KETIKA SENJA PART 36

 

Waktu masih menunjukkan jam tiga pagi. Kami bertiga sudah duduk di dalam mobil, menembus kegelapan dan melewati banyak perkampungan dan desa, hamparan pesawahan, hutan, dan perkebunan. Pak haji duduk di belakang kemudi, aku di tengah dan bu haji di pinggir dekat pintu. Aku dan pak haji ngobrol sepanjang jalan, sementara bu haji lebih banyak diam. Mungkin karena masih ngantuk.




Pagi ini pak haji mengantar kami ke kota kabupaten, sekalian belanja sembako. Jam lima kurang seperempat kami sudah tiba di terminal. Aku dan bu haji masih punya waktu 15 menit sebelum PO Alon Kelakon yang akan kami naiki berangkat. Bu haji lebih memilih naik Alon Kelakon daripada naik travel atau bis lain karena katanya biar tidak ngebut. Ia tidak suka naik kendaraan yang kebut-kebutan.




“Kami berangkat dulu, Pak Haji. Assalamualaikum.” Aku pamit sambil menyalaminya.


“Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan, Ja. Titip ibu ya.”


“Mangga, pak haji.”




Bu haji juga mengucapkan salam sambil mencium tangan suaminya. Segera kugendong tas pakaianku dan kujinjing dua dus bekas mie instant yang berisi oleh-oleh untuk Raka, anak mereka. Bu haji hanya membawa tas kecil tanpa membawa pakaian ganti, karena katanya ia sudah punya pakaian di rumah mereka di Bandung sehingga tidak perlu repot-repot membawanya.




Bis yang kami naiki rupanya sudah penuh oleh penumpang dan hanya menyisakan beberapa kursi kosong di bagian tengah dan barisan paling belakang. Aku berusaha nego pada beberapa penumpang agar mau pindah ke kursi lain sehingga aku dan bu haji bisa duduk berdua tapi mereka menolaknya dengan alasan ingin duduk di dekat jendela.




“Sudah, Ja, tidak apa-apa. Kita duduk di belakang saja.” Bu haji mengajakku sambil berjalan. Di barisan paling belakang sebenarnya ada tujuh kursi yang berderet, tapi hanya tersisa tiga kursi kosong karena selebihnya dipakai untuk menaruh barang-barang penumpang. 


“Bagasi sudah penuh,” kata kondektur. Kami pun duduk di pojokkan; bu haji memilih duduk dekat jendela sementara aku diapit tubuhnya dan dus bawaan kami.




Tepat jam lima bis pun berangkat.




“Ja, ibu tidur dulu sebentar ya. Masih ngantuk.” Bu haji memejamkan mata sambil memeluk tas tangannya.


“Mangga bu.” Jawabku singkat.




Semalam kami keasikan ngobrol bertiga sampai hampir jam 12 malam. Pak haji bercerita banyak tentang pengalaman masa mudanya, usahanya merintis usaha sampai sukses seperti sekarang, juga menceritakan kedua anaknya dengan bangga. Bu haji tidak mau tidur duluan dan memilih bergabung denganku dan pak haji.




Sebentar kupandang wajahnya yang ayu dan keibuan. Gincu merah jambu terpulas di bibirnya yang seksi dan tipis, pipinya agak merona kemerahan karena pulasan make-up tipis. Wajah cantiknya terpampang sangat indah; kerudung merah jambu yang ia kenakan sangat selaras dengan warna kulitnya. Tangannya yang dilipat di atas perut sambil memeluk tas kecilnya membuat kedua payudaranya membusung di balik gaun longgarnya. Pagi ini mataku diberi sarapan pemandangan yang sangat indah, seorang wanita cantik yang pernah menjadi primadona desa. Aku berdesir mengagumi kemolekannya pagi ini.




