RITUAL KEDUA
Lelah…
Jiwa dan tubuhku teramat lelah. Aku tak mengerti dengan perasaanku saat ini; aku tak tahu lagi apa yang menjadi mauku sendiri. Apa yang harus kulakukan? Sikap bijak apa yang bisa tetap mempersatukan persahabatan? Ditambah lagi, aku masih belum habis pikir tentang sikap Sae yang berubah-ubah dengan cepat, setiap saat, setiap bertemu. Ini ada yang tidak beres, tapi apa?
Aku sayang dia?
Kenapa kau tanya, wahai semesta. Kau tahu jawabnya.
Aku kecewa?
Ya, rasa itu masih ada.
Aku tak rela melepasnya?
Aku tak tahu.
Aku membenci Sae dan juga Jaka?
Tidak.
Aku sudah memaafkan?
Tentu saja.
Aku bisa melupakan?
Tak akan pernah bisa.
Mauku apa?
Kampreeet…
Sepertinya yang menjadi masalahku saat ini bukan lagi Sae dan Jaka; bukan pula putusnya hubungan kami, atau keputusan sepihak Sae memutuskan Jaka di depan kami semua. Masalahku saat ini adalah diriku sendiri. Aku tak tahu apa yang menjadi mauku. Aku ragu apakah cinta sejati itu memang ada.
sementara aku sudah terikat sebuah janji suci untuk saeku: aku akan selalu mencintai dan menyayangimu. Aku tak pernah menyesal mengikrarkannya di bawah langit senja Sawerku kala itu; sama sekali tidak menyesal. Meski akhirnya aku juga harus bersumpah pada semesta bahwa aku tak percaya lagi cinta ketika aku memutuskan untuk melepaskan satu-satunya gadis yang mengisi relung hatiku.
Aku setia pada janjiku, tapi aku juga telah termakan tanya dan sumpahku. Aku tak pernah menyesal akan janjiku untuk selalu mencintainya, tapi kini aku juga tak tahu harus bersikap bagaimana. Meski aku meragukan dan mempertanyakan cinta sejati, aku tetap tak menyesal atas janjiku itu. Dan kini… aku telah merelakan satu-satunya penghias mimpi indahku; tapi kenapa rasa ini masih ada?
Dulu aku bertahan dan bertekad menentang wasiat kakek karena aku ingin selalu dekat dan memiliki Sae. Itu karena aku mencintainya. Dulu, dan bahkan sampai kini, Sae selalu memintaku pergi, walau -katanya- ia juga mencintaiku. Selalu ada cara pandang yang berbeda di antara kami. Aku mencintainya dan ingin selalu dekat bersamanya, sementara Sae juga menyayangiku tapi malah memintaku pergi menjauh. Apa sebenarnya cinta? Apa arti saling memiliki?
Lain hubunganku dengan Sae, lain pula dengan Bu Rohmah. Kami tetap saling mencintai meski berawal dari birahi. Kami selalu ada satu sama lain dan saling berbagi penanggungan, meski kini rasa sayang ini sudah lain sama sekali, berkembang tanpa bumbu percintaan. Kami saling menjaga, tanpa sebuah rasa untuk saling memiliki. Sayang kami berkembang layaknya cinta antara seorang ibu dan anak.
Itu aku dan Sae, aku dan Bu Rohmah, juga tentang kedekatan Sae dan Bu Rohmah yang di luar prediksi.
Kini ada model cinta yang lain, yang aku sendiri susah menjabarkan. Kepadanya, aku pun punya janji: Aku tak akan pernah meninggalkanmu, sampai engkau sendiri yang memintanya. Itulah ucapku pada Ismaja, ibunya Raka; istri seorang pria yang sudah kuanggap sebagai bapak. Pak haji. Inikah juga cinta? Kenapa pula terlalu banyak janji dan sumpah yang selalu kuucap, kalau akhirnya aku sendiri yang terbelenggu dalam bimbang dan bingung.
Semua janji akan kutepati. Cadu bagi seorang Senja untuk mengingkari janji, tapi sampai kapan aku terkutuk oleh sumpah yang sempat terucap: Aku tak percaya lagi cinta? Entahlah…
Yang jelas nanti malam purnama akan datang, tapi aku tak semangat menyambutnya. Aku tidak akan meninggalkan bu haji, aku tidak akan melanggar ritual kami, tapi rasaku sudah telanjur membeku. Sanggupkah kuberikan tubuh ini, tapi tidak dengan hatiku?
