Sorenya ku terbangun dari tidur sudah tak ada ibu di sampingku dan juga aku baru sadar kalau aku sedang berada dalam selimut, padahal tadi waktu memeluk ibu kami tak memakai selimut. 'Bu, kasih sayangmu sungguh luar biasa besarnya'. Gumamku dalam hati, lalu ku beranjak dari kasur dan duduk diruang tengah. Sambil rebahan di kursi mataku melihat langit-langit rumah membayangkan kegagalan dalam mendapatkan hati ibu dan ketakutan jika ibu menyadari kekeliruanku yang telah melakukan tindakan tercela terhadapnya.
Untuk memastikan bahwa ibu baik-baik saja, ku cari ibuku dibelakang dan ternyata memang ibu sedang mencuci piring dikamar mandi sambil jongkok membelakangiku. Ku lihat bongkahan pantatnya yang begitu lebar dan bulat seakan memanggil penisku untuk mampir disitu, dengan santainya ibu mencuci piring tanpa menyadari kehadianku bahwa aku sedang memperhatikannya. Ku hampiri lalu ku perhatikan beberapa saat ibu ternyata seksi juga, padahal hanya memakai daster yang membalut seluruh tubuhnya. Tapi, melihat perjuangan ibu mengurus rumah tangga yang begitu sibuk dengan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga, membuatku merasa kasihan dan tersentuh hatiku jika selama ini sebenarnya sangat menyayangiku.
"Bu..? " Kataku pelan.
"Ehh... Dinn? Kaget ibu nak... Udah bangun? Makan dulu itu diatas meja sayur sop sama goreng tempe..." Ucap ibu menoleh kearahku yang sedikit terperanjat ketika ku panggil dirinya.
Sambil berdiri dibelakangnya aku berkata, "maafin Udin ya bu?"
"Maaf kenapa Din?"
"Udin sudah berburuk sangka kalau ibu tak sayang, juga maafin Udin karena tadi sudah mencium dan memeluk ibu..." Kataku mengucapkannya dengan pelan dan hampir terbata-bata mengatakannya karena takut ibu kesal dengan kelakuanku.
"Sudah jangan dipikirkan nak... Ibu juga salah.."
"Ibu marah sama Udin?" Kataku memastikan.
"Tidak Din... Kenapa kamu berpikiran seperti itu terhadap ibu nak..?" Ucap ibu menoleh kearahku.
"Udin takut ibu kembali seperti dulu lagi..." Kataku sedikit takut juga mengatakannya. Lalu ibu menghentikan aktivitas mencuci piringnya dan membersihkan tangannya.
"Supaya kamu yakin ibu tak marah gara-gara kejadian tadi, seharusnya peluk ibu dari belakang... Sekalian sambil pijitin ibu dong..." Ucap ibu tersenyum lalu melanjutkan mencuci piringnya.
Saking senangnya aku pun mengikuti arahan ibu, ku peluk tubuhnya dari belakang dengan melingkarkan kedua tanganku dipinggangnya, sambil sama-sama jongkok tentunya. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi aku sama ibu kayak katak lagi kawin aja. Meskipun demikian aku senang ibuku ternyata tak marah kepadaku.
"Bu? Boleh setiap hari Udin memeluk ibu?" Sambil ku rapatkan tubuhku dengan tubuhnya, sampai ku rasakan rasa hangat dan nyaman tatkala ku peluk ibuku.
"Tapi ingat! Jangan sampai pas lagi ayah kamu ada Din? Takutnya ayahmu berpikiran yang bukan-bukan.."
"Iya bu... Makasih ya..? Udin sayang sama ibu..." Ku cium lehernya.
"Ahhh... Udinn ihhh! Ibu geli kalau dicium leher!" Ucap ibu sambil menggoyangkan tubuhnya mengingatkanku.
"Ehh.. maaf bu... Soalnya Udin saking senengnya pengen nyium leher ibu..." Kataku sambil mengusap perut ibu yang terasa ramping. Meskipun tak bahenol seperti ibu-ibu tetangga, saya merasa beruntung karena bagiku adalah sensasinya yang terasa sangat nikmat kurasakan. Tapi ada sisi lebihnya, pantat sama payudaranya lumayan lebar dan gede banget! Ingin sekali ku remas sambil netek di payudaranya ibu yang montok.
"Meluk boleh tapi jangan cium leher ya..? Nanti ibu~" tak dilanjutkan ibu ceritanya.
"Nanti kenapa bu?" Kataku penasaran.
"Ini rahasia ya? ibu juga kalau ayah kamu cium leher ibu gak suka" Ibu menoleh ke arahku yang secara tak sengaja pipinya tercium olehku. Tapi ibu tak ngambek malah memberikanku kesempatan untuk bicara.
"Iya bu, Udin janji ini rahasia kita... Tapi kenapa ibu tak suka dicium leher?" Tanyaku penasaran, yang saya tahu ketika ku cium leher ibu bahkan sampai ku gigit dan ku hisap kuat ibuku tak marah. Lagi lagi saya dibuat heran dengan sikap antara ibu dengan ayah dan ibu denganku.
"Ibu kan sudah bilang kalau ibu dijodohkan Din ?"
"Terus apa hubungannya tak suka dicium leher sama perjodohan bu?"
"Ihh kamu mah ibu belum selesai bicara juga udah dipotong... Hufh!" Kata ibu ngambek, tapi entah punya ide dari mana secara reflek aku cium pipi ibu dan lehernya lalu merayunya dengan sopan dan lembut.
