KETIKA SENJA PART 20

 

Sore ini semua warga sudah pulang dari kebun dan sawah masing-masing. Jam setengah empat sore kami berkumpul di rumah Abah Barja. Kenapa di rumahnya? Ya. Karena rumah dia adalah yang paling besar di kampung ini. Aku pikir ke depannya aku harus membangun pendopo untuk kegiatan seperti ini.




Total ada 17 orang yang berkumpul. Kebanyakan bapak-bapak; hadir juga kedua orang tua kami masing-masing. Mak Salma dibantu Bu Inah, Bi Iyah dan Ratna menyiapkan kopi dan makanan ringan di dapur. Pak RT duduk di bagian dalam, dekat pintu dapur, di sebelahnya sudah duduk juga Pak Ikin.




Kami berempat dan Sae duduk di dekat pintu masuk, berseberangan dengan Pak RT. Asap tembakau bapak-bapak dan DJ sahabat-sahabatku mulai mengepul. Itulah sebabnya kami memilih duduk dekat pintu, agar Sae tidak terlalu terganggu.




Bu Inah dan Ratna masuk membaka nampan yang berisi cangkir-cangkir kopi dan mengedarkannya. Dari sudut mataku aku melihat Bu Inah memelototi suaminya, sambil menaruh cangkir di hadapannya. Pak RT hanya menarik nafas.




"Wilujeng sonten para wargi sadaya..(Selamat sore para warga semua),” Pak RT membuka dan memberi pengantar pada maksud pertemuan ini. Ia menjelaskan bahwa maksud pertemuan ini adalah untuk membicarakan panen kopi sebagai produk unggulan di kampung kami. Karena itu, pemuda di kampung ini (maksudnya kami) punya rencana dan cita-cita untuk kita semua. Sambutan Pak RT ditanggapi anggukkan warga tanda mengerti, karena mereka sendiri sudah tahu usaha kopi yang sedang kami rintis.


"Mangga atuh, jang. Saha anu bade ngawitan (Silakan, nak, siapa yang akan memulai?)” Pak RT mengakhiri sambutannya dan mempersilakan kami untuk berbicara.




Ega mematikan DJ-nya dan membuang puntungnya melalui celah papan lantai yang bolong di depannya. Ia tampak tenang meski harus berbicara di hadapan para orang tua. Itulah yang kukagumi dari dia. Ia memiliki kharisma seorang pemimpin.




“Sebelumnya saya dan teman-teman mohon maaf atas kelancangan kami terhadap para sesepuh dan bapak-ibu semua. Maksud kami adalah untuk membantu kesejahteraan warga kampung Sawer ini, tak ada maksud lain…”




Ega berbicara panjang lebar tentang rencana kami dan apa yang sudah kumulai. Ega juga menunjukkan bukti tentang jumlah uang yang kami terima dari penjualan pertama. Aku paham, Ega perlu menyampaikannya karena inilah yang paling mudah dimengerti oleh warga dan bisa menarik minat mereka. Ega juga tidak melarang warga yang mau menjual kopi mereka langsung ke pak haji karena harganya sama (sebelumnya kami sudah sepakat dengan pak haji, kalau ia hanya akan menghargai kopi yang dijual langsung oleh warga sebesar 15.000, bukan 17.500). Terdengar Ega juga meminta maaf kepada Pak Ikin.




Selebihnya aku sudah tidak fokus lagi pada apa yang Ega sampaikan. Pikiranku menerawang pada kedua orang yang ada di hadapanku.




Aku bisa merasakan kegelisahan Pak RT. Hatinya bimbang. Ia takut pada istrinya, tetapi juga sungkan pada kakaknya. Ia juga mencoba menghitung-hitung untung-rugi penghasilan jika ia menjual kopi kepada kami dengan keuntungan dari kong kalingkong dengan kakaknya. Ia mengakui kalau semua warga hanya menjual kopi ke kami maka pendapatannya akan berkurang karena hanya mengandalkan penjualan kopinya sendiri tanpa mendapat pemasukkan tambahan dari kakaknya. Namun perasaan takut pada istrinya jauh lebih kuat. Aku tersenyum dalam hati dan segera menyiapkan segala kemungkinan sanggahan dan jawaban.




Dalam diri Pak Ikin aku bisa merasakan adanya kemarahan terhadap kami. Muncul beberapa rencana jahat dalam dirinya untuk menyingkirkan kami, tapi kemudian perlahan hilang lagi. Aku harus waspada dengan yang satu ini. Aku tak perlu siaga untuk sekarang, tapi untuk masa mendatang. Yang penting aku sudah menangkap rencananya. Di sisi lain, ia juga merasa bahwa ia takut kalau kebohongannya terbongkar. Ia takut menjadi bulan-bulanan warga. Aku menahan senyum sambil menyeruput kopi.




Setelah Ega selesai dengan penjelasan panjang lebarnya, kini giliran Sae yang berbicara. Ia menyampaikan soal pengembangan pertanian, bukan hanya kopi tapi juga beras organik, kapol, cengkih, dan emping. Juga menyampaikan usulan yang disampaikan Ratna di markas kami. Tapi aku tidak fokus pada apa yang disampaikan oleh Sae, melainkan terpesona oleh keanggunan dan kedewasaannya. Itu membuat gadisku terlihat tampak lebih cantik. Sebagai gadis kampung, ia sangat luar biasa melampaui usia mudanya yang belum genap 18 tahun.




Sepintas aku melihat Jaka dan Ardan yang lebih banyak diam. Bukannya menyimak, mereka malah lebih asik berpandang-pandangan dengan ‘kekasih’ mereka masing-masing yang duduk di ambang pintu dapur. Tadinya aku mau menegur, tapi urung. Toh aku pun sekarang malah lebih fokus ke Sae.




