IKHLAS TANPAMU (Part 2)
“Hai Sa, sudah lama?”
Kamu cantik sekali hari ini. Kenapa masih kau kenakan selendang itu?
“Haai.. belum kok, Ja..”
Hampir aku memanggilmu ‘yank.’ Kau masih memakai gelangku. Senyummu mengembang.. huh.. pembohong!
“Kenapa kamu ingin bertemu denganku?”
Sumpahku sudah menutup rasaku, Sa.
“Kenapa? Kamu keberatan? Gak suka?”
Sialan.. aku kangeeeen.
“Eh.. nggak kok. Kamu sudah bilang Jaka?”
Jangan kausakiti priamu untuk kedua kalinya, Sa.
“Udah kok?”
Kenapa kamu harus menyebut namanya?
“Oh baguslah. Aku duduk ya?”
Ijinkan ada ruang membentang di antara kita. Kita sudah beda.
“Ya duduklah… Kenapa musti bilang?”
Aku ingin kaumendekat, dan tubuh kita saling melekat. Peluk aku, Ja…
“Eh.. iya… makasih.”
Kenapa kau mengundang janjian, kalau judesmu masih enggan kaubuang?
Diam.
Senja:
Langit itu… kini memerahkan senja Sawer kita. Seperti bara api yang mendidihkan air, menggolak siap dituang ke dalam cangkir ‘Kopi Sawaka.’ Sayang takdir harus menyeretku pergi, memapah mimpi mencari masa depan yang tak pasti.
Aku ingin di sini, merajut asa tentang masa depan kebun dan sawah kita. Memanen kopi dan padi yang membuah dari suburnya; hasilnya menjadi milik bersama, lantas menjadi berkah bagi semua warga.
Di kota memang ada senja… tapi ia tak memiliki gerah merah dan biru langitnya. Sanggupkah kutanggung rindu, untuk menatap langit merahmu.
Sae:
Apa yang kaupikirkan, sayang? Masih adakah namaku di hatimu? Atau kau masih tetap teguh dengan kerasmu untuk merelakan tiadaku. Aku ingin kembali ada di binar matamu, seperti wajahmu selalu terlukis di hatiku. Aku sayang kamu… dan kini aku sakit melihatmu tak seindah dulu; maafkan aku kalau karena ini kau menjadi beku.
“Kenapa kamu menghendakiku supaya menemuimu di saung ini, bukan di bubulak seperti yang kuminta?”
Tolong katakan dengan jujur sayang. Aku ingin kita bertemu di sana, karena di sanalah kita melewati berpuluh-puluh senja dengan ikatan kasih kita, meski cinta dimulai di saung ini.
“Aku.. aku tak mau lagi ke sana. Terlalu banyak ken.. eh… ya sudahlah… toh sama saja.”
Di sana terlalu banyak kenangan, Sa. Cinta kita mekar di sana, janjiku terucap di sana, pergulatanku juga terjadi di sana.
“Bagiku tidak sama, Ja.”
Aku mohon jujurlah, sayang.
“Sekarang, katakan Sa, apa maksudmu ingin berbicara berdua?”
Aku mohon jangan ungkit masa lalu indah kita, Sa.
“Aku mau kamu jawab dulu! Baru nanti kujelaskan.”
Aku mohon sayang. Kini hatiku mulai terasa pedih, jangan biarkan aku menangis di hadapanmu.
“Baiklah….”
Tik tok tik tok
“Karena kita memulai kisah kita di sini. Dan…”
Cukup Sa, jangan paksa aku.
“Dan apa?”
Apakah kamu ingin memulai lagi cinta kita dari awal, sayang? Aku mauuu.
“Hssssssh…. hmmm… aku.. aku.. ingin kita mengakhirinya juga di sini.”
Kita hapus cinta kita, Sa. Kita hapus semua kenangan kita. Kita kembali ke awal.. menjalin kembali hari-hari indah persahabatan, tanpa luka karena cemburu dan pengkhianatan.
