“Secepat ini, Ja?” Jaka bertanya lemah.
“Iya. Mumpung Raka membawa kendaraan dan banyak teman di jalan.”
“….”
“Aku akan berangkat subuh supaya pagi-pagi kami bisa berangkat dari desa…” Suara itu makin samar, dan sisanya aku tidak ingat apa-apa lagi.
………………..
https://t.me/cerita_dewasaa
POV MAE
Setelah mengantar Raka dan teman-temanku yang hendak kembali ke pendopo dan melanjutkan persiapan terakhir di sana, aku kembali masuk ke dalam kamar Sae. Nampak Bu Euis masih mengompres dahi Sae dan Bu Rohmah sedang memijit kakinya. Setelah tadi sempat sadar sebentar dari pingsannya, kini Sae tertidur dengan pulas. Wajahnya tampak lemah dan lelah. Aku bisa merasakan kesedihan dan letih penantiannya selama ini. Tak terasa air mataku mengembang.
Menyadari kehadiranku dan melihat mataku berkaca-kaca, Bu Euis bangkit dan membimbingku supaya duduk di tepi kasur. Kami masih saling diam dengan kecamuk pikiran masing-masing.
“Sae terlalu menyayangi Senja,” desah Bu Rohmah memecah kebisuan kami.
“Sebetulnya Senja juga, Bu. Tapi ia selalu keras kepala menyembunyikannya dan tak mau jujur.” Aku bergumam sambil menggenggam tangan Sae.
“Dua-duanya memang keras kepala,” Bu Euis menimpali.
Yah.. mau gimana lagi. Selama ini Sae selalu menunggu di bubulak, sementara Senja sendiri lebih banyak menghabiskan akhir harinya di saung lama. Kemarin malam sebenarnya aku sudah ingin menyampaikannya kepada Sae, tapi aku keburu melihat bayangan Senja yang datang. Malam tadi ia datang seperti biasa untuk menyendiri, tapi begitu melihat ada aku dan Sae di saung ia langsung mengurungkan diri dan hanya mematung di kegelapan. Kami sempat berpandangan mata, sebelum ia beranjak pergi.
“Kok, malah ngelamun, Neng?” Bu Euis menyadarkanku.
“Eh.. iya bu.. maaf.” Aku sedikit tergagap.
“Lusa Senja akan berangkat bersama kami ke Bandung,” lanjutku; dan disambut desah berat kedua wanita di sampingku.
“Kalau dipikir-pikir ini semua memang salah kita juga…” Bu Rohmah tak mampu melanjutkan ucapannya, air matanya meleleh.
Aku yang sudah mendengar rencana mereka dari Sae hanya bisa diam sambil mengusap air mataku yang juga meleleh.
“Apa tidak sebaiknya kita turun tangan untuk mempersatukan mereka kembali dan menjelaskan tentang semua sandiwara kita selama ini?” Bu Rohmah akhirnya mampu melanjutkan kalimatnya sambil menatap Bu Euis.
“Jangan!” Bu Euis menjawab tegas. Kulihat ia mengusap air matanya.
Lalu ia melanjutkan, “Mereka berdua itu keturunan pendekar, jadi mereka harus belajar menghadapi dan menyelesaikan masalah secara ksatria. Kalau kita turun tangan, mereka tidak akan pernah menjadi dewasa. Biarkan saja.. saya percaya mereka masih sanggup menanggung beban masing-masing. Kalau mereka memang sudah tidak sanggup dan malah membahayakan diri mereka sendiri baru kita ikut campur.”
“….” Hanya desah nafas kami yang terdengar.
“Sekarang ada masalah lain yang membuat saya penasaran…” Bu Euis menggantung ucapannya, lalu bertanya kepada Bu Rohmah, “Apakah Teh Rohmah juga merasakannya?”
Bu Rohmah mengangguk, lalu keduanya menatapku tajam.
Mendapat tatapan seperti itu, aku menjadi gamang antara tahu apa yang mereka pikirkan dan takut kalau tebakanku salah. Maka aku hanya diam dengan memasang muka bingung.
