KETIKA SENJA PART 47

 

PERMAINAN SEBELUM RITUAL?


“Anjing! Tidak ada maaf untuk orang yang telah merebut Sae dariku.” Aku memaki. Amarahku sudah sangat memuncak. Dengan kecepatan penuh kuayunkan pukulanku ke wajah Jaka. Ssstttt… wuuush… tinjuku hanya menyasar angin karena Jaka berhasil berkelit. Ia hanya memalingkan wajahnya sedikit, lalu bergeser ke samping.


“Hahaha… jadi cuma segitu jurusmu, Ja? Pecundang sepertimu tak layak untuk mendapatkan Sae.” Jaka terbahak menghina, membuat darahku semakin mendidih.


“Setidaknya aku bukan pengkhianat sepertimu, yang merebut kekasih sahabat sendiri,” aku makin geram. “Rasakan, anjiing!!”




Aku kembali melancarkan serangan, menggempur tubuh Jaka. Beet.. beeet… wuuush… Wusssh… Tinjuku bergantian menyasar wajah dan dadanya, tapi dengan gesit Jaka berhasil berkelit sambil beberapa kali menangkis pukulanku. Ciaaaat… kali ini aku menyapu lehernya dengan tendangan memutar. Duuuk… Jaka merunduk sambil menahan kakiku dengan kedua pergelangan tangannya. Benturan ini membuatku sedikit kehilangan keseimbangan, sementara tubuh Jaka bergeser dua langkah.




Segera kupasang kuda-kuda kembali dan langsung mencecar tubuhnya dengan variasi pukulan dan tendangan. Jual-beli serangan pun tak terhindari lagi; kini kami sudah saling serang, saling hantam, saling tangkis dan saling berkelit. Namun tak ada satupun pukulan yang mengenai sasaran.




Tubuhku sudah basah oleh keringat, begitu juga Jaka. Kini kami sama-sama saling mempertaruhkan harga diri sebagai lelaki. Bagiku, ini bukan melulu perkara cinta, tapi sudah menjadi pertaruhan nama baik dan harga diri sebagai keturunan kakek.




Wuuussh.. angin panas dari pukulan Jaka menyambar pelipisku. Kali ini aku tak punya waktu untuk menghindar. Dengan kecepatan penuh kuayunkan tinjuku. Duuuuk… buuuuk… Bruuuuk. Tubuh kami sama-sama ambruk. Mataku berkunang karena pukulannya, sementara Jaka terjengkang akibat hantamanku pada dagunya.




Kuhembuskan nafasku kuat-kuat lalu kuayunkan kedua kaki. Taaap… aku kembali berdiri. Kali ini kuda-kudaku terasa oleng karena pening dan nyeri akibat pukulannya. Begitu melihat Jaka yang sedang berusaha berdiri sambil sempoyongan, aku tak berpikir dua kali untuk kembali menggempurnya.




Seeeettt…. aku bergerak dua langkah ke depan sambil mengumpulkan seluruh kekuatanku pada kepalan tangan. Wuuusssh… kuayunkan tinjuku. Buuuuk… ternyata aku kalah cepat. “Aaaaaarrrrgggh…” Aku hanya bisa mengerang sambil memegang perut yang terkena tendangannya. Aku limbung-terjatuh dengan tubuh bertumpu pada kedua lutut. Wuuuush… buuuuk… Deritaku makin menjadi ketika sebuah tendangan susulan menghantam daguku. Bruuuuk… “Wadaaaauuu…” Aku terjengkang… Darah segar mengalir dari sela bibirku, dan pandanganku menjadi kabur.




Gelap.




“Sayaaaang…” Sebuah teriakan samar hinggap di pendengaranku.




Tubuhku ada yang meraih, dan kepalaku terbenam dalam dekapannya.




Puk.. puk.. plak…




Pipiku ditepuk-tepuk, lalu setengah ditampar. Aku sedikit terperanjat dengan dada masih terasa sesak, namun mataku terlalu berat untuk kubuka.




Sebuah elusan hinggap di wajahku, dan ada kain yang mengelap keringat dan darah di ujung bibirku. “Anjing!!” Batinku memaki Jaka. Kini aku benar-benar kalah, baik kalah percintaan maupun perkelahian.