Segera kuusap wajah. Berusaha eling dari pandangan mata dan pikiranku. ‘Maaf, Sa.’ Aku membatin menyebut namanya. Sebuah nama yang selalu kusimpan di dalam hatiku yang terdalam. Andai saja yang duduk di sebelahku saat ini adalah dia, betapa indahnya hidup dan perjalananku saat ini. Mengingatnya, membuat pikiran dan perasaanku bernostalgia dengan memori-memori indah cinta kami selama ini. Meski sudah tak sesakit dulu, tetap saja masih menyisakan rasa sesak ketika aku mengingatnya.




Sae pernah bilang bahwa aku tak pernah menembaknya ketika ia mengerjaiku di saung sawah, jadi aku pun tidak akan pernah memutuskannya sampai ia sendiri yang menentukan sikap. Akan selalu kutunggu, apapun keputusannya.




“Kamu mikirin apa, Ja?” Aku terkejut mendengar bu haji yang sudah membuka mata. Rupanya aku melamun cukup lama sehingga tidak menyadari kalau bu haji sudah bangun dan memperhatikanku. Hari sudah mulai terang dan bis yang kami tumpangi sedang meliuk-liuk menuruni perbukitan.


“Ng..nggak kok, bu. Bu haji sudah bangun?” Aku gugup sambil mencoba mengalihkan perhatian. Bu haji lekat memandangku heran. Duh sorot matamu itu, bu, membuatku selalu berdebar. Mata coklat-jernihmu telah menggelitik perasaan halus hatiku.


“Kenapa hubunganmu dengan Sae?”


“Eh? Maksud ibu? Kami baik-baik saja kok bu.”


“Halaah.. sudah kamu jangan bohong. Sejak kemarin malam kamu sering ngelamun, pasti karena mikirin Sae. Iya kan?” Ia mengusap pipi kananku; membuatku terkejut. Telapak tangannya terasa sangat halus. Jangan bu. Jangan kausentuh aku, hatiku bisa luluh dan jatuh cinta.


“Tuh kan bengong lagi.” Bu haji mencolek ujung hidungku. Aku cuma bisa garuk-garuk kepala sambil tersenyum malu. Seulas senyum keibuan tergurat di bibirnya. Bukan hanya senyum sayang seorang ibu, tapi juga senyum yang sangat manis dan menggoda. Kok sikapnya mengingatkanku pada perhatian dan kasih sayang seseorang ya. Tapi siapa? Aku mencoba mengingat, tapi tidak berhasil




Bu haji masih menatapku sambil menunggu aku bercerita. Entah kenapa aku tak bisa menolak dorongan perasaanku sendiri untuk curhat tentang Sae; aku takluk oleh cantik wajahnya dan manis sikapnya. ‘Bu haji bisa dipercaya’ batinku. Kini perasaan nyaman melingkupi seluruh ada diriku.




“Ibu ada untukmu, Ja.” Aku sedikit kaget mendengar ucapan dari bibir tipisnya, tapi kuabaikan. 


“Terima kasih, bu.” Nyaris tak terdengar. Kusenderkan tubuhku semakin dalam, pandanganku menerawang ke depan. Dengan pelan aku menghadirkan Saeku dalam segenap ingatan dan ucapan; aku bukan hanya bercerita tapi juga seolah menghadirkannya. Aku tidak sedang mengenang, tapi seolah sedang mengalami kembali semua peristiwa kami berdua.




Kami menyusuri jalan setapak kampung kami setiap hari ketika berangkat dan pulang sekolah; selalu saja ada canda dan tawa, ada jail dan marah, ada tatap mata yang menyembunyikan rasa sayang. Kami duduk berdua di saung kopi dan saling mengungkapkan perasaan sayang masing-masing melalui sentuhan dan ciuman pertama kami. Kami duduk mesra di saung sawah, kami bermain dan bercanda di lebak, kami bercerita di markas kopi kami, kami saling mengikat janji di bubulak, kami tidur berdua malam itu.




Seluruh sikap manisnya, perhatian kasih sayangnya, galak dan judesnya, manja dan ceriwisnya; semua tentang dirinya tersimpan rapi dalam hatiku. “Gak peka!” 


“Pria bodoh!” 


“Iiiih…" Sayang...” 


“Kamu tuh yaa..” 


“Mau?” 


