KETIKA SENJA PART 53


Senja kelima…




Tubuhku mulai lelah menunggunya, tapi hati dan semangatku tidak akan pernah menyerah. Aku telah berjanji bahwa aku akan selalu menghabiskan senja-senjaku di sini sampai ia berangkat ke Bandung. Dan kelak ketika ia sudah berangkat, aku akan sering-sering berada di sini untuk mengenangnya; sekaligus mendengar kabar tentangnya di sana yang ‘kan dibawa langit senja.




Kenangan tentangnya memang takkan pernah habis, bahkan ketika aku mengingat peristiwa yang sama sekalipun selalu saja ada hal baru yang muncul dari memoriku.




Masih kuingat siang itu, pasca ritual yang ia lakukan. Ia datang mencariku ke rumah Bu Rohmah dengan wajah panik; pikirnya aku ke sana untuk melabrak dan memarahi Bu Rohmah. Hihihi… Senja.. Senja.. kamu romantis, kamu berjiwa besar, kamu bertanggung jawab, tapi kamu juga bodoh.. Ah.. aku kangeen.. Aku kangen bilang ‘pria bodoh,’ bilang ‘gak peka,’ dan ngomong ‘bodo!’ Aku suka sikap salah tingkahmu kalau sudah dibilangin begitu… dan kamu akan merayuku. Aku juga kangen minta dipeluk.. aku kangen jemarimu yang selalu memainkan rambut di pelipisku.




Pagi itu aku memang sengaja ke rumah Bu Rohmah untuk meminta kepastian kepadanya. Bukan karena aku tidak percaya pada cerita Senja, tapi aku penasaran tentang wasiat kakeknya.




Bu Rohmah menyambutku dengan ramah, dan memelukku dengan penuh kasih sayang. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali dipeluk oleh ibuku sendiri. Ia membawaku ke belakang rumah dan ngobrol di sana. Sebetulnya aku ragu dan malu harus memulai dari mana, tapi ia seperti mengerti maksudku.




Dari mulut Bu Rohmah mengalir sebuah cerita tentang kakekku dan kakeknya Senja. Guru dan murid yang berbeda nasib. Aku sangat kaget mendengar cerita tentang kakek dan saudara-saudara ibuku yang meninggal karena Sawaka. Aku benar-benar baru tahu karena ibu sama sekali tidak pernah menceritakannya. Malamnya aku memaksa ibu untuk bercerita; dan akhirnya aku bisa mendengar dari mulut ibu sendiri ketika ia bercerita sambil berurai air mata.




Aku juga sangat bangga ketika mendengar penuturan Bu Rohmah kalau Senja awalnya tidak mau menjalankan ritual karena cintanya kepadaku. Tapi aku juga kaget ketika mendengar bahwa Senja tak mau mencari wanita kedua dan kakaknya. Aku takut nasib yang menimpa kakekku terjadi kembali pada Senja. Aku gelisah, dan aku mulai memikirkan untuk menyuruhnya pergi agar ia terhindar dari bencana.




Dan…




Baru juga Bu Rohmah menyelesaikan ceritanya, Senja datang dengan terengah-engah; takutku berubah menjadi lucu dan geli. Aku bisa menebak isi pikirannya. Hihi.. “Sayang, kamu lucu sekali waktu itu. Datanglah kemari saat ini. Aku rindu.”




Setelahnya, kami bermesraan di ruang tengah sambil menunggu Bu Rohmah menyiapkan makan siang. Bukan aku tak mau membantu, tapi Senja memaksaku untuk berduaan. Siang itu aku juga mengenal sisi lain Senja; ia adalah seorang yang keras kepala. Keras kepala karena cintanya padaku.




“Ja… neng Sae… ingat Senja masih punya tugas yang harus ia selesaikan. Ia harus menemukan gadis yang dimaksud kakekmu; dan membawanya pulang.” Bu Rohmah mengingatkan. Kami hanya diam sambil bergenggaman tangan.


“Aku gak mau pergi, bu. Kecuali kalau Sae ikut.” Ia menjawab sambil mendesah berat. Bu Rohmah hanya menggeleng, sementara aku meraih kepalanya dan menjatuhkannya di bahuku. Kami saling diam sesaat dengan pikiran masing-masing.