Kupandang tepi langit senja ini, dan kuhentikan lamunanku. Lalu kutulis kalimat terakhir pada suratku:
Dari Senja
Yang pernah menjadi milikmu.
Lalu kulipat dan kumasukkan ke dalam amplop putih, bergaris batik. Bersamaan dengan itu, sebuah suara menyapaku, “A Senja lagi apa?”
"Hai, Ma. Tos ti mana(habis dari mana)?” Kulihat Rahma, adik Sae, berhenti lalu menghampiriku yang sedang duduk di tangga bale-bale rumahku.
“Abis nganterin daun salam untuk Bu Rohmah. Aa lagi apa kok bengong sendiri? Kata ibu gak baik loh ngelamun waktu maghrib. Hihi...”
“Ah kamu... Teh Sae ada, Ma?”
“Ada tadi mah. A Senja dan Teh Sae gak pacaran lagi ya?” Ia memandangku.
“Ah anak kecil tahu apa...” Aku menggodanya.
“Enak aja.. aku kan udah mau naik kelas tiga...” Protesnya. “Tapi beneran ya kalian udah putus?” Rahma masih penasaran.
“Emangnya kenapa?” Aku balik tanya.
“Soalnya hampir setiap malam, Teh Sae suka nangis sendiri.”
Deg.
Kuundang Rahma duduk di sebelahku, dan memintanya bercerita. Dan dengan polos gadis yang baru berusia delapan tahun ini bercerita tentang Sae, kakaknya...
Deg.
Deg.
Deg.
“Jadi gitu A, ceritanya.” Rahma mengakhiri.
“Makasih, Ma, atas ceritanya,” sambil mengusap-usap rambutnya. “Aa titip surat ini untuk Teh Sae ya.”
“Surat cinta ya? Hihi...”
“Hush anak kecil gak boleh ngomong cinta-cintaan.”
“Biarin... eh A, anterin Rahma pulang. Gara-gara cerita, nih udah gelap kaaan jadinya.”
“Hayu atuh.. tapi Aa gak masuk ya, sampai halaman rumah aja.”
“Iya.”
Kami pun bergandengan tangan menuju rumahnya.
https://t.me/cerita_dewasaa
POV
BU Hj ismaja
Sakit.. terlalu sakit aku merasakan ini. Aku memberikan seluruh hati dan tubuhku, seluruh diriku, tapi ia hanya memberikan tubuh tanpa hati. Bagi seorang wanita percintaan adalah pemberian seluruh diri. Cinta, rasa, tubuh.. dan semua yang menjadi milik diri. Persetubuhan bukan sekedar mengungkap nafsu. Namun berbeda kini.. Pemudaku lain sekali. Jiwanya kosong… Ia bukan lagi Senja yang kukenal, melainkan hanya seonggok tubuh seorang pejantan yang bercinta sekedar menjalankan kewajiban. Tiada kemesraan, tiada rasa yang ia curahkan; tiada binar sayang, bahkan tak ada api birahi yang terpancar.
Di atas kami purnama sudah mulai bergeser ke tepi barat, dan sudah lima kali persetubuhan kami lakukan. Tapi belum ada pertanda Mantili akan segera datang. Bagi Senja, percintaan ini hanya sekedar kewajiban menjalankan ritual, bukan pemuda penuh kasih sayang yang kukenal. Sementara Sawaka semakin mengaum dan meraung.. gelisah tanpa sabar. Kalau begini terus, misi dan ritual bisa gagal.
Kuhentak tubuh Senja ke tepi batu ceper tempat kami bersetubuh. Tubuhnya terjerembab ke dalam air, dan tatap kosongnya membayang penuh tanya. Aku berdiri sambil menangis sedih.
“Hiks.. hiks… berhenti, Ja. Berhenti!!” Aku menghentikan tubuhnya yang segera bangkit dan hendak meraih kembali tubuh polosku.
“Hash.. hash.. kenapa harus dihentikan? Purnama sudah mau mulai hilang, dan kita tinggal menyisakan dua ritual.” Ia heran karena tangis dan penolakkanku.