“Neng Mae mengingatkan ibu pada seseorang. Siapa orangtuamu, Neng?” Bu Euis akhirnya bertanya kepadaku.
“Orangtua saya adalah Pak Marga dan Bu Sawarni.” Jawabku.
Begitu melihat reaksi mereka yang terperanjat antara kaget dan senang, aku menjadi yakin apa yang mereka maksud. Tebakanku tidak salah. Entah bagaimana.. kami bertiga akhirnya berpelukan erat. Isak tangis kami pecah satu sama lain.
…… tik tok tik tok ……
“Sekarang sudah lengkap.” Bu Rohmah berucap sambil melepas pelukannya. Ia mencium pipi kananku dan Bu Euis mencium yang satunya lagi.
“Ibumu apa kabar, sayang?” Bu Euis bertanya sambil menatapku penuh kasih sayang.
Kuceritakan semua kisah tentang perjalanan hidupku, mulai dari meninggalnya kedua orangtuaku di Garut karena terkena ilmu hitam yang sampai sekarang tidak ketahuan siapa pelakunya ataupun motifnya; semua perjuanganku sebagai seorang yatim piatu sampai akhirnya aku bertemu Raka dan kedua orangtuanya di Bandung; juga kebaikan mereka yang mau membantu membiayai kuliahku sampai lulus. Tak lupa aku menceritakan perjumpaan pertamaku dengan Senja di Bandung dan dorongan perasaanku yang mengatakan bahwa Senja adalah pemuda yang selama ini sedang kucari.
Aku ceritakan semuanya dengan mengucurkan air mata dan suara sepelan mungkin karena tak ingin membuat Sae terbangun. Dua wanita di sampingku menyimak ceritaku sambil berkali-kali mengusap air mata mereka.
“Jadi begitu ceritanya, Bu.” Aku mengakhiri kisahku sambil menyandarkan tubuhku di dada Bu Rohmah.
“Jadi alasan Bu Ismaja membantumu salah satunya karena ia sendiri sudah merasakan auramu, sayang?” Bu Rohmah bertanya sambil mengelus rambutku.
“Iya bu. Tapi kami sendiri baru saling tahu dan terbuka satu sama lain pada saat Senja ke Bandung. Itu pun karena ada kejadian yang.. yang…” Aku ragu-ragu melanjutkan ceritaku.
“Sudah.. kami mengerti. Pasti mereka sudah melakukan hubungan badan sebelum ritual, dan kamu memergokinya.” Bu Euis menebak, dan aku hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Dasar si Ismaja.. Ia sudah menemukan orang ketiga tapi tidak pernah menyampaikannya kepada kami. Lihat aja besok!!” Bu Euis menggerutu. Aku dan Bu Rohmah hanya menahan tawa mendengarnya.
Setelah saling diam sesaat, sebuah janji saling terucap di antara kami bertiga. Janji yang sama yang kusampaikan kepada Sae kemarin malam. Sekali lagi kami bertiga saling berpelukan erat. Sebuah doa kuucapkan dalam hati, doa tulus untuk keselamatan jiwa leluhur kami, untuk Sawer dan kami yang masih berjuang di dunia ini, juga doa untuk Senja dan Sae.
“Berarti kita sudah lengkap, dan besok kita semua bisa ketemu.” Kata Bu Rohmah sambil merenggangkan pelukannya. Dan kami pun saling melepaskan diri dengan senyum bahagia yang memancar dari wajah kami bertiga.
“Kenapa harus besok?”
Serentak kami menengok ke arah pintu kamar.
“Mamah?”
https://t.me/cerita_dewasaa
Aku terbangun karena mendengar keributan di sekitarku.
“Kamu sudah bangun, Nak?” Suara yang sudah sangat kukenal menyapaku disusul sebuah usapan lembut di dahi dan kepalaku.
Kubuka mataku dan kutatap sosok lain selain ibu, Bu Rohmah dan Teh Mae.
