BANDUNG IN LOVE: 1st DAY
Kesan pertamaku tentang Raka adalah ia orang ramah, rame, dan gaul. Berbeda dengan pak haji yang berkharisma dan mamanya yang “alim”, ia adalah orang easy going. Sengaja aku memberi tanda kutip pada kata alim karena sejak kejadian di bis tadi, ketika sedang berdua bu haji tak lagi alim dan jaim. Tapi Raka juga mewarisi darah orangtuanya yang berjiwa bisnis; ia terkesan pantang menyerah dalam menjalankan usahanya.
Kini kami sudah duduk berempat di dalam mobil avanza miliknya. Raka nyetir sambil tak hentinya menjelaskan nama-nama jalan dan gedung-gedung yang kami lewati kepadaku, yang kini sedang duduk di sampingnya. Bu haji duduk di belakang, heboh bercerita dengan seorang gadis cantik berhijab modis bernama Mae. Ya, gadis kelahiran Garut dan bernama lengkap Hasri Maemunah ini adalah pacar Raka.
Sebagai orang kampung yang baru pertama kali datang ke kota besar, aku hanya bisa melongo mengagumi gedung-gedung tinggi dan jalanan yang macet di mana-mana. Aku kadang tidak fokus pada cerita Raka ketika melihat gadis-gadis seksi yang berboncengan di motor. Mereka tidak malu memamerkan paha putih di balik rok mini atau celana pendek mereka, atau menunjukkan lingkar perut mereka karena baju mereka yang kependekan.
‘Bandung aku datang,’ batinku.
Setelah melewati macetnya Jalan Suci, Raka meminggirkan kendaraannya di tepi taman yang sangat luas. “Ini yang namanya lapangan Gasibu, Ja. Gedung di ujung kiri sana adalah Gedung Sate dan gunung di atas kanan sana adalah Gunung Tangkuban Perahu.” Raka menjelaskan kepadaku, sementara aku hanya bisa melongo kagum yang ditanggapi riuh ketawa bu haji dan Mae karena melihat ekspresi kampunganku.
“Gedung Sate adalah suatu karya arsitektur besar, yang berhasil memadukan langgam timur dan barat secara harmonis. Gedung ini mulai dibangun tanggal 20 Juli 1920 dan selesai pada bulan September 1924. Pembangunannya sendiri melibatkan 2.000 pekerja, 150 orang di antaranya merupakan tenaga pemahat, atau ahli pengukir batu dan pengukir kayu berkebangsaaan China, serta dibantu oleh tukang batu, kuli aduk dan peladen yang berasal dari penduduk kampung sekitarnya.”
Aku hanya mengangguk-aguk antara kagum dan bingung. Sementara dua perempuan di belakang masih asik dengan cerita mereka sendiri tanpa memedulikan aku dan Raka.
“Sejak tahun 1980 gedung sate identik dengan Kantor Pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang merupakan Kantor Gubernur beserta beberapa pejabat pemerintahan lainnya. Karena itulah gedung ini menjadi ikon Jawa Barat yang tidak tergantikan sampai sekarang”.
“Kalau legenda Tangkuban Perahu sendiri, lu sendiri harusnya tahu. Ada pelajarannya di sekolah, kan?”
“Iya, Ka. Tentang Sangkuriang yang mau menikahi Dayang Sumbi, ibunya.”
“Tah bener banget. Besok lu bisa jalan-jalan menyusuri taman bareng mamah. Tapi gua gak bisa nganter, biar kalian aja. Mamah sudah tahu jalannya kok.” Aku mengangguk senang. Kenapa yah orang kota kalau ngomong selalu pake lu-gua.
“Kalau ke Tangkuban Perahu jauh, Ka? Kalau bisa aku ingin ke sana juga.”
“Sebetulnya gak terlalu jauh, tapi karena macet ya bisa lama juga untuk sampai ke sana. Kalau kata gua mah, lu gak usah ke sana. Lain kali saja kalau ke Bandung lagi. Tiga hari ini mah nikmati aja suasana kota bareng mamah.”
“Iya Ka, hatur nuhun.” Aku mengangguk setuju.
“Ari itu naon, Ka?” (kalau itu apa?). Aku menunjuk sebuah bangunan di kejauhan, sebelah kanan.
“Nah itu yang namanya Tugu Taman Makam Pahlawan yang dibangun pada tahun 1958. Di sana dikuburkan para pejuang dan tentara kota yang gugur.”