“Gak mau tahu!!” 


“Pokoknya..!!” 


“Kamu gak bisa bohong dari aku.” Semua ekspresi dan kata-katanya kini seakan terdengar nyata; hadir kembali bersama binar indah matanya, tatap tajam atau sendunya, senyum manis atau jahilnya, gelayut manjanya, tamparan gemasnya, kibasan rambutnya, tawa riang atau tangisnya. Semuanya ada.




Kami memang berpacaran belum lama, tapi kami sudah saling mengenal hampir sepanjang hidup kami. Lahir di tahun yang sama, bermain bersama, sekolah bersama, menjalin cinta bersama, dan.. apakah kami akan menggapai hari tua bersama? Atau hanya sekedar sama-sama hidup di dunia ini tanpa melewatinya bersama lagi?




“Semuanya tetap ada karena aku tak bisa memilih untuk tidak mencintainya. Kalaupun hubungan kasih kami tidak abadi, aku tidak mau perjalanan dan persahabatan panjang kami harus runtuh hanya gara-gara fase kisah cinta yang singkat. Sebaliknya, aku ingin supaya kisah kasih yang singkat ini tetap abadi dalam persahabatan kami; entah kami menjalaninya dengan hidup bersama atau hanya melangkah dengan takdir masing-masing.” Aku mengakhiri ceritaku.




Di hati terdalamku kusenandungkan lagu “Dulu, Kini, Nanti” dari Mars Met Venusku.




Setiap waktu, setiap malam, hatiku tenang


jika kumengingatmu, oh sayangku.


kubutuh kamu.


Saat hari lelah, keringat membasah, kauusap peluhku


oh sayangku, kubutuh kamu.




Kita kan bersama tak ada bosan-bosannya


dulu kini hingga nanti


sampai kita tua




sampai menutup mata.






Bu haji bangkit dari sandarannya, dan duduk tegak menghadapku. Tangannya meraih kedua pipiku dan jarinya mengusap bulir air mata di ujung mataku. Karena sikap bu haji, aku semakin yakin kalau air mata ini bukanlah butir kesedihan, tapi air mata bangga karena aku bisa mencintai Saeku. "Terima kasih, bu." Kataku. Buu.. aku ingin sekali memeluk ibu saat ini.




Heeeh? Bu haji menarik kepalaku dan meletakannya di bahunya. Seakan ia tahu isi hatiku, ia memelukku lembut sambil mengusap kepalaku. Nyaman.. damai sekali. Aku tidak tahu apakah perasaan damai ini lahir karena kasih sayang dan pelukan keibuannya, atau karena adanya bentuk kasih sayang yang lain. Kupejamkan mataku, terbuai oleh indahnya momen ini.




Tik tok tik tok.




“Kamu tenang aja, Ja. Ibu yakin kalau Sae sayang banget sama kamu.” Bu haji menenangkanku.


“Waktu kita ke kecamatan, ibu bisa merasakan cinta kalian yang sangat besar. Anggap saja ini ujian buat kalian berdua.”


“Tapi bu. Sae sudah benar-benar cuek sekarang. Malah ia semakin dekat dengan Jaka.”


“Ja, cinta itu harus dilandasi sikap saling percaya. Kamu percaya saja kepada Sae, mungkin ada tujuan tertentu yang membuatnya begitu.”




Kami menarik nafas panjang bersamaan sambil melepaskan pelukan masing-masing.




“Maaf bu..” Aku yang baru sadar habis berada di pelukannya segera meminta maaf.


“Sudah kamu tidak usah kaku. Anggap saja ibu ini adalah ibumu sendiri.” Lirihnya. Aku hanya diam untuk mencoba menyimak kata-katanya.


“Eh Ja… pohon jambu batu di bubulak masih ada?” Bu haji mengalihkan topik.


“Loh.. ibu kok tahu?”


“Hihi… kamu gak tahu yah? Ibu juga kan lahir di Sawer. Dulu ibu sering main di bubulak. Ceritamu membuat ibu ingat semua tentang Sawer.” Aku diam karena kaget juga mendengarnya.


