KETIKA SENJA PART 29


SAKITNYA SENJA, PUASNYA RATNA


“Kakek..” Teriak dua anak kecil yang berlarian di atas pematang. Sosok lelaki paruh baya menarik kekang di tangan, menghentikan kerbaunya yang sedang menarik garu. Ia berbalik ke arah datangnya suara. Senyumnya cerah di balik gurat-gurat wajah yang mulai mengeriput. Dua cucu kesayangannya berlarian mendekat, kemudian kaki-kaki mungil mereka nyemplung ke dalam lumpur sawah.


“Kakek, aku ingin naik garu.” Kata si bungsu yang baru berusia tiga setengah tahun. Dengan tawa-bangga ia mengangkat tubuh mungilnya lalu mendudukkannya di atas garu, di belakang si jalu. “Aku juga, kek.” Sang kakak meminta. “Iyah.. iyah.. kalian naik berdua.” Si kakek mengangkat cucu gadisnya. Ia mencium pipinya sebelum mendudukan di atas garu.


“Hush.. kiya..kiya…” Sang kakek kembali menyuruh si jalu maju sambil mengendalikan garu. Dua bocah kecil tertawa riang cekikikan karena wajah mereka seringkali terciprat air dari buntut si jalu dan wajah mereka sering terpecut ujung bulu-bulunya. Dua pasang mata mengamati dengan senang. Sang ayah menghentikan ayunan cangkulnya mengamati kedua anaknya yang sangat manja dengan sang kakek, lalu berpaling kepada sosok wanita yang sedang duduk di dalam saung. Mata mereka beradu dalam senyum bangga dan mesra.




Tiba-tiba gerimis turun, menderas dari kantung-kantung awan dan menjentik genangan air di permukaan sawah. Sang kakek mengangkat cucu sulungnya lalu mendudukan di atas pundaknya. Ia melangkah-menjauh ditelan turunan, sementara si bungsu dibiarkan duduk di atas garu yang tetap melaju.




“Kakeeeeek…” Si kecil menyadari kesendiriannya, lalu menangis panik. Bulat mata beningnya berkaca air mata. Ia mencari sang kakek dan kakaknya. Tubuhnya terjerembab ke dalam lumpur ketika ia loncat dari atas garu, tangisnya meledak.


“Kakeeeek… Hash hash….” Aku terbangun dari mimpiku. Keringat dan peluh mengucur, bajuku basah.


“Kamu sudah sadar, nak?” Suara lembut menegurku, seusap tangan membelai pipiku. Kubuka mataku yang terasa panas. Ibuku sedang memandang dan membelaiku; sorot matanya sedih dan khawatir. Di ujung dipan, Bu Rohmah sedang duduk sambil memijit kakiku.


“Ada apa ini, bu?” Aku menatap ibuku heran.


“Kamu sakit, Ja, badanmu meriang; dari tadi kamu mengigau terus. Untung ibu pulang cepat dari sawah karena ingat banyak cucian. Eh.. ibu malah menemukanmu tergeletak begini.” Jawabnya sambil membenarkan kompres di dahiku.




Aku berusaha bangkit, tapi badanku sangat lemah, sendi-sendiku terasa ngilu dan tulang punggung terasa sangat sakit. Badanku menggigil-dingin, meski suhu tubuhku begitu panas.




“Udah jangan banyak gerak dulu, nih ibu sudah siapkan bubur, makan dulu ya.” Aku membuka mulutku.


“Cuiiih… pahit, bu.” Aku hendak memuntahkan kembali makananku tapi ditahan oleh ibu.


“Sudah kamu paksakan saja biar cepat sembuh.” Kata ibu. Aku pun mencoba menelannya sambil menahan mual.


“Kemarin pulang dari desa jam berapa toh, Ja?” Bu Rohmah mengangkat suara.


“Menjelang maghrib, bu, kemarin kehujanan.” Aku terhempas tak berdaya di balik selimut.


“Makanya kamu meriang. Ya sudah ibu ke sawah dulu sebentar, mengantar makanan untuk bapakmu sekalian ngasih tahu kalau kamu sakit. Kamu ditemani Bu Rohmah dulu.” Kata ibuku sambil bangkit.