“Bukan itu maksudku.. hiks hiks.. berhentilah kamu menutup hatimu. Kalau begini terus kita bisa gagal.” Aku menegaskan maksud penolakkanku. “Masih ada waktu, Ja, sekarang kamu ceritakan.”
“Maaf.” Hanya itu yang ia ucapkan.
Lalu tubuhnya beranjak. Ia memelukku dan tubuhnya bergetar. Ini yang kumau.. aku mau supaya ia bisa meluapkan semua beban dalam tangisnya; inilah kejujuran yang kuharapkan atas pergulatan perasaannya, daripada sekedar menutupi dengan ketegaran palsu.
Tubuh polos kami saling melekat, dan kubiarkan ia mengungkapkan seluruh kegelisahannya dalam tangis dan pelukan ini. Tak terasa air mataku kembali berlinang merasakan keperihan yang Senja rasakan. Entah apa.. aku masih menunggunya mengungkapkan.
“Sae, bu.” Ia mulai berbicara; aku tak protes ketika ia hanya memanggilku ibu, aku ingin dia lepas-bebas dari perasaan yang mengungkungnya. Kukecup keningnya dengan penuh kasih sayang lalu kupeluk kembali tubuhnya dengan segenap perasaan. Payudaraku terhimpit di antara dada kami; tapi aku hanya ingin memberinya ketenangan sebagai seorang kekasih sekaligus seorang ibu.
Hatiku terasa ikut perih merasakan penderitaan batinnya. Dari mulutnya kini mengalir sebuah cerita tentang Sae dan dirinya, Jaka dan juga para sahabatnya. Tentang rasa bersalahnya karena memiliki wanita lain, selain kekasih hatinya; juga rasa bersalah kepada Jaka, sahabatnya. Ketidakmengertiannya atas sikap Sae, juga kebingungan yang menggumpal karena semua masalah ini. Kubiarkan dia bercerita, aku hanya ingin ia menumpahkannya; tak baiklah memendam derita seorang diri.
Kini yang kudengar hanya dia. Tak ada auman Sawaka; gemercik air yang mengalir atau lolong anjing di kejauhan. Aku dan dia masuk keheningan alam semesta. Inilah yang ia butuhkan, tahu apa yang ia rasakan sesungguhnya, berani mengungkapkan rasa apa adanya, dan menerima sebagai bagian berharga dari pengalaman hidupnya. Aku tak ingin ia berjalan sambil membawa luka yang tak terampuni, bimbang dengan jatidiri siapa dia yang sebenarnya. Bukankan identitas dibangun atas dasar semua pengalaman, entah manis atau pahitnya?
Aku semakin menyayangi pemuda ini. Rasa sayang yang muncul bukan karena kekuatan palsu yang ia tampilkan, melain perasaan cintaku yang justru ada karena kejujuran atas kerapuhannya. Aku bahagia karena kini aku ada sebagai tanda kehadiran kakeknya, yang memberi daya untuk masa depan Senja. Air mataku memang mengalir dari rasa pedih, tapi setiap tetesnya adalah ungkapan syukur atas cita dan cinta mulia dari pemuda rapuh ini.
Aku mengeratkan pelukanku. Kukabarkan ada aku yang selalu mendukung perjalanan dan petualangannya ke depan. Aku tahu, rasa dan pelukkan ini bukan tanda untuk saling memiliki selamanya, tapi menjadi bahasa isyarat yang terikat karena sebuah janji leluhur kami. Sebuah sumpah dari Ki Prakasa, kakeknya Senja. Ketika ia berjanji di bawah semesta hutan ini, hendak memutus kutuk yang menimpa Ki Nawir dan masa depan Sawer. Dan kami.. Senja, Bu Rohmah, Sawarni, juga aku adalah generasi yang akan menuntaskan janji Ki Prakasa. Semoga kelak Senja bisa menemukan Sawarni, yang kini belum ketahuan nasib dan keberadaannya.
Kini tangisnya telah terhenti, tubuhnya tak lagi membeku. Elusan pada rambut dan punggungku tak lagi kaku. Senja, pemudaku saat ini sudah kembali. Tak terasa air mataku kembali mengalir karena bahagia.