“Hiks… hiks…”
Jujurlah, sayang. Aku mohon… Kenapa kamu sekarang begitu dingin? Aku rela kau membenciku, aku rela kau menghempaskanku, tapi aku mohon jangan kauhilangkan gagah dan ceriamu.
“Sekarang kamu sudah tahu alasannya, Sa. Sekarang katakan maksudmu kenapa kita ketemu?’
Maaf, Sa. Hidupmu adalah segalanya bagiku, Jaka juga sahabatku yang harus kubela. Berjalanlah berdua membangun cinta kalian. Sekarang jujurlah apa maksudmu ingin bertemu denganku.
“Hiks.. hiks.. Aku ingin tahu alasanmu kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran untuk pergi ke Bandung.”
Kau berhasil membuatku menangis, Ja. Aku tidak ingin… tapi aku tak sanggup. Sekarang katakan, karena cemburumu atau karena memang sudah kaurencanakan? Kejujuranmu sangat berarti, sayang.
“Aku harus mencari kakakku, Sa?”
Aku sakit hati, Sa.
“Sudah hanya itu saja?”
Kau tidak bisa membohongi diriku, sayang.
“Karena aku juga ingin membangun usaha kopi kita. Kalian di sini, aku di sana.”
Aku sendiri tidak yakin. Awalnya aku terpaksa karena harus mencari kakakku. Tapi setelah aku tahu bahwa kamu dan Jaka saling menyayangi, aku semakin mantap untuk pergi.
“Sudah?”
Kamu keras kepala, sayang.
“Iya.”
Keras kepalamu selalu saja ada.
“Lalu kita?”
Aku ingin menamparmu, mencubitmu, memelukmu, menciummu.. Arrrhhhh…
“Heh? Maksudnya?”
Degh..
“Gak usah belaga bego, Ja. Hubungan kita gimana?”
Sampai kapan aku harus bersabar mendengarmu, sayang?
“Maksudmu? Bukankah semuanya sudah jelas? Kita adalah sahabat, Sa. Sahabat sejak kecil dan sampai kapan pun juga akan tetap menjadi sahabat.”
Pasti sebentar lagi ia akan bilang aku gak peka.
“Kamu bener-bener Ja… Aaaarhhhh gak peka!!”
Sudah sebeku itukah dirimu, sayang. Aku mencintaimuuuuu.
“Sa?? Lagi?? Di mana salahku; tidak pekaku??”
Nah, bener kan. Aku mohon jangan singgung hubungan kita, Sa. Aku sedang berusaha mengikhlaskanmu; dan aku belum bisa sepenuhnya.
“Bodo!!”
Aku yakin kau hanya berpura-pura, sayang. Benar, kan?
“…”
Kau mau menanyakan hubungan kita, Sa? Kamu sendiri yang telah mengkhianatiku.
“Sayang!!! Aku menyayangimu! Kamu dengar itu??? Hiks hiks…”
Aaarhhhh.. Sae.. bodoh.. bodoh…
“….”
Degh.
“Kenapa diam?? Aku sudah jujur, sekarang kamu juga harus jujur!! Hikss…”
Aku ingin memelukmuuu.. hiks hiks…
“Sa, jangan ngawur kamu. Jaka mau kamu apakan? Kalau kamu hanya ingin tahu alasanku ke Bandung, aku sudah menjawabnya. Yuks kita pulang…”
Sa, maumu apa sih?
“Nggakk!! Kita belum selesai!!”
Ingin kugampar dirimu.. Kamu masih mau menghindar dan menipu dirimu sendiri, hah??
“…”
Sa, aku mohon..
“Tolong, Ja. Aku mohon.. katakan perasaanmu padaku. Itu penting bagiku.”
Haruskah aku jujur tentang sandiwaraku sekarang? Tapi kalau aku jujur apakah ia akan mengurungkan niatnya untuk pergi ke Bandung?
