KETIKA SENJA PART 40

 

Di senja yang sama, di kampung Sawer

“Aaaaaah….” Aku dan ibu mendesah bersamaan melepas orgasme kami. Tubuhku ambruk di atas tubuh berkeringatnya. Payudara kami saling menghimpit membuatku geli.


“Makasih sayang.” Ibu membelai rambutku.


“Ratna sayang ibu.” Kukecup bibir ibuku sambil balik membelai rambutnya.




Lalu kami pun tertidur. Aku merasa sangat lelah setelah percintaan sejak sore tadi.


“Aaaah… ooooh… pak. Sssssh… ampun…” Aku menahan pekikan karena nikmat yang melandaku. Tapi suamiku seakan tidak peduli, ia terus menggenjot kemaluanku dengan penisnya yang selalu membuatku ketagihan.


“Paaaaak… ibu nyampeeee… Aaaaaah…” Seeeer. Vaginaku menyemburkan cairan kenikmatan untuk kedua kalinya, sementara suamiku nampak belum mau menyerah. Ia menciumku untuk memberi kesempatan kepadaku menikmati kepuasan; kubalas ciumannya lemah.




Penis suamiku yang masih mengganjal membuat nafsuku bangkit kembali. Kubalas lumatan bibirnya dengan ganas, dan kami melenguh bersamaan.




“Kamu kuat banget sih, pak.”


“Ibu yang selalu menggairahkan. Kapan lagi kita bisa bebas begini kalau di rumah. Mumpung Senja lagi pergi, bapak ingin selalu membuatmu binal.” Ia menggodaku.




Plop. Kemaluan kami terpisah, lalu suamiku membalikan tubuhku supaya menungging.




Ploook. “Aaaaah,” erangku ketika ia menampar bokongku dengan gemas.




Cleeep. Bleeees. Penisnya kembali menancap bersama erangan kami.




Lubang vaginaku terasa penuh. Kali ini suami memompaku semakin ganas sambil meremas kedua payudaraku membuatku blingsatan karena gairah. Daaaaaan… dalam sekali hentakan penisnya menyemburkan sperma yang selalu kunantikan. Cairan nikmat kami beradu di dalam vaginaku, dan tubuh kami ambruk di atas dipan.




“Hash.. hash.. aku lagi subur, pak. Kalau nanti jadi, Senja akan punya adik.” Erangku sambil membalikkan badan. Suamiku hanya diam sambil merebahkan diri di sampingku, lalu memelukku. Sepertinya malam ini kami tak akan jaga sawah. Terlalu lelah.








- 3 -




Mataku nanar melihat wanita yang sedang mandi di bawah pancuran. Ia mandi dengan tenang, tanpa curiga. Aku pun merasa aman, karena posisiku tersembunyi di balik rumpun pisang. Kupercepat kocokanku sambil lekat memandang tubuh polosnya. Kalau tak malu dengan umur yang sudah lebih dari enam puluh tahun, rasanya ingin ku menerobos masuk dan menggagahinya.




“Aaaaaaah…” Aku mengerang tertahan seiring semprotan spermaku.








- 4 -




“Kamu kenapa melamun sayang? Itu bajumu kenapa?” Aku sedikit heran melihat Sae, anakku melamun di depan tungku. Menyadari kehadiranku, ia terperanjat kaget sambil membenarkan kancing kebayanya yang terbuka sehingga menampakan gundukan beha putihnya.


“Ng..ngak kenapa-napa, bu. Ini lagi siduru (menghangatkan badan di depan tungku).”


“Ya sudah, nih kamu anterin jahe ke rumah Bu Rohmah. Tadi ia pesan.”








- 5 -




“Ayoooo naaaak. Aaaah… Shhhh… Aaaahhh…” Aku mengerang keenakan.


“Ssssh… oooh… kamu nakal sayang. Ibumu sendiri kaugagahi.” Aku semakin meracau.


“Oooohh.. Wening… Aaaaah… kamu ibuku yang nakaaal…” Anakku mengerang sambil mempercepat kocokannya.




