Dua hari kemudian…
POV Bu Inah:
Baru juga dua hari aku memutuskan hubungan dengan Jaka, aku sudah merindukannya kembali. Kini hidupku menjadi terasa kosong; ada yang hilang dari hati ini. Hatiku yang selalu berbunga kini berubah sepi; gairahku yang selalu terpuaskan kini hanya terbelenggu kerinduan. Biar bagaimana pun aku adalah wanita yang butuh kasih sayang dan kepuasan di ranjang, sementara bapaknya Ratna sudah tak mampu lagi mengimbangi gairahku yang menggebu-gebu.
Sesalku di depan Ratna dan Senja tidaklah palsu. Aku memang sangat menyesal, dan ikhlas memutuskan hubunganku dengan Jaka. Tapi biar bagaimana pun tubuhku masih terangsang dan meminta dipuaskan. Kini tak ada lagi yang bisa memuaskanku, sudah dua hari tubuhku tak ada yang menjamah. Dan aku rindu mengayuh nikmat sambil mengeluarkan kata-kata jorok yang merangsang gairah.
Kuhela nafasku sambil melirik anakku. Ratna nampak sudah tidur pulas. Tubuhku cukup lelah karena sepanjang sore sibuk membantu memasak untuk warga, menyiapkan makan malam seusai tahlilan hari ketiga. Tapi mataku sulit terpejam. Bayangan-bayangan kenikmatan bersama Jaka terus membayang. Aku merindukan penisnya yang besar dan panjang; aku rindu kata-kata jorok dan kasarnya; aku rindu aroma keringatnya. Bapaknya Ratna sedang menjaga sawah. Kalau tidak, aku pasti minta jatah, walaupun tidak akan sepuas jika bersetubuh dengan Jaka.
Pikiranku terus menerawang, mengenang petualangan kenikmatanku selama ini. Jaka adalah pemuda yang lembut dan penuh perhatian. Ia selalu memberi perhatian-perhatian kecil padaku. Meskipun ia sangat liar di ranjang dan kata-katanya jorok, namun ia adalah pemuda yang bisa memperlakukanku dengan lembut. Ia tidak pernah melecehkanku; bahkan ia sering mengalah menahan gairah ketika aku mencapai orgasme. Penisnya selain besar dan panjang, juga bisa bertahan lama. Setelah aku terhempas nikmat berkali-kali, ia baru akan muncrat bersama orgasme terakhirku; yang entah untuk keberapa kalinya.
Memikirkan Jaka membuat tubuhku meremang. Bintik keringat merembes di tepi dahiku, gairahku bangkit. Memekku terasa gatal dan lembab. Kutarik selimut untuk menutupi tubuhku, lalu kuusap-usap wajah dan leherku sambil membayangkan Jaka yang sedang mencumbuku. Seluruh pori dan bulu-bulu halusku meremang. Kugigit bibir bawahku agar tidak mendesah.
Mmmh… Jaka sayang Inah kangen. Kangen kontolmu, sayang. Pikiranku membayangkan tubuh telanjangnya, dan aku mulai ngomong jorok di dalam hati. Aku sudah tak tahan menahan nafsu. Aku jilati jariku-jariku tangan kananku seolah sedang mencecap bibir dan lidah Jaka; tangan kiri kupakai untuk meremas kedua payudaraku bergantian, putingku sudah sangat tegang dan memekku kian gatal.
“Ssssh… sayang.” Aku mendesah pelan. Tidak puas hanya menyentuh tubuhku dari balik baju, segera kupereteli kancing dasterku, kusibak di bawah selimut. Dan kuangkat kutangku. Aku makin gelisah ketika kupilin putingku dan kuremas payudara kebanggaanku. Isap sayang.. isap Inah tidak tahan. Oh sayang… Inah keenakan, terus sayang. Pikiranku makin liar dan jorok.
Dengan cepat kuangkat ujung dasterku sampai ke pinggang. Kuusap-usap selangkanganku. Oh sayang.. memek Inah enak.. terus sayang… Inah basah… oohhhh… Aku makin lupa diri. Tubuhku mengejang ketika jariku menyusup ke balik celana dalam dan mengobel bibir memekku. “Aaaaah..” Aku tak sanggup lagi menahan erangan. Memekku sudah sangat basah. Kucolok-colok lubangku dengan jari tengah, dan jempolku menggelitik klentitku. Uuuh… kontol.. kontol.. kontolmu enak sayang. Inah enak.. mmhhh… oh…. Kutekuk kedua lututku dan kubuka lebar sehingga selimutku tersingkap. Aku semakin lupa diri; lupa ada anakku di samping.
