SAE: PENGAKUAN
Senja-senjaku masih sama: menanti kekasihku di bubulak; dan selalu saja berakhir kecewa. Padahal setiap hari kami bertemu di pendopo dan ngobrol, bahkan bercanda. Namun sampai saat ini, aku tidak pernah berani jujur kepada “kekasihku” bahwa setiap senja aku menantinya di bubulak. Aku selalu takut dan sungkan pada sikapnya yang nampak tidak pernah memikirkan persoalan pribadi, melainkan hanya fokus pada usaha kopi dan perkawinan Ardan yang tinggal tiga hari lagi.
Hari-hari kami semakin sibuk dengan urusan dekorasi dan rias pengantin. Sementara kaum lelaki menyulap pendopo menjadi ajang hajatan, dan kaum ibu sibuk di dapur umum. Tadinya aku mau memanggil dan menggunakan jasa juru rias dari desa, tapi kemudian ada kabar dari Bandung bahwa Teh Mae dan Sore siap membantu dan akan membeli perlengkapan di sana. Hari ini mereka akan datang dan kami sudah menyulap ruang tengah rumah Senja sebagai tempat tidur mereka.
Sound system yang kami sewa dari Ewer sudah Jaka pasang, dan musik kecapi suling sudah diputar. Suaranya bisa terdengar ke penjuru kampung, bahkan sampai perbatasan, karena Jaka juga memasang pengeras suara yang dipinjam dari masigit.
Kuhempaskan tubuhku di atas tangga bale-bale pendopo sambil mengamati kaum pria bekerja. Tubuhku terasa letih setelah hampir seharian menata rumah dan kamar pengantin di rumah Bi Iyah. Nampak Ega, dibantu Ratna, sedang membereskan dan menata meja untuk tempat hidangan, sementara Senja sibuk memasang janur daun kelapa dengan sebatang rokok menempel di ujung bibirnya. Kalau sedang bekerja sendiri begitu, ia sangat kelihatan aslinya: raut wajahnya datar tanpa ekspresi, tanpa senyum atau mata berbinar, tiada juga aura sebagai pemuda yang penuh sayang. Ia hanya akan tersenyum atau tertawa jika sedang bersama yang lain.
Aku kembali berdiri. Ingin aku menghambur dan memeluknya; mengembalikan jiwanya kepada Senja yang sejati. Tapi yang bisa kulakukan hanya beranjak ke dapur di belakang pendopo dan mengambilkan air minum untuknya. Kusapa beberapa ibu-ibu yang sedang sibuk bekerja, lalu kutuang segelas air putih dan kubawa kepada kekasihku… Maaf… maksudku kepada sahabatku.
“Minum dulu, Ja.” Aku menghentikan kegiatannya.
“Makasih, Sa.” Ia meraih gelas yang kusodorkan lalu meneguknya. Bibirnya tersenyum ramah, tapi tetap saja ia tidak bisa memberikan sinar bahagia dari sorot matanya.
“Kamu mau kubuatkan kopi juga?” Sambil menerima gelas kosong yang ia sodorkan.
“Boleh, Sa. Tolong bikinkan ya. Aku suka kopi buatanmu, takarannya pas.” Aku hanya tersenyum sambil kembali ke dapur pendopo. Aku senang mendengarnya, walaupun kulihat Senja nampak terkejut karena ucapannya sendiri.
Aku menyeduh kopi dengan segala doa dan harap yang kupanjatkan dalam setiap adukkannya. Mataku panas karena air mata yang mendesak keluar.
“Kamu kenapa, Sa?” Tanpa kusadari Mayang sudah berdiri di sampingku.
Ya, ia adalah mayang, anak bungsu bu rohmah yang menikah dengan pemuda rujit. Tapi cintung, popotongan-nya (mantan suami), malah selingkuh dengan wanita lain ketika ia bekerja di kota. Lama ia tinggal dengan kakaknya di kampung yang sama sambil membantu merawat keponakannya yang baru lahir, tapi sudah dua bulan ini ia kembali ke Sawer dengan alasan agar bisa menemani Bu Rohmah. Padahal aku tahu, ia kembali ke sini karena dijemput Jaka kekasih lamanya; dan kini mereka sudah pacaran kembali. Dulu mereka putus karena Bu Rohmah dan orangtuanya Cintung sudah telanjur menjodohkan mereka.