“Ooh..” Kagumku.
Raka melanjutkan dengan panjang lebar, “Di dalamnya terdapat jejeran nisan yang tersusun rapi dan bersih. Di area utama, kita bisa melihat dinding pualam yang bertuliskan nama-nama pahlawan yang dimakaman di sana. Bukan hanya itu, suasana sunyi dengan kesan indah dan megah akan didapat tatkala melihat kolam besar sebagai hiasan makam. Juga deretan relief yang menggambarkan perjuangan merebut Kemerdekaan.”
“Ooh..”
Ni anak kerjanya jaga warung kopi, tapi sudah seperti ahli sejarah dan pemandu wisata. Kagum aku..
“Ini uniknya Ja. Taman Makam Pahlawan ini berada di antara Gunung Tangkuban Perahu sebagai simbol pemerintahan para karuhun (nenek moyang) dan pemerintahan manusiawi yang disimbolkan dengan kantor gubernur di Gedung Sate sana.” Raka mengakhiri penjelasannya.
“Jadi kalau kamu dikubur di makan itu, kamu bisa menguasai semua roh leluhur dan para penguasa pemerintahan tanah Pasundan, Ja.” Mae tiba-tiba nyeletuk dari belakang.
“Hah? Hebat banget.” Mataku membelalak.
“Hahahahaa.” Mereka bertiga menertawaiku.
“Kok malah tertawa?”
“Sudah.. sudah.. kasian Senja dikerjain melulu. Hayu jalan lagi, sayang, ibu sudah lapar.” Bu haji menyuruh Raka di sela tawanya.
Raka kembali menyelinapkan kendaraannya di tengah kemacetan sambil terus bercerita.
“Ini yang namanya jembatan Pasupati yang terhubung sampai Pasteur. Dengan panjang 2,8 km, jembatan ini adalah satu-satunya jembatan anti gempa di Bandung.” Katanya ketika sampai di ujung jembatan.
Tapi ia membelokkan kendaraannya ke samping-bawah jembatan. Dari lampu merah kedua, kami belok kanan menyusuri Jalan Dago. Setelah melewati sebuah rumah sakit yang sangat besar, Raka membelokkan kendaraannya ke arah Jalan Teuku Umar dan masuk ke parkiran sebuah café yang bertuliskan “Kopi Kental” yang masih tutup.
“Ini kalau diteruskan kita akan sampai ke Dipati Ukur, Ja. Tembus ke Tugu Makam Pahlawan yang tadi.” Raka mematikan mesin mobil dan menarik rem tangan.
“Selamat datang di Kopi Kental, yang menyajikan kopi Sawer. Hahaha…” Raka menepuk pundakku dan mengajakku turun.
“Oh ini toh warungnya, Ka?”
“Woooi.. Senja semprul.. Café gua dibilang warung. Ini namanya café, anak kampung!!” Raka meninju dadaku.
“Bwahahahhaa…” Bu haji dan Mae tertawa, aku cuma nyengir kuda.
“Kok tutup?”
“Iya. Café buka jam dua sampai tengah malam. Pelanggan kita biasanya nongkrong jam-jam segitu.”
Raka membuka kunci dan kami pun masuk. Mataku menyapu seluruh ruangan dengan kagum. Di depan dinding bagian dalam terpampang bar dan etalase berbagai jenis produk kopi. Banyak alat dan mesin seduh yang bentuknya aneh-aneh menurutku; tapi menarik. Selain tujuh set tempat duduk di dalam ruangan, ada pintu keluar menuju taman kecil khusus tempat nongkrong bagi pengunjung yang merokok.
Kami pun duduk di salah satu meja, sementara Raka menelpon seseorang untuk memesan makan siang. Katanya sih delivery order, gak tau tuh jenis makanan apaan. Raka dan Mae rupanya sebelas dua-belas dalam urusan ramah dan ramenya sehingga aku tidak merasa canggung lagi. Sorot mata manja Mae kepada Raka mengingatkanku pada Saeku, tapi tampaknya Mae lebih kalem dan tidak mau terang-terangan menunjukkan sikap manjanya. Atau mungkin karena ada aku dan calon mertuanya. Entahlah. Yang pasti Raka beruntung punya pacar secantik dan sebaik Mae. Mae juga jago membuat kopi. Takarannya sangat pas di lidahku.
