KETIKA SENJA PART 51

 

Lima senja kemudian…


Lahan sudah kami bersihkan dan kami ratakan. Kayu-kayu dan bambu haur sudah mulai menumpuk di pinggirnya. Semen, paku, dan seng sudah kami beli dari desa.




Tujuh senja kemudian…


Ayahnya Jaka dibantu oleh beberapa warga dan Jaka sendiri mulai menggergaji dan menyerut kayu yang sudah ada. Abah Barja dan beberapa warga yang sudah tua mulai membuat bilik bambu, ada juga kelompok warga menyiapkan tali-tali ijuk. Aku dan Ega beserta beberapa warga masih berburu kayu dan bambu-bambu untuk atap pendopo. Ardan dibebaskan dari pekerjaan, ia tetap bekerja menggiling dan menjemur kopi milik kami.




Dua belas senja kemudian…


Semua bahan bangunan sudah tersedia, termasuk papan dan batu-batu penyangga tiang bale-bale. Mayoritas warga mulai fokus pada pengerjaan kayu dengan membuat sambungan-sambungan dan




Tujuh belas senja kemudian…


Semua bahan bangunan sudah siap. Mundur dua hari dari yang direncanakan.




Sembilan belas senja kemudian…


Tiang-tiang dan pancang sudah terpasang.




Dua puluh tujuh senja kemudian…


Semua bangunan selesai dikerjakan. Pendopo besar setengah dinding sudah kokoh berdiri, gudang buah kopi dan padi sudah jadi, demikian juga gudang untuk biji kopi dan hasil bumi lainnya; tak terkecuali bangunan penggilingan kopi dan tempat menumbuk padi, dapur umum, lapangan tempat menjemur, dan sebuah WC umum yang airnya kami salurkan melalui ratusan meter selang hasil sumbangan dari keluarga pak haji.




Tiga puluh senja kemudian…


Sore ini semua warga, tua-muda, dewasa anak-anak berkumpul…




“Bapak-ibu, warga Sawer yang saya hormati, dengan ini pendopo dan kompleks kegiatan warga saya resmikan.” Pak RT, ayahnya Ratna, memberikan sambutan peresmian disambut tepuk tangan riang kami semua. Ucapan terima kasih pun mengalir dari bibirnya. Ada juga Abah Barja yang memberi sambutan sebagai sesepuh yang paling kami hormati; dari pihak kami sambutan disampaikan oleh Ega.




Kami pun makan bersama, menikmati tumpeng hasil masakan ibu-ibu dan secangkir kopi. Mereka menyebutnya Kopi Sawer, tapi aku menyebutnya Kopi Sawaka. Kukirim beberapa foto hasil jepretan dari hapeku ke grup kami, menyampaikan kegembiraan di Sawer ini.




Lega..


Gembira..


Satu tahap mimpiku sudah terlaksana.


Semuanya terasa ringan dan lancar ketika aku tak lagi hanya memikirkan diri sendiri.




“Ja, boleh berbicara sebentar?” Sae mendatangiku dan berbisik. Belum juga kujawab ia sudah menarikku ke belakang, dihantar pandangan mata dan senyum beberapa orang. Ia membawaku ke saung penggilingan kopi di belakang pendopo tempat warga berkumpul.


“Ada apa, Sa?”


“Hmmmmffff…” Tiba-tiba ia memelukku. Erat.. terlampau erat…


“Aku bangga padamu. Hiks hiks…”




Aku hanya bisa diam sambil membalas peluknya dengan tegang. Aku bingung harus berbuat apa. Apakah ini juga pertanda?








https://t.me/cerita_dewasaa








POV Jaka




Dua minggu berlalu sejak pembangunan pendopo dan kompleks kegiatan warga kami. Kini halaman belakang rumah Ega sudah sepi, semua sudah menjadi kenangan lama. Babak baru sudah kami mulai… dan kalau boleh aku mengucap terima kasih, semuanya aku tujukan pada Senja. Ia adalah dalang di balik kemajuan hidup warga, dan pertumbuhan ekonomi kami; kami hanyalah punakawan yang membantu mewujudkannya.