“Ditanya malah ngelamun,” Mayang mencolek lenganku.
“Hehehe.. maaf, May.” Aku hanya tertawa untuk menutupi kegugupanku.
“Senja?” Selidiknya.
“Kamu bawel.” Aku memeletkan lidah, lalu meninggalkannya untuk mengantarkan kopi kepada Senja.
“Dasar!!” Mayang mengomel sambil meneruskan pekerjaannya, sementara beberapa ibu hanya tertawa melihat tingkah kami.
“Nih diminum dulu kopinya, Say…”
“Heh? Apa maksudmu?” Senja menghampiri sambil menatapku heran.
“Yeeee… kamu yang maen serobot aja. Aku kan belum selesai ngomong. Nih.. sayang kalau nanti keburu dingin.” Aku berkilah untuk menutupi kegugupanku. Padahal aku benar-benar keceplosan.
“Ooh.. makasih ya.” Ucapnya sambil meraih cangkir dari tanganku.
“Hmmmm.” Jawabku sambil memandangnya. Aku suka cara dia menyeruput kopi yang kuseduh, ia nampak sangat menikmati.
“Ya udah, aku tinggal dulu ya,” pamitku sambil melihat matahari yang sudah turun di tepi barat.
“Mau ke mana?”
“Ke bubulaklah…” Aku menggantung jawabanku.
“Ngapain ke sana?”
Sumpah, rasanya tangan ini ingin menaboknya. Ini sudah senja ke-24 aku menunggunya di sana, tapi ia masih tidak peka.
“Menunggumu!!” Aku melangkah dengan sangat kesal dan gondok.
Deg.
Senja meraih tanganku.
Kamu mau ikut aku, sayang? Ayo.. aku senang…
“Udah di sini aja, Sa. Sebentar lagi rombongan dari Bandung akan datang. Kamu kan harus kenalan sama mereka sambil membicarakan konsep riasan pengantinnya.” Senja menjelaskan sambil tetap memegang tanganku.
Fix. Kalau tidak ada orang lain di sini aku pasti sudah menggamparnya. Mataku pasti sudah memerah karena menahan kesal dan sedih.
“Nanti malam kan bisa ketemu. Aku…”
“Sa. Pliiisss.. kamu di sini aja, jangan ke mana-mana.” Ia memotongku.
“Nggak!” Aku menepiskan tangannya, lalu beranjak pergi.
“Dasar keras kepala!” Aku mendengar Senja menggerutu. Hatiku sangat kesal mendengarnya; membuat langkahku terhenti.
“Kamu…” Kutunjuk wajahnya sambil menahan amarah.
“Oke!! Oke.. aku memang keras kepala. Puas kamu?? Tapi aku masih punya hati, tidak membatu seperti kamu!!” Sebisa mungkin aku menghardiknya dengan suara pelan. Air mataku sudah tidak bisa terbendung lagi.
Aku sudah tak mau lagi melihat wajahnya. Aku hanya bisa berlari dan berlari menuju bubulak. Beberapa kali kakiku terantuk dan nyaris terjatuh karena mataku berkubang air mata.
https://t.me/cerita_dewasaa
“Teh, pulang yuks.” Aku terkejut mendengarnya. Kuangkat wajah ini dari atas lutut dan kuusap sisa air mataku. Aku pun tersadar kalau hari sudah gelap. Ratna sedang duduk di sampingku sambil memandangku, tangannya memegang senter.
“Kamu sudah lama, Rat?”
“Sekitar lima menit.” Ratna menjawab singkat sambil menggeser duduknya.
Kami pun berpelukan.
Tik tok tik tok.
“Sudah, ya Teh, mau sampai kapan mau seperti ini terus?” Ratna melonggarkan pelukkannya.
“…”
“Yang dari Bandung sudah datang, mereka mencari Teteh. Ingin kenalan katanya.”
“Siapa aja?” Kurapikan wajahku.
“Ada Kang Ilham, Kang Raka, Teh Mae, Teh Irma, dan Teh Sore.”
“Ooh...”
Kami berdua berdiri dan berjalan pulang. Kami mampir ke rumahku sebentar untuk sekedar cuci muka dan ganti baju, sambil tak lupa kukenakan kembali selendangku; lalu bersama-sama menuju ke rumah Senja. Hari sudah jam tujuh malam.