“Tapi setelah berumur lima belas tahun, keluarga kami pindah ke desa. Ya.. sampai sekarang ini. Ibu tidak pernah ke Sawer lagi karena sudah tidak ada keluarga di sana. Ya.. kalau dirunut sih ibu dan Bu Euis, ibunya Sae, masih bersaudara karena kakek ibu dan neneknya Bu Euis kakak-beradik.”




Aku bangkit dari sandaranku dan memandang bu haji.




“Jadi ibu dulu warga Sawer juga?” Pertanyaan tolol.


“Iyaaa… Makanya ibu sangat mendukung usaha kopi kalian. Kamu tahu gak? Pak haji awalnya agak ragu untuk membantu kalian, tapi ibu berhasil meyakinkannya.”




Aku melongo.




“Te..terima kasih, bu.”


“Hahaha… kamu itu. Kenapa sih harus selalu kaku kalau sedang bareng ibu?”


“Ng… nggak kok bu.” Gugupku.


“Tuh kaaan… buktinya kamu gugup begitu.” Bu haji makin menjailiku.




Kami pun ngobrol banyak tentang Sawer. Bu haji menceritakan masa kecil dan kenangan-kenangan indahnya selama di Sawer. Tentu saja ia juga mengenal kakek dan keluargaku saat itu. Aku sangat senang mendengarnya. Kini aku merasa semakin bahagia berada bersamanya; dan tidak canggung lagi. Aku pun menceritakan masa-masa indah hidupku di Sawer sampai akhirnya bisa dibilang sukses dengan usaha kopi saat ini.




Entah kenapa kini aku begitu percaya kepadanya. Selain bercerita tentang perjalanan hidupku, sahabat-sahabatku, aku pun menceritakan kembali penggalan kisah dengan Saeku. 




“Hubunganku dengan Sae sempat tegang waktu aku jujur tentang hubunganku dengan Bu Roh…” Aku mendadak berhenti begitu sadar kalau ceritaku sudah terlalu jauh. Hampir saja aku keceplosan menyebut nama Bu Rohmah.




Bu haji nampak terkejut sebentar, lalu memandangku lekat.




“Kok berhenti, Ja? Teruskan.. ibu kan ingin dengar.”


“Eh.. nggak bu. Maaf…”


“Kenapa Bu Rohmah?”


“Eh.. uh… ibu kok… kok tahu kalau aku mau menyebut namanya?”


“Halaaaah… sudah Ja. Kamu tidak usah menutupinya dari ibu. Hayo cerita!”




Bagai disirep pesonanya, aku pun mulai menceritakan pengalamanku dengan Bu Rohmah, mulai dari awal hubungan dekat kami sampai ritual seks kami berdua. Bukan hanya itu, aku pun cerita tentang kakek dan wasiatnya, tentang kak Hera, dan kesedihanku ketika semalaman aku bergulat dengan Sawaka. “Begitu bu.” Aku tegang. Ada sesal sekaligus heran, kenapa aku bisa seterbuka ini.




“Berarti kamu yang membakar gudang Pak Ikin, ya Ja?”




Jedeeeerrr.




“I.. ib.. ibu?” Jantungku seakan berhenti berdetak.




Bukannya menjawab, bu haji malah menggenggam tanganku. Panas dingin aku dibuatnya. Daaan… Cup. Diciumnya punggung tanganku. Bibirnya sangat lembut. Aku hanya bisa melongo, bintik keringat menyembul di pelipis dan dahiku.




Ada sorot berbeda di matanya. Pandangannya menjadi sangat teduh dan manja. Aku juga menangkap adanya binar bahagia di balik sorot mata itu.




“Bbb… Bu?” Aku tergagap.




Tapi bu haji hanya diam. Senyumnya terus mengembang sambil menatapku. Cuuuup. Tiba-tiba ia mencium pipiku. Lalu ia berpaling dan membuang pandangannya ke luar jendela. Pipinya tampak merona. Inilah kedua kalinya ia mencium pipiku. Yang pertama adalah waktu kami di desa, ketika hampir ketauan Sae.