Menjelang sore kami pun pamit, dan sebelum keluar kami mendapat ciuman di dahi kami masing-masing. “Ibu titip rumah dan ngasih makan ayam ya. Besok ibu pergi ke rumah anak ibu yang di Rujit.” Pesannya, dan dijawab anggukan kami berdua.




Aku tak mau langsung pulang, tapi mengajaknya ke bubulak, tempat favoritku. Aku ingin menghabiskan senja itu berdua di tempat aku mengikrarkan janji. Dan meskipun Senja tidak mau bercerita, aku yakin ia telah menemukan Sawaka. Itu membuatku semakin takut.




Lagi-lagi senja ini aku pulang dengan perasaan hampa, Senja yang kutunggu masih juga tidak datang.








https://t.me/cerita_dewasaa








Senja keenam…




Kekasihku adalah seorang pemuda yang gigih, dan kalau sudah punya kemauan tak seorang pun bisa melawan. Itu ia buktikan dengan usaha kopi yang kami rintis. Meski Ega dan aku yang presentasi di depan warga sore itu, tapi aku merasakan peran Senja yang sangat besar. Ia dengan tegas dan berwibawa bisa menjawab semua pertanyaan warga, bahkan mampu menyanggah Pak RT dan Pak Ikin yang menentang rencana kami.




Sore itu ia kelihatan sangat beda. Bukan lagi Senja yang kadang lebih manja daripadaku, melainkan seorang Senja yang dewasa, jauh melampaui umurnya. Aku bangga.. bangga sekali.. ingin rasanya aku bilang di depan semua warga bahwa ia adalah kekasihku.




Kehidupan baru pun kami jalani dengan usaha kopi yang terus berkembang. Walaupun Senja selalu menjadikan Ega sebagai orang terdepan dalam usaha ini, tetapi Senjalah yang mengatur di balik semuanya; aku dan Ega tahu itu. Ia bagai raja kecil dalam usaha kami, dan aku adalah permaisurinya.. hihi… Uang kas kami pun semakin besar, dan kami masing-masing mendapat uang saku yang juga tak sedikit untuk ukuran orang kampung.




Aku sempat pergi ke desa selama seminggu untuk belajar membuat keripik kepada istrinya Pak Ikin. Ini adalah penderitaan bagiku. Sehari saja aku tak berjumpa dengannya sudah sangat kangen, apalagi seminggu. Aku sering melamun memikirkannya. Meskipun Ratna selalu menghibur dan mengajakku bercanda, tetap saja aku tak bisa mengalihkan pikiranku dari bayangan wajahnya.




Aku senang sekali ketika akhirnya kami pulang ke Sawer. Aku sudah sangat ingin berjumpa dengan kekasihku. Rupanya mereka juga sudah menyiapkan syukuran kecil-kecilan dengan membuat ayam panggang. Ketika tiba di saung, aku ingin sekali menubruk dan memeluknya; tapi aku urungkan hanya sekedar untuk mencobai dia.




Aku hanya menyapanya dan ia mencium pipiku. Lalu aku menyibukkan diri dengan menyiapkan bumbu. Dari sudut mataku aku bisa melihat bahwa ia tak lepas dari memperhatikanku, aku tahu ia rindu; aku juga. Tapi aku menahan diri sebisa mungkin.




Setelah racikan bumbu selesai, aku pergi mencuci tangan. Lalu kembali ke saung.. aku sudah tak bisa menahan diri lagi. Aku ingin memeluknya.. aku ingin menciumnya.. Tapi pas kembali, eh dia malah ngelamun. Langsung saja aku naik dan duduk di atas pangkuannya sambil memeluknya, membuat Senja terkejut.




“Kangen ya, yank?” Aku memandang wajah kekasihku.


“….” Senja hanya diam. Wajahnya cemberut kesal tapi sorot matanya tidak bisa menyembunyikan rasa kangennya.


“Aku tahu kok kalau kamu kangen. Soalnya aku juga kangen banget ama kamu.” Aku mencolek hidungnya.