Jam satu, makanan yang kami pesan datang. Raka memesan ayam kremes dan bebek goreng kesukaan mamanya. Dari boxnya aku tahu kalau itu dipesan dari restoran ‘Mamat Slamat.’ Ternyata delivery order itu bukan nama makanannya, tapi cara memesan dan mengantarnya. Baru tahu aku. Nanti aku delivery order kopi ke Sae ah kalau lagi menggembalakan si jalu di bubulak.
Sementara kami makan, masuk seorang gadis berambut pirang dengan tatoo di tangan. Gayanya nyentrik. Ia hanya memakai baju berbahan jeans dengan kedua ujung diikat di atas perutnya, sehingga kulit perutnya terekspose. Bawahannya hanya mengenakan celana pendek berbahan sama. Ujubuneeeh… gadis kota memang aneh. Mereka suka memamerkan paha dan perutnya; jadi kangen Sae lagi kan jadinya.
“Hai sis, sini dulu. Kenalin nih mamah gua dan Senja, supplyer kopi kita.” Raka memanggil untuk memperkenalkannya kepadaku dan bu haji.
“Mah, Ja, kenalin ini Irma, pegawai baru di sini.”
“Hallo tante, saya Irma.” Ia menyalami bu haji sambil menunduk sopan. Belahan payudaranya terihat putih karena ia tidak mengancingkan baju atasnya.
“Hai Irma, tante mamanya Raka.” Mereka berciuman pipi dengan ramah.
“Hai.. gua Irma.” Ia berbalik kepadaku.
“Sen.. Senja.” Aku menyambut tangannya dengan gugup karena melihat bayangan tatoo di atas gundukan payudaranya. Setelah bersalaman dan bertukar sapa, kami melanjutkan makan sementara Irma bersiap-siap karena sebentar lagi café akan buka.
Jam setengah dua aku dan bu haji meluncur ke rumah mereka di kawasan Simpang Dago. Mae mengantar kami, karena Raka langsung jaga café. Sementara mereka asik bercerita di jok depan, aku tak habisnya celingukan melihat keramaian di luar sana.
Di balik kesehariannya yang sederhana, pak haji dan bu haji memang orang kaya. Ini terbukti dengan rumah yang mereka miliki. Rumah mereka ternyata berada di kawasan yang cukup elite. Kami harus melewati pos satpam untuk memasukinya. Selain diperuntukkan bagi Raka, rumah ini juga menjadi rumah singgah mereka kalau ke Bandung.
Aku menurunkan barang bawaan kami dari bagasi dan membawanya ke dalam rumah. Mae menunjukkan kamarku di lantai atas, berseberangan dengan kamar Raka. Sementara bu haji menempati kamarnya di bawah. Kalau diperhatikan Mae seksi juga ya. Bibirnya itu looh.. Duh sadar Ja, sadar.
Setelah menyimpan tas, aku kembali turun.
“Ja, gua balik dulu ke café ya.” Mae menyambutku di ujung tangga.
“Iya, Mae. Makasih ya.”
“Loh kamu langsung balik, sayang?” Bu haji keluar dari kamarnya.
“Iya tante. Kasian Raka…”
“Kok tante lagi sih?” Bu haji memotong.
“Hihi.. iyah mah.”
“Nah, gitu donk. Nanti mamah dan Senja mau jalan-jalan sambil makan malam. Jadi kalian tidak usah pesenin makanan.”
“Iya mah. Mae jalan dulu ya.”
Mereka pun cipika-cipiki, lalu aku dan bu haji mengantarnya ke depan pintu. Begitu mobil menghilang, aku baru sadar kalau tangan kami sudah saling menggenggam. Kami pun tertawa dan saling pandang ketika menyadarinya. Lalu kami kembali ke dalam rumah sambil bergandengan tangan.
Klek. Cengkrek. Kututup dan kukunci pintu. Senyum genitnya mengembang mengetahui niat nakalku. Aku hanya tersenyum sambil mengecup punggung tangannya, lalu menggandeng pinggangnya menuju sofa.
Kami duduk di atas sofa panjang dengan tubuh miring; saling berpandangan. Segurat rindu sekaligus malu terpancar di wajahnya. Aku dibuat gemas karenanya. Kubelai pipinya dengan lembut. Bu haji memejamkan mata sambil meraih punggung tanganku. Cantik. Cantik sekali. Kudekatkan wajahku untuk mengecup bibir mungilnya. Nafas kami saling beradu. Namun ketika tinggal beberapa senti bibir kami bertemu, jarinya menghadang kedua bibir kami. Senyumnya berubah jail.