Bale-bale saung berderit karena goyangan kami. Berpadu dengan erangan-erang kenikmatan aku dan anakku.




“Aaaaaaaahh…. uuuuhhhh…” Kami mengerang bersamaan. Tubuh kami mengejang bersamaan orgasme yang bersambutan. Memekku terasa penuh dan hangat oleh cairan kami berdua. Inilah ronde ketiga kami yang membuatku sudah tak mampu lagi menggerakkan badan.








- 6 -




“Hiks.. hiks…” Wanita di hadapanku tak mampu lagi membendung tangisnya ketika mendengar ucapanku.


“Bibi bukannya gak mau, Ar. Hiks.. hiks… tapi umur kita beda jauh. Apa kata warga nantinya? Hiks.. hiks…”


“Dengar Bi Iyahku sayang, aku mengatakan ini semua jujur dari dalam hatiku. Aku tidak peduli apa kata orang. Kalau kita bisa membuktikannya dengan keseriusan dalam menjalin rumah tangga, mereka juga pasti bisa mengerti.”


“Tapi Ar…”


“Sekarang aku mau tanya pada bibi, dan mohon bibi jawab dengan jujur.” Aku menarik nafas sejenak, lalu kuraih kedua tangannya. “Apakah bibi juga sayang aku?”




Bi Iyah memandangku, dan kubiarkan air matanya yang terus mengalir. Ia seperti mau mengatakan sesuatu, tetapi nampak kelu. Akhirnya ia hanya bisa mengangguk, lalu menunduk. Di sela basah air mata, nampak pipinya memerah.




“Terima kasih, bi.” Kueratkan genggamanku. “Aku sayang bibi dan juga anak kita. Aku ingin supaya ketika ia lahir, ia tahu siapa ayahnya. Tahu siapa yang menyambut kedatangannya. Tahu siapa lelaki yang menggendong dan mencium di samping ibunya.”


“….”


“Kita sambut anak kita. Kita bangun rumah tangga kita. Kalau ada kesulitan dan pertentangan dari pihak luar, kita hadapi bersama-sama.”


“…”


“Aku tak ingin, kamu sendirian membesarkan anak kita dan…”




Hmmmmf.




Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, Bi Iyah sudah menghambur memelukku. Tangisnya kian keras.




Tak terasa air mataku ikut berlinang karena bahagia dan haru. Aku tahu arti dari pelukkan ini. Aku merasakan cinta tulusnya, dan aku tidak akan pernah kehilangan dia.




Setelah tangisnya mulai berkurang, kudorong tubuhnya pelan sehingga pelukan kami terlepas. 




“Terima kasih, sayang.” Kuusap air matanya yang mengalir. “Sudah jangan menangis lagi, kita hadapi semuanya bersama-sama.”


“Hiks.. hiks.. Kamu menyuruh bibi jangan menangis, tapi kamu sendiri nangis.” Ia meraih pipiku. Tak sadar rupanya air mataku juga sudah mengalir.




Kembali kupeluk tubuhnya. Tubuh kami bergetar. Tangis dan tawa keluar dari mulut kami bersamaan.




“Mulai sekarang aku akan memanggil bibi cukup dengan Iyah saja, karena sebentar lagi kamu akan menjadi istriku.” Aku berbisik di telinganya.




Mendengarnya ia melepas pelukanku dan menatapku mesra. Air matanya sudah terhenti. 




“Dan bibi akan manggil kamu akang,” senyumnya terlihat begitu manis di mataku.




Aku bergeser dan bersandar di dinding bilik sambil meraih tubuhnya. Ia ikut bergeser lalu bersender di dadaku. Kupeluk tubuhnya dan kuelus perutnya yang mulai membesar dengan penuh kasih sayang.




Mulut kami saling diam, tapi pelukan dan sentuhan-sentuhan kami sudah mengatakan semuanya. Aku bahagia.. bahagia bisa menjadikan dua manusia dalam pekukanku ini sebagai milikku, meski yang satu masih berbentuk janin di dalam rahim.




