KETIKA SENJA PART 18

 

XIII. SENJA BARU, FAJAR BARU 






Mataku mengerjap karena sorot sinar matahari yang menerobos bilik kamarku. Kupulihkan kesadaranku sesaat lalu bangkit. Aku melongok ke ruang tengah, melihat jam diding tua di atas jendela. Jam 2 siang. Fiuuh… bandanku terasa lemas dan perutku lapar. Aku menuju dapur sambil terhuyung. Setelah meraih piring, aku mematung sejenak.




Sae. Ya, lebih baik aku ke rumahnya dan meminta dia memasak untukku. Aku kangen masakannya.. eh aku kangen dia. Tiada hari yang bisa kulewatkan tanpa berjumpa dengannya. Kuraih alat mandi dan keluar rumah. Mataku mengerjap karena silau matahari.




Kuraih handuk yang menggantung di jemuran dan aku meluncur ke tampian untuk mandi. Dengan badan segar aku kembali dan berganti pakaian. Sae… akang datang.




“Sampurasun,” aku melongok ke dalam rumah yang pintunya terbuka.


“Rampes.” Bu Euis muncul dari dapur.


“Eh, Nak Senja.. masuk Ja.”


“Makasih bu.” Aku masuk dan duduk di bawah gantungan shampo sachetan. Diam-diam aku mengamatinya. Nampak bintik keringat di sumbu-sumbu rambutnya yang digulung ke belakang. Wajahnya sangat anggun dan manis, Sae adalah titisannya. Kalau sudah dewasa mungkin Sae tidak akan jauh berbeda dengan penampilannya saat ini. Aku merinding dan segera membuang pikiranku.




Ia duduk di hadapanku, memandang sayang dengan senyum keibuannya. Sementara aku celingukan.




“Sae gak ada.” Bu Euis mengerti sikapku. Dan aku cuma bisa nyengir sambil garuk-garuk kepala.


“Ke mana, bu?”


“Tadi mau ke rumah Bu Rohmah katanya.”


Degh.




Aku memandang wajah Bu Euis meminta keyakinan. Dadaku berdegup kencang.




“Ada apa, ya bu?” Tanyaku, sambil mengusap bintik keringat di pelipisku. Pikiranku mulai kacau.


“Gak tahu tuh.. katanya sih mau main aja.”




Aku panik. Jangan-jangan Sae mau menghardik Bu Rohmah. Rasa yang berbunga karena mau bersua dengan Sae, berubah menjadi kepanikan. Aku gelisah karena pikiranku sendiri. Pandanganku menjadi kosong.




“Kamu kenapa toh, Ja?” Kurasakan ada usapan lembut di pipiku. Bu Euis memandangku heran, dengan senyum yang sulit kujelaskan.




Aku tak ingat apakah aku menepis tangan Bu Euis atau tidak, ketika aku tergesa bangkit dan berlari ke luar rumah tanpa permisi. Aku tak memedulikan teriakan Bu Euis yang memanggilku. Aku berlari sekencang yang kumampu; tak kujawab beberapa sapaan tetangga yang kujumpai.




Pikiran bahwa Sae dan Bu Rohmah sedang bertengkar, sangat mengacaukanku saat ini. Aku berlari dan langsung naik ke atas rumah panggung Bu Rohmah.




“Bu!” Aku berteriak sambil mendorong pintu.




Sepi.


Aku melongok ke dalam kamar.


Kosong.


Aku berlari ke arah dapur.


Tak ada tanda-tanda.




Panik. Aku terduduk di lantai tanah dapur Bu Rohmah. Aku sangat kalut. Nafasku tersengal pendek. Kututup wajahku dengan kedua tanganku. ‘Sae, Bu Rohmah, kalian baik-baik saja kan?’ Aku membatin.




Setelah aku mulai bisa menguasai diri, samar-samar aku mendengar ada suara yang berbincang di belakang rumah. Aku segera bangkit dan berlari keluar melalui pintu dapur. Nafasku kembali tersengal diliput takut.




Deg. Mataku melotot. Bibirku sedikit terbuka. Kaget dan heran melihat apa yang ada di hadapanku. Lalu aku membungkuk dengan kedua tangan bertumpu di atas lutut, nafasku masih tersengal. Mataku lekat memandang.




Mereka tampak terkejut dan memandangku penuh tanya. Dua perempuan itu… mereka sedang ngobrol akrab sambil duduk di atas batang pohon kelapa, di bawah pohon sirsak. Mereka tampak lekat, Sae menyandarkan kepalanya di bahu wanita itu manja, kepalanya dielus-elus deudeuh (penuh rasa sayang) oleh Bu Rohmah.