“Gak mau.. nanti ajah pas ritual di Sawer.” Ia bangkit.
“Mau mandi dulu aah.. badan ibu udah lengket banget.”
Anjrrriiiiit. Sebelum ia melangkah, segera kuraih pinggang rampingnya. Tubuhnya terhempas di pangkuanku.
“Aaaauu..,” ia meraih leherku agar tidak jatuh.
“Ampun sayang…hihiii… ampun… geli iiihhh…” Tubuhnya menggelinjang ketika kukilikitik pinggangnya.
“Abisnya kamu jahat, sayang.” Kini tak kupakai lagi kata ‘ibu’ untuk memanggilnya. Sisa perjalanan dari Jatinangor sampai ke terminal Cicaheum sudah mengubah segalanya. Ia adalah kekasihku. Wanita keduaku.
“Hihi.. iyah ampun. Udah dulu aaah.” Rengut manjanya sangat menggemaskan.
“Muuuuach.” Kali ini aku berhasil mengecup bibirnya tanpa perlawanan.
“Aku mau mandi…” Cieee.. udah pake ‘aku’ sekarang mah.
“Nggak usah. Nanti sore aja sebelum jalan-jalan.” Kuusap-usap garis alisnya.
Kami saling membelai dan memberi sentuhan halus. Sebuah kehangatan yang sangat indah di hari pertamaku menginjakkan kaki di kota kembang ini. Aku tak memerlukan kembang yang lain, karena aku sudah memilikinya di atas pangkuanku.
“Yank.. aku boleh tahu namamu, gak? Aku kan tahunya hanya bu haji saja.”
“Ismaja, pake ‘j’ tapi bacanya ‘y’. Ismaya ”.
“Nama yang cantik, seperti orangnya.” Kukecup ujung dagunya.
“Masa?” Wajahnya merona senang.
Aku tak menjawab, tapi jari-jariku menjelajahi tepi wajah dan lehernya tanpa pernah mengalihkan tatapan mataku di wajahnya yang ayu. Plep. Plep. Klek. Aku berhasil melepaskan ikatan kerudung pinknya. Sruuut… pluk.. Mataku nanar memandang kecantikan tanpa jilbabnya. Gelungan rambutnya lepas-terurai. Kini wajah putihnya sangat kontras dengan gerai rambut-panjang-hitam-bergelombangnya. Kutahan wajahnya ketika ia mau bersembunyi di dadaku karena malu.
“Maluuu.” Desisnya, matanya terpejam, sebaris gigi putih menggigit tepi-bibir-merah-bawahnya.
Tak kupedulikan malunya. Aku ingin mengenal inci demi inci kecantikannya. Kutelusuri wajahnya dengan jariku dan kubelai rambut hitam-halus ini membuat bibirnya sedikit terbuka. Aku akan ketagihan kamu, sayang.
“Sayang..” Matanya terbuka mendengar bisikanku.
“Kamu tahu gak artinya Ismaja?” Aku melafalkannya pakai ‘j’ dan bukan ‘y’.
“Apah?” Bibirnya bertanya tanpa suara.
“Istri Mamang Senja.”
“Iiiih.. sayaaang…” Bibir kami bertemu dan saling melumat. Seluruh desir dan gejolak gairah yang selama ini kami tahan, kini tumpah dalam pagutan dan lumatan masing-masing. Kucecap kemanisan bibirnya, kuhisap lembut lidahnya, kusambut desah nafasnya, kubelai panjang rambutnya. Kami terlena dalam kenikmatan indah ini. Tubuh kami saling bergetar dan menggelinjang tersengat rangsangan dari peraduan mulut kami.
Hash..hash..hash… Setelah lebih dari limat menit mulut kami terpisah. Nafas kami tersengal. Kuusap air liur di ujung bibirnya dengan jempolku, lalu kukecup keningnya untuk memberikan rasa sayang dan kenyamanan.
“Yank, boleh aku mengambilnya sekarang?” Mataku memandangnya, menyampaikan keinginan dan gairahku.
“I’m yours.” Aku berpikir sejenak mengingat pelajaran bahasa Inggris di SMA dulu.
“Makasih sayang.” Setelah mengerti arti dari jawabannya, segera kupangku dan kugendong tubuhnya ke dalam kamar; rambut hitam-bergelombangnya yang menjuntai-terurai membuatku semakin terangsang. Tak henti-hentinya kami berpandangan dan berbagi senyum kasih sayang.