Kami masuk dari pintu dapur, di ruang tengah tampak ramai dan meriah. Jaka, Ega, Ardan dan Mayang pun ada di sana; selain Senja tentu saja.
“Saeeeeee!!!” Ilham yang pertama melihatku langsung berdiri menyambut, sementara yang lain serempak melirik dan juga berdiri.
“Hmmmmfff…” Ilham memelukku dengan sangat erat.
“Iiih.. apa-apaan sih?” Protesku, sambil tetap membalas pelukkannya.
“Aku kangen nih ama Ny. Senja. Pa kabar, Sa?”
“…” Sambil mencubit pinggangnya.
“Heeeh.. Lu malah main peluk-peluk aja.. otak mesum.. modus..” Sebuah suara mendekat, terasa ada yang memisahkan pelukkan kami. Seorang gadis cantik dan bertatoo mendorong Ilham, matanya melotot. Sementara Ilham hanya tertawa sambil mencolek dagunya.
“Heii Cin.. Kenalin aku Irma, pacarnya si otak mesum.”
“Sae.” Aku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Tapi Irma mengabaikan tanganku, ia malah memelukku dengan erat.
“Akhirnya gua bisa ketemu lu. Senja banyak nyeritan lu, Cin.”
“Hihi.. makasih, ya Ir. Senang bisa berkenalan.” Aku membalas pelukannya sambil melirik yang lain. Senja nampak hanya diam salah tingkah.
Ada rasa bahagia merasakan ketulusan pelukkannya. Meskipun omongannya seperti ngawur dan gaul, tapi aku merasakan kalau Irma adalah orang yang sangat baik.
“Udah donk, Ir. Aku juga kan pengen kenalan.” Sebuah suara mengingatkan kami dan membuat kami saling melepaskan pelukan.
“Hai Sa. Aku Mae, kakaknya Senja. Hihi…”
"Saya sae, teh." Aku membalas pelukannya sambil kembali menyebut namaku. "Oh ini toh yang namanya Mae. Cantik dan baik.” Aku membatin.
Bukan hanya memeluk, Teh Mae juga mencium kedua pipiku.
“Hallo, Teh. Saya Sae.” Aku menyapa gadis yang berdiri di belakang Teh Mae.
“Hai, Sa. Aku Sore.”
Kami juga berpelukkan. Setelahnya aku menyalami Raka.
“Duuh.. maaf ya kalau keadaannya kayak begini, maklum di kampung.” Kataku sambil duduk di tepi kasur yang sudah digelar.
“Payah tuh si Senja. Masa nyuruh kami tidur barengan gini.” Sungut Irma yang langsung disahut Ilham, “Halah bilang aja bete karena lu gak bisa tidur berdua ama gua.”
“Dasar mesum!” Sewot Irma.
Kami pun tertawa, sementara Senja hanya bisa garuk-garuk kepala.
Entah kenapa suasana menjadi sangat ramai dan kami mudah sekali akrab. Bahkan Teh Irma mengomeliku supaya tidak pakai kata ‘saya’ tapi ‘lu-gua’ saja. Tentu saja aku tak bisa melakukannya, akhinya ‘aku’ menjadi bahasa yang paling netral dan akrab untuk menyebut diriku sendiri. Sejenak aku lupa akan kesedihanku sore dan senja ini. Meski aku risih juga dengan kemesraan yang ditunjukkan Ilham dan Irma; tepatnya bukan risih sih, tapi iri.
Selama ngobrol Teh Mae tak mau jauh dariku, bahkan tak jarang ia memelukku. Kami bercerita banyak, terutama Ilham dan Irma yang mendominasi pembicaraan dengan cerita-cerita mereka selama perjalanan; juga kehebohan Ega, Jaka, dan Ardan. Sementara Senja lebih banyak diam dan hanya menyahut sekali-kali saja, atau hanya tertawa ketika ada yang melucu.
“Kalian udah putus ya?” Teh Mae tiba-tiba berbisik di telingaku, sementara yang lain sedang tertawa karena cerita lucu Ilham.
“Eh… Kok teteh tahu?” Aku membalas bisikkannya.
“Kelihatan. Malam ini kita harus berbicara.”
Deg.
Kukendalikan perasaanku dan berusaha kembali terlibat dalam obrolan dan candaan kami. Aku senang bisa mempunyai kenalan dan teman-teman baru, tapi aku tidak senang pada cara Teh Sore menatap dan memerhatikan Senja.