“Kamu kenapa, Ja?” Bu Rohmah bertanya tanpa melepaskan pelukannya pada tubuh Sae.


“Yank?” Sae menatapku heran sambil melepaskan tubuhnya dari Bu Rohmah.




Aku masih tersengal sehingga tak bisa memberi jawab. Sae mendekatiku dan memegang kedua lengan atasku. “Kamu kenapa, sayang?”




Hmmmmmf. Aku memeluknya erat. Desah nafas lega kuhembuskan di kepalanya. Sae hanya diam sambil membalas pelukanku. Terasa ada getar khawatir di dadanya dan ia mencoba memberikan tumpuan ketenangan padaku. Ia mengusap punggungku. Gadisku saat ini sekaligus menjadi seorang ibu yang memberi keteduhan pada anaknya.




Kuelus rambutnya, lalu kukecup ubun-ubunnya sebelum melepaskan pelukan kami. Sae memandangku khawatir dan heran. Aku cuma bisa garuk-garuk kepala sambil memandangnya, bergantian dengan melihat ke arah Bu Rohmah.




“Yank?” Gurat khawatir masih nampak di wajah gadisku.




Aku tak menjawab. Kutuntun tubuhnya dengan tangan melingkar di pinggang Sae, lalu kami menghampiri Bu Rohmah, dan aku menyalaminya. Bu Rohmah menerima uluran tanganku, dengan tangan kiri menutup mulut; bingung dan kaget. Wajar ia kaget karena aku hampir tidak pernah menyalaminya. Aku melakukannya secara spontan untuk menutupi kegugupan dan rasa malu. Sementara Sae masih menggandeng lengan kiriku.




“Kamu ada apa di sini, Sa?”Aku sudah kembali tenang. Sae tahu, sorot khawatirnya sudah hilang.


“Aku ke sini untuk meminta kamu ke ibu.”


“Serius?”




Sae hanya tertawa.




Andai aku bisa membaca isi hatimu, Sa.




Sementara Bu Rohmah cekikikan sambil memandangku jail.




Aku memandang mereka bergantian.




“Iiih.. kamu gitu banget sih lihatnya.” Sae menangkup kedua pipiku gemas. “Masa gak boleh sih main ke rumah ibu sendiri? Ibu ki-ta.” Sae menekankan kata terakhir. Ada selubung yang terbuka di hatiku, dan aku bahagia. Kupeluk gadisku dengan bangga.


“Ibuuuu”. Aku melepaskan tubuh Sae dan berbalik ke arah Bu Rohmah sambil merentangkan tangan hendak memeluknya.


“Eeeeh…” Sae sigap memeluk pinggangku dari belakang, berusaha menahan langkahku.


“Senja aaah… Gak boleh. Gak boleeeeeh. Kamu hanya boleh meluk aku; kamu punya aku!!” Sae berubah seketika. Sementara Bu Rohmah hanya tertawa, lalu ia berdiri dan memeluk tubuh kami berdua. Punggung kami berdua diusap-usapnya. Ah.. hariku makin cerah.


“Aku tadi ke rumahmu, Sa. Tapi kata ibumu, kamu lagi ke rumah Bu Rohmah.” Kataku setelah pelukan kami bertiga terlepas.


“Aku panik dan langsung berlari ke sini. Takut… takut… ka.. lau kalian.” Ucapan terhenti karena cubitan keras Sae.


“Aaaau… Sakit Saaaa.” Aku meringis.




Bu Rohmah tertawa lepas dan Sae hanya merengut kesal.




“Kamu pikir aku ini jahat banget ya? Kamu pikir aku ke sini aku mau melabrak ibu?” Matanya melotot. Gawat. Saat Bu Rohmah sudah tidak bisa membaca pikiranku, kini giliran Sae yang bisa menebak telak. Jangan-jangan… duuuh… tuk tuk.. aku mengetuk kepalaku sendiri.


“Aaah… kamu tuh yaaa. Bikin kesel aja…”. Matanya mendelik.




Hanya dalam waktu singkat, sikap Sae berubah-ubah. Bingung. Tapi duh..duh.. gadisku, aku makin sayang.




“Eh..” Aku kaget mengingat sesuatu.


“Apa lagi??” Nada Sae meninggi.


“Aku… aku lupa pamit ke ibumu.”




