KETIKA SENJA PART 21


PERJALANAN, CINTA, DAN LUKA

Fajar dan senja datang silih berganti dan waktu berlalu dari bulan yang satu ke bulan yang lain. Malam ini sudah memasuki bulan ketiga sejak rembugan warga di rumah Abah Barja. Senja-senja hidupku seolah menjadi kesimpulan dari rutinitas harian kami yang semakin sibuk. Selain beraktivitas di kebun dan sawah dari pagi hingga siang, sisanya aku habiskan waktuku di markas ini. Tak beda halnya dengan ketiga sahabatku.

Sekarang belakang rumah Ega bukan lagi hanya menjadi markas kami tetapi juga menjadi tempat berkumpul para tetangga yang hendak menggiling kopi. Kami sudah membuat ketentuan bersama. Warga yang membawa kopinya ke mari dan menggiling sendiri dikenakan biaya 500 rupiah/karung, tetapi kalau kami yang menggiling dikenakan biaya 1000 rupiah/ karung. Ardan menjadi tokoh sentral dalam kegiatan harian ini dan mendadak menjadi favorit ibu-ibu. Pribadinya yang lucu dan luwes membuatnya gampang akrab dengan mereka.

Karena tidak memiliki ladang kopi yang terlalu luas, ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk membantu warga menggiling kopi, dan ia kami bayar 300 rupiah per karungnya, kami masih memiliki untung untuk kas 700 rupiah. Ia tidak protes, toh ini adalah uang tambahan untuknya, karena dana kas juga menjadi uang kami bersama. Enam puluh persen dana kami simpan sebagai dana lalu-lintas usaha kami, dua puluh persen kami sisihkan untuk biaya pembangunan kampung, dan dua puluh persen lagi kami bagi rata. Kami tidak mengerti manajemen, jadi kami ikut aja apa yang diusulkan oleh Sae.

Selain kami, kemudian ada Mang Oyeh yang membuat alat giling sendiri. Sebelumnya memang ia minta ijin ke kami hendak meniru dan membuat sendiri. Awalnya Jaka menentang, tapi aku bersikeras untuk setuju. Lumayan kalau ia bisa menggiling kopinya sendiri, dan membantu menggiling kopi warga untuk menambah pemasukkan mereka; sekaligus juga untuk membantu Ardan agar tidak terlalu keteteran menggiling kopi yang sudah bertumpuk berkarung-karung.

Mang Oyeh dan Bi Iyah adalah keluarga sederhana yang hanya memiliki sepetak sawah yang hanya cukup untuk makan harian mereka, dan tak banyak kebun kopi yang mereka miliki. Tak ada salahnya membantu mereka, lagian aku merasa terenyuh atas hidup mereka berdua yang tidak memiliki momongan; juga rasa bersalah atas apa yang telah sahabatku perbuat yang muncul sebagai orang ketiga. Bahkan, menurutku jika ada warga lain mau membuat alat giling sendiri untuk menggiling kopi mereka, silakan saja. Toh hasilnya tetap dijual kepada kami.

Kini uang kas kami sudah lebih dari cukup untuk membayar tunai kopi warga, tanpa harus menjualnya dulu ke pak haji. Semuanya dipegang Ega. Aku sebenarnya mengusulkan supaya Sae yang memegang keuangan, dan sahabat-sahabatku setuju, hanya Saenya sendiri tidak mau.

Kini, setiap hari saung hasil ide Jaka menjadi tongkrongan bapak-bapak yang menggiling kopi, atau juga menjadi tempat ibu-ibu ngumpul sambil sisiaran (mencari kutu) menunggu kopi mereka yang sedang Ardan giling. Ini pertanda bagus bagi kami. Kehidupan kampung menjadi lebih meriah dan sering berkumpul. Jaka pun semakin rajin nongkrong, bukan karena ia pekerja yang ulet, melainkan lebih pada modusin ibu-ibu.