“Aku masih kepikiran almarhum, kang.” Suaranya pelan. Kueratkan pelukanku.


“Aku mengerti.. dan aku tidak marah kalau Iyah masih memikirkannya.. Kita tidak pernah bisa melupakan masa lalu, meskipun itu adalah masa yang pahit karena kehilangan; dan untuk bahagia, yang harus kita lakukan bukanlah berusaha melupakannya tapi menerima dan merangkulnya sebagai sejarah hidup kita.” Kukecup ubun-ubunnya. Terima kasih Senja, kamu telah mengajariku banyak hal.




Tak ada sahutan yang kudengar, hanya elusan tangan yang kurasakan di punggung tanganku. 




“Iyah, apa yang kita alami sekarang pun besok akan menjadi masa lalu. Maka kita menyambut masa depan sambil membuat kisah-kisah indah supaya bisa menjadi memori dan kenangan yang bisa kita wariskan kepada anak-cucu kita.” Aku mengutip omongan Senja ketika kami sedang ngobrol berdua.


“Iya kang. Makasih…” Ia mencium lenganku.


“Tapi aku takut… Orang tuamu gimana?”


“Udah Iyah tenang saja.. nanti Senja akan membantu.” Aku tidak langsung menjawab pertanyaanya. Tentu saja ucapanku sudah membuatnya mengerti kalau orangtuaku masih menentang, raut khawatir terpancar di wajahnya.


“Percaya sama aku dan Senja, sayang. Jangan terlalu banyak pikiran, gak baik untuk anak kita.” Kukecup keningnya. Mata kami terpejam saling memberi dan menerima kasih sayang.


“Muaaaach.” Tanpa komando kami saling mencium dan mengulum bibir. Bibirnya terasa manis dan lembut. Kali ini aku merasakan ciuman yang sangat berbeda; bukan nafsu yang kami berikan, melainkan tulusnya kasih sayang. Tubuh kami bergetar lalu membuka mata bersamaan. Ciuman kami terlepas, dan senyuman kami mengembang.


“Gak mau nengok anak kita?” Senyumnya mulai nakal.


“Aku mau mengunjunginya kalau kita sudah sah di pelaminan.” Aku berusaha menyembunyikan gairahku dengan mencium keningnya.


“Kapan?” Ia mendesah.


“Tunggu empat puluh harian dulu, baru aku melamarmu sambil membicarakan tanggal perkawinan kita. Dan kamu jangan khawatir, semua sahabatku yang akan mengaturnya.”


“Makasih, kang. Kamu masih muda, tapi rasanya aku menemukan kembali pasangan hidup yang lebih dewasa dariku.”


“Haha.. jangan bikin aku kegeeran donk, sayang. Orang bilang pengalaman hidup itu mendewasakan kita. Tapi itu saja tidak cukup. Dewasa itu muncul ketika kita berani melihat masa lalu dan merenungkan semua pengalaman sebagai cermin dan bekal di masa depan. Merenungkan perjalanan hidup adalah proses pendewasaan. Kamu tahu siapa yang bilang ini kepadaku?”


“Siapa?”


“Senja.”


“Berarti kayak si Evi, ya kang. Cucunya Abah Barja yang di Ewer.”


“Evi istrinya si Maman? Kenapa jadi ngomongin dia?”


“Ya itu, sudah tahu ia hampir ketauan suaminya ketika senang-senang, tapi tetap aja gak mau refleksi. Terus aja mengulangi kesalahan yang sama dengan alasan balas dendam.”


“Huush.. gak boleh ngomongin orang.” Selaku.


“Ya habisnya asa aneh aja ama sikapnya. Beda banget ama Cinta.”


“Heh? Cinta siapa?”