“…”


“Pake pura-pura cuek lagi.”


“Kamu yang cuek. Aku kangen banget.” Katanya sambil mengeratkan pelukannya.


“Hihi.. aku ngetes kamu aja, yank. Ternyata kamu bisa sok cuek juga ya. Aku tahu kok kalau kamu kangen banget. Kamu gak bisa bohong dari aku.” Kataku.




Ia mencium bibirku sepintas lalu memelukku sangat erat.


“Iiih sakit sayang.” Aku protes.


“…” Sambil melonggarkan pelukannya.


“Makasih udah kangen.” Aku mencolek pipinya lalu beranjak ke luar saung.


“Eh.. lupa kalau ada Ardan,” aku mencolek pinggang Ardan yang sedang meniup api pakai songsong (bambu untuk meniup api).


“Dasar. Kalau sudah bermesraan, lupa sama yang lain.” Gerutunya sambil menepis tanganku.


“Hihi..” Aku berlari ke dapur sambil tertawa.




Panik…




Aku sangat panik ketika kembali ke saung aku menemukan Senja sedang pingsan. Nyaris kulempar bumbu yang kupegang saat itu; untung Jaka segera meraihnya. Aku segera memeluk tubuhnya yang dingin dan kaku. Ardan bilang kalau baru saja mereka ngobrol lalu Senja tertidur dan membiarkannya ngomong sendiri. Tapi aku tidak percaya.. ia bukan tidur, melainkan pingsan.




Tak kuhiraukan Jaka dan Ardan, Ega maupun Ratna, aku berusaha membangunkannya sambil menangis. “Yank... Sayaaaang!” Aku memanggil-manggil kekasihku.




Setelah lebih dari lima menit akhirnya ia sadar.




“Yank.. hiks hiks… kamu kenapa?”


“Maaf aku ketiduran.” Ia menjawab lemah tatapan matanya masih kosong.


“Nggak… kamu pingsan. Ni tubuhmu keringat dingin begini.” Aku menghardiknya karena panik sambil membantunya minum teh yang Ratna bawakan.


“Masa sih? Aku kecapean aja kayaknya karena kurang tidur. Mikirin kamu.” Ia malah bercanda.


“Gak lucuuu!!” Aku membentaknya.




Tapi ia hanya tersenyum sambil mengelus pipiku; selalu saja ia begitu kalau sedang menenangkanku.




Selama kami makan, aku masih belum bisa menyembunyikan kekhawatiranku tapi Senja cuek saja seolah tidak pernah terjadi apa-apa.




Hampir tengah malam akhirnya kami pulang, dan aku memaksa Senja untuk menginap di rumahku. Aku kangen sekali, dan ingin menghabiskan malam ini hanya berdua mumpung kedua orangtua dan adikku nginap di saung sawah.




“Bentar, yank.” Aku pamit untuk ganti baju.


“Sekalian bawain bantal.” Jawabnya sambil duduk di lantai papan ruang tamu.




Malam itu sengaja aku ingin menggodanya, dan aku rela jika seandainya ia mengambil mahkotaku malam itu. Aku terlalu sayang dia, dan aku ingin mempersembahkan seluruh diriku. Kukenakan daster warna kuning tanpa lengan yang panjangnya hanya selutut. Rambutku sengaja digelung agar memamerkan leher dan dada bagian atasku.




Dan benar saja.. kekasihku hanya bengong menyambut kedatanganku yang keluar dari kamar. Ia seakan menelanjangiku dengan sorot matanya. Tanpa permisi, aku langsung duduk di pangkuannya. Ia sempat protes karena aku tidak membawa bantal yang ia minta, tapi kuabaikan sambil mencium bibirnya.




“Kenapa harus nginep sih, yank? Kamu kan sudah biasa juga tidur sendiri di rumah.”


“Kamu jahat banget sih?”


“Loh.. kok jadi aku yang jahat? Kan cuma nanya sayaaang.” Ia nampak gemas sekaligus bingung. Hihi.. aku suka gayanya.


“Jahat!” Aku merengut.




Cup. Ia menciumku.