Kuletakkan tubuhnya dengan sangat pelan dan penuh perasaan di atas kasur miliknya. Tangannya terlepas dari leherku. Aku mematung memandangnya. Seolah sengaja, ia memandangku sayu sambil menggigit ujung jari telunjuknya.
Aku menarik nafas panjang sebentar. Hmmmffff. Aku menindihnya dan kami kembali saling mengecap nikmat dalam ciuman yang panas dan bergairah. Kini aku bukan lagi mengecupi tapi juga menjilati wajahnya. Kujelajahi wajah, telinga dan lehernya. Sementara tanganku bekerja membuka kancing jubah panjangnya.
Kancing-kancingnya berjajar dari bawah leher sampai ke pinggang. Aku bangkit untuk membuka kancing terakhirnya. Lalu kusibakkan kedua sisinya. Mataku nanar. Kedua payudaranya menggunung naik-turun karena nafas wanitaku yang tersengal. Belahan tanpa noda terlihat sangat menggiurkan di atas cakupan beha putihnya.
Dengan nafas tersengal karena gairah, kuraih ujung jubahnya dan dirarik ke bawah dengan bantuan pinggulnya yang terangkat. Ketakjubanku makin menjadi ketika kini tubuh itu berbaring dengan hanya ditutup secarik kain putih di dada dan selangkangannya. Nampak ada bayangan hitam bulu kemaluan, dan bercak lingkaran basah di celana dalamnya yang mengembung. Segera kulepas baju dan celanaku untuk memamerkan dada bidang dan gundukan vertikal kemaluanku.
Kami saling menahan nafas karena saling terpesona, sesak karena ingin segera saling meledakkan gairah. Segera kuhempas tubuhku dan menindihnya, bibir dan kemaluan kami berjumpa bersamaan meski masih terhalang kain terakhir kami. Panas.. panas… ciuman kami terlalu panas, gesekan kami teralu keras, desahan dan nafas kami menderas. Mulut kami berkecipak saling berbagi kenikmatan, tangan kami saling meremas apapun yang bisa kami raih dari tubuh pasangan kami. Bintik keringat pun mulai menetes di sela pori-pori pelipis dan leher kami.
Kuturunkan wajahku sesuai arahan tangannya yang menekan kepalaku. Kutelusuri jenjang lehernya. Klik. Susah payah kubuka kaitan behanya. Payudaranya proporsional, tidak terlalu besar tapi indah karena mengkal. Putingnya mencuat kecoklatan.
“Aaaaaaah…. sayaaang…” Desahnya pecah ketika kukecup putingnya sambil meremas yang satunya. Sementara aku hanya bisa mendengus. Putingnya terasa lembut di mulutku dan gundukkannya terasa kenyal seperti punya gadis perawan. Eh.. aku kan belum pernah mencoba perawan ya. Heuuup… sore ini hanya ada aku dan wanitaku. Jangan ada yang lain. Sawaka, matikan CCTV.
Dengan gemas tapi penuh perasaan kujilati dan kuremas payudaranya bergantian. Tubuhnya makin gelisah dan licin karena keringat. “Mhhh.. yank.. buruan.” Tangannya mendorong kepalaku. Kuturunkan ciumanku ke perut dan pusarnya, tanpa melepaskan remasan di payudaranya. “Hassssh.. sayang… oooh…”
Puas menjelajahi perut rampingnya segera kukecup kedua paha bagian dalamnya bergantian. Celana dalamnya nampak lepek karena basah. Aroma kewanitaan menyengat hidungku. “Yank.. bukaaa… cepeeet… aaah…” Tak mau membuat wanitaku tersiksa segera kupelorotkan celana dalamnya. Lagi.. aku dibuat terpesona kembali. Bulu kemaluannya tipis dan rapih. Kubuka pahanya dan kemaluannya merah merekah.
Aromanya mengundangku untuk datang. Cuuup. Cluuuup. Lidahku bak kumbang yang menghisap kelopak putiksari; mencucuk dan menghisap lendirnya yang sedikit menggumpal. “Aaaaah…” Erangnya. Kutelusuri semua sisi kemaluannya, dan… cuuuup… pucuk kemaluannya yang menjentik sebesar kacang masuk ke dalam mulutku. “Sayaaaaang… Aaaah…” Kepalaku terguncang karena jambakan, namun kedua bibirku sigap mengulum klitorisnya. Menempel, menjepit, menggigit, menggelitik.
