KETIKA SENJA PART 54

SAE: KENANGAN (2)

Senja kesembilan…


Aku bahagia karena mendapat cinta yang besar dari Senja, tapi aku juga marah karena memikirkan keselamatannya; ia terlalu keras kepala untuk tidak pergi. Dan itu… karena aku.




Ketika aku menggelayut di atas gendongannya dalam sisa perjalanan kami, dan di bawah derasnya hujan, aku berjanji untuk selalu menyayanginya sekaligus memantapkan hati untuk membuatnya pergi. Kasian juga sih membuat Senja harus menggendongku, tapi aku sukaaa.. Nanti akan kumasakkan makan malam untuknya.




Tapi sore itu, sesuatu yang tak terduga terjadi…




Wanita mana yang rela kekasihnya berpelukan dengan gadis lain dengan tubuh polos telanjang? Gak ada!!! Aku sangat terkejut menyaksikannya. Senja sedang berpelukkan dengan Ratna yang tak mengenakan sehelai benang pun. Aku kecewa, marah, luka, sakit hati. Kenangan indah yang kuterima hari itu hilang seketika.




Kulempar piring makanan yang kubawa, lalu berlari keluar dapur rumahnya sambil menangis; tak kupedulikan lagi payungku. Kuberlari dan hanya berlari menyusuri derasnya hujan.




Rumahku sepi waktu itu karena kedua orangtua dan Rahma menginap di saung sawah; dan aku hanya menangis di dapur seorang diri. Kacau.. keadaanku sangat kacau.




Entah berapa lama aku berada dalam keadaan begitu.. aku sudah tak ingat waktu.. tak peduli keadaanku.. tak bisa kugambarkan kecewaku. Yang kubisa hanya me-na-ngis. Dah.. itu saja!!




Hari sudah hampir jam sepuluh malam ketika tiba-tiba Ratna datang ditemani ibunya dan Jaka. Aku ingin melabrak dan memakinya, tapi kuurungkan karena sungkan pada ibunya. Bu Inah memaksaku masuk kamar untuk mengganti baju dan rok yang masih basah. Di bawah kelembutan dan kesabarannya, ia membantuku berganti pakaian. Begitu keluar kamar, Ratna rupanya sudah menyiapkan teh hangat untukku. Aku hanya diam.




Kami duduk melingkar. Ratna dan Jaka menjelaskan duduk perkaranya.




Kini marahku berubah sedih dan pilu. Sedih atas apa yang Bi Inah dan Jaka lakukan, sedih atas semua yang Senja rencanakan; juga terharu atas kejujuran mereka. Mereka tak malu menyampaikan aib mereka sendiri. Sebuah kejujuran yang sangat tulus tanpa paksaan; dan itu semua mereka lakukan demi kebaikanku supaya tidak salah paham pada Senja dan Ratna.




Hanya tangis dan pelukan yang bisa mengungkapkan semua perasaanku saat itu. Aku, Ratna dan Bu Inah berpelukan dalam tangis masing-masing.




Malam itu akhirnya aku ikut Ratna dan Bu Inah ke rumah mereka, dan nginap di sana. Mereka tidak mau meninggalkanku tidur sendiri; tak mau aku hanya menangis dan gelisah seorang diri.




Kami tidur bertiga di kamar Ratna, dan benar saja.. aku tidak bisa tidur. Aku selalu memikirkan Senja. Sempat kecewa karena ia membuat rencana memanfaatkan Jaka dan Bu Inah demi memuluskan usaha kopi kami, tapi juga terharu pada usahanya yang diam-diam ia lakukan di belakang tanpa sepengetahuanku, Ega, Ratna, maupun Ardan.




Dan malam itu aku punya ide baru. Aku akan memanfaatkan situasi ini supaya Senja membenciku, dan mau pergi meninggalkan Sawer. Rencana yang sempat kusampaikan kepada Ratna di sungai pada pagi itu seolah dibukakan jalan untuk diwujudkan.




Aku tersadar dari lamunanku, lalu menoleh ke sekitar sambil berharap Senja datang. Tapi harapanku hanya berupa harapan; ia tidak ada. “Sayang, maafkan aku. Hiks.. hiks… datanglah ke sini, aku rindu.” Aku mengusap air mataku sambil melihat matahari yang sedikit lagi tenggelam.




Inilah senja kesembilan penantianku, namun ia tak jua kunjung datang.








https://t.me/cerita_dewasaa








Senja kesepuluh…




Menunggu.. menunggu.. dan menunggu.. Inilah penantian hari kesepuluhku. Batinku menjerit, “Senja, datanglah sayang. Ini sudah hari kesepuluh aku menantimu di tempat kita.” Kuhempaskan tubuhku di atas batu sambil memanggil namanya. Pikiranku kembali melayang…




Harusnya pagiku cerah, harusnya aku bahagia karena ternyata Senja tidak selingkuh dengan Ratna, harusnya aku menemui Senja untuk mencoba membujuknya kembali agar ia mau pergi. Tapi dua berita sedih datang pagi itu: Mang Oyeh meninggal dan Senja sakit.