“Kamu tahu apa yang harus kamu selesaikan setelah ini, sayang.” Aku berbisik penuh haru.
Dekapan eratnya menjadi jawaban; ia selalu saja begitu. Tak pernah banyak kata ketika mengungkapkan perasaan, tak pernah membual dalam setiap percintaan. Namun setiap sorot mata dan sentuhannya selalu memberi ketenangan dan keteduhan yang menenteramkan. Sangat mirip dengan kakeknya; itu pun kalau mengingat cerita ibu yang kudengar ketika ia tidur dengan kakeknya Senja.
“Makasih, sayang.” Untuk pertama kalinya, malam ini ia memanggilku ‘sayang’, dan aku bahagia mendengarnya. Senja sudah kembali. Tidak mudah bagi seorang Senja mengucapkan kata-kata itu, dan sekalinya terucap itu adalah ungkapan kejujurannya. Air mataku kini bukan hanya berlinang, tapi menderas-membasahi pipiku.
Senja melonggarkan pelukan dan mengangkat wajahnya; kami saling pandang. Wajahnya sudah kembali bersinar, jiwanya kini sudah pulang. Tanpa melepaskan pandangan, kami saling membelai pipi dan mengusap air mata. Ada desir halus ketika merasakan kehadiran kasih sayangnya. Kami terus saling membelai; dan ia mengusap pelipisku, merapikan rambut di keningku. Jarinya kini menjelajahi setiap lekuk wajahku tanpa melepaskan pandangan kami.
Aku bergairah. Gairah karena menerima kasih sayang yang besar, dan aku ingin memberikan cinta termurniku untuknya. Tubuh ini hanyalah sarana pengungkapan, karena hati kami kini saling berpagutan dalam diam; cinta kami beradu di dalam lubuk hati yang sangat dalam.
Senjaku sudah ‘pulang’, ia hadir kembali dengan mencurahkan kasih sayang, bukan lagi sekedar memberikan tubuh demi sebuah ritual. Aku hanya bisa mendesah halus ketika ia mencium keningku dengan penuh perasaan. Bibirnya sangat lembut, selembut ungkapan sayangnya. Lama dan lama ia mencium keningku, dan aku hanya bisa membalas dengan usapan di punggungnya.
“Maafkan aku kalau terlalu menyayangi Sae, tapi saat ini kuberikan diriku hanya untukmu seorang. Bukan pelampiasan.. atau sekedar menggantikan.. terimalah aku apa adanya.” Bisik ketulusan terucap dari bibirnya seraya melepaskan ciuman dari keningku. Aku hanya bisa mengeratkan pelukan sambil menengadah; bibirku terbuka meminta cintanya yang kini mekar kembali.
Tidak bisa kujelaskan manisnya ciuman ini. Indahnya sebuah kecupan penuh perasaan. Aku bergetar, pori-poriku meremang seiring kecupan dan kuluman lembut bibir kami. Aku tak mau terburu, Senja juga. Kamu saling mengulum dengan syahdu.. beradu rindu.. ibarat kekasih masa lalu yang berjumpa kembali di masa kini.
“Mmmhhh…” Aku hanya bisa melenguh ketika pemudaku mulai melumat bibirku. Ujung lidah kami mulai beradu, membuat gairahku bangkit kembali. Dengan panas kami mulai saling melumat, lidah kami saling membelit dan menyusuri setiap rongga mulut kami. Hilang.. ya semua hilang. Tak ada dunia luar, yang kurasakan kini hanya sentuhan kami berdua. Seluruh inderaku hanya untuknya.
“Uuuuh…” Aku melenguh dalam batin ketika tangannya mulai turun dari pinggang, dan meremas bokongku. Kemaluan kami kembali beradu, penisnya tegak vertikal di antara bibir vaginaku. Basah.. ya aku basah… nafasku pun mulai sesak-mendesah.
Lembut. Lembut sekali ia memperlakukanku. Tubuh kekarnya membimbingku untuk kembali berbaring di atas batu, sebuah panggung percintaan kami. Aku hanya bisa melentur mengikuti tuntunan pemudaku, tanpa melepaskan ciuman ini. “Hmmmmfff…” Dada bidangnya menindihku, membuat geli payudara dan kedua putingku. Aku gatal. Aku geli-nikmat. Aku terbuai. Aku melayang.
