KETIKA SENJA PART 52

 

SAE: KENANGAN (1)

Senja pertama…

Kususuri jalan setapak menuju bubulak, membelah ilalang setinggi pinggang. Menanjak dan berbelok di atas Selatan kampung Sawer. Angin pun berhembus kencang pertanda musim kemarau sudah mulai datang; menerpa rambut dan selendang yang kukenakan.




Cinta dan harapan, rindu dan kesepian, juga hampa-penantian selalu mewarnai setiap senja-senjaku di jalanan dan bukit ini.




Kulangkahkan kaki menuju tempat yang pernah menjadi kenangan indah; tempat aku dan Senja menjalin kasih dan berikrar janji dalam hati, juga tempat kami anak muda kampung membangun mimpi tentang kopi.




Sekarang aku kembali ke sini; bedanya kini hanya seorang diri. Kutatap langit senja yang masih tetap memerah di ujung barat; bersama rasa sesak kala mengingat semua kenangan indah yang pernah ada. Inilah tempat favoritku, juga tempat kesukaannya. Kuharap ia datang, dan aku akan selalu menantinya. Mengharap ia juga kangen menikmati indahnya akhir hari.




Kududuk di atas batu besar tempat dulu kami saling berpelukan. Aku duduk di sini; tempat yang selalu kuingin ada di bawah langit Sawer, meski seorang diri, tanpa dia lagi. Bubulak, tempat terindah di Sawerku, tempat ketika semesta memberi kabar tentang cinta tak terucapnya. Di bawah saksi langit merah di barat sana, aku merasakan sebuah ketulusan janji akan cinta yang murni. Aku bisa merasakan apa yang dipunyai kekasihku, sekalipun ia menyembunyikannya. Inilah cinta sejati, dan aku percaya itu.




Meskipun kami resmi berpacaran di saung kopi, tapi bubulaklah saksi sunyi ungkapan cinta kami ketika ia memelukku amat sangat dalam.




Aku akan menanti Senjaku hadir di sini; berharap ia datang entah di senja yang kapan. Semoga penantianku tidak berujung sesal, yang akan menyisakan rasa sesak bersama datangnya malam. Aku pernah memintanya datang, dan bercengkerama berdua tentang apa yang telah terjadi, tapi ia selalu enggan. Ini bukan salahnya… ia sudah tak peduli.. meski aku masih merasakan.. ia tetap mencintaku..




“Aku,


Sae Maharani,


kekasihmu, dan akan selalu menjadi kekasihmu,


datanglah sayang.”


Aku membisik dalam batinku.




Lalu pikiranku melayang, mengenang awal bersatunya cinta kami.




Awalnya tak terpikir olehku bahwa ia akan mengungkapkan cintanya ketika aku menyajikan singkong bakar di saung kopi pagi itu. Aku hanya ingin membuang jenuh ketika menunggunya mencari kayu bakar. Aku memang mencintainya, jauh sebelum hari itu. Tapi sungguh aku tak menyangka; harapan dan kerinduanku terkabulkan secara tak terduga.




Aku hanya terpaku ketika ia membersihkan bibirku, sementara jari-jarinya menyangga daguku. Aku hanya bisa meraih tangan itu, lalu saling bergenggaman, sampai akhirnya ia memberikan pundaknya sebagai sandaran. Ia memelukku.. ya memelukku.. dan aku bingung bercampur bahagia.




“Sa, kamu mengerti kan maksudnya?” Ia berbisik di telingaku. Wajahnya dekat sekali sehingga aku bisa merasakan hembus nafasnya. Jantungku berdetak keras, aku tahu ia sedang menembakku. Bibirku kelu, dan aku hanya bisa memberikan sebuah anggukan.


“Lalu? Jawabannya?” Ia bertanya.




Aku hanya bisa mengeratkan pelukan di pinggangnya. Tak perlu kujawab lagi, tanganku adalah tanda dari jawabanku.




“Terima kasih.” Lirihnya.




Aku bahagia bercampur haru.




“Kenapa?” Bisikku.


“Kenapa tidak dari dulu? Aku sudah menunggu saat ini tiba sejak lama, Ja. Sudah lama…” Akhirnya aku tak mampu membendung tangisku.