Gelak tawa pun meledak. Bu Rohmah memegang perutnya dan Sae tertawa sambil memukuli bahuku pelan. Aku hanya bisa garuk-garuk kepala antara malu dan geli.




Kami pun akhirnya duduk bertiga, Bu Rohmah di tengah. Tangannya memeluk kepala kami berdua. Kujatuhkan kepalaku di bahunya, Sae melakukan hal yang sama; kami bersandar di kedua sisi bahu Bu Rohmah. Sebenarnya masih banyak tanya dalam hatiku, tapi aku menepisnya. Rasa bahagia ini jauh lebih besar dari rasa penasaran.




Diam-diam aku merasa bangga pada sikap Sae dan Bu Rohmah. Ketakutanku mereka akan bermusuhan, bertolak belakang dengan kenyataan yang kurasakan saat ini. Bahagia menyeruak di dadaku.




“Bu.” Aku memanggilnya.


“Hmmm?”


“Bilang ke Sae kalau ia melanggar janji.”


“Apa itu, Ja?” Tanyanya. Sae membalikan wajahnya ke arahku. Sementara wajah kami masih berada di bahu Bu Rohmah.


“Ia manggil ‘sayang-sayangan’ di depan ibu. Padahal kami sudah sepakat hanya memanggil ‘sayang’ kalau lagi berdua saja.”


“Bilang aja sendiri.. Laki kok ogoan (manja).” Ketawanya renyah. Terasa rambutku diacak-acak.


“Jadi kamu gak suka? Suka-suka aku donk. Kamu kan pacar aku.” Sewot Sae.


“Lagian kalau kamu punya aturan, aku juga bisa bikin aturan.”


“A…”


“Apa???”


“….” Hadeuh.


“Udah-udah.. kalian tuh ya… kayak anak kecil aja.” Bu Rohmah menengahi sambil melepas pelukan kami lalu berdiri.




Aku bergeser dan memeluk Sae.” Wajahnya masih cemberut.




“Sa.. hari ini kok kamu beda banget sih? Manja!”


“Biarin.” Ketus. Tapi ia semakin mengeratkan pelukannya.




Ah gadisku… aku mencium kepalanya gemas.




“Ehem… huh…huh… lupa ya ada ibu.”




Aku lihat Bu Rohmah mengipas-ngipaskan tangannya seolah kepanasan sambil tertawa. Aku tertawa salah tingkah, Sae cekikikan tanpa melepaskan pelukannya.




“Bu, saya lapar.”


“Loh kamu belum makan, yank?” Sae mendongak memandangku.


“Belom. Bangun kesiangan. Tadi aku ke rumahmu sekalian mau minta istriku masak. Hehe. Tapi kamunya malah di sini.”




Sae bangkit, mendelik manja.




“Jadi kamu ke rumah cuma mau nyari makan? Bukan mau ketemu aku?”




Hadeuh salah lagi. Gadisku kesambet kali ya.


Cup. Kukecup pipinya.




“Sudah-sudah.” Bu Rohmah menengahi sambil mengelus kepala kami berdua.


“Hayo masuk. Masih ada sayur juga tuh. Ibu panasin dulu, sekalian ibu gorengin ikan mujair. Kita makan bareng aja.”




Kami pun berjalan ke dalam rumah. Aku tak mau melepas Sae, ia pun sama, tangan kami saling melingkar di pinggang mengekor di belakang Bu Rohmah.




Ketika Sae hendak meraih kuali untuk membantu Bu Rohmah, sigap tangannya kupegang, tatapnya memberi tanya. Bu Rohmah yang melihatku tanggap.




“Udah Sa. Kamu temani pacarmu sanah. Biar ibu yang masak. Gak lama kok.”




Kugandeng Sae ke ruang tengah sambil memberi jempol ke Bu Rohmah. Sae hanya menurut.




Sae duduk selonjor, bersandar pada tiang bilik. Lalu aku membaringkan kepalaku di pangkuannya.




“Iiih…” Sae mengangkat kepalaku.


“Kenapa?”


“Kalau begini akunya gak bisa meluk.” Cemberut.




Aku pun bangkit dan berselonjor di sampingnya. Sae bergerak dan duduk menyamping di pangkuanku. Di ujung mataku kulihat Bu Rohmah melirik dari arah dapur sambil tersenyum bahagia.




Tangan Sae melingkar di leherku, mata kami bertemu pandang untuk mengungkap rasa sayang. Kukecup keningnya. Matanya memejam.




“Kok bisa, yank?” Bisikku.


“Apa?” Bibirnya bertanya tanpa suara.