“Hiks.. hiks..” Sebuah tangis mulai kerap kudengar. Kepalaku dipeluk erat. Terasa wajahku terbenam di atas payudara yang mengkal. “Sayang…” Aku mengeluh kesakitan. Kupeluk balik tubuh ini. Tubuh bu haji. Aku bergetar… ingin aku menangis, tapi air mataku sulit keluar. Aku hanya bisa merintih menahan keperihan ini.




Untunglah bu haji datang dan segera menolongku. Pelukannya kini terasa begitu berarti untuk mengembalikan semangat dan kekuatanku. Elusannya sangat lembut di wajahku, dan aku ingin menikmati curahan kasih sayang ini; aku enggan membuka mataku. Persetan dengan Jaka yang telah melumpuhkanku seperti ini.




“Hiks.. hiks.. bangun, sayang.” Suara lembutnya tak mampu menyembunyikan kekhawatiran wanitaku. Namun aku masih terlalu berat untuk menggerakkan badan dan bahkan untuk membuka mata sekalipun.




Cup. Sebuah kecupan lembut mendarat di dahiku. Lalu pada kedua pipiku. Dan.. cup.. kini ia mencium bibirku. Sangat lembut dan hangat. Aku hanya bisa melenguh.. perlahan sakitku mulai hilang. Kulumannya membuat kesadaranku kian pulih, dan kubalas ciuman hangatnya. Kami saling mengulum lembut, berbagi kasih sayang dan berbagi penanggungan beban hidup. Kami saling berbalas. Kukulum bibir bawahnya, ia mengulum bibir atasku; begitu sebaliknya dan berulang-ulang.




Aku selalu merindukan ciuman ini. Ciuman yang selalu membayang di malam-malam sebelum tidurku; kini kembali bisa kurasakan, teramat indah dan manis. Aku sudah sangat hafal lembut ciuman ini, aku tahu persis alur dan lekuk bibirnya, halus nafasnya, aroma tubuhnya…




Seketika kubuka mataku. Sumpah.. ternyata perkelahianku hanya mimpi. Tapi ciuman ini bukan ilusi. Plop. Segera kulepas ciuman kami, dan kuhentak tubuh yang memelukku sehingga pelukannya terlepas. Dengan terengah aku segera bangkit.




“Sae?” Aku hanya bisa melotot dan melongo.




Deg. Deg. Deg.




“Kamu???” Kuusap bibirku untuk membuang bekas ciumannya. Kulihat wajah Sae memerah dan ada bekas air mata di sana, namun begitu ia tampak sangat tenang tanpa penyesalan.


“Apa.. apa yang kita lakukan?” Jantungku berdetak kencang, tanpa bisa merumuskan apa yang kurasakan saat ini.


“Kita ciuman,” Sae menjawab dengan enteng sambil menjulurkan lidah di sudut kedua bibirnya.


“Sa!!! Aku tahu.. tapi kenapa kamu menciumku? Aku.. aku.. Aaaarrrghhh…” Tiba-tiba aku merasa amat kesal.


“Hihi… kamu tenang dulu, Ja. Nih minum…” Sae malah seperti sengaja membiarkan kebimbanganku; tangan kanannya menyodorkan segelas air putih, sementara tangan kiri hendak meraih pipiku.


“Heh!!” Kutepis tangannya dan kugeser dudukku menjauhinya. Tapi Sae tampak santai dan memaksaku untuk menerima air minum dari tangannya.




Glek. Glek. Gleek.


Langsung kuhabiskan.




“Ini sudah yang kedua kalinya loh, Ja?” Sae memandangku, kali ini sorot matanya memancarkan kekhawatiran.


“Maksudnya?” Aku heran.


“Ya.. kamu pingsan seperti ini. Dulu kamu juga pingsan di sini dengan keadaan keringat dingin; barusan juga kamu mengalami hal serupa, bahkan pake merintih-rintih kayak kesakitan segala. Ada apa sebenarnya denganmu, Ja? Kamu gak sakit kan?”




Plaak. Kutepis kembali tangannya yang mau menyentuh dahiku.




“Dengar, ya Sa. Aku cuma tertidur. Bukan pingsan. Titik!”


“Hihi.. sekarang kamu gitu banget sih ke aku teh. Kamu tadi pingsan, Ja.”


“Bodo…” Kunyalakan rokok lalu kukeluarkan hapeku. Sudah jam dua, berarti tadi aku tertidur hampir tiga jam.