Kukocok memekku semakin cepat dan kuremas kedua payudaraku. Keringat mulai membasah. “Aaaaah… oooh… kontolmu enak sayang, mmmmh… oooh….” Aku tak tahan lagi menahan eraman dan desahan. Kini aku bukan hanya meracau dalam hati, tapi mulutku sendiri yang meracau. “Aaaaah… Inah bucaaat… Mmmmh… cepat sayang… bareeeeeng. Aaaaah.” Aku terpekik dan tubuhku kejang seiring cairan orgasmeku. “Hash..hash…oh nikmat sekali, Jakaku sayang.” Aku terkulai lemas tanpa mencabut jari dari memekku.
“Ibu??”
Aku terperanjat kaget. Ratna sudah duduk-bangun sambil memandang tubuh setengah telanjangku. Cepat aku tarik selimut, sialnya terhimpit tubuhku sendiri sehingga tidak bisa kututupkan seluruhnya. “Ibu ngapain?” Ratna heran.
“Hiks… hiks… maafkan ibu, nak.” Tiba-tiba sedihku mendesak.
Ratna melongo melihatku.
“Ibu kesepian, sayang. Hiks.. hiks…”
Kadung kepergok anakku sendiri, lalu aku menceritakan kesepianku selama ini. Di usiaku yang menginjak 42 tahun, nafsuku sedang besar-besarnya. Aku bukan hanya membutuhkan kasih sayang, tapi juga menginginkan puas-kenikmatan. Dan itu tidak didapatkan dari bapaknya Ratna.
Aku terus bercerita kepada Ratna sambil terisak.
“Karena itulah ibu selingkuh dengan Jaka, sayang. Hiks.. hiks.. Maafkan ibumu, nak. Ibu akan menepati janji untuk tidak melanjutkan lagi hubungan ibu dengan Jaka, dan ibu tidak akan selingkuh dengan siapapun. Tapi hiks.. hiks… ijinkan ibu seperti ini. Ijinkan ibu memuaskan diri sendiri.. hiiiiks…”
Ratna ikut menangis dan memelukku. “Maafkan Ratna juga bu. Ratna idak mengerti kesedihan ibu selama ini. Hiks.. hiks..” Kami larut dalam kesedihan dan tangisan masing-masing.
“Bu, emang enak banget yah?” Ratna bertanya dari atas dada telanjangku.
“Maksudmu, nak?”
“Itu.. eh anu.. hmmm… bersetubuh enak, ya bu?” Ratna takut-takut.
“Hush… kamu masih kecil, belum saatnya tahu, sayang.” Aku menjembel pipinya.
“Iiih.. aku kan udah gede, bu. Tiga bulan lagi kan aku berusia 17 tahun.”
“Iyaaah.. ibu tahu. Tapi bagi ibu, kamu tetaplah gadis kecilku.” Aku mengusap-usap rambutnya.
“Muaaach…” Ratna mencium pipiku manja.
“Bu..”
“Hmmm?”
“Ratna.. Ratna.. tapi ibu jangan marah ya?”
“Iyah.. Apa, sayang?”
“Janji?”
“Iya, ibu janji.”
“Anu… hmmm… waktu pulang dari desa, Ratna mencium bibir A Ega”. Ratna semakin membenamkan wajahnya.
Aku kaget mendengarnya, tapi bersikap setenang mungkin.
“Iiih.. kamu nakal sayang. Ega atau kamu yang mencium?”
“Ratna bu. Habisnya aku kesel.. A Ega gak semesra A Senja ke Teh Sae. A Ega pernah menciumku sih.., tapi hanya sebatas di dahi dan pipi. Ratna kan ingin merasakan bu..”
“Iiih kamu nakal ya. Masa perempuan yang mencium duluan.”
“Hihi… ibu gak marah, kan?”
“Nggak kok, wajar kalau kamu ingin tahu dan penasaran, sayang. Kamu sedang masa pertumbuhan.” Aku mencoba memakluminya, meskipun hatiku tidak setuju. Apalagi Ratna sendiri yang berinisiatif mencium.
“Emang bagaimana ceritanya, sayang?”