“Kalian bisa dekat.” Sae tersenyum mengerti.


“Kan aku udah bilang.. aku minta ijin ke ibu untuk memilikimu.”


“Beneran? Kamu gak marah?”


“Hihi.. Nggak kok. Tadi ngobrol aja, udah lama juga gak ke sini.” Jawabnya.


“Terus belum apa-apa ibu udah cerita banyak hal tentang kamu. Ibu meminta maaf dan menceritakan kembali tentang kakek.”


“Hmmm…” Kuelus pelipisnya. Dahinya mengernyit menahan geli.


“Trus ibu bilang, sekarang semuanya sudah selesai. Dan ibu menitipkan kamu ke aku.”




Lidahku kelu dan hanya mampu memandangnya. Kususuri kedua alisnya dengan jempol tanganku. Lalu kekecup kedua matanya.




Kami syahdu dalam kemesraan ini. Tak ada lagi obrolan di antara kami, bahkan ia juga tak menyinggung tentang kegiatanku semalam. Yang ada hanya sentuhan-sentuhan kecil yang membuat kami serasa semakin saling memiliki.




“Ehem… duh anak-anak ibu kalau udah berdua lupa deh. Ingat loh ada ibu…” Bu Rohmah masuk sambil menenteng nasi dan piring kosong. Kami beranjak tanpa malu lagi. Sae pergi ke dapur untuk membantu menyajikan makanan.




Kami pun duduk melingkar mengelilingi makanan. Ibu Rohmah menuangkan nasi ke piring kami masing-masing, dan Sae mengisi lauk ke dalam piringku. Lalu kami makan dalam diam untuk menghormati tradisi. Aku makan dengan sangat lahap. Seusai makan kami melanjutkan ngobrol ringan sampai sore. Sae bukan hanya bermanja-manja kepadaku, tapi juga ke Bu Rohmah. Dan Bu Rohmah pun memperlakukan kami layaknya anak-anaknya sendiri. Lebih malah. Buktinya sejak aku besar, ibuku tak pernah lagi memanjakanku seperti ini.




Bu Rohmah banyak menasihati kami untuk saling menjaga dan melengkapi, sekaligus juga untuk tetap menjaga sikap karena biar bagaimana pun kami adalah anak-anak kampung yang tabu mengumbar kemesraan di hadapan umum. Tentu saja tak masalah kalau hanya di hadapannya atau keluarga kami, asal jangan di depan warga yang lain. Kami pun mengangguk patuh.




Sikap keibuannya dan kematangan tubuhnya membuat Bu Rohmah nampak semakin cantik di mataku, namun tak ada lagi desir kelelakianku. Aku mengagumi kecantikan luar dan dalamnya sebagai seorang anak. Aku menaruh hormat dan kagum. Sementara Sae yang semakin manja membuat sayangku semakin dalam, meski harus dibuat repot karena kemanjaannya. Tapi ia tak bisa bohong. Ia menyembunyikan kedewasaannya, yang bahkan lebih dewasa daripadaku, dengan sikap manjanya, terkadang dengan keceriwisannya.




“Ja… neng Sae… ingat Senja masih punya tugas yang harus ia selesaikan. Ia harus menemukan gadis yang dimaksud kakekmu; dan membawanya pulang.” Bu Rohmah mengingatkan. Aku hanya diam, sementara Sae menggenggam tanganku erat, terlampau erat.


“Aku gak mau pergi, bu. Kecuali kalau Sae ikut.” Aku mendesah berat. Bu Rohmah hanya menggeleng dan Sae menjatuhkan kepalanya di bahuku. Kami saling diam sesaat dengan pikiran masing-masing.




Menjelang sore kami pun pamit, dan sebelum keluar kami mendapat ciuman di dahi kami masing-masing. “Ibu titip rumah dan ngasih makan ayam ya. Besok ibu pergi ke rumah anak ibu yang di Rujit.” Pesannya, dan dijawab anggukan kami berdua.




Kami pun berjalan ke luar rumahnya. Dari kejauhan tampak Sawaka berlari menghampiri kami. Tentu saja cuma aku yang hanya bisa melihatnya.




“Yank.”


“Hmmm?”


“Ke bubulak dulu yuks.”


“Ngapain?”




Mukanya memerah.


Aku paham.




Dan kami pun membelokkan langkah kami ke arah bubulak. Kami hendak menikmati senja ini berdua; meminta restu kepada semesta untuk kelanggengan cinta kami.

Posting Komentar

0 Komentar