KETIKA SENJA PART 41

 

BANDUNG IN LOVE: 3rd DAY - INIKAH AKHIRNYA?

“Yank, aku bahagia banget bisa menemukanmu dan selalu bersamamu selama tiga hari ini. Tapi aku juga merasa berdosa terhadap…”

“Sae?”

“Iiih.. dengerin dulu donk. Main sewot aja.” Aku mengeratkan pelukanku.

“Ya habisnya... malah merusak suasana,” ketusnya.

“Ya… selama aku bersamamu aku memang tidak ingat Sae, tapi aku juga tidak bisa membohongi rasa bersalahku terhadapnya dengan apa yang telah kita lakukan. Di satu sisi aku tak kuasa menolak jalan takdir dalam menjalankan wasiat kakek, tapi bahwa caranya harus seperti ini biar bagaimana pun aku telah melukainya.”

“Sudahlah... kita lupakan dulu tentang Sae.

"Saat ini rasa bersalahku yang paling besar adalah karena telah mengkhianati kepercayaan pak haji dan Raka. Mereka telah begitu baik dan banyak membantu... tapi… tapi kita malah seperti ini.” Mataku menatap kosong, memandang hamparan kota Bandung di bawah sana.

“Dengar, say…” Ia menarik nafas panjang.

“Kamu percaya gak kalau ini juga adalah jalan takdir yang sudah dipersiapkan kakekmu?”

“Maksudnya?

“Ya.. maksudnya… bisa saja suami dan anakku juga berada dalam lingkaran ini. Kamu bayangkan saja.. aku bisa berbuat apa kalau misalnya kita bertemu tapi kita hanya bisa melakukan ritual, sementara aku tidak bisa membantumu selain itu. Sekarang karena suami dan anakku, aku bisa membantu juga dalam mewujudkan cita-citamu memajukan Sawer.”

Kali ini aku yang diam, dan beberapa saat kami hanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Maaf…” Ia mendesah, membuatku terkejut mendengarnya.

“Kok minta maaf?”

“Hiks… hiks….”

“Aku memang wanita itu… karenanya aku mau melakukannya… Tapi.. hiks hiks… bukan karena aku wanita keduamu yang membuat aku mau, tapi juga.. hiks.. hiks.. karena aku membutuhkannya. Aku menyayangimu, Ja. Aku kesepian.. pak haji memang menyayangiku, dan hidupku terasa sempurna melihat kedua anak kami yang mulai sukses. Tapi aku juga wanita, Ja. Aku butuh kelembutan kasih sayang seperti yang kita lakukan… sementara….

“Suamiku sudah tidak bisa lagi. Ia impoten, Ja. Hiiiiks…”

Deg.

Kubiarkan ia mengungkapkan semua isi hatinya sambil mengeratkan pelukanku di pinggangnya. Namun tidak semua ucapannya bisa kudengar, karena pikiranku tiba-tiba mengingat Saeku. Maafkan aku, Sa. Aku sudah telanjur masuk dalam lingkaran ini, dan aku tak mau membuatmu ikut menderita karenanya

Pemandangan kota Bandung kini terasa tak indah lagi. Pikiranku kacau. Aku sudah melangkah sangat jauh menjalani takdirku sampai saat ini. Dan kini aku bukan hanya menjalani lingkaran takdir, tapi juga sudah bertindak lebih jauh dengan cara meniduri wanitaku di luar ritual. Celakanya, kini rasa sayang pada wanita di pelukanku sudah mulai menyelimuti hati dan perasaanku. Kalau Sae tahu, tentu ini akan sangat menyakitkan baginya. Haruskah aku...

Aku ngeri sendiri membayangkannya. Dengan segera kukendalikan pikiran dan perasaanku, konsentrasiku kembali pada wanitaku saat ini.

“Aku tidak akan meninggalkanmu, sampai kamu sendiri yang memintanya.” Entah kenapa mulutku berkata seperti itu. “Tapi satu yang pasti, aku tidak akan mengambilnya dari keluargamu. Pak haji sudah seperti ayahku sendiri, dan kalian tak ada bedanya dengan keluargaku.”


“Kamu pemuda yang baik, sayang. Maafkan.. a..”


“Muaaaach.” Kukulum bibirnya untuk menghentikan ucapannya. Setelah kaku sesaat, akhirnya ia membalas ciumanku sehingga kami saling memagut untuk mengungkapkan perasaan sayang dan gelisah kami masing-masing. Kini kami kembali pada realitas kami berdua, pada apa yang nyata saat ini, dan melupa pada tanggungan hidup masing-masing.


