KETIKA SENJA PART 35


BANDUNG IN LOVE: PERJALANAN


Markas penggilingan kopi kembali meriah. Senja sudah kembali ke aslinya. Tak ada lagi sikap dingin, keras, tegas atau pun murung dalam dirinya. Ia yang kemarin kaku dan telah membuat suasana tidak nyaman, kini ia gembira dan kembali bisa meramaikan suasana.




Tentu saja Senja tetaplah pemuda dan manusia biasa. Meskipun sudah bisa menerima semua keadaan masa lalu, masa kini dan masa depannya, ia tetap saja tak bisa membuang perih perasaannya karena sikap Sae yang berubah. Bedanya, ia kini lebih bisa mengontrol diri dan mampu bersikap lebih dewasa. Ia tak lagi mencampur adukkan urusan pribadi dan usaha mereka.




Sore ini Senja dan ketiga sahabatnya berkumpul di markas mereka. Sae dan Ratna juga ikut bersama. Tidak nampak lagi kekakuan, meskipun masing-masing berkecamuk dengan pikiran masing-masing.








Ega:




Ada apa sebenarnya dengan Senja? Sikapnya berubah-ubah; di dalam dirinya tersembunyi sesuatu. Ia murung karena Sae yang menjauhinya, lalu dingin dan menjadi sangat misterius seusai tahlilan malam itu; besoknya gempar karena gudang toko Pak Ikin terbakar. Apakah ini ada hubungannya dengan Senja? Aku sangat curiga.




Kemarin ia sangat tegas dan tak ada kompromi. Ia menyimpan amarah yang disembunyikan dalam ketegasannya. Tapi lain kemarin, lain hari ini. Ia kini sudah kembali menjadi Senja yang biasa. Kalem, riang, penuh canda. Tapi juga berbeda. Di balik teduh matanya, ada sorot baru yang membuatnya terlihat dewasa dan berwibawa.




Ayo Ratna, saatnya kamu beraksi merayunya di depan Sae.






Jaka:




Si kampret… kemarin ia membuatku mati kutu dan membuat suasana tidak enak dengan sikap keras dan tegasnya, kini berubah seketika. Ia menjadi Senja yang seperti biasanya. Ini yang kusuka. Markas ini kembali menjadi rumah kedua yang menyenangkan. Tapi tetap saja, sikap wajarnya malah membuatku bingung dan tak tahu bagaimana aku harus bersikap. Sabodo ah.. mending aku juga seperti Senja, menjadi diriku sendiri apa adanya.




Sae.. aku ingin memelukmu kembali.






Ardan:




Ini nih yang kusuka dari Senja. Ia selalu punya cara untuk mengatasi suasana. Tampaknya ia sudah tidak lagi murung dan meratapi perasaannya. Ia sahabat kebanggaanku, yang selalu membela dan mendukung rencana-rencanaku. Terima kasih atas semuanya, Ja.




Bi Iyah, aku kangen. Kamu lagi apa? Sudah tak lagi bersedih kan?






Ratna:


Iiih… A Senja kok beda banget ya hari ini. Selain cakep, ia makin berwibawa. Sorot matanya itu.. duh teduh banget… Senyumnya cerah dan candanya membuatku bahagia. Ia juga tak lagi marah padaku. Aku jadi salah tingkah kan jadinya…




Maaf A Ega, aku tak berani mendekatinya saat ini. Aku terlalu sungkan.. ia beda.. beda sekali.








https://t.me/cerita_dewasaa








“Sa, bikinin lagi kopi donk. Abis nih..” Pintaku pada Sae.


“Enak aja! Sana bikin sendiri!” Jawabnya. Sae masih saja selalu galak dan ketus kalau berbicara padaku.


“Beuuuh.. galak banget sih. Rat, tolong donk.” Aku akhirnya meminta Ratna.


“Iya, A. Bentar ya.” Ratna bangkit sambil tersenyum manis.




Ega dan Ardan hanya cengengesan melihat sikap Sae padaku. Sementara Jaka masih tampak kikuk. Aku tidak tahu kenapa dengan dia. Sudahlah.. kalau ada masalah nanti juga ia pasti cerita.




“Beneran, Ga, pak haji bilang supaya besok Kamis ia memintaku untuk nginap di rumahnya?” Aku memandang Ega sambil menghembuskan asap rokokku.


“Yee.. tadi kan sudah kubilang. Kamu harus nginap karena hari Jumatnya kamu dan bu haji harus berangkat pagi-pagi. Gak percaya pisan dikasih tahu teh.” Ega sewot.


“Haha.. iya.. iya.. siapa tahu kamu cuma ngerjain.”


“Ingat loh, Ja. Jangan sampai lupa… awas aja kalau lupa.” Ardan mengingatkanku untuk membeli sepasang cincin untuknya dan Bi Iyah.


“Emang Bi Iyah sudah mau?” Ledekku.


“Monyeeet… pasti mau lah, secara aku ganteng begini. Kalau pun ia gak mau ya sudah nanti dipakai untuk melamar Sae saja.” Ledek baliknya. Kami pun tertawa, kecuali Sae. Ia meraih bungkus rokok milik Jaka dan menimpukkannya ke Ardan.


“Kamu mau nitip apa, Ja? Dan kamu Ga?”


“Jersey A7EP.” Jaka sigap menjawab.


“Kemeja buat kondangan ke kawinan Ardan.” Jawab Ega sambil tertawa.


“Kamu, Sa?” Aku memandang Sae sambil mengerling.


“Gak ada!” Ketusnya.


“Bener nih?”


“….”


“Beuuhhh…” Aku cengengesan melihat sikapnya.




Sampai segitunya kamu sekarang, Sa.




Ratna datang sambil membawa kopi, lalu duduk di sebelahku.




“Makasih, Rat.” Sambil memberinya senyum. “Kamu mau oleh-oleh apa dari Bandung?”




Ratna memandang Ega sebentar, lalu mendekatkan wajahnya dan membisik di telingaku. Aku hanya tertawa mendengarnya.




“Aa sendiri mau beli apa?” Ratna memandangku.


“Aku? Gak tahu, lihat nanti aja. Yang pasti aku mau beli HP buat kita semua, sehingga kalau komunikasi dengan pak haji dan Raka di Bandung bisa lebih mudah.” Jawabku.


“Serius Ja?” Ketiga sahabatku serentak.


“Iya lah.. tapi pake duit kas ya. Enak aja pake duitku sendiri.”


“Gapapa… setuju banget.” Ardan antusias.


“Emang di sini ada sinyal?” Sae bertanya sambil memandangku.


“Eheeem.. udah mau ngomong nih sekarang?” Aku menggodanya.


“Tau!!!” Ia melengos.


“Yeee… Dasar… Ya lihat saja nanti. Kalau ada ya syukur, kalau tidak ada ya sudah. Toh tidak ada ruginya juga.” Jawabku.




Kami pun ngobrol sambil bercanda tawa. ‘Aku akan sangat merindukan suasana ini ketika aku merantau nanti’ batinku. Menjelang magrib kami pun bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Sudah dua minggu ini tak ada lagi aktivitas antar dan jemput Sae. Ia selalu menghindar untuk berduaan denganku; dan sore ini ia malah meminta Jaka mengantarnya pulang.

Posting Komentar

0 Komentar