POV Bu Inah
Maafkan ibu, sayangku. Ibu telah membuat kamu kecewa, saat ini hati ibu sangat perih melihat kemarahan, kekecewaan, dan kesedihanmu. Ibu rela, nak. Ibu rela kamu marahi, sayang. Ibu memang salah selama ini. Maafkan ibu yang selama ini terbuai oleh nafsu. Sejak bapakmu tak mampu memberi kepuasan lagi, ibu sangat kecewa padahal ibu sedang butuh-butuhnya kasih sayang dan puas-kenikmatan.
Andai kau tahu, nak, ibu sangat kesepian. Malam-malam ibu selalu dirundung sepi meski bapakmu selalu di samping ibu. Tidur ibu selalu diganggu resah karena rangsangan yang tak terpuaskan. Ibu juga tidak mau, nak. Sama sekali tidak mau. Tapi nafsu ibu sangat menggebu, di luar kemauan ibu sendiri.
Andai kautahu, nak, ibu sampai lupa pada status dan harga diri ibu, ketika ibu dengan nakal menggoda Mang Oyeh dan akhirnya kami selingkuh. Kamu benar, nak, ibumu ini binal dan nakal; ibu kesepian, sayang. Ampuni ibu, yang tidak bisa mengungkapkan semuanya ini. Ibu tidak ingin hatimu semakin terluka, dan kamu membenci ibu.
Sampai akhirnya, Jaka muncul dalam hidup ibumu ini. Dahaga ibu selalu terpuaskan. Ibu bukan hanya memperoleh kasih sayang, tapi juga kepuasan yang selama ini selalu ibu impikan; kepuasan yang bahkan tak pernah ibu dapatkan dari bapakmu. Maafkan ibu, anakku sayang.
Senja sepenuhnya benar. Ia tidak berbohong. Ibu sudah lebih dahulu tahu dari pengakuan Jaka, seusai kami bergumul di saung kebun kita. Kau tahu, nak? Ibu tidak marah ketika Jaka menceritakan semua itu; tidak anakku. Ibu bahagia atas rencana yang mereka buat, karena dengan itu dahaga ibu terpuaskan. Tapi kini, Senja seolah membebankan semua salah pada dirinya sendiri. Ia sedang membela ibumu dan Jaka, sahabatmu. Maafkan juga Senja, nak. Entah kenapa ibu kini hanya menuruti kemauan Senja, sorot matanya membuat ibu gentar, sayang.
Maafkan ibu, sayang. Kini biar ibu mengikuti alur-kemauan Senja. Ibu tak bisa berbuat apa-apa, selain meminta ampunmu. Maafkan ibu karena tidak bisa menjadi panutan dan menjadi seorang ibu yang baik untukmu. Ibu sangat menyayangimu.
POV Jaka
Maafkan aku, Ratna. Ibumu terlalu nikmat untuk dilepaskan. Kami sudah berulangkali mengayuh nikmat, tanpa sedikit pun ada niatan untuk mengakhiri. Kau boleh marah, tapi aku tak rela kamu memarahi ibumu, dan sekarang mencaci maki Senja, sahabatku. Tolong hentikan, Rat. Ini bukan karena Senja. Semua karena aku yang sudah membuat ibumu binal, aku yang membuatnya begitu agar ia tidak meninggalkanku dan mengakhiri petulangan nikmat kami.
Tadi kamu menghentikan pergumulan kami yang hampir meraih puncak. Aaah.. tanggung banget Rat. Belum lagi tubuhmu itu, kenapa kini selalu terbayang di benakku. Kenapa kamu telanjang? Apakah tadi kamu ikut terangsang? Andai kautahu nikmatnya bercinta, Rat, mungkin kamu tidak akan semarah ini. Ah.. seandainya tubuhmu itu boleh kukecap dan kunikmati seperti ibumu. Gara-gara kamu yang datang di waktu yang tidak tepat, aku harus mengakhiri semuanya ini atas permintaannya sekepergianmu. Kamu mau menggantikan ibumu, Rat? Kamu tidak akan menyesal karena kepuasannya tak tergantikan oleh apapun. Aaah… kalau bukan karena Ega dan Senja, aku akan mengejarmu dan mengajarimu bagaimana saling memuaskan.
Hadeuh… kenapa lagi sekarang aku tak berdaya di hadapan Senja? Pengaruhnya terlalu kuat. Maafkan aku, sahabatku, gara-gara aku, kini kamu menjatuhkan harga dirimu sendiri di hadapan Ratna. Sialan kau, kawan. Kenapa aku tak punya nyali saat ini?
https://t.me/cerita_dewasaa
“Maafkan ibumu, sayang. Ini semua salah ibu, bukan karena Nak Senja atau Jaka.” Isak Bu Inah menyadarkan lamunanku. Aku sempat menerawang untuk mendengar isi hati Bu Inah dan aku cukup mengerti. Sayangnya, aku tidak tahu apa isi kepala Jaka. Rupanya Ratna pun sudah reda dari amarahnya.
“Bukan, Rat. Semuanya gara-gara aku. Senja dan ibumu tidak salah.” Jaka untuk pertama kalinya akhirnya bersuara.
“SUDAH!” Aku membentak. “Maaf,” seketika aku sadar telah membentak mereka, terutama Bu Inah, sehingga membuat mereka diam. “Ini salah. Benar-benar salah. Dan seperti yang sudah kuceritakan, biangnya adalah aku. Kalian tidak perlu saling menyalahkan.” Lanjutku.
“Sekarang kita dengarkan Ibu RT, yang lain tidak boleh ada yang menyanggah sampai ibu selesai.” Tegasku. “Silakan, bu.”