“Bu…”


“Kenapa, nak? Kamu ingin apa?”


“Peluk dulu.”


“Naha jadi ogoan kieu? Teu isin ku Bu Rohmah?” (kenapa jadi manja begini, apa kamu tidak malu oleh Bu Rohmah). Ibu Heran tanpa menolak permintaanku. Aku pun memeluknya erat.


“Udah ah, jangan manja, ini keburu siang, sudah jam sepuluh.” Kata ibu sambil melepaskan pelukkannya.


“Nitip Senja, ya bu.” Katanya ke Bu Rohmah sambil beranjak ke luar kamar.


“Mangga, kamu tenang saja biar aku yang merawat Senja.” Bu Rohmah bergeser dan melanjutkan tugas ibu menyuapiku.


“Bu, temani aku.” Aku menelan sendok terakhir buburku.


“Iya.. ini kan ibu temani, tidak akan ke mana-mana.”


“Peluk aku, bu.”




Bu Rohmah hanya diam, sambil membaringkan diri. Ia memelukku, memberi kehangatan pada tubuhku yang menggigil.




“Kamu tidur lagi, biar cepat sembuh.” Dikecupnya keningku. Aku sempat mendengar suara seseorang yang datang sebelum aku terlelap.








https://t.me/cerita_dewasaa








POV Bu Rohmah






Kupeluk tubunya dan kukecup keningnya. Badannya terlalu lemah, ia mungkin kelelahan karena hujan kemarin. Wajahnya menyiratkan sedang banyak masalah. Untung tadi Bu Rara, ibunya, datang ke rumah sebelum aku pergi melayat; kuurungkan niatku dan segera datang ke sini.




Kupandang dan kubelai wajah pucatnya penuh kasih sayang. Tak ada lagi desir rasa istimewa padanya, selain kasih sayang seorang ibu.




“Bu, bagaimana keadaannya?” Tiba-tiba seorang gadis muncul; wajahnya nampak khawatir.


“Ssst.. pelan-pelan ngomongnya. Sini duduk.” Kataku tanpa melepaskan pelukanku dari tubuh lemahnya. Ia duduk sambil meraba dahi Senja yang masih panas.


“Gimana ini, bu? Apa sakitnya tidak bahaya?” Ia memandangku.


“Nanti ibu buatkan jamu, paling lama juga tiga hari sudah sembuh kembali. Ini hanya demam biasa. Sinih kamu baring di samping ibu.”


“Saya tidak lama, bu. Mau ikut ke makam. Saya ke sini hanya untuk memastikan keadaannya saja.”


“Ya sudah sana. Jangan khawatir, Senja pasti baik-baik saja. Sampaikan salam ibu, maaf tidak bisa melayat. Beritahu juga Ega, Jaka dan Ardan kalau Senja sakit. Nanti malam sepulang tahlilan, suruh mereka ke sini.


“Baik bu. Saya permisi dulu.”


“Mangga.”




Aku membenarkan selimut Senja dan memeluknya kembali.




“Sae!” Dia mengigau lagi.




Kueratkan pelukanku. Pikiranku berkecamuk. Betapa besarnya rasa sayangmu kepada Sae, Ja. Ibu bangga padamu.




Lewat tengah hari, Bu Rara sudah kembali pulang.




“Bapaknya Senja ke mana?” Tanyaku.


“Bapak langsung ikut pemakaman, ia baru saya beritahu karena dari kemarin di sawah.”


“Ya sudah, kita gantian menjaga Senja. Saya mau membuat jamu dulu biar demamnya berkurang.”




Aku pun bergegas ke rumah untuk membuat jamu, di jalan aku berjumpa dengan ibu-ibu yang memakai kerudung tanda berkabung. Aku pun memberitahukan keadaan Senja kepada mereka, dan mohon ijin tidak bisa melayat.




Jam lima sore aku sudah kembali. Aku menyapa Pak Yana sebentar, ayah Senja, yang sedang duduk di bale-bale sambil merokok, mukanya nampak muram. Ya, hari ini semua warga sedang berkabung; ditambah lagi keadaan Senja yang sedang sakit.




