Dua minggu telah berlalu. Sore ini aku, Sae dan ketiga sahabatku sudah berkumpul di markas. Kini kami sudah memiliki saung tambahan di seberang gudang penggilingan; dibatasi lapangan berumput tempat menjemur kopi. Ukurannya cukup luas dan panjang. Jaka kalau ada maunya, kadang sulit dibendung. Dan hasilnya memang bisa kami nikmati bersama.
Kopi yang sedang dalam proses pengeringan pasca digiling sudah mulai menumpuk di dalam karung dan gulungan terpal, dan biji kopi siap jual sudah ada sekarung di dalam rumah.
Belum juga kami memulai obrolan, mata kami tertuju pada sosok yang menuju ke arah kami. Senyumnya riang bercampur malu. Ratna.
“Udah?” Aku menata Ega tajam. Kini semua mata memandangnya.
Ega yang salah tingkah hanya mengerling sambil menepuk dadanya.
Buk.
Plak.
Pletak.
Kali ini Ega harus merasakan seperti apa yang pernah kurasakan. Sae hanya tertawa di bahuku.
“Eh kenapa A Ega?” Kami jadi lupa pada Ratna yang sudah tiba. Ia mematung heran di depan saung.
“Sini Rat.” Sae hendak bergeser memberi ruang.
"Entong. (jangan)”. Jaka memotong. “Sinih…sinih duduk dekat Aa Ega.” Ia tertawa tengil sambil pindah ke sebelah Sae.
Ega hanya tertawa dan Ratna kikuk malu. Namun akhirnya ia bergerak dan duduk di sebelah Ega. Mukanya bersemu merah. “Tenang aja, Rat. Gak usah malu.” Sae berusaha membuat Ratna merasa nyaman, sambil merebahkan kembali kepalanya di bahuku. Kuraih pinggangnya dan memeluknya tipis.
Sejenak kami kembali bercanda tawa, sehingga membuat Ratna mulai bisa merasa terbiasa. Sae mengusap-usap lembut punggung telapak tanganku yang melingkar di perutnya. Aku mengerti isyaratnya, dan memulai pembicaraan yang lebih serius.
"Jadi kieu barudak (jadi gini anak-anak),” aku berlagak seperti seorang ayah berkata kepada anaknya sehingga mengundang sorot kesal sahabat-sahabatku.
“Pertama, kopi harus sudah diantar ke pak haji. Sudah ada sekarung di dapur. Berarti sudah sekarung setengah dengan yang dihasilkan Ardan hari ini. Jangan kelamaan kita simpan, biar segera ada kas tambahan juga.” Semua diam mendengarkan.
“Kedua, saya mau tahu dari Ega bagaimana perkembangan rencana rembugan warga.”
“Ketiga, nanti Sae yang menjelaskan, rada beda tema soalnya.”
“Keempat, ke ti aing (entar dariku). Tapi nu penting nomor hiji jeung dua dulu.”
“Kelima… aing kangen Sae.” Cuuup. Aku mengecup pipinya.
Sontak sahabat-sahabatku yang sedang menyimak mulai riuh kembali, cubitan Sae pun mendarat di pinggangku. Sementara Ratna hanya tersipu malu.
Seperti biasa, aku hanya melempar ide dan persoalan, sementara solusi biarkan mereka yang mencari dan menentukan. Debat kusir pun terjadi, hal sepele menjadi begitu lama dan larut dalam diskusi. Bukan karena tidak mampu, tapi -seperti biasa- karena terlalu banyak bumbu untuk saling mencela dan saling ‘serang’. Dan Ega selalu menjadi penengah yang membawa solusi.
Hal pertama diselesaikan dengan kesiapan Jaka dan Ardan yang akan mengantar kopi setelah rembugan dengan warga. Mereka akan dibayar masing-masing Rp. 15.000 sebagai upah.
Hal kedua Ega menyampaikan bahwa Pak RT, ayahnya Ratna, akhirnya setuju untuk mengadakan rembungan warga pada hari Jumat depan, itu berarti tinggal 3 hari lagi. Jaka tampak senyum-senyum sendiri karena bangga.
Ardan juga menyampaikan bahwa apa pun hasil rembugan nanti, Mang Oyeh siap membantu untuk mengangkut kopi ke desa. Ardan terlampau semangat menyampaikannya. Dan aku hanya bisa menyembunyikan senyum.