Dengan mulut mengapit dan mengulum klitorisnya, kualihkan pandanganku ke wajahnya. Matanya mendelik, peluh mengalir, mulut terbuka, bibir mendesah. Ada rasa bahagia bisa melihat wanitaku menikmati sentuhan-sentuhanku. Kulanjutkan aksiku di kemaluannya, sementara tanganku beralih mengelus paha dan betisnya. Terasa bulu-bulu kakinya meremang di telapak tanganku.
Lidah dan bibirku terus menjilat dan mencecap. Lalu kubuka bibir kemaluannya makin lebar, kucucukkan lidahku ke lubang peranakannya yang sedikit membulat-menganga. Kumaikan jempolku di klitorisnya. Clop. Clop. “Ah sayaang… mmh… aku hampir… aaah…” Kakinya menghentak-hentak dan rambutku dicengkeram kuat. Kupercepat aksi lidah dan jemariku. Tubuhnya makin kelejotan dan… “Sayaaaaaaang… iiiih… aaaaaah….” Seeer.. seeeer.. cairan puncak kenikmatannya mengalir. Ingin kuseruput, tapi aku terlalu limbung karena hentakan jambakannya. Kulit kepalaku sangat sakit… peureus.. dan tubuhku tertarik ke atas. Getaran demi getaran indah kusaksikan. Lalu ia mengejang untuk terakhir kalinya, dan terkulai lemas.
Kuusap bintik keringat di wajahnya, lalu kubelai lembut untuk membuatnya semakin nyaman dalam keindahan kepuasannya. Wajahnya tampak innocent sehingga semakin memancarkan kecantikan alaminya.
Perlahan matanya terbuka. Kusambut cahayanya dengan senyuman. Tangannya meraihku dan membawa pada dekapan, kuabaikan payudaranya yang mengganjal. “Terima kasih, sayang. Bisiknya di telingaku.” Kueratkan pelukanku sebagai jawaban.
“Hiks.. hiks…” Aku segera bangkit mendengar pecah tangisannya.
Aku mendongak; membelai dan memandangnya heran. Kubiarkan air matanya mengalir. Bahkan ketika menangis pun kamu sangat cantik, sayang.
“Sudah lama, sayang, sangat lama aku menantikan ini.” Sambil terus terisak.
“Sejak kita bertemu pertama kalinya waktu kamu sekolah dulu, aku sudah tahu kalau kamu orangnya. Hiks… hiks…” Kukecup keningnya.
“Aku sempat kehilanganmu ketika kamu lulus sekolah; sampai akhirnya kamu muncul kembali. Aku senang sekali waktu mendengar kalian akan usaha kopi, karena itu berarti kita akan sering ketemu.”
“Apa yang membuat kamu yakin, kalau aku adalah pemuda itu, sayang? Kan bisa saja orang lain. Kakakku misalnya.” Heranku.
“Hatiku yang mengatakannya, karena itu pulalah aku bisa membaca isi hatimu.” Seperti Bu Rohmah dulu. Ah betul… selama di bis tadi sikapnya mengingatkanku pada Bu Rohmah.
“Dan tubuhku juga memberi tanda. Kamu tahu, sayang? Setiap kali kita ketemu, aku selalu terangsang hebat. Aku sering melampiaskan nafsuku di kamar mandi sekepulanganmu, atau mencoba memuaskan diri di dalam toko seperti waktu kamu memergokiku.”
“Kenapa gak dari dulu, sayang? Aku juga kan mau hehe..” Aku terkekeh sambil mengecup dahinya.
“Kamunya aja yang gak peka. Huh!!”
“Kalau cemberut, kamu malah makin menggemaskan loh..” Kulumat bibirnya.
Hash.. hash… “Ihh.. geliii…,” ia menggelinjang dan mendorong bahuku.
“Aku belum looh…” Bisikku.
“Aaaah… maaf… maaf… lupa.. abis tadi enak banget.” Ia memasang muka memelas.
“Yang penting ratu Sawer bahagia,” godaku.
“IIih… jadi aku ratumu sekarang?”
Aku hanya mengerling.
“Sekarang gantian, aku yang puaskan kamu.” Ia mau bangkit, tapi kutahan.
Aku menggeleng.
“Bahagiaku adalah melayanimu, bukan dilayani.”
“Tapi kan, yank…” Hmmmmffff…
Kulumat bibirnya sambil bersusah payah melepaskan celana dalamku. Kami kembali berbalas pagutan; tak kuberi kesempatan untuk melepaskan diri agar ia tak menyerangku balik. Kuposisikan tubuhku, dan ia semakin melebarkan pahanya.