“Ibu sudah datang? Aku kira besok.” Aku berusaha duduk sambil menyapa sosok bu haji yang sedang duduk di tepi ranjang.
“Iya.. ibu kangen ama kalian.” Jawabnya sambil memeluk tubuhku.
“Kamu kenapa, sayang?” Tanyanya. Belaian lembutnya menyiratkan sentuhan yang penuh kasih sayang, dan aku hanya menyembunyikan wajahku di dadanya tanpa menjawab.
Setelah saling melepas kangen, kuminum sisa ramuan Bu Rohmah lalu kami semua berpindah ke ruang tengah.
“Yang lain pada ke mana?” Tanyaku, tanpa jelas diajukan kepada siapa.
“Para cowok melanjutkan pekerjaan di pendopo, yang cewek menggantikan tugas kita menyelesaikan dekorasi di rumah Bi Iyah.” Teh Mae menjawab.
“Iiih.. mantu mamah kok jadi gak peka sih? Bukan itu maksudnya looh…” Bu haji menjembel pipi Teh Mae dengan gemas.
“Hihi.. oh iya ya mah.” Teh Mae terkikik sebentar sebelum melanjutkan, “Senja nggak ada. Ia sedang keliling dengan Ilham, Irma dan Sore. Mereka sedang membuat peta kampung kita, Sa, karena Senja ingin menjadikan Sawer sebagai kampung budaya.”
Hatiku sangat pedih mendengarnya… Bahkan dalam keadaanku yang seperti ini, Senja lebih memilih pergi; tidak mau peduli atau menemaniku. Aku juga makin sesak ketika mendengar bahwa Teh Sore juga ikut bersama Senja.
“Sudah tidak usah dipikirin… Tadi Senja yang memangkumu ke rumah kok.. ia tadi sangat panik… tapi karena ada Bu Rohmah yang menjagamu ia bisa tenang. Ia pergi karena sudah tidak memiliki banyak waktu lagi sehingga memutuskan untuk menyelesaikan dulu urusannya bersama Ilham dan Irma.” Ibuku nampak memahami kesedihanku.
“Harusnya yang menjadi urusan dia itu aku, Bu.” Tapi hanya kukatakan dalam hati.
Kami pun ngobrol ringan di ruang tengah rumahku. Aku cukup heran melihat keakraban antara ketiga wanita paruh baya di hadapanku, tapi begitu mendengar bahwa mereka adalah sahabat masa kecil maka aku pun mengerti dan tidak curiga apa-apa.
Sekitar jam satu lebih Ratna datang dan mengundang kami untuk makan siang di pendopo. Kami pun beranjak dan berjalan beriringan menuju pendopo. Banyak orang yang menyambut dan menyalami bu haji, juga menanyakan keadaanku. Tak lama kemudian Ratna dan Mayang datang; juga Ilham, Teh Irma dan Teh Sore yang datang setelahnya. Ada yang kurang… kekasihku tidak kelihatan batang hidungnya.
“Senja ke mana?” Aku bertanya kepada Ilham dan hanya dijawab dengan mengangkat kedua bahunya. Jelas sekali ada yang ia sembunyikan, tapi aku hanya diam. Tak lama kemudian kami semua makan siang bersama secara parasmanan.
Setelah makan, aku, Teh Mae dan Teh Sore menuju ke rumah Bi Iyah untuk menyelesaikan dekorasi dan mempersiapkan peralatan rias untuk besok pagi. Sementara sahabat-sahabatku yang lain melanjutkan persiapan di pendopo bersama para warga. Senja masih juga menghilang, entah ke mana. Bahkan ketika kutanyakan kepada ayah dan ibunya, mereka pun tidak tahu.
Dengan cepat kuselesaikan pekerjaan di rumah Bi Iyah. Jam empat sore, teman-temanku dari Bandung kembali ke rumah Senja untuk istirahat dan persiapan mandi, sementara Bu haji diantar Mayang ke rumahnya karena ia akan menginap di sana. Aku sendiri berlari ke rumah dan pergi mandi ke tampian.