Ratna menambahkan bahwa pak ikin, uwa-nya akan datang dan ikut berembug. Ini hal baru dan menurutku sangat bagus.
Dua persoalan terselesaikan hampir satu jam. Inilah keunikan grup kampret kami. Tapi aku bangga bisa memiliki mereka. Inilah arti persahabatan bagiku. Riang, ringan, tanpa mengabaikan isi.
“Sa..” Aku mengusap pinggangnya. Aku meminta Sae yang menyampaikan hal ketiga karena idenya berasal dari dia ketika kami berdua di bubulak sepulang dari rumah Bu Rohmah.
Sae memulai tanpa beranjak dari tubuhku.
“Selain kopi, kita memiliki hasil panen yang bisa lebih ditingkatkan.” Berhenti sejenak.
“Kita bisa menghasilkan beras, kapol, tangkil (emping), dan cengkih.”
Sae menyampaikan idenya.
“Pertama berkaitan dengan beras. Selama ini warga menanam padi sebatas untuk konsumsi sendiri, sisanya disimpan untuk benih musim berikutnya atau cadangan jika ada undangan hajatan. Kita sudah terbiasa menanam padi tanpa urea dan bahan kimia, dan mengandalkan pupuk alami. Maka ada peluang untuk menghasilkan beras organik dan dijual ke kota dengan harga yang lebih tinggi.” Sae menjelaskan panjang lebar. Ia kemudian menjelaskan secara detil tentang apa itu beras organik dan unorganik setelah mendapat protes dari Jaka.
“Yang kedua adalah soal tangkil, kapol dan cengkih. Seperti kopi, kita bisa menjualnya dengan harga yang lebih pantas. Maaf, ya Rat.” Sae tak enak hati kepada Ratna. Ratna hanya tersenyum sambil tetap menyimak. “Khusus untuk tangkil kita bisa menjual bukan hanya buah mentah atau menjual daun-bunganya saja, tetapi bisa mengolahnya menjadi emping.” Lanjutnya. “Ini menjadi PR Ega dan Ardan untuk berbicara dengan pak haji besok.”
“Kalau begitu, aing nanti ikut ke desa.” Ega menyambung.
"Ari (kalau) kata aing mah, soal ini jangan dulu dibahas serius ke pak haji. Jaka dan Ardan meminta pendapatnya aja dulu. Ega gak usah ikut.” Aku berpendapat. Tambahku: “Hal ini kita bahas dulu di rembugan dengan warga; mengingat akan hadir juga Pak Ikin. Siapa tahu bisa menjadi jalan tengah. Kita bisa kerjasama usaha kopi dengan pak haji, dan dengan uwa -nya Ratna kita bisa bekerjasama yang lainnya. Sejauhnya harganya pantas.”
“Tumben blo’on maneh leungit (blo’on kamu hilang),” Jaka berusaha menyerangku.
“Siapa dulu pacarnya.” Sae menyanggah. Sae bersabda beres perkara, tak ada yang berani menanggapi pancingan Jaka. Aku menyeringai bangga. Dan semua sepakat dengan usulku.
“Aku boleh ngomong gak?” Ratna akhirnya bersuara.
Serempak kami mengangguk dan menatapnya.
"Kalau masalah uwa mah udah aja atuh kalian teh gak usah sungkan. Aku mengerti kok, lagian uwa dan dan bapak juga salah.” Katanya. Kami menghela nafas lega.
"Lalu aku punya usul. Kan kita teh bisa menghasilkan pisang tanduk dan ubi juga. Kenapa kita tidak mengajari ibu-ibu untuk membikin keripik? Lumayan kan bisa dijual juga.”
Spontan Ega meraih tangan Ratna dan menggenggamnya erat. Kami riuh melihatnya. Ega yang sadar atas sikap refleksnya langsung nyengir malu, sementara Ratna menunduk tersipu.
“Ini baru pacar aing . Eh pacar Ega…Top lah. Aing satuju ama usul Ratna.” Jaka tertawa.
"Tah Ka. Tugas tambahanjang maneh jeung Ardanuntuk meminta pendapat pak haji.” Kataku.