Penisku berkedut nikmat menyentuh bibir kemaluannya. Kubiarkan sebentar sambil menarik nafas. Kutangkap tangannya yang mau menggenggam penisku lalu kuhempaskan ke kasur. Kubiarkan si jalu menemukan liangnya sendiri. Susah payah ia menyusuri lubang kenyal wanitaku sampai menemukan gerbang tujuannya. Clep. “Aaaah…” Kami mengerang bersamaan, tubuhnya menggelinjang.
“Uuuuh… sempit banget sayang.”
“Punyamu yang ke..kegedean.. mmmh…”
Cleep. Cleeep..
“Uuuh.. pelan-pelan,” rintihnya.
Mata kami berpandangan sayu dan syahdu. Kuberikan sorot sayang sepenuhnya. Cuuup. Kukecup bibirnya dan kukulum pelan.
Cleeeep. Bleeeeeesssss.
Penisku menerobos masuk. Matanya membelalak. Hanya lenguhan, tanpa erangan dari wanitaku, karena bersamaan kulumat mulutnya.
Hash..hash..hash…
Kuatur nafas sejenak, merasakan kenikmatan di pangkal selangkanganku. Kemaluannya sangat sempit, berkedut dan memijit halus.
Plop.. plop..plopp.. aku mulai mengayuh pelan sambil mendesis bersamaan. Peluhku kembali mengalir. “Aaah… sa..sayangg.. uuuh…aaah…ssssh…,” nyanyian kenikmatan yang kudengar membuat gairahku semakin menanjak. Kupercepat kocokanku. Pinggulnya bergoyang seirama kayuhanku. Saling menyambut, saling memburu; ia mengaduh, aku mengeluh; aku mencabut, ia menyusul; aku menusuk, ia menyambut; ia menjepit, aku berkedut. Kenikmatan ini membuatku terlena.
Aku tidak siap ketika tiba-tiba ia mendorong dan menggulingkan tubuhku. Pinggulnya sigap mengikuti arah penisku agar kemaluan kami tidak terlepas. Aku terhempas, terengah. Senyum jahil dan kemenangan memancar di antara peluhnya. Oke.. aku ikuti permainannya. Kuraih pinggangnya dan kucengkeram seirama goyangan dan pompaan naik turunnya. Kedua payudaranya bergoyang menggoda gairahku. Ingin kulumat, tapi ia menekan dadaku. Ingin kuremas tapi ia menghempas tanganku.
Aku hanya bisa pasrah, sementara di bawah sana suara kemaluan kami semakin berkecipak basah. Kuat juga wanitaku sekarang ini. Aku tidak boleh kalah.
“Ah.. aaah… nikmat sayang.. kamu hebat.. ah…” Aku memancing gairahnya dengan desahanku. Benar saja. Kocokan dan goyangannya makin liar.
“Aaaah… ber..berbalik sayang,” erangku. Ia mengerti, lalu memutar tubuhnya membuat penisku ngilu seakan dipelintir. Tak lama ia segera bergoyang kembali sambil mendesah-desah. Pinggul lebarnya yang bergoyang membuatku semakin bergairah.
Aku terus mengimbanginya sambil meraih dua bantal sekaligus untuk menopang tubuhku. Haaaaap… kuraih kedua payudaranya dari belakang. “Aaaaah…” Wanitaku menjerit. Kuremas, kupilin, dan kupelintir kedua putingnya. Kami semakin liar bergoyang. Semakin keras mendesah. Aku sudah tak tahan lagi. “Sayang… gak kuat…” Erangku.
Wanitaku mengerti. Segera berganti posisi, kembali ke gaya misionaris. Dengan cepat aku bergoyang, sementara kedua kakinya membelit pinggangku sambil mulutnya meracau. Plop. Plop. Plooop. Jepitan dan empotan kemaluannya semakin kuat, membuat penisku semakin ngilu. Kukumpulkan segenap tenagaku seiring desakan lahar panas yang kian mendesak. Kuhentak-hentak kuat. Plop. Clep. Plop. Clep. Plop. Clep. Kukocok kuat.. Cepat.. Semakin kuat.. semakin cepat.. Dan….