Kalau siang, Ega mengeluarkan radio transistornya supaya ‘warga saung’ bisa mendengarkan tembang-tembang Sunda, atau mendengarkan ‘dongeng radio’ dari sebuah stasion di kota kabupaten.

Malam ini kami berkumpul di markas. Sementara kampung terasa sangat sepi, karena banyak warga yang mulai menginap di saung sawah. Padi sudah berbulir dan mulai menguning; saatnya ditunggu dan dijaga dari serangan babi hutan.

Kami membuat perayaan kecil-kecilan dengan membakar ayam kampung. Aku hanya duduk di pojok saung mengamati aktivitas teman-temanku. Ratna memasak nasi di dapur ditemani Ega, Ardan sibuk membuat api unggun, sementara Jaka belum muncul. “Mau setoran dulu,” katanya tadi sore kepadaku. Tetapi kepada yang lain, ia bilang mau menemani ibunya dulu di saung sawah, karena ayahnya baru bisa menyusul malam. Sekarang mereka pasti sedang bergumul dengan Bu Inah.


Mataku tak lepas dari gadisku. Ia sedang asik meracik bumbu di tepian bale-bale. Kalau tidak sedang sibuk aku ingin segera memeluknya melepas rindu. Kemarin sore ia dan Ratna baru pulang, setelah pergi selama seminggu ke desa untuk belajar membuat keripik dan emping dari uwa nya Ratna, alias istrinya Pak Ikin. Dan kami baru berjumpa kembali malam ini.


Aku menarik nafas menahan gejolak di dadaku; sementara Sae seolah bersikap tak acuh. Pikiranku menerawang ke peristiwa tadi siang ketika aku ngobrol berdua dengan Bu Rohmah di saung ini.



“Ja.”

“Iya bu.”

“Mau sampai kapan?”


Aku hanya menarik nafas panjang.


“Ingat, Ja, waktunya tidak banyak lagi. Kamu harus segera mencari dia.”

“Tapi bu.”

“Sae? Ibu percaya Sae pasti mau menunggu. Percaya sama ibu.”

“Ngga bu. Aku bukan mengkhawatirkan Sae, masalahnya adalah aku. Aku gak mau jauh darinya. Ini sudah seminggu tidak ketemu aja, aku sudah kangen banget, apalagi kalau berpisah lama.” “Kamu jangan egois, Ja, ingat kamu masih punya tugas.”

“Nggak bu. Aku gak mau.”


Aku pun pergi meninggalkannya.


“Senja!!!”




Aku tersadar dari lamunanku ketika ada tubuh yang memelukku. Aku tak menyadari gerakannya yang mendekat. Aku memandang gadisku. Gurat rindu memancar juga dari wajahnya. Aku kemudian memeluknya erat.


“Kangen ya, yank?” Ia bertanya dari balik pelukanku.

“….”

“Aku tahu kok kalau kamu kangen. Soalnya aku juga kangen banget ama kamu.”

“…”

“Pake pura-pura cuek lagi.”


Aku mengeratkan pelukanku.


“Kamu yang cuek. Aku kangen banget.” Kataku akhirnya.

“Hihi.. aku ngetes kamu aja, yank. Ternyata kamu bisa sok cuek juga. Aku tahu kok kalau kamu kangen banget. Kamu gak bisa bohong dari aku.”


Kalau tidak ada Ardan, pasti sudah kutumpahkan kerinduanku dengan melumat bibirnya.


Erat dan erat.. semakin erat aku memeluknya.


“Iiih sakit sayang.”

“…” Sambil melonggarkan pelukannya.

“Makasih.” Sae mencolek pipiku sambil beranjak ke dapur.

"Aing yang sudah dua hari gak ketemu aja sudah kangen, apalgi maneh nya?” Ardan yang dari tadi tak acuh mengajakku ngobrol sambil membolak-balik kayu di atas perapian agar cepat menjadi bara api.

“Banget, Ar.” Jawabku.

"Aing mah nanti malam mau asoy geboy. Hahaha.. gak kayak maneh yang cuma menyentuh dari luar baju,aing mah bugil-bugilan.”