Ratna pun menceritakan perjalanan mereka ke desa, dan kemesraannya dengan Ega di saung. Sambil mengelus-elus pahaku, Ratna juga menceritakan kemesraan Senja dan Sae selama ini sehingga membuatnya iri.
“Anak ibu sudah nakal ya sekarang. Awas loh jangan sampai kebablasan.”
“Nggak kok bu… Ratna tidak akan mengecewakan ibu dan bapak.” Aku lega mendengarnya.
“Bu.. cerita donk bagaimana ibu dan A Jaka.”
“Husssh.. gak boleh, sayang. Tabu.”
“Aaaah.. ibu mah gitu daaaa. Kan Ratna sudah cerita pengalaman Ratna, masa ibu sendiri tidak mau cerita. Ratna janji gak akan marah.. kan ibu sudah janji tidak akan mengulanginya.” Ratna merajuk.
Aku berusaha untuk menghindar, tetapi Ratna memaksaku. Akhirnya aku ceritakan semua pengalamanku dengan Jaka, sejak pergumulan pertama sampai pergumulan lainnya di rumah, di kebun, dan di saung sawah.
Tanpa sadar, dengan menceritakan kembali petualangan seksku selama ini, tubuhku kembali meremang dan sedikit bergairah. Ditambah lagi Ratna terus mengelus perut dan pahaku. Aku tahu Ratna tidak bermaksud apapun, karena biasanya juga begitu. Tapi kali ini tubuhku tidak tertutup pakaian.
“Ibu nakaaaal…hihi…” Goda Ratna di akhir ceritaku. “Jadi kalau Ratna nakal, itu karena warisan ibu… Hihi…” Kami pun tertawa bersama mengenang semua kekonyolan ini.
“Bu, kok mendengar cerita ibu, tubuh Ratna jadi geli semua ya?” Ratna bertanya polos. Aku sedikit terkejut. Bukan hanya anakku yang merasakannya, tapi tubuhku juga. Kami saling berdiam, sambil memejamkan mata. Sejenak aku terbuai oleh elusan tangan anakku. Bayangan Jaka kembali muncul. Untung aku disadarkan panggilan Ratna.
“Bu.. “ Panggilnya.
“Mau nggak ibu ngajari Ratna?”
“Heeh? Ngajari apa, sayang?” Aku heran.
“Ng.. nga.. ngajari ciuman.” Aku kaget mendengarnya.
“Hush… gak boleh sayang. Itu tabu…” Aku mencegahnya.
“Atulah bu.. sekaliiii aja. Ratna kan penasaran, soalnya waktu Ratna mencium A Ega kan cepat-cepat.”
Ratna makin mendesakku, membuatku gamang. Aku tak punya pikiran mesum apapun, ketika akhirnya aku meng-iya-kan dengan berat hati. Ratna girang mendengarnya. Tiba-tiba ia menempelkan bibirnya di bibirku.
Aku kaget karena belum siap mendapat ciumannya yang tidak terduga. Bibir kami menempel kaku, tubuhku seperti tersengat listrik. Lalu Ratna mengangkat kembali wajahnya, ekspresinya bingung. “Kok biasa aja, ya bu?” Polosnya.
“Iya pasti biasa saja rasanya. Kan kamu melakukannya dengan ibu, bukan dengan pacarmu. Lagian kalau ciuman bukan hanya menempelkan bibir tapi juga harus saling mengulum dan menjulurkan lidah.” Aku kaget sendiri dengan penjelasanku. Ah.. bodohnya aku.
“Ohhh… coba yah bu.”
Tiba-tiba Ratna dengan polos kembali menempelkan bibirnya. Ia mencoba mencecap dan mengemut bibirku. Spontan aku membalasnya dan kami saling mengulum dengan lembut. Aku terbuai.. aku terangsang.. aku melupa. Kuhisap bibir Ratna, dan anakku hanya mengikuti apa yang kulakukan. Mungkin pikirnya karena aku sedang mengajarinya, padahal aku melakukannya karena terbuai.
Bibir anakku sangat lembut dan basah. Mmmmh… aku melenguh. Kumasukkan lidahku melalui celah bibir anakku. Ratna yang semula tetap merapatkan bibirnya, lama-kelamaan mulai membukanya. Lidahku menerobos masuk dan ujungnya saling bersentuhan; membuat tubuh kami bergetar.
Aku benar-benar lupa diri. Di bayanganku, aku malah merasakan sedang berciuman dengan Jaka. Lidahku liar menyusuri rongga mulut anakku, dan lidah kami saling membelit dan menghisap. Ratna, yang juga sudah terbuai, belajar dengan cepat.