“Dulu kamu gak suka merokok kalau ada aku loh,” Sae masih saja bersikap menggodaku.


“…”


“Kamu udah bener-bener gak sayang aku lagi yah?”


“Nggak.”


“Masa?”


“Kamu ngomong apa sih, Sa? Ingat semua urusan kita sudah selesai sejak kemarin lusa, tolong kamu jangan ungkit-ungkit lagi. Kamu fokus pada masa depanmu dan Jaka.” Aku mulai jengkel.




"Oh..." jawab sae singkat sambil memasang earphone dan memutar lagu dari MP3 player pemberianku. Ia kini tampak tak acuh padaku dan lebih asik mendengarkan musik.




Aku lebih memilih menghisap rokokku dan memainkan asapnya. Kesal. Bingung. Sayang. Marah. Rindu. Semua menjadi satu. Sungguh.. aku sudah tidak mengerti lagi dengan sikap dan perlakuan Sae. Kubuka hapeku untuk memeriksa sebuah thread yang selama ini selalu membuatku penasaran. Masih juga belum ada balasan.




Merasa bosan, dan belum ada pertanda ketiga sahabatku akan segera datang, aku masuk ke dapur untuk menyeduh kopi; kopi kental kesukaanku. Lalu kembali ke dalam saung…




Deg.




Aku terpana dan dadaku berdesir. Sae. Aku baru sadar kalau hari ini ia nampak cantik sekali. Matanya terpejam sambil mendengarkan musik, bibir merah jambunya seolah sedang mengikuti lantunan syair meski tanpa suara. Kedua kaki jenjangnya berselonjor berhimpitan, semantara kedua tangan memainkan ujung-ujung rambutnya. Sekali-kali ia mencium ujungnya dengan mata tetap terpejam. Dan.. aku baru sadar kalau ia selalu mengenakan selendang yang pernah kuberikan.




“Cantik,” gumamku tanpa sadar. Aku naik ke atas saung dan melangkahi kakinya, lalu duduk di pojokan sejajar dengannya. Aku tidak mau duduk di hadapannya agar tidak tergoda untuk memandang wajah gadis mantanku ini. Sementara ia terlihat lebih asik dengan dirinya sendiri, kumainkan kembali hapeku.






From: Yayang Kedua


Nanti malam kamu nggak jemput aku, yank?




To: Yayang Kedua


Nggak, bu. Dijemput Sawaka aja ya.




From: Yayang Kedua


Ibu? Kamu sudah gak sayang aku lagi ya? :(




To: Yayang Kedua


Hehe.. iya sayang… Nanti dijemput Sawaka ya. Lalu kita ketemu dulu di rumah Bu Rohmah.




From: Yayang Kedua


Dasar gak peka.






Hadeuh.




Kuseruput kopiku sambil melirik Sae. Ingin rasanya aku menyampaikan bahwa aku sudah menemukan wanita keduaku. Tapi… aku takut. Walaupun kami sudah tidak pacaran lagi, aku takut melukai perasaannya.




“Sa..” Aku memanggilnya.


“…”


“Sae!” Aku memanggilnya lebih keras lagi.


“…” Tetap tak ada jawaban. Buset nih anak.. padahal tidak baik dengerin musik dengan volume yang keras.




Kuperhatikan wajahnya dari sudut mataku. Gadis yang sempurna. Andai aja aku tak mengenal wanita lain selain dirinya, aku pasti sudah memperjuangkan Sae sebagai satu-satunya milikku. Aku tidak akan melepasnya dan membiarkannya menjadi milik Jaka. Tapi apa daya, aku sudah tak pantas lagi untuknya. Setelah Bu Rohmah, kini muncul bu haji, dan entah siapa lagi ke depannya.




Perasaanku bagai diiris. Perih mencintai seorang gadis yang sudah menjadi kekasih sahabat sendiri.




“Aku sayang kamu, Sa.” Tak sadar aku bergumam.




Deg.




Ada senyum manis di bibirnya. Jangan-jangan…




“Sae!!” Aku memanggilnya, tapi ia tak bereaksi.




Ah.. berarti ia tak mendengar. Aman.. fiuuuh.. bodohnya aku.