Setelah mandi dan ganti pakaian, aku segera ke rumah Senja untuk mencarinya, tapi ia tidak ada. Aku pun segera pamit kembali kepada teman-teman dengan alasan sakit perut. Kubergegas ke rumah Ardan, tapi di sana hanya ada Ardan, orangtua dan keluarganya dari luar kampung yang sudah berkumpul. Rumah Jaka juga kosong, pun rumah Ega dan saung lama.
Deg..
Bubulak…
Aku berlari sekencang-kencangnya menuju ke sana. Kuberlari dan berlari.. tak kuhiraukan beberapa warga yang menyapa.
Dengan terengah-engah akhirnya aku sampai juga. Dan.. aku harus kecewa. Senja juga tidak ada di sini. Ingin aku menangis, tapi air mataku tidak bisa keluar. Ingin kuteriak tapi yang ada hanya sesak. Dengan lesu aku melangkah ke atas batu dan duduk di atasnya sambil menatap langit senja yang sore ini tak semerah biasanya. Awan tebal menutupi sinar senja di barat sana.
“Sayang.. kamu di mana? Ini sudah senja ke-25 aku menantimu.” Aku membatin sambil menggenggam kalungnya.
Kukabarkan kecamuk perasaanku…
Sayang… wajahmu selalu menari setiap senja menepi, membuat gaduh di langit gundahku; datang dan terus membayang namun hilang bersama malam. Malam-malamku kini sekedar pembaringan sunyi, menjadi saat kumengaduh sepi seraya mengenang teduh pelukanmu.
Sadarkah kau kekasihku? Lusa kau akan pergi… dan bahkan sebelum jejak kepergianmu, tunas-tunas rindu sudah menyeruak, membelit rasaku; nanti, di setiap bekas jejak langkahmu, kuncup-kuncup sepiku akan kian bermekaran; tertanam dalam.
Sadarkah kau kekasihku? Kau akan pergi membawa serta tawaku dan kau hanya mewariskan sepi tak berbatas ini.
Kaubawa semua cerita indahku
dan hanya menyisakan kisah pilu di hatiku.
Saat langkahmu menjauh nanti.. saat itulah sunyi mendekat-menghampiri; saat ragamu menghilang.. hatiku akan merintih seiring lenyapnya senyumanmu. Semoga nanti, aku kuat menanggung tangisku yang akan selalu datang.. lagi dan lagi...
Saat cintamu pergi.. duka laralah yang akan memelukku.
Kekasihku.. datanglah sebelum kau pergi, pulangkan dulu indahnya cinta kita. Atau setidaknya.. lebur aku ke dalam jiwamu agar cinta kita tak hilang termakan waktu bersama hilangmu.
Kucium kalung yang sempat dibuang kekasihku, lalu kugenggam erat kembali.
Tiba-tiba rasa hangat menjalar di seluruh tubuhku. Ada udara asing yang meresap melalui ubun-ubunku, turun… dan memenuhi seluruh tubuhku. Sisa-sisa lemas karena pingsan dan rasa lelah karena pekerjaan serta penantianku kini hilang seketika. Badanku tiba-tiba menjadi bugar.
“Sayang?” Aku segera berdiri dan menengok ke belakang. Sepi. Kusapu seluruh area bubulak yang mulai gelap dengan pandanganku, juga sunyi. Fiuuuh.. Aku menghela nafas dan duduk kembali. Aku merasakan kehadirannya, tapi dia di mana? Dan…
Aku tercekat. Ini… puntung rokok ini… Mataku terbelalak ketika menemukan dua puntung rokok tak jauh dari tempat dudukku. Segera kuraih… Tak salah lagi. Ini jejaknya. Tadi ia ke sini. Ia selalu mematikan rokoknya tepat ketika api menyentuh garis kuning puntungnya. Ini jejaknya… Aku yakin itu…
“Sae bodoooh!! Bodoh!! Bodoh!!!” Aku mengutuki diri sendiri. Tadi ia ke sini, tapi aku malah tidak ada.