“Hiks… hiks… Ibu tidak bisa menjelaskan apa-apa lagi, nak. Apa yang Ratna lihat tadi, itulah kesalahan ibu, dan kamu sudah tahu. Ibu mengaku salah.. Maafkan ibu yang tidak bisa menjadi panutan dan menjadi ibu yang baik bagimu. Hiks.. hiks..” Bu Inah menghentikan ucapannya karena tak bisa menahan tangis. Kami diam menunggu.
“Ibu salah, nak. Ibu telah melukai hatimu.” Akhirnya Bu Inah bisa menguasai diri. “Ibu siap menanggung kebencianmu seumur hidup ibu.. Hiks.. hiks.. Ibu siap, sayang. Tapi tolong jangan pernah meninggalkan ibu dan bapakmu. Ibu sangat sayang kamu, anakku. Ibu….”
Belum juga Bu Inah melanjutkan ucapannya, Ratna sudah menubruk dan memeluknya. Mereka berpelukan dalam isak tangis yang mengharukan, sekaligus membuat sesak di dadaku. Dengan derai air mata, Bu Inah menciumi kepala dan wajah anaknya.
“Hiks… hiks… Maafkan Ratna, bu. Ratna telah memarahi dan mencaci-maki ibu. Ratna berdosa pada ibu. Hiks… hiks…”
“Tidak, sayang. Ibu yang berdosa padamu. Hiks… hiks… Ibu yang minta maaf, sayang.”
Sungguh sebuah pemandangan yang mengharukan melihat tangisan pilu mereka berdua; saling melepas luka dalam derai air mata, sekaligus berucap meminta dan memberi maaf. Kasih sayang ibu dan anak melampaui kecewa dan luka di hati masing-masing. Tanpa sadar mataku berkaca menahan haru.
Setelah mereka reda dan tenang dalam pelukan yang saling memberi rasa sayang dan maaf, aku menoleh ke Jaka. “Ka, sekarang giliranmu.” Kataku tegas.
Jaka menarik nafas beberapa kali.
“Ak.. aku.. minta maaf pada ibu, Ratna, dan juga Senja. Terutama kepada Ratna aku minta maaf. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi; apa yang Ratna lihat itulah yang terjadi. Apa yang Senja katakan memang benar, tapi tidak adil kalau semua kesalahan ditimpakan kepadanya, juga kepada Bu RT. Aku sendiri yang terlena, dan membuat Bu RT tidak bisa terlepas dari jeratku.” Suara Jaka sedikit bergetar.
“Aku berjanji tidak akan mengulanginya; tadi sebelum menyusul ke sini, aku dan Bu RT sudah sepakat untuk mengakhiri semua ini. Kini aku sedikit bersyukur. Bukan karena kesalahan yang telah kami perbuat, kalau akhirnya aku bersyukur; tapi aku bersyukur karena Ratna memergoki kami. Karena dengan ini kami menjadi sadar dan menyesal. Kalau tidak ketahuan, entah sampai kapan kami akan terus seperti ini. Maafkan aku, Ratna.”
Aku menghela nafas. Kupandang Bu Inah dan Ratna satu per satu. Mereka tampak sudah tenang. Ada rasa bangga pada Jaka. Nampaknya peristiwa ini membuatnya lebih dewasa; bukan hanya dia, tapi kami semua.
“Ratna, ibu dan Jaka sudah mengakui kesalahan mereka. Aku juga mengakui salah. Sekarang semuanya terserah padamu.” Aku memandang Ratna.
“Aku.. aku memaafkan ibu dan Jaka, dengan syarat mereka harus menghentikan semuanya.” Kami mengangguk bersama. “Tapi kalau sampai terulang, aku tak akan segan untuk menceritakan kepada bapak, dan aku akan pergi meninggalkan kalian semua.”
Ada linang air mata di antara kami semua.
“Terima kasih, sayang.” Bu Inah mencium putrinya dan memeluknya erat.
“Terima kasih, Rat. Makasih banyak.” Kata Jaka.
“Terima kasih atas keluasan hatimu, Rat.” Kataku.
Aku dan Jaka pun menyalami Bu Inah dan Ratna.
“Urusan kita sudah selesai, tapi belum dengan A Senja. Aku baru bisa memaafkan A Senja sepenuhnya dengan satu syarat.” Kata Ratna. Kami bertiga tidak bisa menyembunyikan rasa kaget. Jantungku berdetak kencang. Kelegaan yang baru saja kurasakan seketika hilang sirna, dadaku kembali sesak.
“Apa syaratnya, Rat?” Tanyaku sambil berusaha menyembunyikan ketakutan.
“Aku sampaikan besok. Aku tidak mau ibu dan A Jaka tahu.” Jawabnya pelan.
Aku hanya bisa menghela nafas.
“Aku lapar,” Ratna nampak menangkap ketegangan kami dan berusaha mencairkan suasana.
Tapi Ratna memang benar, aku pun merasakan hal yang sama. Waktu sudah lewat jam sepuluh malam, dan kami belum makan sejak pulang dari desa tadi. Aku menjadi teringat pada Sae dan makanan yang kini berserakan di dapur.
Suasana menjadi cair kembali. Semuanya tampak lega dan lepas dari beban, kecuali aku karena mengkhawatirkan Sae dan dirundung rasa penasaran atas syarat yang akan diberikan Ratna. “Jaka, antar Bu RT dan Ratna pulang,” kataku kepada Jaka. Dan kami pun mengakhiri hari yang sangat melelahkan ini.
Sae, apakah kamu baik-baik saja, sayang? Aku rebah di kasurku. Semua hilang berlalu dalam lelap-lelahku.
0 Komentar