“Kemarin aku dengerin drama di radio, salah satu tokohnya adalah Cinta. Ia punya kakak bernama Prima yang meninggal karena kecelakaan, padahal ia sendiri sedang hamil muda. Tapi walaupun sedih, ia bisa tegar dan berani menjalani hidupnya kembali dengan normal. Bahkan demi keponakannya, ia rela dimadu oleh kakak iparnya sendiri dengan meminta uami tercinta menikahinya.”


"Masa sih? Perasaan gak gitu ceritanya."


"Loh kamu dengerin juga di radio?"


"Iya sih.. tapi pas episode terakhir dengerinnya sambil giling kopi jadi gak menyimak semuanya.”


"Oooh..."


“Sudahlah.. Itu kan hanya cerita. Selain belajar dari pengalaman hidup kita sendiri, kita boleh belajar dari pengalaman hidup orang lain, bahkan dari cerita-cerita yang ada, tapi jangan pernah menghakimi mereka karena setiap orang punya kelemahan dan pergulatannya sendiri-sendiri. Kan tadi aku bilang kalau proses pendewasaan itu berbeda.”




Pelukannya makin erat ketika mendengar ucapanku. Lalu kami beranjak memasuki kamarnya. Setelah memasang selimut kuberikan ciuman mesra di dahinya.




“Aku sayang kamu, Iyah.”


“Sama.”




Kuelus perutnya.




Dan aku ingin melewatkan seluruh malam ini dengan memeluknya.




[Masih di senja yang sama, di saung tempat fans Senja dan sahabat-sahabat mamang berkumpul…




Para readers olohok (bengong) karena sange dan kentang membaca SS yang hanya sepenggal-sepenggal, sekaligus terharu membaca kisah cinta Ardan dan Bi Iyah.




“Hallo om-om.. haii… holaaa…” Ratna melambaikan tangan di depan wajah mereka.




Mereka tampak terperanjat. Beberapa di antaranya pura-pura meminum kopi, dan ada juga yang segera menyulut rokok mereka.




“Kopinya mau ditambah nggak, om?” Ratna bertanya.


“Sok neng… bikin lagi aja. Kagok edan.. kentang.. kentang deh.” Celetuk beberapa orang.


“Antosan sakedap, ya om (tunggu sebentar),” Ratna beranjak ke dapur].








https://t.me/cerita_dewasaa








Jam delapan malam kami tiba di café. Kini badan kami sudah segar kembali setelah pergumulan senja tadi; yang kami tuntaskan sambil mandi bersama. Entah berapa kali orgasme yang kami raih bersama, yang jelas kami semakin mesra satu sama lain. Tapi ada yang mengganjal mengingat peristiwa di angkot barusan:




“Say…” Aku menoleh.


“Iyah? Eh.. kamu kenapa? Kok keringatan begitu?” Aku kaget melihat wanitaku tiba-tiba pucat dan berkeringat.


“A..aku gak kenapa-napa. Tapi.. tapi.. Sawer dalam bahaya, say. Aku bisa merasakannya.”


“Hah? Maksudnya?” Aku kaget mendengarnya.


“Sudah lupakan. Tapi kita harus segera melakukan ritual, kalau tidak aku gak tahu lagi apa yang akan terjadi.”


“Tapi.. ayo cerita. Ada apa sebenarnya?”


“Udah nanti saja ceritanya. Pokoknya kita harus segera ritual. Titik.”


“….”


“Woooiii… datang-datang malah bengong.” Irma nonjok bahuku.


“Eh.. oh.. iyah…” Aku gugup.


“Iyah apa?”


“Eh… itu… Bu haji mana?”


“Wah parah lu. Kesambet lu ya? Datang bareng, tapi malah linglung. Noh.. lagi ke toilet.”




Aku celingukan memandang café. Penuh.




“Loh.. gak ada tempat nongkrong nih, Ir?”


“Ada noh, sengaja disisain satu meja di belakang. Ilham juga udah nungguin dari tadi tuh.”




Aku segera beranjak ke belakang, menuju meja Ilham. Lupa menyapa Raka dan Mae yang sibuk di belakang bar. 