Kulihat dua orang wanita sedang duduk di pinggiran tempat tidur. Bu Rara memijiti kaki Senja, sementara si gadis hanya terisak tanpa terpaling dari wajah pucat-pasinya. “Mendingan kamu segera pulang, nak, sebelum Senja bangun.” Aku mengingatkan.




Segera kuraih dan kupeluk erat tubuhnya, ketika kulihat ia hanya menggeleng.




“Kamu jangan takut, sayang. Senja akan baik-baik saja.” Kucium sayang kepalanya, lalu kugandeng memaksanya pulang.








https://t.me/cerita_dewasaa








POV Senja






Aku mengerang menahan rasa sakit di seluruh tubuhku. Lalu kubuka mataku. Ibuku dan Bu Rohmah duduk di tepi dipan; sementara Ega dan Ardan juga sudah datang dan duduk di lantai kamarku. Ada senyum di wajah-wajah mereka, meski tak mampu menyembunyikan kekhawatiran.




Aku memandang mereka satu per satu tanpa mampu menggerakkan tubuhku. “Sae tidak ke sini?” Tanyaku entah kepada siapa. Semua diam. Aku sangat mengharapkan jawaban, bahwa gadisku menjengukku, tapi tak satu pun yang menjawab.


“Sekarang kamu makan dulu, Ja. Setelah ini baru minum jamu.” Ibuku memecah kebisuan sambil meraih mangkuk bubur. Matanya tampak berkaca.




Bukan karena rasanya yang enak, kalau kemudian aku melahap bubur anyep yang disuapkan ibu, melainkan karena aku ingin segera sembuh dan bertemu Saeku. Kusantap bubur sampai habis lalu keteguk jamu pembuatan Bu Rohmah. Suasana tetap tenang, hanya suara jangkrik dan gemercik hujan yang kudengar. Hari nampaknya sudah malam.




Pikiranku melayang sebentar, mengingat mimpiku.




“Ibu dan Bu Rohmah tahu tentang kakek?” Desahku lemah, yang disambut sikap saling pandang kedua wanita yang kuhormati dan kucintai ini. Tiba-tiba ayahku masuk, mungkin karena mendengar aku sudah bangun.


“Bapak, tidak jaga sawah?” Heranku.


“Tidak, malam ini Jaka bersedia nungguin sawah kita.” Bapak duduk di lantai, sebelah Ega.


“Oh…” Tanggapku singkat. Lalu aku memandang kembali ibu dan Bu Rohmah.


“Pak? Bu Rohmah?” Ibu memandang bapak dan Bu Rohmah bergantian untuk meminta persetujuan, dan dijawab anggukan mereka berdua.


“Bapak saja yang cerita, ibu sedih…” Akhirnya ibu menyuruh bapak.


“Baiklah, Ja, kami kira sudah saatnya kamu tahu.” Bapak menarik nafas panjang.


“Kamu tidak ingat kalau kamu punya kakak, Ja?” Tanya ayah.




Aku diam untuk mengingat. Terlintas mimpiku tadi pagi ketika aku sedang bersama kakek dan seorang anak perempuan di sawah. Samar-samar aku juga mengingat kalau waktu kecilku kami selalu tidur berempat dengan bapak dan ibu. Tapi siapa yang satu lagi?




“Saya cuma ingat sedikit, pak. Aku bermimpi tentang masa kecilku dengan kakek di sawah; di situ juga ada anak perempuan. Terus seingatku, dulu kita selalu tidur berempat, tapi satu lagi saya tidak ingat.” Jawabku.


“Itu kakakmu, Ja. Namanya Hera, Herawati Prakasa.” Bapak kembali menghela nafas.


“Kamu juga punya uwa, kakak dari ibumu, yang dulu sama-sama tinggal di Sawer ini….”