Setelah mandi aku berlari ke rumah Senja. Benar saja, ia berbaring lemah dan suhu tubuhnya sangat panas. Aku hanya bisa memeluknya sambil menangis, sementara ibunya hanya menenangkanku dengan penuh perhatian dan kasih sayang.




Tahukah kamu sayang, setiap saat aku mendampingimu saat itu. Aku duduk dan tidur di kamar sebelah, dan hanya dinding bilik yang membatasi kita. Aku tahu kamu menanyakanku; aku tahu kau mengharapkan hadirku; aku tahu kau gelisah memikirkanku.




Aku selalu datang memeluk dan menciummu saat kau tidur, dan pergi sembunyi ketika kau terbangun. Aku selalu membuatkan bubur untukmu, juga menyiapkan sarapan di hari kesembuhanmu.




Maafkan aku ketika aku membohongimu setelah itu.




“Sa..” Ia memandangku yang sedang mematung di ambang pintu. Siang ini ia datang. Ingin aku menghambur memeluknya, tapi kutahan. Sementara ibu bergegas ke dapur untuk memberi kesempatan kepada kami berdua untuk saling berbicara.




Kupasang ekspresi datar di wajahku.




“Boleh kita ngobrol sambil duduk?” Senja memohon.


“Ngomong aja sekarang!” Tanpa beranjak sedikit pun.


“Gini Sa. Aku mau menjelaskan peristiwa tempo hari. Pas kamu memergokiku berpelukan dengan Ratna.”


“Ya. Lalu?” Tanyaku.


“Sa tolong…”


“Hayo ngomong, atau aku tinggal nih?”


“I.. iya ya, Sa.” Senja urung memohon supaya aku bersikap lebih lunak dan mengajaknya duduk bersama.




Senja pun menjelaskan duduk perkara sore itu, yang sebenarnya aku sudah tahu. Ia menjelaskan sedetil dan sejujur mungkin. Aku bangga dan kagum pada kejujurannya.




“Gitu Sa ceritanya. Aku mohon kamu jangan salah paham, say..”


“Jangan lagi panggil aku ‘sayang’!” Aku menghardiknya.


“Kamu tidak percaya ceritaku, Sa? Kamu tidak mau memaafkan aku? Kamu bisa meminta penjelasan Ratna kalau kamu tidak percaya.” Senja memelas.


“Aku sudah menanyakan sendiri kepada Ratna!” Sekuat tenaga aku bersikap ketus dan hanya berbicara secara singkat-singkat.


“Lalu?”


“Cerita kalian beda, dan aku lebih mempercayai Ratna, daripada kamu.”




Kulihat tangannya mengepal penuh emosi.




“Dia bilang apa, Sa? Aku bersedia kita ngobrol bertiga.”


“Cukup, Ja. Kamu tidak perlu cari berbagai cara dan alasan. Cukuuup!! Jangan lagi membuatku semakin kecewa!” Kutinggikan volume suaraku.


“Dan…” Aku menarik nafas sambil mengepalkan kedua tanganku untuk membulatkan hati dalam sandiwara ini.


“Aku mohon.. kamu jangan dulu menemui aku. Aku sudah cukup kecewa sama kamu.”


“Jadi kita.. kita… pu..”


“Aku bilang jangan dulu temui aku!” Lagi-lagi aku menukasnya.


“Sae???” Tampaknya Senja mulai terbawa emosi.


“Kamu tidak mengerti juga, Ja? Kamu tahu aku, dan aku tidak main-main dengan permintaanku.” Suaraku tak kalah meninggi.


“Aaaargggh… Sae.. kamu… arrrgh…” Senja sangat emosi.


“Terima kasih, Sa. Terima kasih.” Suaranya bergetar karena marah dan sedih. Lalu melangkah pergi…




Tahukan kamu, sayang? Setelah tubuhmu menghilang, aku berlari ke dalam kamar dan menangis seharian. Aku tak mau makan dan keluar kamar karena memikirkanmu, sampai-sampai Bu Rohmah datang dan menemaniku hari itu.








https://t.me/cerita_dewasaa








Senja kesebelas…




Ketika tahlilan hari ketujuh untuk mendoakan arwah Mang Oyeh, ingin rasanya aku selalu berada di samping Senjaku. Memulihkan wajah datarnya menjadi senyuman, mengembalikan kemurungannya menjadi keceriaan. Tapi aku tak mau apa yang sudah dimulai ini menjadi berantakan. Sekuat tenaga aku berusaha mengabaikannya, dan berusaha untuk tidak memandang atau meliriknya.