“Kampret.. otak sia jiga kebo.” Aku memaki.

“Si Jaka pasti lagi enjot-enjotan tuh.” Katanya.


Aku diam karena kaget.


“Nyantai, nyet, aing geus nyaho (sudah tahu).Maneh otakna pan."

“Gimana ceritanya?” Heranku.

"Dasar koplok tuh si jaka. Maen di kebon dan kanyahoan (ketauan) ku aing. Tapi aing antepin aja, lumayan ada tontotan gratis hahaha. Besoknya baru aing tanya dan dia ngaku."

“Hadeuh.”

"Silaing (kamu, kalian) memang asu kabeh .” Aku memaki.

“Kami juga sudah merencanakan untuk ehem-ehem berempat.”

“Bajingan! Terus tukeran gitu?”

“Iyalah, Ja, biar seru dan punya keasikan baru.” Cengir Ardan.

“Anjing!!”

“Ja, Bi Iyah lagi hamil anak aing. Sudah sebulan.”

“....” Kepalaku pusing mendengarnya.

"Aing bohong soal maen berempat mah. Aing sayang dia, Ja. Kudu kumaha yeuh (harus gimana nih)?”


Kepalaku makin pusing, pandanganku berkunang-kunang; dan aku tak bisa lagi mendengar kata-kata terakhirnya. Belum lagi beberapa hari ini aku mendapat firasat buruk tentang Jaka dan ibunya. Kuhempaskan tubuhku di atas bale-bale untuk menenangkan diri. Ada rasa bersalah yang diam-diam menyeruak di dalam hatiku. Sawaka, bagaimana cara menghentikannya? Aku meringkuk di pojokan saung. Gelap.


“Yank... Sayaaaang!”


Aku tersadar oleh sebuah panggilan. Lalu kubuka mataku. Kepalaku sudah ada dalam pelukannya. Sae terisak menangis. Teman-temanku sudah berkumpul. Jaka juga sudah muncul.


“Yank.. hiks hiks… kamu kenapa?”


Aku mengucek kedua mataku.


“Maaf aku ketiduran.” Sambil mencoba mengingat-ingat.

“Nggak… kamu pingsan. Ni tubuhmu keringat dingin begini.”


Ratna memberikan teh hangat kepada Sae, dan gadisku membantuku untuk minum.


“Masa sih? Aku kecapean aja kayaknya karena kurang tidur. Mikirin kamu.” Aku coba mencairkan suasana.

“Gak lucuuu!!” Judesnya muncul kembali, tapi sorot mata dan gerak-geriknya menunjukkan kepanikan dan kekhawatiran.


Kuusap-usap pipinya, sebagaimana biasa kalau aku menenangkannya.


“Beneran gak kenapa-napa, nyet? Tadi aing ngajak ngobrol tapi kamu diam aja. Eh malah tidur.” Ardan membuka suara.


Aku bangkit dan meyakinkan mereka, tubuhku sudah terasa mulai normal kembali setelah minum teh hangat. Terutama karena kehangatan pelukan gadisku. Ada raut-raut lega yang kulihat dalam wajah mereka. Tapi tidak dengan Sae.


"Udah matang ya? Hayu atuh makan. Aing lapar.” Aku mencairkan suasana. Tubuhku udah segar kembali. Sawaka, terima kasih. Aku memandang tubuh gagah-garangnya di seberang.


Suasana sudah normal kembali, dan kami pun makan dengan lahap disertai canda tawa. Sae melayaniku sedemikian rupa, sampai lupa pada makanannya sendiri. Aku sudah tak peduli pada ledekan mereka melihat perhatian Sae yang bisa dibilang berlebihan. Aku senang kok.


Selesai makan, kini giliran para pria yang membereskan perabotan dan mengembalikan ke dapur. Minus aku yang tak bisa lepas dari pelukan Sae. Ratna sang pendatang baru di kelompok kami nampak sudah mulai terbiasa.