Kini tiada bagian dari wajahku yang terlewat dari kecupannya. Aku bahagia.. ia memperlakukanku bagai permaisurinya. Desahku mulai tak terkontrol ketika ia mengecup dan menjilat leherku. Ia kecap seluruh kulitku, sementara aku hanya mampu meremas rambutnya.
“Hayo sayang.. cepatlah..” Batinku memohon, dan pemudaku seperti mengerti. Kepalanya makin turun.. dan… “Aaaaaah….” Aku tak bisa lagi diam; suaraku membuat gaduh hutan ini ketika tanpa aba-aba ia mengulum putingku sementara tangannya meremas payudaraku bergantian. Aku mendesah, vaginaku membasah; aku mengerang, putingku mencuat-panjang; aku merintih, batinku meminta nikmat lebih.
“Ah sayang…” Kulebarkan kakiku ketika ia mulai menciumi perut dan pusarku, sementara tangannya mengelus paha bagian dalam. Turun lagi… Kini jembutku disapunya dengan lidahnya, dengus nafasnya membuat klitorisku mengeras-gatal, dan bibir vaginaku berkedut-geli. Segeralah sayang…
“Aaaaahhh.. sayaaaang..” Apa yang kunantikan tiba. Aku hanya bisa menjerit dengan mata mendelik, mengerang dengan tangan mencakar, ketika klitorisku mendapat sentuhan dan kuluman. Aku wanita.. aku merasakan nikmat ini.. hai kaumku, adakah yang bisa menggambarkan rasa nikmat ini. Sebetulnya sejak percintaan pertama, Senja selalu melakukan hal sama. Tapi kini beda. Ia melakukannya dengan ketulusan-curahan-kasih-sayang.
Aku hanya bisa pasrah meski batinku gelisah oleh gairah. Cuup.. croooop.. aku benar-benar melayang, ketika ciumannya sampai di bibir vaginaku. Dinding-dinding vaginaku meremang geli, lubang nikmatku berkedut-kedut. Terlalu nikmat.. tak ada kata sepadan untuk menggambarkannya.
Kujambak rambutnya sampai ia mendongak, matanya menatapku mesra; senyumnya indah bahagia. Mataku balas menatap, menyampaikan kabar dan permohonan. Ia mendekat, menaiki tubuhku. Kuremas pinggul pemudaku, dan.. plak.. tanganku ditepisnya.
Selalu saja.. ia tidak mau aku membalas nikmat ini dan memberinya kenikmatan yang hendak kuberikan dengan menyentuh dan mengocok gagah kemaluannya; apalagi membiarkan aku mengoralnya. Ia selalu menolak. Aku tahu, nikmatku adalah nikmatnya; tapi aku juga ingin menjadikan nikmatnya menjadi nikmatku. Ya sudahlah.. kemauannya adalah kemauanku, bahagianya adalah bahagiaku. Kami selalu satu, baik rasa maupun raga.
Kini kemaluan kami beradu. Vaginaku terbuka merekah. Clep.. Kami sama-sama meringis. Cleep.. kami sama-sama mendesah. Cleeep.. kami sama-sama merintih.. Cleeeep.. kami sama-sama mengejang.. Blesss.. Kami mengerang bersama ketika seluruh penisnya amblas. Serasa ada patok besar yang mengganjal di vaginaku. Penisnya terasa panas ketika kuremas dengan dinding-dinding vaginaku.
Cuuuup. Ia menciumku, dan bibir kami beradu. Saling menjilat, saling membelit; saling mencecap, saling melumat. Sementara di bawah sana, ia mulai menaik-turunkan pinggulnya, mengeluar-masukkan penisnya. Aku nikmat, aku kalap. Ia mendesis, aku mendesah; ia mengerang, aku bergoyang. Ia menusuk, aku menyambut; ia mencabut, aku berkedut.
Kubelitkan kedua kakiku di pinggangnya, lalu kutekan sambil menggoyang. Penisnya masuk maksimal, vaginaku menyempit dan menjepit. Kemaluan kami berpacu, mulut kami beradu. Nafas kami saling memburu, daan… “Aaaaaaarrrrrrrrggggghhhh…” Aku menjerit, ia melolong. Lahar panas menyemprot di dalam vagina dan pintu rahimku, sementara cairanku mendesak hebat. Kami saling berkedut dan menyambut. Mengeram dan mengejang. Lunglai…
Tik tok tik tok.