Aku juga terluka, sayang. Aku terluka karena aku telah menyakitimu. Maafkan aku.








Spoiler: POV Senja




Aku pun tak mau lagi peduli dengan diri sendiri. Kalau Sae saja bisa mengabaikanku, kenapa aku tidak bisa mengabaikan diri sendiri. Lupakan sejenak aku dan Saeku. Malam ini ada urusan yang lebih penting. Aku semakin membulatkan tekad untuk membalas dendam. Masa berkabung tujuh hari baru saja lewat, saatnya nyawa ganti nyawa dan gigi ganti gigi. Darahku mendidih, rasa sedihku berubah menjadi amarah. Nafasku tersengal; tunggu pembalasanku. Aku beranjak keluar. Ega menyusulku. Ia tampak curiga akan perubahan sikapku. 




“Ga, kalau ada apa-apa denganku, aku titipkan semuanya.” Ucapku datar. “Sekarang tidak usah banyak bertanya, kalau tiga hari aku tidak pulang, kamu baru boleh mencariku. Dan awas.. kamu jangan menceritakan kepergianku kepada siapapun!” Aku memotong Ega yang sudah mau bertanya sambil mengancamnya. Aku menunjuk wajah Ega sambil melotot, ketika kulihat ia mau mencegahku. Raut takut dan heran tergurat di wajahnya; tapi ia hanya bisa mematung ketika melihat ekpresiku. Aku melangkah cepat menerobos pekatnya malam. Tekadku sudah bulat. Malam ini harus diselesaikan. Aku dan Sawaka berlari kencang ke makam Mang Oyeh. Kubersihkan pusaranya dari beberapa helai daun yang berjatuhan. Kuungkapkan semua sedih dan sesalku di hadapan gundukan tanah merah ini. Aku menangis dan kuakui semua kejahatan rencanaku selama ini. Sejam aku meratap di hadapan pusara Mang Oyeh. “Sawaka, nanti kamu tunggu aku di sasak. Kamu tidak aku perkenankan ikut campur. Ini urusan antara manusia dengan manusia, antara laki-laki dengan laki-laki. Tugasmu hanya membawaku pulang kalau terjadi apa-apa.” Ucapku tegas kepada Sawaka. Lalu kami melesat membelah malam, mataku menyala menebar amarah.




Tiba-tiba aku dikejutkan oleh perubahan sikap dan ekspresi wajah Senja. Diam-diam aku menyelinap keluar rumah dan bersembunyi di kegelapan, ketika dengan wajah yang sangat sulit kujelaskan Senja keluar rumah; disusul oleh Ega.




Hatiku diliputi rasa takut dan cemas melihat perubahannya. Ada yang tidak beres; ada yang Senja sembunyikan. Aku belum pernah melihatnya seperti itu. Aku kekasihnya, aku bisa tahu perubahan apapun yang ada pada dirinya. Kulihat Senja berbicara kepada Ega secara tegas tanpa memberi kesempatan sedikit pun bagi Ega untuk berbicara. Aku merasakan ada yang tidak beres dengan Senja, dadaku berdegup kencang dan air mataku tiba-tiba meleleh. Aku sangat takut.




Aku segera menyelusup untuk mengejar Senja, namun kekasihku berlari begitu kencang, tak terhalang gelapnya malam. Akhirnya aku hanya bisa bersimpuh dalam deras air mata dan doa dalam hati.




Sepanjang malam aku tidak bisa tidur memikirkan Senja. Perasaanku sangat tidak enak dan firasatku sangat buruk.




Besoknya aku keluar kamar dalam keadaan kusut, dan berita buruk kembali kudengar dari ayah dan ibu. Gudang toko Pak Ikin terbakar. Terbakar? Aku tidak yakin. Apakah mungkin Senja terlibat? Ada apa? Di mana ia sekarang? Aku Sae, kekasih Senja, aku bisa merasakan apapun yang terjadi dengan Senja, belahan jiwaku, meski aku tidak tahu itu apa.




Aku segera mandi dan sarapan. Siangnya bergegas ke saung untuk melihat keadaan Senja, tapi di sana hanya ada Jaka. Aku menunggu Senja di sana sambil memaksa Jaka untuk menjalankan sebuah rencana, yaitu membuat Senja cemburu.




Aku senang bahwa dia baik-baik saja, ketakutanku semalam bahwa ia mengalami celaka ternyata bukanlah hal nyata. Tapi tetap saja aku menangkap ada yang ia sembunyikan di balik sikap wajarnya. Ia tampak kesakitan.