Indah.. sangat indah.. ketika ia mengusap air mataku dan menyentuh wajahku, membelai rambutku, mengecup ubun-ubunku, dan… tatapan kami menjadi sayu… Oooh… ia menciumku… Perasaanku berdesir, dan aku merasa lemas tanpa mampu membalas. Inilah cinta pertamaku, inilah ciuman perdanaku.




Sisanya, aku hanya bisa menggelanyut manja di dalam pelukkannya dengan tetap saling membisu. Tapi diam kami adalah cara kami menyampaikan rasa, dan pelukkan kami adalah ungkapan kasih sayang yang jauh melampaui kata-kata manis atau janji-janji.




Aku Sae


berjanji


akan mencintamu setulus hati.




Itulah janjiku saat itu. Ketulusan cinta yang hanya kupersembahkan bagi Senjaku.




Malamnya, ia datang ke rumah. Kusuguhkan secangkir kopi hitam kesukaannya, lalu duduk berdua di atas bale-bale depan rumah. Akhir hari yang indah…




“Kok tumben gak ke rumah Ega?” Aku menatapnya mesra.


“Kan sekarang mah udah ada yang diapelin.”


“Iiih.. kamu kok jadi gombal ginih sih.” Dengan gemas kudorong pipinya. Lalu ia meraih tanganku dan menggenggamnya lembut.




Kusandarkan kepalaku di pundak kirinya. Bunga-bunga cinta pun semakin mekar di dalam hatiku. Malam yang semakin sepi menjadi saksi kemesraan kami berdua.




“Bapak dan ibumu sudah tahu?” Bisiknya.


“Sudah.” Jawabku




Ia mengangkat wajahku dan mengecup bibirku. Lagi dan lagi. Awalnya hanya ditempelkan berulang-ulang, lama-lama menjadi seperti magnet yang enggan dipisahkan. Kami saling mengulum dan menjulurkan lidah cukup lama. Aku tak ingin ini segera berlalu, namun ia melepaskan bibirnya dan memberi ciuman terakhir di dahiku sebelum pamit ke rumah Ega.




Aku dikagetkan oleh sebuah sentuhan di kepalaku, lamunanku buyar.




Deg. Jantungku berdebar kencang. Senjakah yang datang?




“Pulanglah, nak. Sebentar lagi gelap.” Aku kecewa mendengarnya. Bukan. Bukan Senja yang datang, tapi ibuku.


“Aku mau menunggunya di sini, bu. Hiks.. hiks..” Aku berdiri dan memeluk tubuh ibuku.


“Sudah.. kita pulang saja, tak baik seorang diri saat maghrib begini.” Ibu menenangkan sambil mengusap rambutku.


“Hiks.. hiks.. kenapa akhirnya harus begini, bu? Kenapa?” Tangisku makin keras.


“Yang sabar, ya sayang.”




Ibu melepaskan pelukanku, lalu memapahku pulang…








https://t.me/cerita_dewasaa








Senja kedua…




“Wahai langit senja Sawerku, aku kembali. Aku datang lagi dengan masih mengenakan selendang yang sama, juga menggenggam kalung ini. Adakah tadi malam ia datang ke sini? Siang tadi? Ataukah senja ini ia akan datang? Bawalah dia kemari.” Aku berbisik dan mendesah seorang diri.




Senja ini, langit tak semerah kemarin tapi tetap indah. Kubuka kembali memori-memori dan ingatan tentang kebersamaan kami. Kuharap ia datang, menyadarkanku dari lamunan senja ini dan meraihku ke dalam pelukannya.




Aku teringat saat ia menciumku untuk pertama kalinya di tempat ini. Peristiwa itu seakan kembali hadir ketika ia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan menciumnya.




“Yaaank…” Aku menahan geli.


“Udah berani sayang-sayangan ya sekarang?” Bisiknya.


“Jadi gak boleh?” Aku mau protes dengan melepaskan pelukannya, tapi ia menahan dengan semakin mengeratkan dekapannya.


“Nggak sayang… sangat boleh… aku senang mendengarnya. Tapi aku mau kemesraan ini hanya milik kita berdua, hanya kita, dunia kita. Hanya ketika kita berdua kita mengucapkan kata-kata sakral ini, tanpa harus menjadi tontonan atau kata-kata dongeng yang didengar orang lain supaya tidak menjadi basi dan kehilangan kesuciannya.” Kata-katanya meluncur dari bibirnya.