“Woooi… dasar monyong.” Kuabaikan Irma yang memakiku, juga tatapan para pengunjung yang heran mendengar teriakannya.




Buk. Buk. Tinju kami saling beradu, tawa bahagiaku berderai bersama Ilham. Tak ada kata yang bisa menggambarkan bahagianya perjumpaan, meski tak ada cerita yang terabaikan di semua hari-hari indah persahabatan. Gelak dan tawa, tinju dan makian, adalah bumbu yang selalu kami lakukan.




Kami bercerita berbatang-batang rokok, bergelas-gelas kopi. Tak peduli pada makian Irma yang bolak-balik melayani ‘orderan’ kami, ’cemburu’ karena diabaikan kekasihnya; atau peduli pada dumelan-kesal bu haji, Raka dan Mae yang sibuk melayani pengunjung, tanpa pernah kami bantu.




Cerita tentang kopi dan sahabat-sahabat di kampung mengalir dari mulutku. Tentang cinta serta luka antara aku dan Saeku, tentang Ardan dan Bi Iyahnya, tentang Ega dan Ratnanya, tentang Jaka dan jomblonya, tentang semua warga Sawer, tentang sawah dan ladang, tentang si jalu milik bapakku. Tak lupa kuceritakan rekor MURI yang kuraih karena menjadi orang Sawer pertama yang punya hape. Bagian terakhir ini, Ilham protes karena ia sudah lebih dahulu memiliki hape daripadaku, tapi aku punya alibi karena aku masih tinggal di Sawer. Ujungnya, kami saling bertukar nomor hape.




Sementara Ilham cerita tentang pengembaraannya jadi buruh pabrik, sampai akhirnya ketemu Irma si “gadis preman” yang kemudian memasukkannya bekerja sebagai staf gudang di perusahaan bapaknya. Sementara Irma sendiri lebih menikmati bekerja sebagai pelayan café daripada mengikuti kehendak orangtuanya untuk meneruskan memimpin perusahaan. Kini Ilham juga sedang mengambil kuliah administrasi kelas karyawan.




Tak terasa waktu sudah semakin malam, dan para pengunjung sudah berkurang. Gerutu, omelan, dan makian keluar dari mulut bu haji, Mae, Raka dan Irma ketika mereka bergabung bersama kami yang lebih asik ‘berduaan’ daripada membantu mereka. Hanya karena ulahku dan Ilhamlah yang kemudian bisa mengubah gerutuan menjadi gelak tawa.




Sawaka: Grrrrgghh… auuum… sumpah mang, penggambaran pertemuan dengan Ilham gayanya jijay pisan.


Hush.. cicing sia (diem lu).




“Irma sayank…” Ilham menatap Irma, “Nanti kalau Ardan, sahabat gua, nikah kita ke kampung yah.”


“Beneran, lu? Kapan.. kapan?” Irma girang.


“Ya belum tau, nanti Senja akan ngabarin dari kampung.”


“Siap boss. Lu gimana Ka? Mai?” Irma menatap mereka bergantian.


“Mereka pasti datang. Udah lama juga Raka tidak pulang.” Bu haji menjawab.


“Mah??” Raka protes.


“Kalo mamah bilang pulang.. ya pulang.. kan Mae belum tahu juga rumah kita.”




Kami tertawa melihat Raka yang tidak berkutik di depan mamahnya, sementara Mae hanya tersenyum; mukanya memerah.




“Selamat malam, semua.” Tawa kami terhenti karena ada seseorang yang menyapa kami.


“Senja?”


“Sore?”


“Kamu di sini?” Kami bersamaan.




Kami saling bengong.




“Loh kalian sudah saling kenal?” Raka bingung.


“Eh.. ini kan… sebentar-sebentar..” Bu haji mencoba mengingat-ngat. “Betuul.. kamu gadis kemarin yang di Ci-Walk kan? Kok bisa ada di sini?”


“Hehe… Iya tante.” Sore menyalami bu haji.