Aku hanya bisa diam dengan nafas tersengal. Ini semua sangat mengejutkanku. Dan kami pun saling berdiam cukup lama. Aku bingung… tapi hatiku berdesir senang… Kenangan murung karena Saeku seakan terobati saat ini. Hidupku serasa indah bersama cercah matahari pagi yang menerobos masuk melalui kaca jendela.




“Ibu mau tukaran tempat duduk?” Tanyaku ketika matahari menyorot wajahnya melalui jendela. Sebetulnya aku hanya mencoba untuk mencairkan suasana. Bu haji menggeleng. 


“Di sini ajah…” Dadaku kembali berdebar ketika dengan santainya ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku ingin memeluknya, tapi tanganku serasa kaku.




Aku hanya bisa membiarkannya, dan aku tunda rasa penasaranku kenapa ia bisa tahu tentang keterlibatanku atas terbakarnya gudang Pak Ikin. Aku tak ingin momen ini lewat begitu saja. Tiba-tiba ia meraih tangan kananku lalu menyilangkanya melalui belakang kepalanya dan meletakan telapakku di atas puhu lengan kanannya. Deg. Deg. Deg.




“Bu?”




Bu haji hanya tersenyum dan semakin membenamkan kepalanya.




“Ibu nyaman sekali, Ja.” Nyaris tak terdengar. Entah keberanian dari mana, aku mulai mengusap-usap lengan atasnya dan satu pipiku disandarkan di atas kepalanya.


“Kamu ngerti, Ja?” Tanyanya tanpa mengubah posisi.


“Nggak, bu. Bahkan maksud pertanyaan ibu saja aku gak ngerti.”


“Kamu memang polos.” Sebuah cubitan terasa di atas punggung kananku.


“Bu?”


“Kamu gak tahu?” Ia balik bertanya.


“Nggak, bu.”


“Kamu belum ngerti?”


“Nggak.”


“Ka.. kamu gak merasakannya?”


“Maksud ibu?”




Kok cemberutnya mirip kamu, ya Sa.




“Tuh kaaaan…” Makin cemberut.


“Heh?”


“Malah mikirin Sae lagi. Sebel!”




Asli nih orang, ia menjelma jadi cenayang. Duh mirip siapa ya?




Bu haji membelakangiku sambil cemberut. Kuikuti pandangan matanya, tampak tulisan besar di atas jalan: 




“Selamat datang di kota Sumedang Tandang.”


“Kamu gak peka!” Ngambeknya.




Sumpah.. aku tak pernah bisa mengerti perasaan wanita. Sae selalu bilang kalau aku gak peka, kini bu haji mengatakan hal yang sama. Hadeuh.. apa aku nekat aja ya? Belum juga aku mau nekad memeluk pinggangnya, bis bergoyang memasuki parkiran restoran. Kuurungkan niatku. “Bapak-ibu, kita akan istirahat dulu selama 45 menit. Bagi bapak ibu yang ingin sarapan atau ke toilet dipersilakan.” Teriak kondektur.


“Ibu mau ke toilet dulu.” Ketusnya.


“Mangga bu.” Aku berdiri lalu berjalan ke gang untuk memberinya jalan. Ia tampak sangat kesal. Aku mengikutinya turun, sambil merogoh DJ-ku dari kantong celana. Kupandang punggung bu haji sambil menyulut rokokku. Dari belakang ia tampak bagai mojang, bukan lagi seorang wanita berusia empat puluh tahunan.




Lama juga ia di dalam. Rokokku sudah habis tapi ia belum juga muncul.Sarapan kok gak ngajak-ngajak. Aku juga kan lapar. Aku ngedumel sambil melangkah masuk untuk mencari toilet. Aroma tahu Sumedang hinggap di hidungku membuatku semakin merasa lapar. Tapi aku tidak enak kalau makan sendiri. Aku melangkah ke belakang melewati rumah makan, mengikuti petunjuk tulisan ‘toilet’.