Hihi.. aku bahagia sekali mendengarnya. Setelah itu, aku selalu melanggarnya karena aku selalu memanggilnya ‘sayang’ ketika sedang bersama yang lain. Habisnya pemudaku sangat menggemaskan.




Tiba-tiba keheningan merasuki hati, jiwa dan seluruh keberadaanku. Aku sangat damai berada dalam pelukannya. Aku seolah lupa pada keadaan sekitar, yang kurasakan hanya pelukannya, dan desir bahagia perasaanku. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi aku merasakan bahwa Senja sedang menyampaikan sesuatu dalam diamnya.




Apakah ia menyampaikan rasa sayangnya? Aku tidak tahu, tapi aku sangat merasakan bahwa ia sangat mencintaiku, sebagaimana aku mencintainya tanpa batas.




“Aku akan selalu mencintai dan menyayangimu, Senjaku tersayang. Inilah janji suciku. Senja ini menjadi saksi dan semoga beribu senja ke depan akan selalu mengingatkanku akan janji ini.”




Diam-diam aku mengungkapkan sebuah janji dalam hati. Biarlah janji ini hanya aku sendiri yang tahu; Senja sekalipun tak perlu mengetahuinya.




Pluk.




Sebuah daun kering jatuh menimpa kepalaku, menyadarkanku dari lamunan ini. “Sayang, aku rindu. Datanglah sayang.” Batinku menjerit. Tak terasa air mataku mulai meleleh.








https://t.me/cerita_dewasaa








Senja ketiga…




Tiba-tiba hatiku merasa hangat kala mengingat kejadian saat itu, saat kami bercumbu di saung milik Ega. Aku dan Senja sedang menunggu ketiga sahabat kami yang lain untuk membicarakan rencana kedua usaha kami setelah ditentang oleh Pak RT sendiri. Kala itu hujan sangat deras, guntur dan petir pun kerap bergelegar.




Sore itu aku sangat bahagia karena Senja begitu romantis. Aku bersembunyi di balik dada dan pelukannya seolah takut karena hujan dan petir, padahal aku memang sangat ingin dimanjakan. Hihi…




“Mungkin mereka batal datang,” kekasihku bergumam. Mendengarnya, aku hanya menggeliat enggan sambil mendongak, memberinya senyuman. Mata kami lekat berpandangan.




Mataku meredup ketika ia semakin mendekatkan bibirnya. Duaaar.. Guntur bergelegar… Cuuuup… Bibir kami bersentuhan. Bibir kami beradu bersamaan dengan suara guntur. Dadaku berdebar kencang antara kaget dan getar birahi. Begitu juga nafas kekasihku sedikit tersengal. Kami saling mengulum lembut.. Ah bisakah aku menggambarkan keindahan ini. Perasaanku mengawang akibat sentuhan-sentuhan dan ciumannya.




“Ssshhhh..” Aku hanya mendesah ketika ia menjilat leherku, lalu kujambak rambutnya. Deg. Deg. Deg. Jantungku kian berdetak kencang ketika ia menyusupkan tangannya melalui bawah kaosku. Pori-poriku meremang karena geli sekaligus terangsang.




Kutatap wajahnya lekat, sorot matanya memohon, dan aku hanya bisa tersenyum malu. Ia melanjutkan elusannya di perutku, dan.. cuuup… bibir kami kembali bertemu. Kali ini lebih panas dan liar.. bibir kami sudah saling beradu, saling mengulum dan melumat. Aku tak bisa menggambarkan kenikmatan itu.




Tangan kirinya merambat naik dari atas perutku, menyentuh tepi bawah BH-ku. Aku sudah benar-benar pasrah ketika ia mulai menyentuh kulit payudaraku; dan kemaluanku mulai basah. Aku tak ingin ia menghentikannya. Aku ingin lebih dan lebih lagi…




Namun semuanya harus terhenti ketika Ardan datang.




Selain urusan cinta, aku dan Senja juga saling melengkapi dalam mewujudkan cita-cita kami. Kuingat ketika Senja membeberkan semua idenya di hadapanku, Ega, Jaka, dan juga Ardan tentang rencananya untuk mengelola kopi milik warga. Sumpah aku sangat bangga. Kekasihku sangat berhati mulia untuk memajukan kampung ini.