“Kamu gak kangen aku yah? Huh! Seminggu loh kita gak ketemu.”


“Tadi katanya kamu tahu kalau aku kangen kamu. Kok sekarang ngomongnya beda?”


“Tau ah. Masih kesel!!” Aku makin merajuk.




Senja mencium sudut bibirku sambil mengusap lengan atasku yang terbuka. Pori-pori kulitku sedikit meremang karena geli.




“Kamu jahat. Hiks hiks… tadi bikin aku khawatir.” Aku membenamkan wajahku di dadanya sambil menangis. Senja hanya diam sambil mengusap rambutku dengan penuh kasih sayang.


“Kan aku udah bilang kalau aku ketiduran, sayang.” Akhirnya ia menjawab.


“Kamu bisa bohong ke teman-temanmu, tapi tidak ke aku. Kamu tadi pingsan. Kamu membuat aku takut.” Aku kembali protes, membuatnya hanya diam.




Kalau aku pernah mengatakan bahwa Senja selalu jujur di hadapanku, malam itu untuk pertama kalinya aku merasakan Senja menyembunyikan sesuatu dan tak mau mengatakannya sedikit pun. Aku sebenarnya kesal karena kebohongannya, tapi aku tidak ingin melewatkan kemesraan di antara kami. Malam itu aku sangat ingin dimanjakan oleh kekasihku.




“Aku kangen banget sayang.” Ia berbisik sambil menghembuskan nafasnya di telingaku. Bulu-bulu halus di bawah rambutku yang digulung terasa meremang, dan aku hanya bisa memejamkan mata ketika ia mencium pelipisku dengan penuh kasih sayang.


“Mmmh.. shhhh…” Aku mendesah.


“Yank, di kamar aja.. sssh.. ah.. udah sayaaang.” Aku merajuk.


“Aku takut kebablasan, sayang.”


“Gak mau tahu.. hayo…” Aku memaksanya dengan manja.




Aku bahagiaaaa sekali ketika ia membopong tubuhku ke dalam kamar, dan ia membaringkanku dengan sangat hati-hati di atas kasur.




Lalu ia memasangkan selimut untukku, tapi kutahan dengan kedua kakiku. Uuuups.. dasterku tersibak, memamerkan kedua pahaku. Matanya terbelalak.




“Tuh kaaan… yang mesum siapa coba?” Aku menjewernya sambil menarik tubuhnya.




Senja terhempas dan menghimpit tubuhku; segera kukecup bibirnya; dan kami pun berciuman mesra. Aku sangat menikmatinya, kini kerinduanku selama seminggu tertuntaskan.




“Yank…” Nafasku sedikit tersengal; rasanya mataku menjadi sayu dan sendu. Aku menginginkannya.. aku ingin ia menyentuh seluruh tubuhku. Dan Senja nampaknya mengerti keinginanku…


“Maaf sayang, belum saatnya.”


“Kamu sudah tidak sayang aku lagi. Hiks… hiks…” Aku kesal mendengarnya. Tapi ia hanya mengeratkan pelukannya, lalu ia mengelus kepala dan punggungku.




Aku sangat terangsang, tapi itu kalah oleh cintanya yang begitu besar. Tangisku menjadi satu-satunya bahasa yang kusampaikan kepadanya; bahasa bahwa aku juga mencintainya. Kurasakan ia mengecup kepalaku kembali, dan kami pun tertidur dalam pelukan yang takkan pernah kulupakan.




“Sudah bangun, sayang?” Aaah.. bahagianya ketika suara pertama yang kudengar saat bangun tidur adalah suara kekasihku. Aku hanya mengangguk pelan, lalu membuka mataku. Ia mengecup dahiku; dan aku tak mau melewatkan pagi yang indah ini dengan segera bangun. Aku masih ingin dimanjakan.


“Yank, udahan ah manjanya. Yuk bangun, bentar lagi ibu pulang.” Bisiknya sambil mengecup tipis bibirku.


“Aku masih betah, sayang. Kangen terus ama kamu.” Rajukku.


Ia mengecup lagi bibirku.