Jam delapan, ibuku datang dan mengundang kami semua ke pendopo untuk makan malam. Dengan gembira kami berdiri dan keluar rumah dengan bantuan senter yang dibawa ibu dan Ratna. Namun setibanya di halaman pendopo, Teh Mae tiba-tiba menghentikan langkahnya. Sementara di dalam banyak sekali orang yang sedang mengobrol sambil ngopi; beberapa di antaranya sambil bermain kartu domino.
“Eh.. aku sakit perut. Anter aku ke tampian donk, Sa.”
“Iya, Teh Mai. Hayu atuh
.” Jawabku sambil meminjam senter yang dipegang Ratna.
“Jangan lama-lama. Nanti sayurnya keburu dingin.” Ibuku mengingatkan.
“Nggak apa-apa kok, bu. Pulangnya nanti kami mau langsung ke rumah Bi Iyah untuk melihat persiapan di sana. Nanti kami makan di sana saja.” Teh Mae menjawab.
“Ya udah terserah kalian saja.”
Teh Mae mendekati A Raka dan membisikkan sesuatu lalu mencium pipinya. A Raka hanya mengangguk sambil tersenyum dan membalas ciuman Teh Mae di keningnya. Jantungku berdesir melihat pemandangan itu, kulirik Senja namun ia bersikap seolah-olah tak peduli dengan sikap mereka.
Kami pun melangkah meninggalkan pendopo.
“Sa, anter aku ke saung lama.”
“Eh.. ngapain, Teh? Katanya sakit perut.”
“Aku ingin melihat-lihat saja. Senja sering cerita tentang saung itu, tempat kalian membangun mimpi bersama. Tadi aku bohong, nggak sakit perut kok.”
“Tapi, Teh…”
“Udah hayu.”
Aku hanya bisa menuruti kemauan Teh Mae, lalu melangkah menuju saung sambil bergandengan tangan. Kami masuk ke dalam rumah Ega sebentar untuk menyalakan lampu saung, lalu kami bersama-sama melangkah ke sana. Kujelaskan beberapa tempat di pelataran belakang rumah Ega dengan bantuan sorotan lampu senter. Kutunjukkan lapangan tempat menjemur kopi, saung bekas penggilingan, dan juga gudang kecil yang ada di belakangnya. Lalu kami pun naik dan duduk di dalam saung tempat dulu kami nongkrong.
Atas permintaan Teh Mae, kuceritakan semua suka-duka kami merintis usaha kopi sampai akhirnya sukses seperti sekarang ini. Sambil mendengarkan ceritaku, tak hentinya ia menggenggam tanganku dan sekali-kali memelukku untuk mengungkapkan kekaguman dan rasa bangganya pada kami.
“Jadi gitu, Teh, ceritanya.” Aku mengakhiri.
“Eh.. ini selendangmu bagus sekali. Beli di mana?” Teh Mae malah mengalihkan pembicaraan.
“Nggak beli kok, Teh. Ini dari Senja.” Jawabku.
“Hihi.. pantesan.”
“Maksudnya?”
“Nggak kok.”
“Ih.. Teteh maaah.”
“Senja sayang banget ama kamu loh, Sa.”
Deg.
“Teteh tahu dari mana?” Aku menatapnya heran.
“Hmm..”
Teh Mae diam sejenak sambil meraih kepalaku dan meletakkan di atas pundaknya.
“Senja itu kelihatannya aja kuat, Sa. Tapi hatinya rapuh.”
“…” Aku sudah tahu kalau itu, tapi aku menjadi penasaran karena Teh Mae bisa tahu.
“Ia pernah cerita tentang aku?” Tanyanya.
Aku hanya menggeleng.
“Dasar tuh anak..” Teh Mae menarik nafas panjang.
“Waktu di Bandung, entah kenapa kami merasa bisa langsung akrab dan begitu dekat. Dan sampai sekarang kami hampir setiap hari berkomunikasi. Aku menyayanginya, Sa…”
“Heh? Maksud Teteh?” Aku kaget dan menegakkan dudukku.
“Hihi.. kamu cemburu ya?”
“…” Dengan jantung berdebar kencang.
“Tenang aja, Sa. Aku menyayanginya sebagai seorang kakak pada adik. Demikian juga Senja, ia menyayangiku sebagai kakaknya. Kami sudah seperti saudara kandung. Orangtua Senja juga sudah tahu kok.”