Kupejamkan mataku untuk membuang semua kenangan bersama Sae. Kualihkan fokusku pada ritual nanti malam. Entah kenapa aku merasa sangat sedih; aku tidak siap. Tak ada gairah untuk menyambut keindahan yang seharusnya bisa kunikmati. Kini rasaku seakan sudah mati, selain kepada Sae sendiri tentunya. Haruskah aku menyakiti bu haji dengan hanya memberikan tubuh ini?




Cup.


Deg.




Lamunanku buyar.




Kubuka mataku. Wajah Sae begitu dekat.




“Sae!!!” Hardikku. Segera aku berdiri dan menjauhinya. Jantungku berdetak kencang; perasaan rindu dan marah saling beradu. Namun hanya senyum manis sebagai jawabnya.


“Aaaarrrh.. kamu…” Aku sudah tidak bisa ngomong apa-apa lagi.




Dan… kulirik bayangan di pinggir saung.




“Jaka??” Tubuhnya mematung melihat kejadian barusan.


“Ma… maaf Ka. Ini… ini… Aaah… kamu jangan salah paham, Ka. Sae, tolong kamu jelaskan!!” Aku gugup dan panik.


“Apa yang kamu lakukan, Sa?” Jaka memandang Sae dengan heran.


“Hihi.. menciumnya,” Sae memasang muka polos dan menjawab dengan entengnya.




Anjriiiit.




“Sae?” Aku membentaknya, sementara Jaka hanya diam.


“Tadi katanya kamu sayang aku,” Sae menatapku genit.


“Heeehhh???”




Aaah.. sial… sial… rupanya ia mengerjaiku. Ia tidak sedang mendengarkan musik.




“Ka, aku mohon.. Sae.. Sae bohong, Ka. Tadi.. tadi..” Tiba-tiba aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya bisa memandang Sae sambil memohon supaya ia menjelaskan kenapa ia menciumku.


“Yang dikatakan Sae, bener Ja? Kamu masih menyayanginya?” Jaka tak menggubris penjelasanku, pertanyaannya bagai sebuah hantaman bagiku. Dengan kikuk aku kembali duduk bersamaan dengan Jaka yang menaiki bale-bale dan bersila sambil menyalakan rokoknya.


“Sae.. tolong…” Aku memelas kepada Sae. Sementara ia dengan cuek hanya mengangkat bahu. Senyumnya kini nampak menyebalkan.


“Ka, dengarkan aku,” aku mencoba menenangkan diri. “Kemarin lusa aku sudah berbicara dengan Sae di saung kopi. Semoga Sae tidak berbohong kalau sudah minta ijin kamu. Dan aku sudah merelakkan Sae, Ka. Aku rela.. kini di antara kami sudah tidak ada apa-apa lagi. Aku mohon.. kalian harus saling mencintai dan menjaga satu sama lain.”




Aku menarik nafas panjang sesaat. “Untuk kejadian barusan, aku mohon maaf. Itu di luar kesadaranku. Aaarhhh… Sae sekarang kamu jelaskan!” Aku menatap Sae dengan tajam. Sial.. ia tampak tenang-tenang saja.




“Hai onyet-onyet…”




Buyar semuanya… si kampret Ardan muncul dengan gayanya seperti biasa. Suasana sedikit cair, tapi tetap saja aku merasa ada yang mengganjal karena masalah kami belum terselesaikan.




Tak lama kemudian Bi Iyah datang sambil membawa rantang makan siang. Kini ia sudah tidak semurung dulu. Wajahnya kembali bersinar memancarkan wajah ayu, khas kecantikan wanita paruh baya. Perutnya nampak makin membesar, membuatnya terlihat seksi. Ada rasa senang sekaligus iri yang menyeruak di balik perasaanku.




Dengan penuh canda kami pun makan bersama. Dan.. semakin meriah ketika Ega dan Ratna juga datang. Nasi hangat dan ikan tanjan bakar menjadi menu kami siang ini. Ditambah sambel dadak dan lalapan. Sikap Bi Iyah yang melayani Ardan sedemikian rupa membuatku semakin iri, andai saja aku dan Sae masih seperti dulu pasti ia akan melayaniku dan bahkan tak sungkan menyuapiku.




Hadeuuuh… sadar, Ja… sadar….