Kami melanjutkan ngobrol kami, asap rokok pun mulai mengepul. Seperti biasa, selalu meriah dan riuh. Tak ada beban yang menghimpit pikiran sahabat-sahabatku saat ini. Mereka tidak tahu, aku sedang dilanda kecemasan yang coba kusembunyikan; bahkan dari Sae.


Kami mendengarkan cerita Sae dan Ratna tentang pengalaman mereka membuat keripik, yang hasilnya kini sedang kami nikmati. Juga beberapa rencana ke depan. Tak lupa aku menyampaikan ide untuk membuat pendopo kampung sebagai tempat pertemuan dan ngariung (kumpul) warga. Tentu saja tidak terlalusulit untuk dilaksanakan karena kami bisa kerja bakti, mulai dari mencari kayu sampai pada proses pembangunannya. Masalahnya sekarang cuma tanahnya saja yang belum ada. Kami sepakat untuk membicarakannya di kemudian hari. Jam sebelas malam kami pun bubar.


“Yank, kamu nginap di sini yah. Aku sendiri di rumah.” Ketika kami sudah berada di depan rumahnya.


Aku sudah siap menolak, tapi tatapan matanya yang tajam membuatku urung untuk menolaknya. Sae adalah Sae. Senyumnya mengembang ketika ia melihatku mengangguk. Kami pun masuk ke dalam rumah.


“Bentar, yank.” Sae masuk ke dalam kamarnya.

“Sekalian bawain bantal.” Aku menjawab sambil duduk di lantai papan ruang tamu.


Tak lama kemudian Sae keluar. Mataku mengerjap melihat gadisku yang sudah berbeda. Ia mengenakan daster-kuning tanpa lengan. Panjangnya hanya selutut. Rambutnya digelung memamerkan leher dan dada bagian atasnya yang putih. Sae memeletkan lidahnya menyadari mataku yang seakan menelanjanginya. Lalu duduk menyamping di pangkuanku.


Cantiknya kamu, Sa. Kau adalah jejak terindah yang Tuhan titipkan; yang selalu kunikmati melalui senyum ini; melalui setiap sentuhan kulit ini.

Saeku, kau ‘kan kujaga dengan segenap kemampuan jiwa dan ragaku.


“Lah… bantalnya mana?” Aku mencoba mencairkan perasaanku sendiri.

“Nanti kamu tidur di kamar aja.”

“Heh? Berdua?”

“Gak mau? Ya udah ngambek.”


Ia melepaskan pelukannya dan mau bangkit. Tapi segera kutahan sambil mencium pipinya yang merengut.


Ia tetap judes tapi juga tak menolak pelukanku.


“Kenapa harus nginep sih, yank? Kamu kan sudah biasa juga sendiri di rumah.”

“Kamu jahat banget sih?”

“Loh.. kok jadi aku yang jahat? Kan cuma nanya sayaaang.” Aku gemas sekaligus bingung bagaimana harus memperlakukan gadisku.

“Jahat!”


Cup. Aku menciumnya.


“Kamu gak kangen aku yah? Huh! Seminggu loh kita gak ketemu.”

“Tadi katanya kamu tahu kalau aku kangen kamu. Kok sekarang ngomongnya beda?”

“Tau ah. Masih kesel!!”


Aku mencium sudut bibirnya sambil mengusap lengan atasnya yang terbuka. Pori-porinya kulitnya sedikit meremang.


“Kamu jahat. Hiks hiks… tadi bikin aku khawatir.” Ia membenamkan wajahnya di dadaku sambil menangis. Kuusap-usap rambutnya penuh sayang. Aku tahu.. inilah jawabannya yang paling jujur kenapa ia judes. Kubiarkan ia mengungkapkan perasaannya dalam tangis di dadaku. Lenganku semakin erat memeluknya.


“Kan aku udah bilang kalau aku ketiduran, sayang.”

“Kamu bisa bohong ke teman-temanmu, tapi tidak ke aku. Kamu tadi pingsan. Kamu membuat aku takut.” Duh peka banget gadisku ini.