“Mmmhhh… shhhh… mmmh…” Kami saling melenguh. Aku merasa kehabisan nafas, maka kulepaskan ciuman kami untuk menghirup udara. Namun ini membuatku sadar.
“Haaashh… hasssh…. cukup, sayang. Kita sudah berlebihan.” Aku tersengal karena kaget sekaligus tersengal menahan nafsuku yang dihentikan. Ratna juga tersengal, matanya sayu.
“Hassh…hasss.. enak banget, bu.” Hmmmmffff… Ratna kembali melumat bibirku. Bukan karena lupa kalau sekarang aku membalas ciuman anakku dengan lebih liar. Bukan karena tidak sadar aku sedang mencumbu anak perempuanku. Bukan karena merasa tidak tabu kalau aku mendesah. Tapi karena terlalu nikmat. Semua kesepian dan kerinduanku pada persetubuhan selama ini, membuatku merasa terlalu sayang melepaskan semua kenikmatan ini.
Sikap binal dan nakalku yang selalu kuredam dan kusembunyikan, kembali mencuat ke permukaan. Bahkan nafsuku meluap berkali-kali lipat ketika aku menyadari sedang mencumbu anakku sendiri. Tak kalah nikmat dengan cumbuan seorang pria. Jangan salahkan aku jika aku begitu bernafsu. Kau boleh menggugat, tapi jangan cegat perjalananku menuju puncak.
Aku balikkan tubuh anakku dan kutindih dari atas. Kini bukan hanya bibir dan lidah yang saling merangsang, tetapi juga tanganku mulai menjelajah. Desahan anakku membuatku semakin bernafsu. Kuremas kedua payudara ranumnya, membuat Ratna menjerit dan ciuman kami terlepas.
“Sudah terlanjur sayang.. ibu ajari kenikmatan yang lebih memuaskan.” Nafasku tersengal sambil melepaskan kancing daster anakku. Ratna yang nampaknya sudah diliputi nafsu dan terbuai kenikmatan bercinta hanya menuruti kemauanku.
“Buka semua, sayang.” Aku tak sabar. Aku melepaskan semua pakaianku sampai bugil, begitu juga Ratna. Hmmmmf. Aku menubruk tubuh polos anakku. Kulumat bibir dan mulutnya. Kami terlibat ciuman panas.
“Ooooh… enak bu. Mmmmng… aaaahh… enak.. Ratna enak, bu.”
“Jangan panggil aku ibu, sayang.. ooooh… panggil Inah, sayang… mmmhh… aaah… Inah enak sayang.” Kami saling lupa daratan.
“Iyaaah.. oooh Inaaah… Ratna enak…” Mendengar racauan nakal anakku, aku makin kalap. Kuciumi seluruh wajahnya, lehernya, dan kedua payudaranya. Kutumpangkan memekku di atas paha anakku dan kugesek-gesek liar.. sambil mengemut puting imut anakku.
“Aaahh… memek aing. Inah enak sayaaang… oooh…” Memekku basah kuyup.
“Remas susu ibu, sayang. Ooooh…”
Ratna meraih kedua susuku, aku memekik nikmat. Naluri kami terbangun dari selimut tabu, kami saling menjilat, meremas, memilin, menghisap. Kami berisik, kami asik-memekik. Kami mendesah, kami merangsek menjemput nikmat.
Tiba-tiba aku terpikat pada memek anakku yang tembem-mungil dengan bulu-bulu halus yang basah. Aku ingat Jaka yang selalu menjilati memekku dan membuatku bucat. Aku ingin mencobanya, aku ingin menjilati memek anakku. Kubelah bibir memeknya, mataku nanar melihat ranum-merahnya. Srrrruuuffff… “Inaaaaah…. aaaah…” Ratna menjambak rambutku. Jeritnya membuatku makin bergairah. Kutelusuri bibir memek anakku. Cuuuup.. kukecup dan kuemut klitorisnya. Tubuh Ratna mengejang.. kakinya menendang-nendang. Cairan basah dan kental mengalir, dan langsung kuseruput. Anakku sudah merasakan nikmatnya orgasme.
Aku bangkit dan kupeluk anakku yang terengah. Payudara kami saling menghimpit. Kuciumi dan kuelus wajahnya. “Haaashh.. hasssh… enak banget, bu.”
“Inah, sayang. Aku Inah.”