Maaf.. sebenarnya aku tak ingin lagi membahas hubunganku dengan Sae. Tapi baiklah aku ceritakan sedikit. Semua sudah jelas kini.. menurutku, ini semua hanya rencana kebablasan yang Sae buat. Aku bilang kebablasan karena rencana ini bukan hanya membuat Senja mau pergi dari kampung, tapi juga membuat hatinya sudah tertutup. Mereka tak lagi bersatu sebagai kekasih, meski persahabatan kami tak akan pernah runtuh oleh apapun.




Bukannya aku mau melimpahkan semua kesalahan kepada Sae, toh aku juga berperan. Aku dan Sae akhirnya mau bersandiwara karena ada peran orang ketiga dan keempat di balik ini semua. Aaah.. biar nanti Sae saja yang menceritakan kepada Senja. Memang ini semua sempat membikin rumit karena ada aura birahi di kampung kami, aku sendiri tak mengerti. Masalah kini tinggal antara Sae dan Senja.. kami sudah tahu semua. Tapi Sae keukeuh tidak mau melibatkan kami, ia sendiri yang akan menjelaskan. Itu pun dengan satu syarat.. Ia hanya mau menyampaikan dan menjelaskan kepada Senja di bubulak, entah apa maksudnya. Kami lebih baik mengalah; wanita selalu menang.. daripada panas hati karena dicap gak peka.




Kini aku lebih fokus pada usaha kopi kami; juga kepada kebun dan sawahku. Aku pun sudah punya hobi baru… memelihara cangehgar (ayam hutan). Kini sudah ada dua pasang di kandang.




“Kok malah ngelamun, yank?”




Aku terkejut oleh sapaan gadis dalam pelukanku.




“Hehehe.. nggak kok, dek. Aku hanya mengingat semua perjalanan ini. Juga bersyukur karena telah menemukanmu kembali.” Aku eratkan pelukanku sambil mengecup keningnya.


“Aku juga bahagia.. makasih sayang.” Ia menengadahkan wajahnya. “Tapi bener kan sudah gak menyimpan perasaan lagi pada Sae??” Ia meminta keyakinan.


“Percaya padaku, dek. Aku sayang kamu.”




Cup.




Ia mencium bibirku. Kami pun memejamkan mata sambil saling mengulum. “Shh.. shhh.. sudah sayang.” Ia mendorong wajahku halus. Aku hanya memandangnya sange sambil mengusap kedua ujung bibirnya.




“Hihi.. nanti keterusan. Kamu kan harus menyiapkan pendopo.. ingat loh perkawinan Ardan tinggal seminggu lagi.”


“Hehe.. nanti ajah. Aku masih ingin berduaan denganmu.”


“Sana iiih…” Ia melepaskan pelukanku. “Nanti disemprot Senja loh.. aku mau pulang dulu sebentar, bibi sudah menunggu di rumah. Nanti aku nyusul ke pendopo. Yah… yaah…”


“Sun dulu.”


“Muaaaachhh.”




Aku hanya menyondongkan tubuhku ketika ia mundur. Aku enggan melepaskan bibir kami. Ia mencolek jidatku sambil tersenyum, lalu berlari pergi. Terima kasih, gadisku. Kau telah kembali.








POV Ega




“Sial. Ngapain juga aku harus lewat sini kalau malah melihat Jaka bermesraan.” Aku menggerutu kesal. Kuayunkan langkahku menuju pendopo.


“Kenapa, Ga? Tuh muka cemberut begitu.” Tiba-tiba Sae menyapaku.


“Kampret tuh si Jaka malah bermesraan di halaman,” sungutku.


“Cieee.. ada yang cemburu nih,” Sae malah meledekku.


“Yeee.. malah manas-manasin,” aku makin kesal.