“Mmmmh…” Kami melenguh bersamaan ketika bibir kami terpisah. Ungkapan sayang kami berpindah pada sorot mata yang beradu sayu serta seulas senyum yang kami bagi. Kubelai wajahnya dengan perasaan khusus yang entah apa namanya. Apakah ini cinta? Entahlah.. tapi aku berjanji untuk menjaganya, juga menjaga keluarganya.


“Seminggu lagi bulan purnama. Apakah tidak sebaiknya kita segera menyelesaikannya?” Tanyaku tanpa melepaskan sentuhanku di wajahnya.


“Sebaiknya begitu, sayang. Karena kalau tidak, Sawer akan menjadi kampung mesum. Aku sudah merasakannya, dan sudah banyak kejadian yang tidak seharusnya terjadi.”


“Maksudnya?”


“Hihi.. sudah kamu tidak perlu tahu.”




Aku hanya menarik nafas tak mau memaksa. Mungkin lebih baik aku tidak tahu, daripada malah kecewa mendengarnya.




“Say, nanti setelah ritual kamu harus menyelesaikan banyak urusan sendiri.”


“Kok begitu?” Heranku.


“Karena setelah ritual aku tidak bisa lagi membaca pikiranmu dan situasi yang terjadi di Sawer. Bu Rohmah juga begitu, kan?”


“Iya.” Jawabku pendek.


“Lalu kita bagaimana?”


“Seperti yang sudah kubilang, aku tidak akan pernah meninggalkanmu sampai kamu sendiri yang memintanya.”


“Terima kasih, sayang.”




Wajahnya protes ketika kulepaskan pelukannya. “Sudah siang, sayang. Kita harus pulang. Kamu atau aku yang menelpon Ilham?” Aku memberinya pengertian.




“Hihi.. kamu sudah gaya sekarang… mentang-mentang punya hape baru,” ledeknya. 


“Biar aku saja.”




Kami saling merenggangkan badan, sambil menghirup segarnya udara pegunungan. Ya.. saat ini kami sedang duduk di Punclut, salah satu bukit yang terletak antara Ciumbuleuit dan Lembang. Kami sebetulnya pergi bertiga dengan Ilham, tapi aku dan bu haji lebih memilih menikmati suasana di sini, sementara Ilham melanjutkan perjalanan ke Lembang untuk membeli beberapa pesanan dari orangtua Irma.




“Sekitar lima belas menit lagi.” Wanitaku menutup hapenya.




Merasa masih punya waktu segera kumemeluknya sambil mengecup bibirnya. Kami kembali saling mengulum dan berpagutan. Biarlah ini menjadi akhir kebersamaan kami di kota ini sebelum nanti malam kembali ke kampung. Kami lebih memilih pulang memakai travel, supaya bisa mengatur waktu agar tiba di kota kabupaten pagi hari, dan masih bisa mengejar angkutan pedesaan pertama ke desa.




Mulut kami berpisah enggan, ketika hapenya berdering karena panggilan dari Ilham. Setelah merapihkan diri kami berjalan menuju jalan beraspal. Nampak mobil milik Raka sudah tiba, dan Ilham sedang duduk di belakang kemudi. Kami pun menuruni bukit sambil bercerita riang.




Kami mampir ke rumah sebentar untuk mengemasi barang kami dan langsung membawanya ke café. Kami akan dijemput travel jam sepuluh malam di sana.




Aku senang karena café selalu rame dan banyak pengunjung, tapi karena itu juga kami tidak kebagian tempat duduk. Setelah berbasa-basi sebentar, aku dan Ilham memutuskan untuk jalan-jalan ke Taman Sari.




Sambil menyusuri taman dan kerumuran orang yang berjualan, aku menceritakan kisahku dengan Sae. Tentang cintaku dan perubahan sikapnya yang sangat mendadak. Tentang wasiat kakekku dan dorongannya untuk membuatku pergi dari Sawer.




Aku juga bercerita tentang Ardan, dan cita-citaku untuk membantu kehidupan ekonominya demi istri dan anaknya kelak. Entah kenapa, aku merasa memiliki perasaan ‘sayang’ yang lebih dibandingkan kepada Ega dan Jaka. Mungkin karena Ardan boleh dibilang sebagai sahabat yang paling polos dan lugu dibandingkan kami.