“Aaaaaaarrrrrggghhhh….” Tubuh kami mengejang bersamaan. Seeeerrrr. Craaat…croot..croooot. Penisku terhisap, tersedot sambil memuntahkan puncak kepuasanku. Cairan hangat kami bertemu. Mengalir di antara urat-urat penisku, dan menetes keluar bibir kemaluannya.
Aku terkulai. Tubuhku ambruk. Gelaaaaap…
Sekitar sepuluh menit kami terhempas puas dan lemas. Kemaluan kami telah terpisah, dan aku tersungkur di bawah ketiaknya. Kuangkat wajahku, dan ia membuka mata. Bahagia dan terima kasih saling terucap tanpa kata. Cukup disampaikan sorot mata. Aku beringsut dan bersandar di tepian kepala ranjang. Ia ikut dan bersandar di dadaku. Kukecup ubun-ubunya sambil meraih tangannya, lalu kucium kedua punggung tangannya bergantian, dan kuusap-usap pergelangannya. Aku baru sadar sekarang, bukan hanya kakinya yang memiliki bulu-bulu halus, tapi juga kedua tangannya.
Lalu kupeluk tubuh polosnya dengan tangan kiriku, sementara tangan kanan memainkan putingnya membuatnya menggelinjang kembali. Wajahnya mendongak. Cuuup. Kuberikan ciuman sayang di bibirnya yang terbuka.
“Yank, terima kasih aku bisa mengenal dan menemukanmu tepat waktu. Karena kalau tidak maka Sawer akan hancur menjadi kampung mesum.”
“Kamu bener, sayang. Shhhh.. udah mainin putingnya, geliii…” Wanitaku terkikik kegelian.
Kulepaskan jariku dari putingnya, tapi gundukannya tetap kugenggam; lalu kukecup tipis pelipisnya.
“Kalau aku tidak menemukan wanita ketiga, apakah akan berefek negatif juga?”
“Gini sayang.. dengan melakukan ritual bersamaku maka itu akan mendatangkan pasangan bagi Sawaka; itu berarti juga Sawer akan terhindar dari hawa mesum. Tapi kelak, Sawaka dan betinanya akan mati seiring kematianmu, dan Sawer tidak akan punya penjaga lagi.”
Ia menarik nafas sebentar.
“Tapi kalau kamu menemukan wanita ketiga dan melakukan ritual seks, maka Sawaka akan punya keturunan; yang berarti Sawer akan memiliki penerus yang menjaga mereka, meskipun Sawaka dan betinanya mati bersama kematianmu.”
Aku mengangguk mengerti.
Hmm.. berarti aku harus seperti kakek. Mewariskan ilmuku kelak kepada tiga gadis pilihan, agar anaknya Sawaka juga beranak pinak.
“Berarti kita harus segera melakukan ritual, yank.” Aku berkata gamang.
“Gak mau!!”
“Eh? Kok?”
“Nanti kalau sudah ritual, kamu pasti meninggalkan aku.” Ia merajuk.
“Kalau kamu mau.. aku tidak akan meninggalkanmu.” Kataku.
“Janji?”
“Iyah sayaaang.”
Muuuuacccch. Ia menciumku panjang. Kami saling melumat.
“Yank..” Mukanya merah memandangku.
“Hmmm..” Sambil menatapnya mesra.
“Eh.. itu.. anu.. Bu Rohmah.. hihi.. enakan mana antara aku dan Bu Rohmah?” Seketika ia membenamkan wajah di dadaku untuk menyembunyikan malu karena pertanyaannya sendiri.
“Haha… mau yang jujur atau bohong.”
“Yang bohong!”
“Hmmm gimana ya… enakan Bu Rohmah sih.”
“Tuh kaaan.. kamu jahat.. ia mencubitku.”
“Aaaauu.. sakiit sayang.”
“Kamu jahat!”
“Iiih katanya yang bohong.”
“Ber.. berarti…?”
“Iyaaah sayaaaang… kamu hebat.” Aku menangkup kedua pipinya lalu menyambut kedua bibirnya yang memonyong. Muaaaach.
“Hihi.. makasiiih.”
“Eh yank. Tapi gimana caranya kita menjalankan ritual? Aku kan gak punya alasan ke pak haji untuk pergi ke Sawer” Ia mulai bingung.
“Kan ada Sawaka yang akan membawamu. Itu kita pikirkan nanti, yang penting hari ini dan seterusnya aku milikmu, sayang.” Kukecup bibirnya.
Masih ada sisa hari untuk mengayuh birahi sampai senja nanti. Dan kami kembali membuat gaduh kamar ini.
0 Komentar