Dengan bangga dan berbunga-bunga, aku kemudian ikut menjelaskan tentang cara-cara mengolah buah kopi sesuai pelajaran yang kuterima di sekolah. Dan kami pun sepakat untuk mengolah biji kopi semi-wash.




“Makasih, Sa. Bangga saya mah… Pacar siapa sih?” Ia memelukku dari belakang sambil menempelkan dagunya di pundak kananku, sementara aku hanya diam sambil mengusap-usap punggung tangannya. Pipi kami sudah saling menempel dan mata kami memandang lurus ke arah jauh, seolah memandang luasnya masa depan.


“Aku takut, Sa.”


“Heh?”


“Takut semua ini bubar karena ternyata penadah kopi warga adalah kakaknya pak RT. Mungkin dia akan menggagalkan semuanya ini.”




Kurenggangkan pelukkanku dan berbalik tanpa melepaskan genggamannya. Mata kami bertemu pandang.




“Jangan su’ujon dulu atuh. Belum apa-apa udah pesimis.” Aku memandangnya gemas.


“Bukannya su’ujon, Sa. Tapi ya gak tau.. aku khawatir aja.” Ia mendesah.


“Kalaupun warga tidak mau bekerjasama, kan kita berlima juga punya kebun masing-masing. Apalagi kebun kopi orang tuanya Ega sangat luas. Kita mulai dari apa yang kita miliki.” Tandasku, sambil kembali memeluk tubuh kekasihku.




Kekhawatiran Senja kemudian memang benar terjadi ketika rencana usaha kami ditentang oleh Pak RT, ayahnya Ratna, juga tak disetujui mang Oyeh yang selama ini menjadi kuli panggul ke desa.




Tapi kami sepakat untuk memulai dengan mengelola buah kopi milik kami sendiri, dengan harapan nanti warga akan sadar sendiri dan menjual kopi mereka kepada kami. Maka kami mulai merintis usaha kami dengan mengubah bekas kandang kambing menjadi tempat penggilingan kopi. Kami membuat mesin penggilingan sendiri, juga mendirikan saung tempat kami nongkrong.




Itu berlokasi di belakang rumah Ega. Di sanalah mimpi kami mulai diwujudkan, di sanalah setiap hari kami berkumpul dan bekerja, dan di sanalah aku dan Senja juga semakin mendekatkan diri, sekaligus di sana pulalah cinta kami saling tergoncang dan diuji.




Aaah.. semuanya selalu indah untuk dikenang. Kucium kalung di genggamanku dan sekali lagi memohon supaya ia datang senja ini. “Sayang, aku kangen. Hiks..hiks..”








https://t.me/cerita_dewasaa








Senja keempat…




Aku masih duduk di tempat yang sama, posisi yang sama, juga memandang tepi langit senja yang sama. Inilah hari keempatku menantinya.




Kubuka kembali lembaran kenanganku bersamanya, kenangan akan sikap ksatrianya ketika ia dengan jujur mengakui perselingkuhannya dengan Bu Rohmah. Padahal kalaupun ia tidak cerita, kemungkinan besar aku tidak akan tahu. Tapi ia tidak mau menutupinya dariku; ia terlalu menyayangiku.






“Jadi gitu, Sa, ceritanya.” Senja mengakhiri kisahnya tentang tidurnya dengan Bu Rohmah.




Sakit. Kecewa. Marah. Entah apa lagi..




Aku hanya bisa menangis dan menangis. Mimpiku untuk berduaan dan memadu kasih sepanjang hari ini seketika sirna ketika mendengar ceritanya.




Aku menekuk kedua kakiku di atas bale-bale saung, dan kujadikan lutut ini sebagai tumpuan bagi wajahku. Kuungkapkan semua perasaan dalam tangisan, tak peduli lagi apa yang sedang Senja lakukan. Perih.. terlampau perih aku mendengar kenyataan ini. Ketika hatiku semakin berbunga karena cinta yang kumiliki; ketika aku semakin yakin akan calon pendamping seluruh hidupku, kini malah harus mendengar kisah yang meruntuhkan semuanya.