Aku sedikit terkejut ketika Sae mencolek lenganku. Rupanya ia telah selesai.




Diskusi pun mulai ramai, panjang, dan alot. Tapi dengan modal kemampuanku, aku bisa menjawab semua pertanyaan dan sanggahan dengan tepat. Aku merasakan adanya keheranan dalam diri Pak RT dan Pak Ikin, tapi aku seolah polos ketika harus memberi penjelasan-penjelasan tambahan. Isi hati mereka tentu saja aku sentil, seolah hanya kebetulan semata.




Menjelang magrib, aku dan sahabat-sahabatku bernafas lega. Demikian juga warga. Kesepakatan sudah dibuat, dan aku berhasil ‘menyerang’ sekaligus ‘membela’ Pak Ikin.






Kesepakatannya adalah




Warga siap menjual kopi kelas satu kepada kami, sementara kopi kelas dua dijual ke Pak Ikin seharga 10.700/kg.




Warga yang sudah telanjur menerima uang panjar kopi basah dari Pak Ikin tetap akan menjual kepadanya, tetapi dengan harga yang lebih pantas yaitu 5.700/kg. Ia akan membayar kekurangannya.




Pak Ikin juga mau membeli kapol dan emping warga dengan harga pantas, yang angkanya akan ditentukan kemudian karena harga pasar saat ini belum stabil. Ia juga siap menampung keripik hasil warga, dan menawarkan untuk belajar kepada istrinya yang adalah pembuat keripik dan sudah punya pasar di kota kabupaten.




Untuk cengkih dan beras organik, Pak Ikin tidak bersedia menampung karena ia tidak punya kolega di pasaran. Kelompok kami bertugas melobi kepada Haji Sosmed.




Untuk menghindari penyelewengan, semua bentuk produksi warga akan dijual melalui aku dan sahabat-sahabatku. Tidak langsung kepada Pak Ikin.




Ratna dan Sae akan belajar membuat keripik ke istrinya Pak Ikin, lalu mengajari ibu-ibu di kampung Sawer.​








Jangan ditanya soal Mang Oyes. Ia bisa bekerja pada kami dan Pak Ikin sekaligus. Toh tidak setiap hari juga. Sialan si Ardan, ia mendapat untung banyak. Padahal tanpa mendekati Bi Iyah pun, ternyata Mang Oyes bukan orang yang sulit. Ia hanya mendasarkan keputusannya pada perasaan sungkan dan tidak enak. Dasarnya ia adalah orang yang sangat baik.




Setelah ngobrol-ngobrol ringan sambil menghabiskan kopi dan cemilan masing-masing, kami pun bubar. Ada senyum bangga di wajah kedua orangtua kami masing-masing. Aku lebih bangga lagi di depan kedua orang tua Sae. Senja ini kami semua pulang dengan harapan baru.




Jaka dan Ardan langsung pulang karena harus memberi makan kambing; malam ini kami tidak akan ngumpul mengingat mereka harus tidur cepat karena besok pagi-pagi mau mengantar kopi ke toko pak haji. Mereka juga punya tugas untuk menyampaikan keputusan kami sore ini.




Aku, Ega, Sae dan Ratna menuju ke rumag Ratna dan duduk di bale-bale depan rumahnya. Pak RT dan Bu Inah ngobrol di dapur sambil menyiapkan makan malam.




“Ega makasih ya. Kamu juga Rat, nuhun pisan.” Sae berterima kasih.


“Yank. Makasih… kamu hebat.” Cuuup. Ia mencium pipiku. Bibirnya basah.


“Kalian yang hebat. Aku bangga.” Kataku terharu.


“Kami kan hanya menyampaikan, Ja. Kalau tidak ada kamu yang menanggapi pertanyaan-pertanyaan warga dan sanggahan Pak Iki mah , kami juga gak tahu gimana.” Ega bersuara.


“Semua penjelasanmu langsung tepat sehingga rembugan ini tidak sesulit yang kita bayangkan. Dan yang aing heran, maneh bisa mengendalikan uwa-nya Ratna.” Lanjutnya.


“Pacar akuuuu.” Sae menanggapi omongan Ega sambil memeluk erat pinggangku dan kembali mencium pipiku.




Sementara Ega hanya tertawa, dan Ratna bersemu malu melihat tingkah Sae.




“Ga.” Aku memberi kode ke arah Ratna yang sedang menunduk. Nampak Ega meraih tubuh Ratna dan memeluk pinggangnya. Dengan masih malu-malu, kemudian membaringkan kepalanya di bahu Ega.




Kami saling berdiam sesaat merasakan kebahagiaan ini. Kumainkan kedua pelipis Sae. Kukecup tipis bibirnya. Kami saling mengagumi dalam tatap kami yang teduh. Tak ada Ega dan Ratna, tak ada yang lain. Senja ini adalah milik kami berdua.




“Yank, pulang yuks.” Aku berbisik.




Sae menggeleng.




“Belum memberi makan ayam Bu Rohmah loh.”




Menggeleng.




“Aku lapar.”




Ia bangkit dari pelukanku; gerakannya membuat Ega dan Ratna tersadar dari kemesraan pelukan mereka.




“Ayo.. tapi makan di rumah aku ya.”




Matanya segera melotot ketika aku mau protes.


Dan untuk gadisku, aku selalu mengalah.




“Ga.”


"Naon?"


“Besok ke curug berempat yuk.” Aku mengerling.




Lalu ada bibir tipis yang mendarat di pipiku.

Posting Komentar

0 Komentar