Tiba-tiba aku teringat cerita ibu dan Bu Rohmah tentang efek Sawaka jika Senja tak menemukan wanita keduanya.




“Yank. Apakah kita akan seperti ini terus?” Aku bertanya pelan.


“Pasti.” Jawabnya sangat yakin.


“Muuuuach.” Aku melumat bibirnya beberapa saat.


“Suatu saat. Aku akan merasa kehilanganmu, sayang.” Aku segera bangkit dan beranjak keluar kamar untuk menyembunyikan air mataku yang tiba-tiba mengalir.




Aku tersadar dari lamunanku ketika ada tubuh yang menyentuhku. Dan.. aku harus kecewa, karena yang datang bukan Senja.








https://t.me/cerita_dewasaa








Senja ketujuh…




Sebetulnya aku bahagia ketika Senja mengajakku ke desa bersama Ega dan Ratna. Tapi kejadian beberapa hari sebelumnya ketika kami ngobrol bersama ibu dan Bu Rohmah membuat hatiku galau. Fiuuh.. sudahlah, aku belum siap mengingatnya saat ini. Senja ini aku hanya mau menantikan kekasihku datang sambil mengenang indahnya perjalanan kami.




Hari itu aku bahagia bisa mendampingi Senja membuat rekening bank. Aku bahagia menerima keramahan Bu Haji, walau aku merasa ada perhatian yang aneh darinya terhadap Senja. Aku bahagia ketika secara tak sengaja aku menemukan gelang bertuliskan ‘SSS’ di sebuah toko. Aku bahagia karena aku sempat mengintip sebuah selendang dalam plastik yang Senja bawa; itu pasti untukku. Kegeeran ya? Biarin…




Aku bahagia saat kembali ke Sawer bersamanya meski harus menembus guyuran hujan.




Saking bahagianya, aku tidak mau berteduh bersama Ega dan Ratna; aku hanya ingin berdua dengan Senja.




Di saung Abah Barja kami duduk berdua, dan Senja memintaku untuk menganti baju dengan sarung yang ia beli di pasar. Begitu perhatiannya kekasihku ini sehingga tak mau melihatku kedinginan. Huuh.. bukannya dipeluk, malah suruh ganti baju. Kugoda aaah…




“Mau?” Aku bertanya pada Senja ketika ia memandang tubuhku. Pasti dalamanku tercetak karena pakaian basah. Kutarik kaos basahku ke belakang agar memamerkan gundukan kedua payudaraku.


“Sayang!” Ia menghardikku sambil memelotot. Hihi lucu sekali.. aku hanya tertawa mendengarnya.




Hmmmmf. Kupeluk tubuh basahnya dan mencium bibirnya.




“Mmmh… hash..hash.. sayaaang ah. Kamu kenapa sih?” Senja mendorong lembut bahuku.


“Kangen.” Jawabku.


“Kan udah seharian bersama.”


“Iya tapi kan gak bisa meluk dan cium kamu.” Aku menjawab sambil mencoba mencium bibirnya kembali, tapi ia malah menahan bahuku.


“Udah dulu sayang. Kamu ganti baju dulu, masuk angin nanti.”


“Iiiih kamu gimana sih? Aku kan gak bawa ganti.”


“Udah pake sarung aja. Aku beli untuk bapakmu, daripada kamu kedinginan mending pake dulu. Nanti kamu cuci baru kasihkan ke bapak ya. Hehe..” Ia meraih kantong plastik sambil tertawa.


“Iiiih sayaaang. Kamu baik banget siih.” Aku hendak kembali memeluknya tapi kuurungkan begitu melihat matanya melotot.


“Galak!!” Gerutuku.


“Nih pake dulu. Gak pake protes!” Aku menerimanya sambil tetap merengut. Lalu kuloloskan pakaianku; aku berharap Senja mengintip sih.. hihi.. tapi ia malah tetap membelakangiku.


“Yank, udah.” Aku memanggilnya.




Matanya terbelalak. Senja melotot melihat tubuhku yang hanya mengenakan sarung dengan diikat di atas belahan payudaraku, dan hanya mampu menutupi setengah paha.




“Cantik gak?” Aku mengerling untuk menggodanya.