Setelah melepaskan isi kantong si jago yang mendesak, kucuci mukaku untuk menyegarkan diri, lalu kembali masuk ke dalam rumah makan. Aku celingukan mencari bu haji. Tidak ada. Aku melangkah keluar, biar kutunggu di dalam bis saja. Tapi ketika kunaik rupanya ia sudah ada di sana. Di pangkuannya sudah ada sekantong tahu panas dan lima buah lontong. Bu haji cuek mengunyah tahunya tanpa melirikku.




Aku duduk di sampingnya dalam diam.




“Udah kalau lapar ambil aja.” Tanpa melirikku.




Dengan malu kucomot lontong dan tahu dari pangkuannya. Rasanya sangat nikmat. Kucomot lagi beberapa tahu. Kami makan dalam diam, tak terasa aku sudah melahap tiga lontong dan tujuh tahu.


“Dasar rakus.” Ketusnya. Tapi aku melihat ada senyum yang disembunyikan. Mungkin ia geli melihat kerakusanku. Aku cuma bisa nyengir sambil tetap mengunyah.




Bu haji menyodorkan tissue dan sebotol air mineral.




“Terima kasih, bu.” Aku meraihnya.




Glek.. glek.. segaaar.




“Di mana-mana bersihkan dulu tangannya baru minum, bukan minum dulu. Jorok banget sih kamu.” Bu haji menegurku.


“Hehe.. maaf bu. Habisnya keselek.”




Aku hanya bisa terpaku, ketika bu haji tiba-tiba membersihkan kedua ujung bibirku dengan tissue. Wajah kami begitu dekat, dan aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Jantungku berdebar kencang ketika mata kami beradu pandang. Tak terasa tanganku sudah meremas tissue sampai hancur.




"Terimakasih, bu." Aku berterimakasih dengan kikuk, yang hanya dibalas dengan matanha yang mendelik.Kok sikapnya mirip Sae ya? Sa, kamu lagi apa sayang?


“Lagi?” Tanya bu haji.


“Sudah bu. Saya sudah kenyang.” Jawabku.


“Bukan itu.. kamu mikirin Sae lagi?”




Fixed. Ni perempuan memang aneh.




Aku cuma bisa menghela nafas sambil membereskan sisa tahu dan menaruhnya di samping kiriku.




Tak lama kemudian semua penumpang sudah masuk kembali, dan pak sopir pun membawa kami melanjutkan perjalanan.




“Bu… ma.. maaf…”


“Loh kenapa minta maaf?”


“Takut ibu marah. Janji jangan marah, ya bu.”


“Tergantung…”


“Hmmm… gak jadi deh.”


"Tuh kaan. Hayo ngomong" Bu haji cemberut. Duhh.. kamu memggemaskan sekali, sih bu? Mirip seperti sa.. Segera kuhentikan pikiranku. Daripada berabe lagi.


“Kenapa tadi ibu menciumku? Ibu sudah dua kali melakukannya, yang pertama waktu kita di desa pas sedang membayar ongkos.” Aku deg-degan menunggu jawabannya.


“Kamu memang gak peka, Ja.” Kaaan… kembali ketus kan..


“Yaah.. kan katanya gak akan marah.”


“Siapa bilang gak akan marah? Ibu kan hanya bilang ‘tergantung’”.




Kuhempaskan dudukku di atas sandaran. Bu haji sangat berubah pagi ini. Tiada lagi sikap keibuannya, tak ada sikap jaim dan anggunnya; melainkan lebih bersikap seperti Sa.. eh.. seperti ABG yang lagi manja. Bu haji hanya memandangku sambil tersenyum. Sangat menggoda. Kuberanikan diri untuk meraih kedua tangannya. Kugenggam dan kuusap-usap punggung jarinya dengan jempol tanganku. Ia hanya menunduk tanpa menolak sedikit pun. Aku baru sadar kalau jemarinya sangat indah. Selain putih dan lembut, juga memiliki bulu-bulu halus di pangkal buku-buku jemarinya.




“Bu…” Deg. Deg. Deg.


“Apa?”