Dengan segara aku berlari ke rumah Senja. Dan tubuhku benar-benar merasa ringan.. aku sendiri tidak mengerti kenapa. Melalui pintu dapur aku menerobos masuk, tapi rumah dalam keadaan sepi. Lalu kubergegas ke rumah Bu Rohmah karena pikirku Senja sedang menemui bu haji, sang wanita keduanya; juga tak ada siapa-siapa.
“Pasti mereka semua di pendopo,” batinku. Aku pun melangkah ke sana. Nampak semua sedang berkumpul di atas bale-bale, dan hidangan makan malam sudah disajikan. Aku masuk sambil mencari keberadaannya.
“Senja mana?” Aku, Mae dan bu haji saling bertanya bersamaan.
“Loh?” Kami kembali kompak keheranan.
“Udah biarin aja, nanti malam juga datang.” Ilham nyeletuk sambil menerima piring yang disodorkan Teh Irma.
Aku semakin yakin, Ilham adalah satu-satunya orang yang tahu keberadaan kekasihku.
“Ilham!! Senja ke mana??” Aku bertanya setengah membentak.
“Yeee.. udah kita makan dulu. Gua kan udah bilang nanti juga datang.” Dengan enteng ia menjawab, membuatku semakin geram.
“Udah, sayang. Kita makan dulu. Bu haji berdiri dan memelukku, membuatku urung menghardik Ilham.
Aku mengalah dan duduk di samping bu haji. Kami pun makan dengan tenang, tak ada obrolan yang keluar sampai kami menyelesaikan makan kami. Tak ada sedikitpun selera makan malam ini, namun karena bu haji mendesak dengan tatapannya akhirnya kuhabiskan juga nasi di piringku.
Setelahnya, baru kami ngobrol kembali. A Raka dan Teh Irma menceritakan semua rencana Senja berkaitan dengan pengembangan Sawer menjadi kampung budaya dan maket plan yang tadi siang mereka bicarakan. Teh Mae menyampaikan rencana bisnis kopi kami ke depan sambil menunjukkan gambar logo Kopi Sawaka yang sudah Senja setujui; juga menunjukkan draft marketing-web yang ia buat. Teh Sore memberi kabar bahwa izin merk dagang dan kode produksi dari Dinas Perdagangan sudah dikantongi.
Sementara Ega bercerita bahwa Senja juga sudah pamitan kepada semua warga sekembalinya mengantarku saat pingsan tadi. Sementara Ilham menyampaikan bahwa ia sudah menyiapkan tempat tinggal bagi Senja di Bandung. Untuk sementara, Senja akan menempati salah satu kamar kosan milik mamang-nya (paman). Rencana ke depan, rumah induk akan dikontrak sebagai tempat tinggal Senja, Ilham, Teh Irma dan Teh Sore. Mendengar nama terakhir, aku merasa sangat tidak suka, tapi aku hanya bisa diam mendengarkan.
Dan tiba-tiba saja… semua obrolan berpusat ke Senja. Semua bercerita tentang kesan masing-masing terhadap sosoknya, kepribadiannya, mimpinya, pengorbanannya, dan… semua detil tentang dia. Aku menangis dalam hati, dan aku yakin, kalau malam ini Ardan ada bersama kami, ia akan menjadi satu-satunya orang yang menangis.
A Raka memeluk Teh Mae erat, Ega mengelus kepala Ratna, Ilham dan Teh Irma menampakkan keaslian kemesraan mereka, Jaka menggenggam telapak tangan Mayang dengan lekat, Teh Sore menunduk sedih, sementara aku hanya bisa membenamkan kepalaku di dalam pelukan bu haji.
Malam ini, kami dipersatukan oleh mimpi yang sama tentang kopi dan Sawer ini. Persahabatan kami terjalin karena perjumpaan yang seolah sudah diatur oleh semesta. Dan ini semua… berkat SENJA.
“Kamu di mana, sayang?” Isak diamku semakin dalam. Sebuah doa dan janji pun kuucapkan dalam hati, janji untuk kekasihku yang telah mempersatukan persahabatan ini.
0 Komentar