Aku menarik nafas lega. Kuingat kembali isi percakapan-percakapan kedekatan mereka di grup ‘Kopi Sawaka’ ketika aku membuka hape Senja secara diam-diam. Spontan aku memeluk Teh Mae dan menyandarkan kembali kepalaku di pundaknya. Bahagia, haru, dan sedih bercampur menjadi satu.
“Senja juga cerita tentang hubungan kalian. Dan aku yakin kalau ia hanya cerita kepadaku; bahkan bapak dan ibunya pun tidak tahu.” Teh Mae menarik nafas sebentar, lalu lanjutnya, “Sekarang kamu cerita, sayang. Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Tapi Teh… Hiks.. hiks..” Aku sudah tak bisa membendung air mataku.
Teh Mae mengeratkan pelukkannya.
“Ya sudah, aku saja yang mulai cerita. Tapi ingat ini rahasia, kamu tidak boleh cerita kepada siapapun, apalagi kepada Senja. Aku sangat ingin mempersatukan kalian kembali, tapi aku takut pada sikap keras kepala Senja. Kalau aku turut campur, nanti Senja malah tidak percaya lagi padaku dan gak mau cerita lagi.”
“…”
“Percayalah, Sa. Ia sangat menyayangimu. Tak ada gadis lain dalam hatinya, selain kamu, sayang.”
Aku bahagia sekaligus sedih mendengarnya. Kemudian dari bibir Teh Mae mengalir banyak cerita tentang pergumulan hati Senja selama ini. Tentang cintanya padaku, tentang kesepian dan penderitaannya sejak kami putus, juga tentang perjuangannya membahagiakan para sahabatnya -tentu saja termasuk aku di dalamnya- dan kegigihannya membangun usaha kopi.
Yang membuat perasaanku makin tertusuk adalah ketika mendengar bahwa mimpinya tentang usaha kopi kini tidak murni lagi. Ia gigih berusaha semata-mata demi mengalihkan pikirannya dari padaku; bukan demi kemajuan Sawer. Hasilnya memang sama saja: sukses. Tapi motivasinya menjadi tidak murni. Untuk apa semua kesuksesan ini kalau dibangun di atas luka dan penderitaannya? Senja ibarat sedang membangun rumah yang megah, tapi tidak didirikan di atas pondasi yang kokoh.
“Hiks.. hiks.. lalu kenapa Senja gak mau membuka dirinya lagi untukku, Teh? Hiks.. hiks…” Aku memeluk Teh Mae makin erat. “Aku selalu menunggu dan menunggunya.. hiks hiks…” Lanjutku.
“Jadi gini ceritanya, Sa. Hiks…” Teh Mae turut terisak, lalu ia menceritakan potongan pembicaraan mereka di telpon:
….. “Kalau kamu yakin dengan perasaanmu, dan kamu juga yakin bahwa Sae menyembunyikan sesuatu dan ia juga masih menyayangimu, kenapa tidak kaubuka kembali hatimu, Ja? Kamu bicaralah dengannya dan mulailah cinta kalian kembali dari awal.”
“Gak bisa, Mai.”
“Kenapa?”
“Karena aku.. aku…”
“…”
“Pertama, aku tidak mau ia menderita dalam penantiannya selama aku merantau.”
“Kamu kan bisa mengajaknya pergi. Bahkan kalau mau, kalian bisa menikah dulu.”
“Tapi Sae gak mau, Mai. Lagipula aku sangat mengandalkan Sae dan Ega untuk mengurus kopi di kampung.” “Aku pikir bukan itu alasan utamamu.” “Heh? Kok tahu?”
“Cepat ceritakan!”
“Iya.. iya.. nyesel punya kakak galak.” “Cepat!”
“Aku menyayangi Sae, Mai. Sangat!! Aku pernah berikrar janji untuk selalu menyayanginya ketika aku memeluknya di bubulak, meski itu hanya dalam hati. Dan aku tidak akan pernah menyesal karena telah berikrar seperti itu. Tapi…”
“…”
“Tapi sejak aku melihat Sae berpelukkan dengan Jaka untuk kedua kalinya, bahkan mereka berciuman, aku juga sudah menutup hatiku. Aku bersumpah bahwa aku tidak percaya lagi pada yang namanya cinta. Sampai sekarang hatiku sudah membeku, Mai. Aku masih bingung…”
“Aku mengerti, tapi kan itu hanya reaksi spontanmu, bukan keluar dari kejujuran hati seperti ketika kamu berikrar untuk menyayangi Sae selamanya.”