Seusai makan, kami duduk melingkar. Asap rokok sudah mengepul dan kopi panas kembali terhidang. Kami bercerita tentang usaha kopi kami dan musim panen padi yang segera tiba. Suasana kembali riang, kecuali aku dan Jaka yang lebih banyak diam. Ini harus kuselesaikan…




“Ehem..” Aku mengundang perhatian penghuni saung. Semua nampak sadar menerima kode bahwa aku akan menyampaikan sesuatu yang serius. Semua menjadi diam dan menatapku.


“Maaf sebelumnya, karena aku akan menyampaikan sesuatu yang mungkin mengejutkan kalian…” Aku menarik nafas panjang. Sae telah bermain-main di hadapan Jaka dan aku, kini saatnya kubungkam permainannya.


“Bi Iyah dan teman-teman…”


“…”


“Kalian tentu saja tahu kalau selama ini aku dan Sae berpacaran. Tapi sekarang saatnya kalian juga tahu…” Kutatap mereka bergantian; nampak ada ekspresi heran pada raut muka mereka.


“Sejak kemarin lusa, kami sudah putus secara baik-baik.”


“…”




Semuanya tampak kaget, namun hanya Bi Iyah dan Ardan yang kelihatan paling




Tik tok tik tok.




Kumainkan asap rokok.. membulat dari moncong mulutku, lalu bergelombang dan menghilang.




“Semoga ini tidak menghilangkan keakraban di antara kita. Aku dan Sae tetap bersahabat, dan kita semua adalah sahabat selamanya.”


“Kini…”




Anjrit kok terasa sesak begini.




"Jaka dan Sae sudah menjadi pasangan; mereka berpacaran. Kita dukung cinta mereka.”


“Ja…” Jaka dan Sae hendak protes bersamaan. Kini senyum jail Sae hilang seketika, dan Jaka hanya memandangku geram.


“Ini.. ini bukan bohongan, kan?” Ardan tak bisa menahan diri. Wajahnya pucat dan matanya memerah. Aku hanya menggeleng sambil berusaha tersenyum.


“Tidak bisa. Ini ada apa?” Ardan mulai marah. “Senja dan Sae putus, lalu hanya dalam hitungan hari Sae sudah pacaran lagi dengan Jaka. Tolong jelaskan!!!” Ia tampak tidak terima dengan kabar yang barusan ia dengar.


“Haha.. tenang Ar. Ini tidak ada yang salah… cinta itu tidak bisa dipersalahkan.” Aku mencoba membuatnya tenang.


“Aku dan Sae…” Aku hendak melanjutkan.


“Diam!” Tiba-tiba Sae menghentikan ucapanku. Bukan hanya aku yang terkejut mendengar bentakkannya, tetapi yang lain juga. Muka Sae tampak memerah dan matanya berkaca-kaca.


“Apa yang Senja katakan itu benar. Kami sudah putus!!” Suaranya meninggi dan sorotnya mulai penuh kebencian.


“Kalian tahu apa yang membuat kami putus?” Sae tersengal.


“Karena aku juga tidak mencintainya lagi. Aku lebih menyayangi Jaka!!! Kamu puas, Ja?” Telunjuknya bergetar mengarah ke mukaku. Air matanya mulai mengalir.


“…”




Buuuk!!!




Sebuah tinju dari Ardan mendarat di dada Jaka.




“Kamu bangsat, Ka.” Hardiknya. “Jadi ini yang namanya persahabatan? Ini namanya teman makan teman, Ka!!!” Ardan kalap, dan tinjunya mulai berayun kembali ke wajah Jaka yang sedang terhuyung. Beruntung Ega segera meraihnya. Keributan pun tak terelakkan lagi. Aku sempat shock, tak menyangka kalau kejujuranku malah membuat Ardan kalap. Sementara Bi Iyah dan Ratna mulai menangis, tanpa tahu apa yang harus mereka tangisi.




“Berhentiiii!!!” Sae berteriak membuat semua diam terpaku.


“Kalian dengar…” Sae mencoba mengendalikan emosinya.


“Kalian sudah dengar kan… A-ku le-bih me-nya-ya-ngi Ja-ka!!” Sae menekankan kalimat terakhirnya.


“Tapi..” Sae menahan tangisnya. “Demi keutuhan persahabatan kita. Aku tidak mau melanjutkan hubungan kami.”




Lalu Sae memandang Jaka.




“Aku dan Senja sudah putus. Dan sekarang… Aku dan Jaka juga PU-TUS. Tidak ada lagi yang perlu diributkan.”




Deg.

Posting Komentar

0 Komentar