“Hai…” Sapanya sambil menjulurkan tangan.


“Aneh.. kok banyak kebetulannya ya?” Aku menyambut tangannya.


“Syukur deh kalau sudah kenal, Ja. Ini nih cewek yang tadi pagi gua ceritain.. yang akan gabung dengan usaha kita.”




Kini gerombolan ‘kopi kental’ makin meriah dengan kehadiran Sore, gadis penjual kalung yang kukenal kemarin. Aku dan Ilham menggabungkan beberapa meja dan kursi agar bisa duduk melingkar.




Sore rupanya datang sambil membawa makan malam untuk kami. Aku malah baru sadar kalau kami belum makan malam, padahal waktu sudah jam sepuluh malam. Kami pun makan ayam CFC (Cihampelas Fried Chicken). Kami pun makan dengan riang, sementara Irma sekali-kali pergi untuk melayani pesanan pengunjung, atau menerima bayaran pembeli yang pulang.




“Ir, lu tutup aja cafénya.” Ujar Raka ketika pengunjung terakhir pulang.


“Loh.. ni kan baru jam sebelas?” Herannya.


“Udah gapapa. Biar kita bisa ngobrol bebas.”


“Oke boss!”




Kami kembali melanjutkan rencana Raka untuk melebarkan sayap di bidang usaha kopi. Selain akan merancang logo, Irma akan menego orangtuanya agar mau menjadi distributor ‘Kopi Sawaka’ di bawah pengawasan Ilham. Mae akan membuat dan menjadi admin website dan account medsos sebagai lahan berjualan dan promosi. Raka dan Sore akan mengurus pendaftaran merk dagang dan akan mulai melakukan lobi-lobi pada kenalan mereka. Sementara usahanya sendiri akan mulai berjalan setelah aku kembali ke Bandung. Tepat malam ini, sebuah grup WA bernama “Kopi Sawaka” resmi didirikan dengan direktur utama Mae, sang admin.




Yang mengejutkan lagi, semua akan liburan dan berkunjung ke Sawer sambil menghadiri perkawinan Ardan nanti. Sore pun antusias untuk ikut. Aku senang akan rencana ini, karena nanti aku juga bisa meminta bantuan Irma untuk mencoba menggambar denah kampung Sawer. Aku akan menjadikan kampung ini sebagai kampung wisata sekaligus tempat tetirah. Sawaka, jika kita punya kehendak maka semesta akan membantu mewujudkannya.




Jam satu malam kami bubar. Malam ini Mae pulang kekosannya diantar oleh Raka sehingga aku bisa menghabiskan malam terakhir di Bandung ini berduaan dengan bu haji.








https://t.me/cerita_dewasaa








3rd POV:




Di sebuah kamar apartemen, tak jauh dari Keukenhof yang adalah tempat bunga tulip terbaik di Belanda, seorang gadis yang tidak bisa tidur memainkan gadgetnya. Jarinya lincah mengetik pada halaman notepad kesayangannya.




Kerinduanku sudah terurai begitu lama, abadi dalam setiap hari dan peristiwa hidupku. Lahirku dan juga lahirmu, matimu dan juga matiku menjadi satu dalam catatan takdir yang tak terhapuskan. Seperti fajar yang dilengkapi senja, seperti siang yang disempurnakan malam, kamu menyempurna dalam cintaku.




Meski senja telah memisahkan siangku dan malammu, ia selalu saja menyenangkan. Karena kadang ia merah merekah bahagia, kadang ia hitam gelap berduka. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya. Namun... sampai sekarang aku masih belum bisa... Belum bisa melepas kepergianmu senja itu.




Ia juga mengganti status accountnya:




“Tulang rusuk itu tidak pernah terpisah dari pemiliknya. What must be, shall be (apa yang harus terjadi, akan terjadi).”




Lalu ia terlelap tanpa sempat log-out. Wajahnya meringis dalam tidurnya, kesakitan karena mimpinya.

Posting Komentar

0 Komentar