"Nu kaopat naon,Ja? (Yang keempat apa, Ja?)” Ega melihatku. Sekaligus untuk menutupi kegugupannya.
"Kaopat aing oge kangen…” Buk. Bungkus rokok Ardan sudah mendarat di mukaku sebelum aku selesai bicara. Semua kembali tertawa. Kali ini aku menjadi korbannya.
Aku diam sejenak melirik ke Sawaka yang turun dari pembaringannya di atas karung kopi dan menghampiri kami. Ia tahu apa yang akan kusampaikan.
"Ini juga adalah cita-cita aing untuk jangka panjang.” Hening. “Kita akan membangun kampung Sawer menjadi desa budaya dan wisata. Kampung kita memang terpencil dan berada di tengah hutan, tetapi justru karena itu tempat ini teh memiliki pesona sakral dan alami. Kita jadikan kampung kita menjadi tempat tetirah dan rekreasi.”
"Mana bisa, nyet? Kendaraan aja susah masuk. Gak bisa bangun jalan kendaraan, terlalu curam.” Jaka mematahkan ideku.
“Justru di situlah kekhasannya. Ke depannya kita bisa bekerja sama dengan lurah dan kepala desa untuk menyambung jalan mobil dari Ewer sampai ke tanah merah (dataran terakhir sebelum mendaki bukit). Kan lumayan bisa membantu warga Ewer juga untuk mengangkut hasil panen mereka.” Aku memandang Sawaka.
“Dari tanah merah pengunjung tetap harus berjalan kaki ke sini. Itu uniknya. Mereka yang mau menginap bisa kita terima di rumah warga dengan bayaran serelanya. Kalau kita sudah punya uang, bisa juga kita membuat saung-saung kecil, rumah mini, untuk disewakan.” Aku menjelaskan.
“Siapa yang mau datang ke sini, Ja?” Jaka masih menganggap muskil ideku.
“Percaya ka aing.Tapi ini mah nanti. Meureun lima atawa sapuluh tahun deui (mungkin 5 atau 10 tahun lagi). Sekarang mah yang di depan mata saja.” Aku mengakhiri. Kurasakan ada pelukan makin erat di pinggangku.
“Ada satu lagi euy” Ardan yang hari ini lebih banyak mendengarkan akhirnya bersuara.
Kami semua memandangnya.
"Hiji, ega gimana tuh caranya nembak ratna dan udah ehem ehem belum? Dua, iraha kawin(kapan kawin)?” Buk. Pletak. Byuuur dadanya basah oleh air kopi. Kami kembali riuh, sementara Ratna hanya menunduk malu. Kumpulan pun bubar.
Jaka ngeloyor mengangkat kopi yang sedang dijemur, dan Ardan melanjutkan menggiling sisa kopi basah. Menyisakan kami berempat di dalam saung.
“Udah, Rat. Nyantai aja.” Sae menatap Ratna dan dibalas dengan senyuman sambil melirik Ega. Ega meraih tangannya dan menggenggamnya.
“Jadi pas rembugan, siapa yang ngomong?” Ega bertanya kepadaku.
"Kamu ajah, kamu mah pinter ngomong kalau di depan umum. Nanti dibantu sae. Aing mah bagian jawab pertanyaan atau kalau ada ‘kerusuhan’.” Jawabku setengah bercanda. Sebetulnya bukan karena aku tidak mau berbicara, tapi aku memikirkan kehadiran Pak Ikin dan harus bersiap menghadapinya.
"Ya sudah kalau begitu, mau aja saya mah. Kamu, Sa?” Ega menyanggupi sambil bertanya ke Sae, yang dijawab dengan anggukan gadisku.
“Selamat, ya Ga, Rat, kalian akhirnya jadian.” Kataku. Sae mengamini.
“Makasih.” Jawab Ratna malu.
Ega memeluk tubuhnya. Di depanku Ega bisa lebih lepas, karena jarang menjadi korban ejekanku.
Melihat kemesraan mereka, Sae berbisik di telingaku.
“Yank, ke bubulak yuk.”
Aku menolehnya bingung.
“Pengen.”
Aku selalu tak bisa menolak keinginannya.
Bubulak kini menjadi tempat favorit yang memberi banyak arti bagi kami berdua.
Kami pun beranjak dan bubar.
0 Komentar