Cup. Ia menciumku.
Plop. Ia mencabut penisnya.
Srrrrr. Cairan kami meleleh dari vaginaku.
Terlalu nikmat.
Dan aku sudah tak mampu untuk sekedar menggerakkan tubuhku.
Namun tidak dengan pemudaku, dengan penis yang tetap menjulang ia bangkit lalu meraih dan membopong tubuhku. Aku terkulai dalam pelukannya; sementara ia membawaku ke kolam mata air. Dari sudut mataku, Sawaka terlihat menggeram dan menyeringai. Memamerkan taringnya dengan sangar, namun girang.
Tubuhku terendam bersama tubuhnya. Terasa dingin, namun segar. Seketika tubuhku kembali bugar. Aku tahu, inilah saatnya.. inilah puncaknya.. Aroma kemenyan dan harum melati merangsang kembali seluruh diriku. Aku bergairah.. aku menuntut puas. Aku terangsang, ‘kan kuberikan kenikmatan. Kami bergumul dalam ciuman panas, kami saling merangsang dengan elusan dan remasan.
Tanganku melingkar di lehernya, kakiku membelit di pinggangnya. Aku melorotkan pinggulku… kemaluan kami kembali beradu. Cleep.. cleeep… bleeessss.. erang kami bersahutan dengan gemercik dan kecipak air, nafas kami menderu bersama raungan Sawaka.
Dan.. puncak nikmatku kembali datang, walau pemudaku belum memberi tanda terpuaskan. Dalam sekali erangan kuraih orgasme terakhirku..
“Aaaaaarrrghhh…” Dan aku hilang.. aku tak lagi sadar.. entah apa yang Senja lakukan selanjutnya…
“————— mantili datang —————”
Entah berapa lama aku pingsan. Sebuah ketidaksadaran yang tidak kusesali, sebaliknya sangat kusyukuri. Aku tersadar oleh kokok ayam dan sebuah sentuhan serta belaian lembut di wajahku. Perlahan kubuka mataku.. sebuah senyum menyambutku; aku hanya membalasnya lemah. Kini aku sudah terbaring di bibir kolam, dan tubuhku telah dibalut kain batik. Sementara kulihat Senja masih terkulai dengan setengah tubuh terendam dalam kolam. Di ujung sana.. dua harimau sedang bergulat. Sawaka sudah menemukan pasangan kawinnya.
“Ceu Rohmah sudah lama?” Aku bertanya lemah.
“Belum lama.. cepat kamu rapikan dirimu, sekarang sudah jam tiga kurang lima. Efek Sawaka hanya sampai jam 3.27; setengah jam lagi suamimu akan bangun.” Ceu Rohmah memberiku perintah. Ia membantuku berdiri sambil menyodorkan pakaianku.
Kukenakan pakaian ini dan kubungkus tubuhku dengan rapi. Sementara senyum kami berdua mengembang bahagia. Setelah beres, kupeluk tubuhnya. "Hatur nuhun" kami berucap bersamaan. Aku bahagia.. ini seperti pertemuanku dengan seorang kakak yang sudah lama tak jumpa.
Kujelaskan situasi hati Senja kepada Ceu Rohmah, dan perjalanan ritual kami yang hampir gagal.
“Kamu jangan khawatir, biar aku dan Bu Euis yang akan membantu menyelesaikan masalahnya. Kamu tenang-tenang saja di desa. Sekarang cepat pulang diantar Sawaka dan Mantili, biar aku yang menunggu Senja di sini sampai ia bangun.
“Muhun ceu, permios (Iya mbak, permisi).”
Kupeluk kembali Ceu Rohmah, lalu kutepukan tanganku dua kali untuk memanggil Sawaka dan Mantili. Tiba-tiba aku kembali tertidur dan tak sadarkan diri.
Ketika kubuka mata, aku sudah berada di samping suamiku, di atas ranjang kamar kami. Aku bahagia.. Kusampaikan kabar-syukur kepada leluhur kami melalui bisik batinku, lalu kubangunkan suamiku
0 Komentar