Mungkin lebih dari tiga puluh menit aku meratapi nasib cintaku, sementara Senja hanya diam mematung, membiarkanku merintih perih. Dasar gak pekaaa.. berbuat apa kek.. melakukan sesuatu kek.. Kini air mataku sudah berhenti, meski rasa sedih masih membelit perasaanku.




Setelah membisu sekian lama, akhirnya Senja menyentuh kepalaku. Kuangkat mukaku dengan marah, jijik aku menerima sentuhannya. Tiba-tiba emosiku kembali meledak dan air mataku kembali mengalir.




Plak. Plak. Plak.




Kutampar pipinya tiga kali dengan keras. Aku sendiri tak mengerti kenapa aku bisa seberani ini. Tapi aku belum juga puas…




Buuuk.




Kupukul dadanya sampai ia terjengkang, dan kepalanya membentur tiang saung.




“Hiks. Hiks. Hiiiks.”


Aku kembali menangis.


“Kamu jahat, Ja! Jahaaaat!! Aku kecewa sama kamu. Aku kecewa sekali..!!” Akhirnya kumuntahkan kemarahan ini dengan kata-kata. “Aku telah begitu mencintaimu, dan aku juga percaya kamu tulus mencintaiku. Terlampau percaya malah. Tapi apa yang telah kamu lakukan di belakangku. Apaaa??” Aku berteriak.




Tapi Senja hanya diam, membuatku semakin geram.




“Jawab!! Kenapa diam? Kamu telah membohongiku. Dan aku tidak suka dengan seorang pembohong. Kamu telah mengkhianati kepercayaanku. Sakit, Ja. Sakit!!! Hiks..hiks…”


“Sa…” Akhirnya ia bersuara, tapi hatiku masih panas karena sedih dan amarah.


“Apaaa?? Mau minta maaf? Basiii tahu!!” Aku menghardiknya, membuat Senja diam dan tak melanjutkan ucapannya.


“Kenapa diam? Hayo ngomong!” Aku kembali membentaknya.




Kubuang mukaku dengan nafas tersengal.




“Sa, aku tahu kalau aku salah. Aku sekarang jujur karena aku tak kuat lagi menutupi perasaan bersalahku.”


“….”


“A..aku.. aku merasa sakit membohongimu.”


“….”


“Aku mencoba untuk tidak membuatmu terluka dengan tetap menyimpan perasaan salahku.”


“….” Aku mencoba menyimak sambil menarik nafas panjang.


“Tapi aku gak kuat. Kamu terlalu berarti bagiku.”


“….”


“Sekarang aku melukaimu, tapi aku harap setelah ini kamu punya cara untuk menyembuhkannya. Aku harap kamu bisa menemukan kebahagiaanmu kelak. Aku gak mau terus melukaimu.”


“….”


“Aku ikhlas kehilanganmu, Sa. Ikhlas. Kelak kamu bisa bahagia itu sudah cukup bagiku.”




Deg.




Aku menangkap sebuah kejujuran dan ketulusan dari ucapannya. Dan aku bisa merasakan kalau ia mengucapkan semuanya dari dalam hatinya yang juga terluka. Nafasku terasa semakin sesak. Sedih, marah, dan kecewa; tapi juga kagum pada keberanian, kejujuran, dan ketulusannya. Berbagai perasaan bercampur aduk dalam hatiku. Ia berani jujur justru karena ia mencintaiku.. hiks.. sampai segitunya. Dan.. ia rela kehilanganku justru di saat ia juga semakin mencintaiku.




“Maafkan aku.” Aku kembali mendengar ucapannya yang cukup berat dan dalam. Senja tampak berusaha sedang mengendalikan dirinya.


“….”


“Aku tak lagi pantas untukmu.”


“….”


“Meski begitu aku berharap kamu masih mau berteman denganku.”


“….”


“Kalaupun tidak, aku bisa menerima. Tapi aku harap kamu masih mau berteman dengan Ega, Jaka, dan Ardan. Dan aku mohon, jangan meninggalkan usaha yang telah kita rintis. Kalau kamu terganggu karena kehadiranku, biarlah aku yang mundur. Tapi kamu jangan, Sa. Kalian lanjutkan apa yang sudah kita mulai.”