“Banget.” Jawabnya dengan muka bego.


“Makasih.” Aku memeletkan lidahku.


“Kok dibuka semua sih, yank?” Protesnya.




Aku tak mau menjawab, melainkan mendekatinya yang masih terpaku kaku. Kupeluk tubuh telanjang dadanya.




“Yank.. jangan ah. Celanaku basah, nanti kamu malah kena. Sama aja 'kan kalau sarungmu basah juga.”


“Ya sudah buka celanamu.” Aku semakin menggodanya.


“Enak aja.”


“Hihi.. Kamu gitu banget sih ke aku teh.”




Ia mengecup bibirku sambil mengusap rambutku yang basah. Lalu ia duduk di pinggir bale-bale, sementara aku sengaja bersila untuk memamerkan paha putihku; aku masih penasaran sampai mana ia masih mau bertahan.




Rasanya indah sekaligus sakit ketika mengenang saat itu. Kuhembuskan nafasku sambil melirik ke ujung jalan, berharap ia datang. Tapi harapan hanyalah harapan; Senja tak juga datang. Kulanjutkan kenanganku tentang kebersamaan kami sore itu.




Aku senang sekali ketika melihat ekspresi kekasihku saat menerima gelang yang kuberikan. Tapi sebelum kupasangkan, aku memintanya menciumku dulu; dan kami pun berciuman sesaat. Kupasangkan gelang bertuliskan ‘SSS’ pada logam berbahan stainlees, yang melingkar sepanjang punggung pergelangan tangannya, sementara di masing-masing ujungnya terdapat dua tali kulit yang diikatkan melingkar ke bagian dalam pergelangan.




“Suka?” Tanyaku. Tapi Senja hanya diam.


“Iiiih koq diam?”


“Sayaaang.” Tiba-tiba ia memelukku. “Suka banget.. makasih sayang.”


Kami pun berpelukan erat.


“Syukur deh kalau suka. Kenapa suka?” Tanyaku.


“Karena kamu yang memberinya. Akan kupake terus. Makasih sayang.”


“Terus?”


“Suka juga karena tulisannya.”


“Emang apa artinya?”


“Senja-Sae-Selamanya.”


“Iiih koq tahu siiih??” Aku kembali memeluknya dengan gemas.


“Kalaupun ada yang lebih bagus dan murah, kamu pasti tetep membeli yang ini kan?” Aku hanya mengangguk mendengar pertanyaannya.




Waktu itu tiba-tiba aku teringat isi plastik yang ia bawa.




“Mana?” Aku melepaskan diri dari pelukan eratnya sambil menyodorkan tangan.


“Apa?”


“Udah jangan pura-pura.” Aku percaya diri. Sebetulnya grogi juga sih, takut aku yang kegeeran sendiri.


“Apaan sih? Aku gak ngerti.” Ia masih berkilah.


“Mana??? Kamu gak bisa bohong.” Mataku mendelik.


“Kok tahu sih, yank?”


“Manaaa iih.”


“Iyah-iyaaah… Ah kamu maaah.. Gak romantis kan jadinya. Aku juga beliin sesuatu untukmu, tapi…” Ia diam memutus ucapannya.


“Muuuuach.” Aku mencium bibirnya.




Senja membuka bungkusan, dan menunjukkan isinya. Sebuah selendang dengan motif batik dan gambar harimau putih. Ia membentangkannya sebentar lalu memakaikannya di bahuku, melingkar sampai menutupi dadaku.




“Sukaaaaaa…” Aku berkata dengan mata berkaca-kaca. “Makasih Senjaku sayang. Hiks. Hiks.”


“Ih kok malah nangis?”




Aku tak menjawab; kuraih tangannya yang sedang mengusap air mata di ujung mataku. Kami saling berpandangan sambil saling memberi sentuhan-sentuhan ringan di wajah masing-masing.