Maaf Sa, aku tidak bisa jujur untuk yang satu ini. Aku tak bisa membohongimu dalam hubungan kita, tapi tidak tentang teman-temanku. Aku rela menjatuhkan harga diriku di hadapanmu, tapi tidak dengan menjatuhkan harga diri sahabat-sahabatku; meski mereka sahabatmu juga.


Sejak pengakuanku di sawah dan malam ritualku, Sae memang menjadi gadis yang begitu menggemaskan karena tingkahnya. Sae adalah gadisku yang pintar, ide-idenya selalu segar, dan juga sangat dewasa melampaui umurnya. Perhatiannya kepadaku tiada duanya. Tapi ia juga bisa menjadi gadis yang galak dan judes, ceriwis, kadang-kadang keras kepalanya juga muncul. Kalau sedang berdua, kadang emosinya sering berubah-ubah dengan cepat. Belum lagi kalau sudah manja, siapapun tak ia hiraukan. Tak peduli ada orangtuanya atau orangtuaku, Bu Rohmah atau sahabat-sahabatku. Satu lagi kelebihannya, ia sangat peka tentang segala sesuatu yang berkaitan denganku.


Aaah… Aku semakin mencintainya, dan aku belajar menjadi pria dewasa karena Sae.


“Sayaaang… Ih malah diem. Tadi kenapa?”


Aku hanya tersenyum sambil menatapnya mesra. Aku harus mengalihkan rasa ingin tahunya.

Kukecup dahi dan kedua matanya sehingga ia terpejam.


“Aku kangen banget sayang.” Aku berbisik sambil menghembuskan nafasku di telinganya.


Bulu-bulu halus di bawah rambutnya yang digulung tampak meremang. Kucium bagian itu dengan penuh kasih sayang.


“Mmmh.. shhhh…” Ia mendesah.

“Yank, di kamar aja.. sssh.. ah.. udah sayaaang.” Sae merajuk.

“Aku takut kebablasan, sayang.”

“Gak mau tahu.. hayo…” Duh. Kumat lagi kan.


Aku berdiri sambil membopong tubuhnya. Lalu kubaringkan di atas kasur kapuk miliknya. Aku mencoba untuk menyelimutinya, namun ditahan dengan kakinya membuat dasternya tersibak dan memamerkan pahanya yang menggoda.


“Tuh kaaan… yang mesum siapa coba?” Sae menjewerku sambil menarik tubuhku.


Aku menghimpitnya dan kami berciuman mesra. Tubuh kami melekat. Melepas rindu karena seminggu tidak bertemu.


“Yank…” Nafasnya sedikit tersengal. Sorot matanya sayu dan sendu.

“Hmmm….” Aku mengerti bahasa sorot matanya. Dia menginginkan hubungan kami lebih malam ini, aku juga. Tapi aku berusaha untuk membuang rasa dan keinginanku sendiri. Untuk yang satu ini aku harus mengabaikannya. Kubalikkan badanku di sampingnya. Lalu kuraih tubuhnya dan kubenamkan di dadaku.


Aku selalu terbuai oleh keindahan seluruh dirinya, jiwa dan raganya, rasa dan cintanya, hati dan tubuhnya; tapi aku tidak mau menodainya sampai saatnya tiba. Sekuat tenaga aku membuang pikiranku, sementara gadisku terisak di dadaku.


“Maaf sayang, belum saatnya.”

“Kamu sudah tidak sayang aku lagi. Hiks… hiks…”


Kuueratkan pelukanku sebagai jawaban bahwa ia tidak benar. Lalu kuusap kepala dan punggungnya penuh kasih sayang.


Kali ini gadisku tidak banyak tingkah seperti biasanya. Ia hanya terisak. Tangisnya menjadi satu-satunya bahasa tubuh yang ia sampaikan kepadaku. Dan aku mengerti, aku biarkan gadisku menangis sampai akhirnya ia terlelap dengan sendirinya. Kukecup kepalanya, dan kami pun tertidur dalam pelukan yang takkan pernah kulupakan.



Posting Komentar

0 Komentar