“Aku tidak tahu lagi..”
Cerita Teh Mae terhenti ketika isakku kini menjadi tangis keras. Aku sangat sedih mendengarnya, dan aku sangat menyesal. Menyesal atas sandiwara yang telah kulakukan. Tapi yang membuatku lebih sedih lagi adalah ketika mendengar cerita Teh Mae tentang ikrar dan janji setia Senja.
Aku semakin percaya pada perasaan damai dan bahagia yang tiba-tiba melingkupiku waktu itu, ketika ia memelukku di bubulak. Ternyata bukan hanya aku yang berikrar janji setia dalam hati, tetapi Senja juga melakukan hal yang sama.
“Hiks.. hiks.. hari ini sudah senja ke-24 aku menunggunya di bubulak, Teh. Itulah sebabnya aku baru bisa menemui kalian malam hari. Aku selalu menunggunya.. hiks hiks.. tapi Senja tak pernah datang.”
“Aku kagum pada cinta kalian.. hiks hiks… Tapi menurutku bukan karena Senja melihat kamu dan Jaka “berselingkuh” yang membuat Senja tak mau menemuimu di sana.”
“Maksudnya, Teh?”
“Aku pikir Senja gak mau menemuimu karena ia merasa tak pantas untukmu.” Teh Mae diam sebentar, lalu lanjutnya, “Jadi begini ceritanya…”
“Bukan karena perselingkuhan mereka saja yang membuatku menutup diri Mai. Aku tetap tidak percaya kalau mereka benar-benar selingkuh; pasti ada yang mereka rencanakan.”
“Lalu?”
“Karena aku sudah merasa tak pantas lagi menerima cinta Sae.”
“Aku gak ngerti.”
“Gini Mai.. (*menarik nafas panjang) Kamu kan tahu tentang wasiat kakek. Dan aku sudah menemukan Bu Rohmah sebagai wanita pertamaku. Sae tahu itu. Dan sekarang.. aku sudah menemukan wanita keduaku. Setelah ini aku tidak tahu lagi apakah masih akan menemukan wanita ketigaku atau tidak.”
“…”
“Aku sudah pernah melihat Sae begitu terluka ketika ia mengetahui hubunganku dengan Bu Rohmah saat aku menceritakannya di saung sawah. Aku sangat sakit menyaksikan orang yang paling kusayangi menderita seperti itu.”
“…”
“Sae memang mengerti dan mau menerimaku apa adanya, ia juga mendukungku untuk melanjutkan pencarianku. Tapi tetap saja aku masih dihantui bayangan kesedihannya saat itu.”
“…”
“Aku meniduri wanita-wanitaku bukan atas kemauanku, bukan juga karena aku mau memanfaatkan kesempatan untuk selingkuh darinya, tapi tetap saja ini berarti aku tidak bisa memberikan seluruh diriku dengan murni, Mai. Aku bisa memberikan kesucian hatiku untuk Sae, tapi aku tidak bisa memberikan kesucian tubuhku sendiri untuknya.”
Tik tok tik tok.
Kini yang ada hanya suara isak tangis kami yang berpadu dengan musik kecapi suling yang terdengar dari pendopo. Mendengar alunannya, membuat hati terasa makin teriris dan tercabik.
Aku bahagia dicintai oleh kekasihku seperti itu.. aku bahagia.. tapi kenapa ia sampai merasa kotor seperti itu. Aku bisa menerima situasi dia, aku bisa menerima dia apa adanya, aku tidak sedih lagi seandainya ia menceritakan telah menemukan dan tidur dengan wanita keduanya. Aku bisa menerima Senja apa adanya… bisa.. sangat bisa!!! Tapi kenapa ia tidak pernah bilang? Kenapa ia hanya menyimpan semuanya dalam hati. Dasar pria bodoh…
Teh Mae mengusap air matanya sendiri, lalu menegakkan tubuhku. Diusapnya air mata yang terus mengalir di pipiku. Sikapnya sangat meneduhkan dan membuatku bisa lebih tenang.