“Pasti lagi kangen Nananya nih.. kacian..” Sae makin menggodaku.


“Tau ah. Betah banget dia di desa.”


“Hihi.. kan nanti sore juga pulang. Baru ditinggal seminggu aja udah kayak gitu kangennya. Apalagi aku.. ooops..”


“Nah kaaan.. ketauan… kamu juga masih sangat sayang ama Senja.” Mendengar Sae keceplosan membuatku merasa di atas angin untuk membalas ledekkannya.


“…”


“Emang kamu belum menjelaskan ke Senja, Sa? Mau sampai kapan? Udah deh.. kalau kamu begini terus, biar aku saja yang akan menjelaskan semuanya ke dia.”


“Jangaaan!!!” Sae berhenti dan menghalangi jalanku; matanya melotot.


“Lah.. abisnya kamu tuh malah nyiksa diri sendiri tahuuu.”


“Pokoknya kalian gak usah ikut campur. Titik!!”


“Ingat, Sa. Seminggu lagi Ardan akan menikah, dan setelah itu Senja akan pergi.”


“Tapi.. tapi ia masih belum mau ketemu di bubulak, Ga.” Sae menjawab lesu. Wajahnya berubah sedih.


“Ya lagian kenapa juga harus di sana? Kan bisa di tempat lain juga. Kamu bisa datang ke rumahnya, dan jelaskan semuanya.”


"Tidak. Aku hanya mau disana. Seandainya dia tetap tidak mau bertemu di bubulak sampai kepergiannya sekalipun, aku akan tetap bertahan. Aku akan menunggu dan menunggunya..”




Air mata mengembang di matanya.




“Terserah kamu saja deh, Sa. Aku cuma tidak ingin kamu menderita seperti ini.” Kuhembuskan nafas panjangku. “Udah yuks.. jangan menangis, nanti kalau Senja lihat malah membuat dia bingung.”


“…”




Sae mengusap air matanya; dan kami pun melangkah ke pendopo.










POV Ardan




“Anjing.. kampret.. sial.. bebek.. kambing kupret..” Aku memaki kesal.


“Hahahaha… Ini seninya yang namanya pingitan, Ar.” Senja malah ngakak mendengar makianku.


“Tai bangetlah..” Kusulut rokokku sambil menghempaskan tubuh di atas bale-bale rumahku.




Menurut tradisi kampung kami, calon pengantin tidak boleh bertemu tujuh hari sebelum perkawinan. Dan hari ini barulah hari pertama aku tidak bertemu dengan Iyah. Sial.. kangen banget. Beneran… Memang sebagai laki aku tetap beraktivitas seperti biasa, kecuali Iyah yang tidak boleh keluar rumah. Tapi tetap saja kesibukkanku tak mampu mengalihkan rasa kangenku.




“Woi nyet.. malah bengong..” Aku baru menyadari kalau Senja hanya memainkan rokoknya tanpa menghisapnya.


“Hehe.. nggak kok.”


"Wadul (bohong) bangetlah.. Udahlah.. mau sampai kapan kamu mau menutup hatimu seperti ini? Temui dia!!!” Kangenku pada Iyah, berubah kesal pada sahabatku yang satu ini.


“…”


“Sekarang tinggal kamu dan Sae yang jomblo, mau sampai kapan kamu keukeuh dengan egomu?”


“Ini bukan masalah ego, Ar.. Aku takut.. aku gak siap.. Aku.. aku juga sudah termakan sumpahku sendiri.”


“Senja!!!” Aku membentaknya. “Temui dia!! Kalau kamu masih menyimpan rasa sayang, kamu penuhi permintaannya demi dia, bukan demi kamu!! Jangan sampai kamu menyesal di Bandung nanti, dan jangan pernah meninggalkannya menderita karena kalian masih memiliki ganjalan satu sama lain. Kalau kamu memutuskan untuk tetap bertahan dengan jomblomu, ya lakukan!! Tapi bicarakan baik-baik. Jangan saling menggantungkan perasaan seperti ini.” Aku ungkapkan semua kekesalan dan sewotku.