Cuuup. Kukecup punggung tangannya.




“Kamu nakal, Ja.” Bu haji mendesah pelan lalu menjatuhkan tubuhnya di dadaku.




Merasa tidak mendapat penolakan, kuraih tubuhnya. Kedua tanganku melinggar di pinggangnya. Kami saling berdiam dengan jantung yang berdebar.




Entah kenapa aku merasa sangat nyaman. Kami berpelukan dalam hening; asyik dalam kenyamanan-perasaan masing-masing. Tak sedikit pun ia memberi penolakan, tetapi juga tidak melakukan hal lebih. Kubiarkan ia merasa nyaman di dadaku. Tiba-tiba dadaku berdesir, ada rasa sayang meletup di dalam hati. Aku telah jatuh hati pada wanita di pelukanku ini.




“Terima kasih, Ja.”


“Untuk?”


“Karena kamu telah menyayangi ibu.”




Kueratkan pelukanku dan ia tak hentinya mengelus punggung tanganku yang menumpang di atas perutnya. Kupejamkan mata sambil menikmati saat-saat indah kemesraan ini. Lama dan lama kami saling berbagi rasa melalui sentuhan-sentuhan halus di tangan kami.




“Bu, Jatinangor itu yang ada universitas terkenalnya ya?” Aku berbisik ketika melihat sebuah tulisan selamat datang. Kami rupanya telah berpelukan sepanjang jalan dari Sumedang sampai Jatinangor. Bu haji mendongakkan wajahnya sambil mengangguk.




Wajah kami bepandangan sangat dekat. Kini aku bisa melihat dengan sangat jelas kecantikannya. Sangat sempurna. Tatapan sayunya membuatku bergairah. Aku berusaha mengalihkan pikiran mesumku dengan mengingat Sae, tapi gagal. Bu haji terlalu sempurna untuk kulewatkan. Ada getaran-getaran aneh yang kurasakan ketika kumemandang cantik wajahnya.




Tiba-tiba bu haji mendesah halus, bibir tipisnya terbuka. Kuamati suasana dengan sudut mataku. Merasa aman kuturunkan wajahku. Nafasku dan nafasnya terasa pendek karena tersengal. Ujung hidung kami bersentuhan, matanya terpejam. Kumiringkan sedikit wajahku.. Deg. Deg. Deg. Cuuup. Bibir kami bersentuhan. Serempak kami bergetar pelan merasakan adanya aliran listrik di tubuh kami. Bibirnya terasa sangat lembut dan basah; manis kurasakan.




Kunikmati momen langka ini. Kubiarkan bibir kami saling menempel tanpa melakukan gerakan. Kurasakan ada remasan dipunggung tanganku. Lalu kugerakan bibirku dengan pelan dan lembut. Aku mulai mengulumnya dengan penuh perasaan.




“Selamat pagi bapak-ibu, mohon maaf kalau kehadiran kami mengganggu perjalanan anda. Kami hanyalah pengamen jalanan yang mencoba mencari sesuap nasi melalui lagu kami yang tidak merdu ini.” Jreng… jreng…




Kami terkejut dan segera melepaskan pelukan kami. Bibir kami terlepas. Nafas kami tersengal karena gairah dan panik. Tampak dua orang pengamen sedang berdiri di barisan paling depan. Kuraih tangannya dan kugenggam untuk saling memberi ketenangan. Lama kami saling terdiam sambil mendengarkan kedua pengamen itu mendendangkan lagu “Tanpa Cinta” dari Yopie dan Nuno.




Kami saling pandang lalu tertawa pelan. Sebuah cubitan mendarat di pinggangku.




“Ja, ibu cemburu.” Desahnya sambil kembali menggenggam tanganku. Kami saling meremas.


“Maksud ibu.. cemburu pada Sae?”


“Bukan. Ibu cemburu pada Bu Rohmah yang telah lebih dahulu mendapatkanmu; padahal harusnya ibu yang pertama.”


“Jadi.. jadi bu haji adalah…??”




Jantungku berdetak kencang.

Posting Komentar

0 Komentar