Jam sepuluh malam, travel menjemput kami. Dengan heboh sekaligus haru kami pun berpisah. Mobil pun melaju, lagi-lagi kami duduk paling belakang. Sebuah pesan masuk di hapeku:
Sore:
Hati-hati jalan. Maaf aku baru beres kerja, gak bisa nemuin kamu.
You:
Nuhun.
Sore:
Ih.. gitu banget jawabnya.
“Siapa?”
Ia merebahkan kepalanya di bahuku sambil melingkarkan tangan, memeluk pinggangku. Matanya ikut mengamati layar hapeku.
“Kayaknya dia suka kamu, say.”
“Boleh?”
“Nggak!!”
“Hehee.. cemburu ya?”
Kami ngobrol setengah berbisik, agar tidak mengganggu penumpang lain yang bersiap tidur.
Ia merebut hapeku dan memasukan ke dalam tasnya.
“Kesempatan terakhir, say. Kamu gak boleh mikirin yang lain.” Bisikannya sangat manja. Aku mencium keningnya sambil berharap tidak akan ada penumpang lain yang akan duduk di samping kami.
“Kita gak bisa lagi ya?” Sambil menyentuh tipis payudaranya.
“Nggak.. lagian tadi sore datang.”
“Maksudnya?”
“Aku lagi M”
“Oooh…”
Mobil sudah menyusuri tol Cileunyi pertanda tidak akan ada lagi calon penumpang yang harus dijemput. Para penumpang lain sudah mulai memosisikan diri untuk tidur, hanya sekali-kali terdengar obrolan sopir dengan seorang bapak di sampingnya.
“Pake ini ajah.” Bisikku sambil membuka dua kancing daster di balik kerudungnya. Tanganku menyusup mengangkat BH-nya lalu membelai gundukan kenyalnya. Kami saling berbisik sambil saling memberi sentuhan-sentuhan halus. Meski penisku menegang, tak ada niat untuk memesuminya lebih dari ini. Aku hanya ingin menyentuh tubuhnya, menyampaikan sayang, bukan untuk membuatnya terangsang.
Ciuman-ciuman kecil kami bagikan sehingga kami menjadikan perjalanan ini sebagai perjalanan kemesraan.
“Yang..”
“Hmmm?”
“Sebelum ritual aku ingin ketemu Bu Rohmah dulu.”
“Iya boleh. Lagian nanti juga yang menyiapkan pasti Bu Rohmah. Siapa lagi kalau bukan dia.”
Bibir kami kembali berpagutan. Putingnya terasa menegang di jariku.
“Enak..” Desahnya di telingaku.
“Salah sendiri lagi ‘m’.”
“Emang kalau gak ‘m’ kita bisa?”
“Setidaknya tanganku bisa bekerja.”
“Nakal.” Sebuah cubitan mendarat di pinggangku.
“Udah.. kamu bobo ajah.” Aku meraih pipinya dan membenamkan wajahnya di bahuku.
“Tapi tangannya jangan dilepas.”
“Iyah..”
Tubuhnya terasa tenang dan nafasnya terdengar halus, pertanda tidur. Sementara aku terus berjaga sepanjang perjalanan tanpa melepaskan tanganku dari payudaranya. Jam tiga pagi kami tiba di kota kabupaten, dan kami turun di pasar. Masih ada waktu sekitar satu jam sebelum angkutan ke desa berangkat, dan kami kebagian duduk di bangku depan; samping sopir. Kini kami tidak berani macam-macam lagi, hanya sekali-kali jemari kami saling meremas halus.
Jam enam pagi kami tiba di desa. “Kamu istirahat dulu di rumah, nanti siang baru pulang,” harapnya ketika kami turun dari angkutan pedesaan. “Iya.. aku pulang setelah makan siang.” Senyum paginya terlihat indah karena senang.
https://t.me/cerita_dewasaa
Malam ini sengaja aku tidur di rumah dan tidak langsung menemui sahabat-sahabatku di markas. Pikirku lebih baik istirahat dulu, baru besok menemui mereka. Namun mendengarku sudah pulang Ega dan Ardan langsung datang dan menginap di rumahku. Sementara Jaka tidak datang karena harus menemani ibunya di sawah. Ega dan Ardan beralasan kangen, padahal aku yakin tujuannya cuma satu, yaitu ingin mengambil oleh-oleh dan mencoba hape baru. Syukurnya… tak ada satu strip pun sinyal yang tertangkap. Aku hanya geli melihat kekecewaan mereka. Kami sepakat hape akan disimpan di rumah Ega sehingga siapapun yang membutuhkannya bisa ambil di sana. Itupun kalau kami bisa menemukan spot sinyal.
Kami bercerita sampai tengah malam. Kuceritakan kisah perjalananku ke Bandung, terutama pertemuanku dengan Ilham dan rencana usaha kopi ke depan. Tentu saja mereka sangat heboh dan antusias mendengar cerita tentang Ilham yang bahasanya sudah memakai lu-gua dan memiliki pacar bertatoo.
Aku juga menceritakan rencana merantau ke Bandung setelah musim tandur (menanam benih padi) lewat. Mereka nampak terkejut mendengar rencanaku. Ega terkejut sambil berusaha menyembunyikan sesuatu, sementara Ardan selain terkejut juga nampak sedih.
Ardan menceritakan kondisi terakhir hubungannya dengan Bi Iyah. Aku senang mendengarnya; Ega nampak biasa karena sudah mendengar sebelumnya. “Ya sudah besok pagi aku ke sawahmu untuk ketemu orangtuamu, baru siang ke markas.” Aku mengakhiri kegembiraan malam ini. Tubuhku terasa sangat lelah.
Paginya kami terbangun karena ibuku pulang. Kami mengawali hari dengan kehebohan dan kegembiraan. Ibu membuatkan kami kopi dan menyiapkan sarapan. Ia sangat senang menerima sepasang kebaya yang kubawa dan juga kue pembelian Mae. Tak hentinya ia memintaku bercerita. Pagi yang indah.
“Ja, cincin?” Ardan menanyakan cincin titipannya sebelum kami bubar pagi ini.
“Nanti aku kasih setelah ketemu bapak dan ibumu,” jawabku.
Ibu kembali ke sawah membawa sarapan sekaligus makan siang untuk bapak, Ega pulang dulu sebelum ke kebun kopi, Ardan langsung ke markas. Aku meraih alat mandi ke tampian dan langsung melangkah ke sawah milik Ardan.
Jam dua siang aku sudah kembali ke rumah. Hatiku sangat senang karena aku berhasil meyakinkan kedua orangtua Ardan. Lebih senang lagi karena sebentar lagi aku bertemu Sae kembali.
Kukantongi hapeku, kuraih beberapa oleh-oleh yang belum sempat dibawa Ega dan Ardan, tak lupa kukantongi kalung bertuliskan ‘RSP’ untuk Saeku. Aku keluar rumah dengan riang, hatiku bersenandung senang; langkahku begitu ringan. Kusapa tetangga yang sedang duduk di depan rumah mereka, kuberikan senyuman ramah kepada warga yang berpapasan di jalan.
Aku melewati depan rumah Ega, lalu melipir ke samping menuju saung markas kami di belakang. Tampak sepi, mungkin Ardan sedang pergi nyabit rumput dulu dan Ega masih belum pulang memetik kopi. Tak sabar aku menuju saung, berharap Sae sudah datang.
Deeeeggggh.
Ceriaku hilang. Hidupku kini runtuh.
Di saung sana…
Sae dan Jaka sedang berciuman.
0 Komentar