Sementara Ilham menceritakan kisah cintanya dengan Irma, yang tidak perlu kujelaskan sekarang. Yang jelas, perkenalannya dengan Irma telah membawa banyak perubahan bagi hidupnya. Ia diangkat menjadi wakil kepala gudang di salah satu cabang perusahaan orang tua Irma, yang bergerak di bidang distribusi makanan ringan. Karena itulah ia sekarang bisa kuliah administrasi dari hasil jerih payahnya bekerja.




“Ke depan lu juga bisa sambil kuliah, Ja.” Ilham mengusulkan.


“Belum kepikiran ke sana sih, Meng.” Komeng adalah panggilan akrab kami untuknya.


“Aku malah lebih tertarik untuk menyuruh Sae kuliah dan membantu biayanya secara diam-diam. Agar ke depannya ia bisa membangun Sawer.”


“Gila luuu… Trus kalau kalian gak langgeng gimana?”


“Ya kalau itu ya nasib. Haha… Tapi aku membuat rencana ini bukan semata-mata karena aku sayang dia; ini demi Sawer. Makanya kamu jaga rahasia supaya ia tidak merasa berutang budi atau membuatnya terpaksa untuk menerimaku walaupun mungkin sebenarnya sudah tidak sayang lagi.”


“Gua gak ngerti ama jalan pikiran lu, Ja. Padahal menurut gua mendingan lu sendiri aja yang kuliah.”


“Hahaha… mengerti itu hanya untuk orang pintar, kamu kan blo’on sejak dulu.”


“Kampret lu!”


“Ya kita lihat saja nanti, kan ini juga tergantung usaha kopi. Kalau usahanya tidak berhasil, ya gak mungkin juga. Duit dari mana…”


“Eh.. Ja.. Gimana kalau setelah Bi Iyah melahirkan, kita ajak mereka ke Bandung.”


“Nah kaaan… makin kelihatan kalau kamu blo’on. Siapa yang ngurus usaha kita di Sawer? Apalagi kalau misalnya aku berhasil membuat Sae pergi kuliah, tidak ada lagi orang di sana.”


“Denger dulu kampreeet..” Ilham kesal. “Ega dan Jaka bisa diandalkan, kita tahu kemampuan mereka.”


“…”


“Nah, untuk Ardan kita membantunya justru dengan membawa mereka ke Bandung. Di tempat gua kerja rencananya akan dibuka kantin dan gua yang disuruh mengelola. Nah.. Bi Iyah kan pinter masak tuh, jadi mereka bisa membuka kantin. Selain itu, kita bisa mengandalkan keuletan Ardan untuk membantu pemasaran kopi kita.”


“Untuk urusan membantunya sih aku setuju, tapi kalau semakin banyak orang muda yang meninggalkan kampung, lalu siapa yang akan meneruskan? Lagian kan biaya hidup di kota sangat mahal.”


“Gini Ja…” Ilham masih berusaha meyakinkanku. “Justru kita yang di kota berusaha mengumpulkan dana untuk membangun Sawer sesuai cita-cita lu untuk menjadikannya sebagai kampung wisata, nah sahabat-sahabat kita yang bertahan di sana biarkan menjadi ujung tombak dalam mewujudkannya.”


“…”




Kalau boleh memilih, aku akan tetap tinggal di Sawer, Meng. Dengan atau tanpa Sae.




“Kalau tempat tinggal mah, nanti gua bicara ama si mamang (si om; omnya Ilham). Dia kan punya kos-kosan dan satu rumah induk yang disewakan. Nah, kita sewa rumah induknya sebagai tempat tinggal kita supaya lebih irit karena bayarnya bisa patungan.”


“…”


“Ah.. bangke lu.. gua sudah ngecap, lu malah ngebo doank.” Ilham menggeplak kepalaku.


“Anjriiiit… ya sudah kita lihat dulu nanti. Kita realistis dulu saja.. melihat perkembangan usaha kopi dan kondisi keuangan kita.”




Ilham adalah Ilham… seorang pemimpi sepertiku, tapi mimpi kami seringkali tidak serealistis Jaka dan Ardan, atau penuh pertimbangan seperti Ega. Mungkin ada baiknya juga mengikuti idenya untuk mengajak Ardan ke Bandung agar ada yang bisa mengimbangi kami berdua yang sering mengawang-awang. Inilah yang membuatku bangga menjadi bagian dari lingkaran sahabat-sahabatku, karena kami bisa saling melengkapi.