“….”




Aku bergetar menahan segala emosiku. Aku sudah tak bisa lagi menangis, tapi tak bisa juga marah. Aku hanya bisa diam dan diam. Aku yakin bahwa aku tak salah dengar. Ia merelakanku bukan lagi sebagai miliknya, ia ikhlas aku memutuskan hubungan ini meski tetap menitipkan keutuhan persahabatan dan semua mimpi usaha kopinya. Cinta macam apa ini? Hiks hiks…




Kejujuran itu memang menyakitkan; tapi ia melakukannya justru karena rasa sayang yang besar. Ia lakukan karena tak sanggup menyembunyikan semuanya dariku, orang yang paling ia sayangi. Awalnya aku marah dan nyaris membencinya: Lelaki sama saja, selalu menuntut keperawanan dari pengantinnya, sementara ia sendiri tak mau mempersembahkan keperjakaannya kepada satu-satunya perempuan yang ia sayangi. Tapi Senja beda; ia melakukannya bukan karena kehendaknya, melainkan karena wasiat dari kakeknya.




Kulihat Senja bangkit dari duduknya.


“Ayo kita pulang, aku antar kamu.” Ia berucap datar sambil meraih sarung golok dan mengikatkan pada pinggangnya. Ia melangkah ke luar, tanpa melirikku sedikit pun. Kupandang punggungnya..




Tiba-tiba aku merasa takut kehilangannya, aku takut tak melihatnya lagi, aku takut kehilangan kesempatan untuk selalu mencintai Senja apa adanya. Dengan cepat aku berdiri dan…




“Hmmmmff”




Aku memeluk pinggangnya dengan sangat erat. Tubuhku melekat di punggungnya; dan isak tangisku kembali mengalir.




“Kamu jahat, Ja. Jahat.. jahat.. jahaat… Hiks…hiks...” Sambil meletakkan pipiku di punggungnya. “Aku kecewa ama kamu.. hiks… tapi aku tak bisa membencimu. Aku tak bisa berhenti menyayangimu.” Kueratkan lagi pelukanku.




Perlahan ia membalikkan badannya, dan kubantu dengan melonggarkan pelukanku. Ia meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Kami saling mengungkapkan semua emosi dalam dekap erat ini. Sebuah pelukan dari rasa sayang yang besar.




Aku tahu, Senja, lelakiku, kekasihku sedang menangis.






Kini, ketika aku mengenang peristiwa itu, aku selalu merasa bahagia.




Bahagia...


karena Senja menyayangiku sedemikian rupa sampai-sampai ia takut menyakitiku.


Bahagia...


karena ia rela melepaskanku asalkan aku bahagia.


Bahagia...


karena ia telah jujur dan aku tahu setelah itu ia tak pernah lagi membohongiku sedikitpun.


Bahagia...


karena ia rela mengorbankan cintanya atas nama persahabatan.


Bahagia...


karena ia rela terluka dan menderita asalkan kesejahteraan Sawer terwujudkan.


Bahagia…


atas sikap ksatrianya.




Dan aku bangga menjadi kekasihnya. Hiks.. mantan kekasih.




Sisa hariku sangat indah saat itu. Kami bermesraan dan bercumbu di lebak, dan akan menjadi kenangan tak terlupakan ketika ia mendudukkanku di atas punggung si jalu.




Aku harus mengakui kalau aku berubah sejak saat itu. Aku menjadi manja, possesif, galak, dan bahkan sensitif. Itu semua kulakukan karena aku menyayanginya, dan sumpah.. aku tak mau kehilangannya. Sejak saat itu aku melanggar janjiku karena aku selalu memanggilnya ‘sayang’ bukan hanya ketika berdua, tetapi juga di depan yang lain.




Bahkan untuk mempertahankan Senja sebagai satu-satunya lelakiku, aku selalu menggodanya dengan tubuh ini. Aku rela mempersembahkan kesucianku untuknya.. hanya untuknya.. Itu agar ia juga menjadikanku sebagai satu-satunya wanitanya. Tapi ia selalu mengelak.. walaupun aku tahu ia juga mau. Hiks.. hiks.. Senja terlalu menyayangiku dan ia selalu menjagaku; termasuk kesucianku ini.


Posting Komentar

0 Komentar