“Sekarang kamu yang cerita, sayang.” Teh Mae memintaku sambil memberi senyuman yang membuatku semakin yakin bahwa Teh Mae adalah seorang kakak yang baik dan bisa dipercaya.
Aku ceritakan riwayat kakekku di masa lalu, sikap keras kepala Senja yang tidak mau pergi dari kampung karena cintanya yang sangat besar padaku, sampai semua sandiwara yang kubuat.
Entah kenapa, aku dan Teh Mae baru bertemu beberapa jam lalu, tapi aku bisa sangat nyaman seperti ini. Kami seolah sudah saling mengenal sejak lama. Maka aku pun tak ragu menceritakan semua bebanku selama ini, termasuk penantian setiap senjaku di bubulak.
Dan.. kuceritakan pula sebuah rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat.
Kuceritakan bahwa sandiwara ini bukan kubuat atas inisiatifku saja, tapi bermula dari usul ibuku dan Bu Rohmah. Pada suatu siang, Bu Rohmah datang ke rumah dan kami ngobrol bertiga tentang masa lalu leluhur kami, Senja dan wasiat kakeknya, juga hubungan cintaku dengannya. Yang sangat mengejutkanku waktu itu adalah dampak jika Senja tidak menemukan wanita keduanya; ia akan mengalami nasib tragis yang sama seperti kakekku, sementara Senja sendiri masih tetap keras kepala dengan tidak mau mencari wanita keduanya.
Di situlah awal rencana sandiwaraku. Kami bertiga menyusun rencana untuk membuat Senja merantau, dan satu-satunya cara yang paling mungkin adalah dengan melibatkanku. Awalnya, aku sangat protes dan tidak mau, tapi setelah memikirkan kembali keselamatan Senja, aku akhirnya mulai menetapkan hati untuk menjalankan semuanya.
Aku terlampau menyayanginya, sementara ibu dan Bu Rohmah sangat mengkhawatirkan keselamatannya, jadilah kami sepaham untuk mencari jalan terbaik untuk Senja dan Sawer kami. Karena itu pulalah, kini hanya ibu dan Bu Rohmah yang paling mengerti situasiku, dan tidak pernah memarahiku ketika aku hanya menyendiri setiap senja di bubulak. Justru merekalah yang selalu mendampingi dan memberiku kekuatan.
“Jadi gitu, Teh, ceritanya.” Kuakhiri kisahku sambil kembali memeluk tubuh Teh Mae; kini air mataku sudah kering. Cinta Senja yang begitu besar padaku membuatku bahagia sekaligus sedih, dan ini tak perlu lagi ditangisi. Aku hanya akan menanti dan menanti, entah sampai kapan Senja akan mengembalikan hubungan kami.
“Aku mengerti. Kalian memang saling mencintai, namun sayang kalian punya jalan pikiran sendiri-sendiri tanpa pernah saling mengkomunikasikan.” Teh Mae bergumam.
Lalu lanjutnya, “Sekarang kemungkinan yang paling besar adalah kamu sendiri yang memulai, sayang. Kamu ajak Senja untuk berbicara berdua.”
“Sudah lama aku mau membicarakannya, Teh. Aku juga sudah mengajaknya. Tapi aku hanya mau jujur kepada Senja di bubulak karena tempat itu sangat berarti bagiku dan bagi Senja.”
“Hadeuh.. kalian memang dua-duanya keras kepala.” Gerutu Teh Mae.
Aku hanya bisa menggelembungkan kedua pipiku sambil mendelik. Dengan gemas Teh Mae mencubitku sambil terkikik, meski aku tahu kalau tawa kami ini hanya sekedar untuk menutupi rasa getir dalam hati.
Kulihat waktu pada jam tangan Teh Mae.
“Teh, sudah jam sebelas malam loh.. Yuk kita pulang, lagian kita juga belum makan.”
“Sebentar, Sa. Ada satu lagi rahasia yang kamu harus tahu.” Raut muka Teh Mae tiba-tiba berubah.
“Apa itu, Teh? Senja kenapa lagi?” Aku menatapnya heran.
“Ini bukan hanya tentang Senja, tapi juga tentang aku. Tapi kamu harus janji untuk merahasiakannya; Senja pun tidak boleh tahu.”
“Iya, Teh. Aku janji.”
“Aku adalah anak almarhum Bu Sawarni, alias keturunan wanita ketiga yang Senja cari.”
DEG!!!
0 Komentar