Bapak bercerita bahwa aku punya uwa, yang bernama Uwa Warna dan Uwa Marni, mereka adalah warga kampung ini. Mereka berdua tidak mempunyai keturunan. Lalu ketika kakak berusia tiga tahun, lahirlah aku. Uwa sangat menyayangi kami berdua, dan karena kasihan kedua orangtuaku mengijinkan mereka untuk mengasuh kakak dan menyayangi layaknya anak sendiri. Meski begitu ayah dan ibu tidak merasa kehilangan karena kami bertetangga, dan kakak juga sering tidur di rumah, terserah maunya dia. Kakak juga tahu siapa orangtua kandung dan siapa orangtua angkatnya.




Suatu saat ada tawaran pemerintah untuk transmigrasi ke Sumatera dan uwa memutuskan untuk ikut dengan meminta ijin untuk membawa kakak. Tentu saja bapak dan ibu tidak setuju. Mereka sampai bertengkar karenanya. Tetapi kakek campur tangan. Ia malah menyetujui dan mendesak supaya kakak ikut uwa. Alasannya, menurut kakek, karena kakaklah yang akan membawa perubahan bagi kampung Sawer. Ia akan me-nyawer-kan kebaikan bagi kampung ini, berdua denganku.




Tak satu pun yang berani membantah kakek. Dengan berat hati mereka melepas kakak dibawa uwa ke Sumatera dengan derai air mata. Ibu sampai sakit berminggu-minggu dibuatnya. Tidak dinyana, baru dua tahun mereka transmigrasi berita duka datang ke kampung. Uwa meninggal karena kecelakaan kendaraan, sementara kakak konon selamat dan ada keluarga yang mengadopsi. Namun berita ini sangat simpang-siur, tidak jelas kebenarannya. Yang jelas sejak itu uwa tidak pernah pulang atau berkabar, dan mereka tidak pernah bertemu sampai sekarang.




“Gitu ceritanya, Ja.” Ayah berkaca, sementara ibu dan Bu Rohmah menangis berpelukan. Air mataku berlinang. Kedua sahabatku bergantian menepuk pundakku, untuk memberi ketegaran. Sejenak suasana kamarku menjadi pilu, tapi aku belum mampu menggerakkan tubuhku.


“Hubungannya dengan aku, apa pak?” Tanyaku akhirnya, sambil mengusap air mata.


“Kakekmu awalnya sangat terpukul dengan berita ini, Ja.” Kali ini ibu yang menjawab. Lalu ia melanjutkan, “Bertahun-tahun kemudian sebelum kakek meninggal, ia berpesan supaya kamu mencari kakakmu ke kota dan membawanya pulang. Kakek juga memberikan kalung yang sekarang kamu pakai, karena itu akan menjadi tanda bahwa kakek akan menjagamu selalu.”




Ibu memelukku, sementara ayah beranjak keluar. Aku yakin ia pergi untuk menyembunyikan tangisnya dari kami. Dalam pelukkan ibu, aku sempat berpikir tampaknya bapak dan ibu tidak tahu tentang rahasia antara kakek dan Bu Rohmah. Aku cuma menghela nafas.




Bukan Ardan namanya kalau ia tidak bisa mencairkan suasana. Karena kepolosannya yang dibuat-buat, suasana menjadi cair kembali. Kami kembali menjadi biasa dalam obrolan ringan dan diselingi candaan yang membuatku sejenak lupa pada rasa sakitku. Tapi kok Ardan tampak beda malam ini. Di balik candanya, ia menyimpan kesedihan yang ia sembunyikan. Bukan hanya dia, tapi semua tampaknya menyembunyikan sesuatu dariku. Semoga semua baik-baik saja.




“Kamu pikirkan kembali baik-baik, Ja, untuk mencari kakakmu. Ibu pulang dulu, besok ke sini lagi membawa jamu.” Bu Rohmah beranjak pamit. Aku hanya mengangguk dengan pikiran yang berkecamuk. Ia menciumku lalu pulang.


“Ga, Ar, kalian nginep di sini yah.” Aku meminta dua sahabatku, dan di-iya-kan mereka berdua. Ibu beranjak mengambil tikar dan bantal untuk mereka berdua.


“Ibu tidur di kamar saja. Saya ditemani mereka, tidak apa-apa.” Kataku.




Ibu hanya mengangguk-diam, mungkin masih sedih mengingat kakak yang entah bagaimana nasibnya.