Dan benar saja…




Aku sangat kaget ketika Senja menjerit kesakitan saat bahunya ditonjok Ardan. Spontan aku memanggilnya ‘sayang.’ Ini benar-benar ada yang tidak beres, dan aku tidak pernah tahu sampai sekarang.




Aaaah… Sayang, aku kangen. Tidakkah kamu datang juga senja ini. Hiks.. hiks…








https://t.me/cerita_dewasaa








Senja kedua belas…




Aku tahu bagaimana rasanya melihat orang yang dikasihi berpelukan dengan gadis lain. Aku merasakannya ketika aku melihat Senja memeluk Ratna, walaupun akhirnya aku tahu itu hanyalah salah paham. Dan saat itu, kalau aku berpelukan dengan Jaka bukan karena kumau balas dendam, bukan pula karena memanfaatkan kesempatan, dan aku mohon jangan pernah berpikir kalau aku sudah berpaling dari Senja. Tak akan pernah!!!




Aku bisa merasakan kehadiran kekasihku, maka segera kupaksa Jaka untuk memelukku. Sungguh, aku belum tahu perasaan sayang Jaka padaku waktu itu. Untuk Senja, ia pasti sakit sekali melihatku berpelukan seperti itu. Aku pernah merasakannya.. Aku siap dimaki, aku sudah siap menerima kemarahannya.




Tapi…




Ia hanya diam. Senja bersikap seolah tidak melihat apa-apa; dan aku sangat heran dibuatnya. Apakah ia sudah membenciku dan tak lagi mencintaiku?




Hiks.. hiks.. hiiiks…








https://t.me/cerita_dewasaa








Senja ketiga belas…




Tidak melihat Senja sehari saja hatiku sudah sesak karena rindu, apalagi waktu itu aku harus kehilangannya selama ia pergi ke Bandung. Ya, walaupun hubungan kami sudah tidak baik lagi, bukan berarti aku sudah tidak menyayanginya. Aku sakit karena ulahku sendiri, tapi itu demi dia; demi keselamatan kekasihku.




Andai saja ia bisa menemukan wanita keduanya, aku pasti bahagia karena ia tak harus merantau. Sawaka tidak akan ngamuk. Tapi siapa yang tahu kapan dan di mana Senja akan menemukannya. Aku hanya ingin membuatnya pergi, biar ia tidak celaka karena amukan Sawaka. Pilihannya hanya dua: temukan wanita kedua itu atau segeralah pergi dari kampung. Bagiku, yang paling mungkin adalah pilihan kedua karena pilihan pertama mana kutahu, sementara Senja juga tak pernah cerita.




Maka kujalankan rencana keduaku, aku dan Jaka kembali berpelukan ketika kekasihku datang. Aku juga meminta Jaka menciumku. SIAL!!! Dia mencium bibirku. Aku ingin berontak. Ini terlalu menjijikan. Tapi kalau begitu, sandiwara akan gagal dan Senja akan berprasangka buruk pada Jaka dan berpikir Jaka sedang menodaiku. Membalas ciuman adalah pilihan yang paling mungkin, meskipun itu menyakitkan.




Ah.. aku tak mampu lagi mengingat peristiwa ini. Terlalu sakit ketika mengingatnya, terlalu jijik ketika aku sudah berciuman dengan lelaki lain, selain Senja kekasihku.








https://t.me/cerita_dewasaa








Senja keempat belas…




Kukeluarkan kalungnya yang telah ia buang, dan kucium tulisan di bandulnya. Aku akan meminta Senja memasangkannya di sini. Ya.. hanya di sini. Entah ia mau kembali mencintaiku ataupun tidak, aku sudah bertekad kalung ini harus terpasang. Dan itu.. harus dia yang mengalungkan… juga harus di tempat ini.




Aku tak peduli apakah kami akan kembali bersatu atau berpisah selamanya, kalung ini harus melingkar di leherku, dan biarkan begitu selamanya.




Senja ini aku tidak ingin berpikir tentang yang lain. Aku hanya ingin mengamati setiap detil kalung ini. Mengamati, mencium, menggenggam. Lagi dan berulang.. Aku seakan sedang bermesraan dengannya.




Kalung ini pasti sangat berarti baginya, dan aku yakin ia akan menghadiahkannya untukku. Namun peristiwa ciuman itu, dan juga sikap dinginnya yang meminta aku dan Jaka untuk saling mencintai, membuat kalung berharga ini dibuang ke tempat yang paling kotor, yaitu tempat sampah. Dengan membuang kalung ini, Senja seolah membuang cintanya sendiri; melepaskan hal yang paling berharga dalam hidupnya, tanpa mau mengambilnya lagi.




“Hiks.. hiks…” Aku tak kuasa menahan tangis ini. Kugenggam dan kuletakkan kalungnya di dadaku.

Posting Komentar

0 Komentar