“…”
Aku gak ngerti maksudmu.. baiklah…
“Ja, aku mohon jawablah.”
Deg. Deg. Deeegh…
“Nggak, Sa. Aku sudah tidak menyayangimu lagi. Maaf.”
Maaf aku berbohong, Sa. Aku hanya tidak mau merebutmu dari Jaka. Dan aku sudah terlalu kotor bagimu. Kamu mungkin hanya berciuman dengan Jaka, tapi aku sudah lebih dari itu. Aku bukan hanya ciuman, tapi juga tidur dan bersetubuh. Kau sudah tahu itu.
Tik-------- Tok-------- Tik-------- Tok--------
“Hiks… hiks… makasih atas kejujuranmu, Ja. Aku menghargai itu. Maafkan aku yang telah mengkhianatimu.”
Aku tahu kamu berbohong, sayang. Tapi tetap saja aku sakit mendengarnya. Maafkan aku karena telah menjadikanmu manusia beku seperti ini. Aku janji.. aku akan memulihkanmu menjadi Senjaku yang seperti dulu.
“…”
Aku sudah memaafkanmu, sebelum kamu memintanya, Sa.
“Kalau kamu memang sudah tidak sayang, sekarang aku ingin mendengar kata perpisahan darimu. Hiks hiks…”
Sekarang apakah kamu masih bisa mengelak, sayang?
“Sa… kamu sendiri yang pernah bilang kalau aku tidak pernah mengucapkan “aku sayang kamu” padamu. Dan aku mengakui itu. Aku tidak pernah mengucapkannya, maka aku tidak perlu menarik kata-kata itu. Sudahlah, Sa. Kita kembali bersahabat seperti dulu.”
Maaf, Sa. Sekarang ingin sekali aku mengatakan: “Aku sayang kamu.”
“Makasih, Ja. Aku menerima maumu. Sekali lagi maafkan aku.”
Aku sakit, Ja. Tapi aku terima keputusanmu karena aku tahu ini salahku; dan yang terpenting, aku masih yakin kalau kamu sedang berbohong.
“Sudahlah, Sa. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Cintailah Jaka dengan segenap hatimu. Aku akan selalu mendukung kalian; berusahalah saling memahami dan jangan pernah saling menyakiti.”
Selamat tinggal cinta.
Sawaka: Cinta sudah sama Adit, Ja.
Kalau gitu aku ralat, selamat tinggal Sae.
“Hiks.. hiiiks… Ja, boleh aku memelukmu?”
Aku mohon, berilah aku kesempatan untuk memberikan tanda cintaku.
“Tidak.”
Tak ada gunanya, Sa.
“Ja, kamu memang tidak pernah mengungkapkan cinta di awal kita jadian, tapi kamu memelukku sebagai tanda kita saling mencintai. Sekarang, beri aku pelukan perpisahan. Aku mohon…”
Kalau kamu sampai menolaknya, maka aku akan percaya bahwa kamu memang sudah tidak mencintaiku lagi.
“…”
Aku tak punya pilihan sekarang.
“Ja?”
Keyakinanku makin diuji.
“Baiklah.”
Aku hanya bisa mengalah.
Hmmmmffff.
“———————————“
Sae: “….”
Aku sayang kamu, Ja.
Senja: “….”
Aku sayang kamu, Sa.
Matahari terbenam di ufuk barat langit Sawer, menyisakan rona merah di langitnya. Di bawahnya, dua tubuh saling berpelukan. Satu merintih pedih dalam tangisnya sambil mengungkapkan seluruh cintanya dalam hati. Yang satu hanya diam membisu; peluknya beku dan kaku; kata perpisahan terucap dalam hati.
Senja:
Sampaikan salamku pada masa depan
Tak usah kaubawa cerita tentang kita
Anggap tak ada aku di belakang
Karena esokku masih samar.
Sae:
Adaku hanya satu:
“Hidup tanpamu”
Semoga waktu masih mau menunggu
Sebelum habis usiaku.
0 Komentar