“Iyaah oh.. Inah…”
“Gantian sayang, lakukan seperti yang barusan Inah lakukan di tubuhmu.” Aku memohonnya.
Kubalikkan tubuhku sambil merangkul anakku. Kini ia di atas. Kami berciuman. Lalu Ratna menciumi wajahku dan merambat turun. Ia melakukan persis yang kulakukan tadi. Aku menjerit ketika ia menghisap putingku.
“Oooohhh… enak sayang… Inah… Inah enak… kamu pinter, sayang.” Aku meracau. Tubuhku menggelinjang sambil menjabak rambut anakku.
“Memek sayang… ciumi memek Inah… aaaah… cepaaat… memek Inah gatal.”
Ratna beringsut turun. Mataku mendelik dan mulutku menganga, ketika lidah Ratna mencucuk memekku yang sangat basah. Kenikmatan ini.. ah kenikmatan yang selalu kurindukan.
Ratna menjilati memekku dengan bernafsu, meski masih terasa kaku tapi tak membuatku malu atau ragu untuk mendesah.
“Colok sayang… colok memek Inah pake jarimu.” Aku kembali mengarahkan dan memohon.
Cleeep… “Aaaaah… memek oh memek…” Aku meracau. “Kocok sayang… iyah gitu aaah.. kocok yang keras.”
“Aaaah… Memek.. bucaaaat.” Aku orgasme. Tubuhku menghentak, lalu terkulai lemas.
Ratna yang sangat bernafsu tidak mengerti lelah-kepuasanku. Ia menindih tubuhku, tubuhnya menggesek dan menggoyang. Paha kami saling menjepit, bibir kemaluan kami saling menggesek, payudara kami membaur. Aku hanya bisa pasrah.
“Inah.. memek Ratna pengen dicolok seperti Inah…” Desah anakku.
“Jang.. hash.. hash.. jangan sayang. Kamu masih perawan.” Aku mengingatkan.
Kulawan lelahku, dan kulayani gerakkan anakku. Aku harus segera memberinya kepuasan kedua untuk menggantikan kekecewaannya karena aku menolak permintaan mencolok memeknya.
“Memeeeek…” Kami mendesah bersamaan.
Lalu kubalikkan tubuh kami. Kami miring berpelukan. Belahan memek kami saling menggesek di paha lawan membuat klentit kami tersentuh kulit paha dan menggeli nikmat. Kami makin liar dengan keringat bercucuran.
“Hayu Inah… aaaah… memek Ratna enak…”
“Iyah sayaaang. Aaaah…Inah bucaaaat.”
Seeerrrr… seeeerrrrr…cruuut…
Memekku meledakkan cairannya, bersamaan dengan anakku. Tubuh kami saling menghentak, tangan kami saling mencakar. Kami limbung. Menghentak dan terhempas. Gelap-tenang…
Tik tok tik tok.
Aku sadar. Air mataku meleleh. Kenikmatan berlalu, namun sesal bertalu-talu. Aku terisak, aku menangis. Ratna menggeliat mendengar tangisku. Entah apa yang ia rasakan, namun ia ikut menangis bersamaku.
“Maafkan ibu, sayang. Hiks.. hiks…”
“Ratna juga minta maaf, bu. Hiks.. hiks..”
Kami larut dalam kesedihan.
“Bu, maafkan Ratna ya. Waktu itu Ratna membentak dan memaki, ibu. Sekarang Ratna tahu mengapa ibu begitu. Ternyata sangat enak, bu.” Anakku memecah kesunyian di antara kami. Aku memeluknya erat.
“Maafkan ibu, nak. Ibu tak bisa menguasai diri kalau sedang bercinta.”
“Iya bu. Ibu jangan minta maaf lagi. Ratna tidak menyesal kok. Ratna senang merasakan kenikmatan ini.”
“Iya sayang. Tapi ingat jangan kamu lakukan dengan pacarmu sebelum ia menjadi suamimu. Kamu harus jaga keperawananmu.”
“Iya bu. Tapi kalau kepingin, aku minta ibu yah.”
“Tuh kaaan.. jadi ketagihan.”
Kami pun cekikikan, lalu terlelap.
Paginya kami masih melakukan sekali lagi, sebelum bangun dan berbenah rumah. Badanku terasa ringan, dan hatiku riang. Pengalaman baru telah kurasakan, dan malam-malamku tidak akan sepi lagi.
0 Komentar