Aku gak rela seorang Senja menderita karena perasaannya sendiri, perasaan yang ia sembunyikan dalam-dalam. Ia sangat mudah berkorban untukku, untuk para sahabatnya, untuk warga Sawer; tapi ia sendiri menderita karena tidak bisa memastikan perasaannya sendiri.




“Tapi, Ar..”


“Heh.. denger, ya Ja!!” Aku memotongnya. “Sekali lagi aku katakan.. kamu harus menemuinya di bubulak.. dan kamu lakukan ini bukan untukmu, tapi demi Sae!!”


“…”




Kubuang puntungku melalui jendela rumah, dan beranjak pergi menuju pendopo. Kubiarkan Senja merenungi dirinya sendiri.








POV Mae




Malam ini Raka mengantarku ke kosan. Cup.. kucium pipinya.




"Makasih, sayang." Kataku sambil meraih pintu mobil. Aku sangat senang karena Raka setuju dengan usulku untuk berlibur di desa dan di kampung Senja lebih dari seminggu.


“Yank,” Raka menahan tanganku yang hendak membuka pintu mobil. “Kamu gak usah nginep di kosan deh, nginep di rumahku aja.”


“Hihi.. gak mauuuu. Nanti kamu apa-apakan aku.. aku adukan ke mamah loh kalo kamu mulai nakal.. aku adukan juga ke Senja biar kamu diomelin.” Protesku. Aku mengerti keinginannya. Selama ini kami terlalu sibuk di café sehingga tidak memiliki quality time untuk berdua.


“Aku janji. Aku gak akan ngapa-ngapain kamu, kecuali…” Raka menggantung ngomongannya sambil memandangku dengan nakal.


“Tuh kaaaan..” Kupasang muka cemberut.


“Pliiiisss…” Raka memohon.




Hihi... Raka lucu sekali kalau meminta sesuatu dariku.




“Ya udah hayo.. tapi janji cuma bobo bareng, kamu gak boleh nakal.”


“Asiiik.. iya sayaaang.. aku janji.”


“Muuuaaach.” Kucium kembali pipi kekasihku, sementara ia memindahkan kopling dan melajukan kendaraan, meninggalkan halaman kosan dan menuju rumahnya. Hari sudah lewat tengah malam.


“Yank..” Raka melirik meliriku sambil tetap menyetir.


“Hmmm.” Jawabku sambil mengirim pesan di grup mengabarkan rencana liburan kami ke desa Raka dan kampung Senja.


“Setelah pulang dari pernikahan Ardan…” Ia menggantung ucapannya.


“…” Sejenak aku memandangnya heran.


“Aku akan melamarmu.”




Deg.




Aku hanya bisa mematung dalam dudukku. Mataku terbelalak dan kedua bibirku sedikit terbuka; hapeku jatuh ke atas pangkuan. Raka menepikan mobilnya dan berhenti. Lalu diraihnya kedua tanganku; jantungku sangat berdebar. “Aku serius, sayang. Kamu mau kan?”




“Hiks.. hiks..” Tubuhku bergetar. Bahagia dan haru menjadi satu.


“Loh kok malah nangis? Sekarang tidak ada lagi yang perlu kamu cari. Kamu sudah menemukan seorang yang kauanggap sebagai kakak, yaitu Senja. Untuk teman hidup, aku akan selalu ada untukmu; selamanya. Keluarga juga punya.. orangtua dan adikku akan menjadi keluargamu juga.”




Mendengar semua ucapan Raka, aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tangisku makin keras. Kupeluk tubuhnya dengan erat; kukabarkan perasaan syukur dan bahagia ini melalui pelukan dan tangisku. Tubuh kami saling berpeluk erat di bawah langit kota Bandung yang tak pernah sepi.

Posting Komentar

0 Komentar