Kami menikmati lontong kari di pinggir trotoar sambil melanjutkan mimpi tentang masa depan kami.




Drrrrttt… drrrrttt… hapeku bergetar.




Tulisan “Yayang Kedua” tertera di layar. Aku hanya tersenyum melihatnya. Pelakunya sudah jelas siapa karena dia sendiri yang memasukan nomor-nomor kontak di hapeku.




“Ya. Sebentar lagi pulang.” Klik.




Tak lama kemudian muncul pesan WA:






Yayang Kedua:


Gak sopan!






Kami pun kembali ke café sambil menyulut rokok kami.




Setibanya di café, Mae sudah menunggu kami di parkiran.




“Ja, temenin aku beli kue untuk oleh-oleh ya.”


“Ya udah kita sekalian bertiga aja. Hayu...” Ilham memotong.


“Eh jangan... kamu ditunggu Irma di dalam. Aku dan Senja saja.”


“Oh, ya udah deh.”




Ilham beranjak masuk, sementara aku dan Mae menyusuri trotoar menuju toko kue dekat jembatan Pasupati.




“Ja..” Mae menarik nafas panjang. “Aku sudah tahu apa yang kamu lakukan dengan mamahnya Raka.”




Jedeeeeeeerrrr.




Suara itu keluar dari mulut Mae dengan muka datar dan tanpa basa-basi. Keringat tiba-tiba mengalir di pelipisku dan telapak tanganku terasa basah.




Aku mematung sesaat hingga aku tertinggal beberapa langkah di belakangnya, membuat Mae memelankan langkah agar aku kembali menjejerinya. Sementara aku hanya bisa melangkah lesu, tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirku.




“Aku kecewa, Ja. Aku marah.”


“…”


“Kemarin aku melihatmu bermesraan dengan mamah di café. Waktu itu aku mau menanyakan ke mamah, ia mau pesen apa untuk makan malam, tapi begitu melihat kalian sedang bermesraan aku sangat kaget dan mengurungkan diri. Semenit kemudian Ilham juga datang.” Jelasnya.


“…” Deg. Deg. Deg.


“Dan pas kita pulang ke rumah aku menemukan tissue yang penuh sperma kering di sofa.”




Aaah.. bodohnya aku waktu itu.




“Awalnya aku curiga kalau itu adalah perbuatan Raka yang coli di depan TV, tapi ketika aku ingat kamu menciumi tangan mamah di café, aku mulai yakin kalau itu adalah hasil perbuatanmu.”




Aku hanya diam mendengarnya. Keringat dingin makin merembes di tubuhku, dan aku sama sekali tak berani melihat wajahnya.




Deeegh.




Tiba-tiba Mae meraih tanganku dan menggenggamnya.




“Maai?” Aku berusaha melepas tanganku, namun ia menahan; genggamannya makin erat.


“Kamu mau kan menjaga mamah?


“…”


“Menjaga keluarganya?”


“…”


“Menjaga aku dan Raka?”


“A..aku gak ngerti maksudmu, Mai.” Aku mengusap keringat di dahiku. “Ka.. kamu gak marah, Mai?” Aku hanya bisa pasrah, dan tak punya niat untuk mengelak atau mencari alasan. Aku berusaha melepaskan tanganku, namun kembali gagal.


“Tadi aku kan bilang kecewa dan marah.”


“Sudah seharusnya kalau kamu marah. Lalu maksudmu ‘menjaga’ apa?”


“Ya aku akan semakin kecewa dan marah kalau kamu tidak menjaga kami.”


“Maaf Mai, aku sama sekali gak ngerti. Dan tolong lepaskan tanganku.”


“Yuk nyeberang.”




Hadeuuuh… Mae aneh sekali sore ini. Ia tampak dengan sengaja membiarkanku bingung dan merasa bersalah. Tangannya menuntunku menyeberangi jalan dan masuk ke sebuah toko kue.




Di dalam, aku hanya bisa membuntutinya sambil menenteng keranjang belanjaan ketika ia memilih beberapa kue. Pikiranku sangat kacau. Terbayang di benakku kalau semua rencana kopi yang sudah kami rancang akan gagal atas pengaduan Mae pada Raka. Aku semakin salah tingkah ketika Mae tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku, juga tak mengacuhkan permintaan maafku.




“Ini buat mamah. Ini buat orangtuamu. Ini buat teman-temanmu di kampung.” Mae memberikan kantong plastik satu per satu kepadaku, seusainya membayar di kasir. Aku hanya bisa meraihnya tanpa sepatah kata pun.