Kami bertiga ngobrol ringan tentang pekerjaan kopi hari ini. Ardan menceritakan pekerjaanya hari ini dan kemarin. Ega menceritakan perjalanan kemarin ke desa. Aku hanya bisa mendengarkan lemah. Kini bukan hanya lemah fisik, tapi pikiranku buntu. Sae, aku kangen. Kenapa kamu tidak menengok aku, sayang? Apakah kamu masih marah? Teh Hera, di manakah dirimu berada?




Ardan melongok ke ruang tengah. “Aman.” Katanya.




Aku menengoknya, rupanya ia melihat situasi untuk merokok. Takut dimarahi ibu.




“Ga.. Sae tahu kalau aku sakit?” Dijawab anggukannya.


“Sudah jangan mikirin dia. Yang penting kamu sembuh dulu.” Ega tampak tidak berminat membicarakan Sae. Lalu ia menyulut rokok milik Ardan. Mereka sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Ah.. kenapa pula aku harus sakit.


“Ardan, kamu kenapa, nyet? Dari tadi kamu murung dan gelisah terus?” Aku mengalihkan pikiranku dari Sae. Ardan tersedak kaget, terbatuk karena asap rokoknya yang tertelan.


“Nggak nyet. Gak kenapa-napa. Sakit kamu aja yang membuat matamu rabun.” Elaknya.


“Ardan, hayangeun kawin, Ja. Teu sabar hayang lamaran, tapi ku aing teu meunang. Kudu ngadagoan waktuna heula (Ardan, pengen kawin, Ja. Sudah tidak sabar ingin lamaran, tapi kularang. Harus menunggu waktunya dulu).” Ega menjawab. Ardan makin batuk dan aku membalikan badan karena heran.


“Hah? Nu baleg, Ga? Jeung saha?” (Yang bener? Sama siapa?).


“Hahaha… bercanda atuh, nyet. Sudah-sudah… kalau lagi sakit, ya sakit aja. Nanti saja ceritanya kalau kamu sudah sembuh.” Ega tertawa.


“Kampret.”


“Terus Ratna gimana? Tumben kamu gak ngapel?” Aku mencoba memancing apakah Ega tahu kejadian kemarin atau tidak.


“Lah.. kenapa jadi aku? Sakit kok malah bawel? Ratna baik, tadi kami ketemuan kok.”


“He hehe. Siapa tahu, kalian juga mau pada kawin.” Lenguhku karena kepalaku kembali terasa pusing.


“Ja, jadi gimana rencanamu? Mengingat gadis itu ternyata kakakmu?” Ega kembali mengalihkan pembicaraan. Aku hanya diam. Sae adalah segalanya bagiku, tapi aku merasa tidak yakin apakah ia masih mau menerimaku mengingat kejadian kemarin dengan Ratna. Ditambah lagi, ternyata gadis itu adalah kakakku sendiri; mau tidak mau aku harus pergi untuk mencarinya. Kalau gadis itu bukan kakakku, aku masih bisa bertahan untuk tidak pergi; tapi kenyataannya berbeda, aku harus mencari kakak.




Aku diam pura-pura tidur. Kepalaku makin pusing dan tubuhku sangat dingin.




“Tuh geura nya.. si eta malah ka sare” (Tuh kan ya.. dianya malah tidur). Aku mendengar Ardan ngomel. “Sudah biarin saja, dia lagi sakit. Hayu kita juga tidur.” Ega menjawab.




Aku masih mendengar mereka ngobrol, tapi kuabaikan dengan pura-pura tidur. Dan memang aku terlelap sebentar.




Tengah malam aku terbangun karena ada sedikit keributan. Aku mendengar ada tangisan dari salah satu sahabatku, dan sedang berusaha ditenangkan. Aku tak sanggup menyimak karena mereka tidak saling berbicara, sementara aku sudah tak sanggup bergerak walau hanya sekedar untuk membalikkan tubuhku. Akhirnya semalaman aku tidak bisa tidur, selain karena demamku, juga karena aku memikirkan banyak kejanggalan hari ini.

Posting Komentar

0 Komentar