“Kamu mau sampai kapan begini terus, nak?” Sebuah suara mengagetkanku. Bu Rohmah sudah berdiri di belakangku. Segera kubangkit dan memeluknya; tangisku pecah…




Aku senang karena ia datang di saat sepiku, tapi juga sedih karena yang datang bukan orang yang kutunggu.








https://t.me/cerita_dewasaa








Senja kedelapan…




“Sayang, sudah senja kedelapan aku menunggumu. Akankah kau datang hari ini?” Aku membatin sambil duduk memandang bukit-bukit di kejauhan.




Aku menunggu kedatangan kekasihku sambil mengenang awal yang memicu perpisahan kami. Sore itu, setelah saling berbagi hadiah yang kami beli di pasar, tiba-tiba aku merasa sedih karena mengingat kembali obrolanku dengan ibu dan Bu Rohmah.




“Aku akan pake terus untuk menggantikanmu.” Aku berkata berat sambil mengeratkan selendang yang ia pasangkan.


“Kok kamu ngomong gitu. Aku kan gak akan kemana-mana, sayang.”


“Nggak sayang.. kamu harus pergi.”


“Maksudnya?”


“Mencari gadis itu.”


“Yank.. aku.. aku mau selalu bersamamu, dan lupakan gadis itu.”


“Tidak sayang. Kamu harus pergi demi aku.” Aku menjatuhkan diri ke dalam pelukannya sambil terisak.




“Sayang..” Aku membulatkan hati. “Aku mau memberikan bukan hanya hati dan cintaku, tapi juga tubuhku, biar kamu tidak melupakan aku.. hiks hiks… tapi kamu selalu menolak untuk mengambil hal paling berharga dari diriku. Hiks.. hiks… Aku sering menggodamu, sayang, hiks… hiks… tapi kamu sangat tegar. Aku kan jadi malu sendiri.. Hiks hiks…”


“Aku telah memiliki cintamu, dan aku ingin memberi seluruh hidup dan diriku.” Lanjutku. “Aku tahu, kamu terlalu menyayangiku sehingga kamu tidak mau mengambilnya sekarang. Yank. Ambillah.. ambil… hiks hiks… sehingga kalau takdir mengatakan lain, aku tidak akan menyesal karena telah memberikan seluruh diriku untukmu.”


“Sae!!! Kamu!!! Aaarghh…” Untuk pertama kalinya ia membentakku. Aku hanya bisa memeluknya sambil bergetar.


“Maaf, yank. Maafkan aku.. tidak seharusnya aku membentakmu.”


“Hiks… hiks… Kamu jahat. Tapi akan lebih jahat lagi kalau kamu tidak pergi gara-gara aku.”


“Maaf, Sa. Aku gak bisa mengontrol diri tadi. Kamu jangan ngomong gitu lagi. Aku mohon, sayang.”


“Sayang… Aku mau kamu tetap pergi untuk menunaikan tugasmu, dan aku akan selalu menunggu sampai kamu mengambilnya dan kita menjadi satu selamanya seperti tulisan di gelangmu.”


“Aku nggak akan pergi, Sa. Tidak bisa. Kecuali kita pergi bersama.” Aku sudah bisa mengendalikan diri.


“Kalau aku ikut, aku tidak bisa mewakili dirimu untuk ngurus usaha kita, sayang. Kalau aku di sini, kamu bisa menyelesaikan tugas dari kakekmu, dan aku tetap bisa melanjutkan mimpimu untuk mendatangkan kesejahteraan warga kita. Jadi dua-duanya bisa berjalan bersama, sampai akhirnya kita bersama kembali.”


“Tidak, Sa. Aku tidak bisa.”


“Aaaarghhh… Senjaaa!! Kamu memang keras kepala. Aku kecewa sama kamu.” Aku melepaskan pelukannya sambil melotot kesal.


“Maaf.” Ia menunduk.


“Cape ngomong sama kamu. Mendingan pulang aja.” Aku beranjak dan berlari menembus hujan.


“Sayaaang. Masih hujan. Ini pakaianmu….”




Aku berlari tanpa mengabaikan teriakannya.




Siapa gadis yang mau ditinggalkan kekasihnya? Aku juga tidak mau. Tapi aku harus membuatnya pergi demi kebaikannya sendiri karena aku tidak mau kehilangan Senja untuk selamanya

Posting Komentar

0 Komentar