“Nih minum, mukanya gak usah ditekuk begitu.” Ia menyodorkan kotak minuman dengan sedotan yang sudah terpasang.




Aku hanya menggeleng.




“Minum!” Ia memaksa.


“Gimana bisa minum, Mai? Ni tanganku megang plastik kue semua.”


“Hihi.. ya udah…” Tiba-tiba ia menyodorkan sedotannya ke mulutku.


“Daripada gini mendingan kamu bantuin bawain kuenya,” aku mengelak.


“Minum!!”


“Hadeuh.. iyah.. iyah..” Aku menyeruput minuman dari tangan Mae.


“Yuks.” Mae mendahuluiku keluar toko.


“Maaai.. jelasin dulu!” Aku memohon sambil menyusulnya.




Tapi Mae cueks sambil menyeruput minuman bekasku.




“Duuuh pegel. Seharian kerja di café.” Mae duduk di bangku panjang di tepi trotoar. Kakinya diselonjorkan, tangannya direntangkan ke belakang sehingga kedua payudaranya membusung di balik baju longgarnya.


“Udah mesumin mamah, malah mesumin aku juga.” Mae menyadari arah tatapan mataku.




Aku hanya bisa tersenyum malu sambil duduk di sebelahnya.




“Mamah sudah cerita kok.”


“Hah?”


“Mamah cerita sebelum kami tidur di kamarnya.”




Mae cerita itu bahwa malam itu ia banyak diam karena shock atas penglihatannya memergoki kami, ditambah lagi semakin bertanya-tanya dengan ditemukannya tissue di atas sofa. Anehnya, bu haji seakan bisa membaca pikirannya. Ia menjelaskan duduk perkaranya; dan menceritakan tentang warisan kakekku melalui almarhum neneknya Raka, atau mamahnya bu haji.




“Awalnya aku gak percaya, Ja. Tapi aku ingat bahwa di kampungku juga hal-hal supra seperti itu selalu ada, jadi ya aku percaya saja. Apalagi aku bisa merasakan kalau mamah tulus dan jujur menceritakannya.” Mae mengakhiri ceritanya.


“…” Sayang, kamu sampai segitunya membelaku dan memberi pengertian kepada calon menantumu; rela-relanya menceritakan aibmu sendiri.


“Dasar cowok cengeng!”




Aku terperanjat mendengar Mae mengataiku, lalu tersenyum malu begitu menyadari kalau mataku telah berkaca-kaca.




Tiba-tiba Mae kembali menggenggam tanganku.




“Maai!! Tolong jangan begini!!” Protesku.


“Kamu mau kan menjaga kami?” Mae mengabaikan protesku.


“Iya aku mau, bahkan sekalipun kamu tidak memintanya.” Aku mengangguk dan menjawab yakin.


“Makasih, Ja.” Ia merebahkan kepalanya di pundakku.


“Dengarkan aku, Ja.” Aku urung mendorong tubuhnya.


“Aku sayang banget sama Raka, dan aku juga bahagia karena keluarganya menerimaku. Hiks.. hiks…”


“…”


“Lalu kamu muncul. Walaupun kita baru kenal dua hari, aku sangat terkesan dan simpati padamu. Dan setelah mendengar cerita mamah, aku semakin yakin kalau kamu adalah pemuda yang baik. Aku nyaman...”




Deg. Deg. Deg.




Dadaku berdebar menanti lanjutan omongannya.




“Kamu mau kan menjadi saudaraku?”




Fiuuuh… Aku merasa lega.




“Maksudnya apa, Mai?”


“Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Ja, selain Raka dan keluarganya. Aku sudah yatim piatu sejak kecil. Hiks.. hiks… kamu mau kan jadi saudaraku?” Lalu Mae menceritakan perjalan hidupnya secara singkat.




Hatiku sangat terenyuh. Refleks aku meraih bahunya dan memeluknya. Mataku kembali berkaca sambil melihat kendaraan yang merayap di tengah kemacetan.




Tik tok tik tok.




“Makasih, Ja.” Akhirnya ia menegakkan duduknya sambil menepis tanganku halus.


“Eh.. ak.. aku belum menjawabnya.” Aku berkilah untuk menutupi perasaan haruku.




Mae hanya memeletkan lidahnya, lalu mengajakku pulang. Aku sayang kamu juga, Mai, dan aku akan menjagamu selalu bersama orang-orang yang kamu sayangi.

Posting Komentar

0 Komentar