"Ayo dong Buu.. ceritain sama Udin yaa..? Udin sayaaaaannngg banget sama ibu..." Ku peluk ibuku semakin erat sampai batang torpedoku menusuk bagian luar pantatnya.
"Ibu bingung mengatakannya Din..." Tangan ibu menghentikan cuci piringnya. Lalu semakin ku dekap ibuku dan mencium tengkuknya sampai bulu kuduknya berdiri.
"Bu? Ceritain kita akan jaga rahasia ini sama-sama bu..." Ku bujuk lebih serius lagi.
"Ibu rasanya tak mencintai ayahmu Din... Bisa dibilang mungkin hanya sedikit saja..." Akhirnya ibu pun mengatakannya juga, meskipun saya kaget ibuku membangun rumah tangga dalam keterpaksaan.
"Terus, apa ibu tak menyayangiku juga bu? Seperti halnya ibu tak mencintai ayah..?" Kataku yang mulai melonggarkan pelukanku pada ibu, karena mendengar keluhan ibu yang tak memberikan ruang cinta buat ayah, apalagi aku. Tapi rupanya ibu menyadari itu lalu buru-buru ibuku berkata, "kamu mau melepaskan pelukan kamu ke ibu??? Peluk lagi kayak tadi Din?!" Tegas ibu yang membuatku langsung memeluk lagi ibuku dengan semakin erat, malah penisku semakin merapat dengan pantatnya dan tanganku memegang kedua payudaranya, walaupun hanya bagian bawahnya saja.
"Kamu buah hati belahan jiwa ibu Din... tak pernah terpikirkan oleh ibu kamu tak ibu sayangi.. kamu satu-satunya harapan ibu, masa depan ibu..." Ucap ibu menoleh ke samping lalu aku pun mencium pipinya, sejenak ibu membiarkan bibirku mendarat di pipi tembemnya lalu membersihkan piring lagi.
"Berarti... Udin boleh memeluk ibu kapan pun, dimana pun bu??"
"Iya boleh... Tapi dari belakang ya? Jangan dari depan..?"
"Kenapa bu..?"
"Dari belakang aja punya kamu udah berani nusuk ibu, apalagi dari depan ke tusuk punya ibu nanti..." Ucap ibu sambil ketawa, beberapa saat aku berpikir sejenak lalu mulai menangkap apa yang diucapkan oleh ibu.
"Terus kenapa ibu gak marah ku tusuk dari belakang bu?"
"Kalau ibu marah, udah dari tadi ibu pukul kamu pake gayung biar kayak cerita maling Kundang hihi..."
"Ahh ibu bisa aja... Berarti kalau lewat belakang boleh kan bu? " Rabaanku mulai sedikit naik sampai seluruh payudaranya ku pegang dan ku rasakan begitu penuh karena lingkaran payudaranya begitu besar sampai ke samping. Ingin rasanya ku remas kuat payudaranya, tapi sialnya acara cuci piringnya sudah selesai dan ibu menyuruhku meletakkan piring-piring yang sudah dicuci disimpan pada raknya.
Setelah membantu ibu semua pekerjaan rumahnya yang biasa aku lakukan, lanjut mandi, makan, minum jus pisang campur telor dan susu. Kebiasaan minum-minuman yang kaya vitamin ini tak bisa saya tinggalkan, karena memang sudah menjadi kebutuhan tubuhku memproduksi sel-sel sperma.
"Din.. Udin...?!" Ibuku memanggil, lalu ku hampiri ibuku yang ternyata sudah ganti pakaian. Sekarang ibuku memakai kaos oblong, celana panjang hitam agak lebar yang menurutku seperti terbuat dari bahan celana SMA, hanya beda warna saja.
"Ada apa bu..?"
"Mumpung ibu lagi ada waktu senggang, kita ke rumah nenek yuk Din?"
"Sekarang bu..?"
"Iya sekarang aja..."
"Tapi bagaimana kalau ayah pulang bu?"
"Paling besok pulangnya Din... Yuk ke nenek? Ibu juga kangen pengen main ke sana..."
"Baik bu, ayoo.." kataku sangat senang karena akan ke rumah nenek lagi.
"Kamu kok seneng banget sih...?"
"Tentu senang bu... Kan Udin sangat sayang sama nenek..." Mendengar itu ibuku jadi ikut senang, karena aku berarti sangat menyayangi ibunya ibu.
Diperjalanan kami berdua melewati rumah-rumah para tetangga, lalu ±50 meter dari tetangga sekitar aku dan ibuku sampai didepan rumah nenek. Karena posisi rumahnya memang berjauhan dengan para tetangga disekelilingnya.
"Assalamualaikum nek ini Udin...!" Kataku mengetuk pintu.
"Waalaikumsalam, Din? Ehh.. Wati? (Nama ibuku) Kamu juga kesini?" Kata nenek yang sepertinya melihat anaknya dengan jelas, memang mata nenek agak kabur kalau dari kejauhan.
"Masuk.. masuk... Din buatin ibumu minuman..." Kata nenek yang sama-sama duduk di kursi dengan ibu.
"Baik nek, nenek juga mau dibuatin nek?"
"Boleh..." Nenek tersenyum kepadaku.
Saya tahu nenek sedang bersikap layaknya seorang nenek kepada cucunya, padahal kami sudah melakukan hubungan layaknya suami istri.
Beberapa saat kemudian saya pun membawakan minuman untuk mereka berdua, lalu duduk didekat ibu.
Ketika saya datang keduanya sudah mengobrol, entah apa yang sedang di obrolkannya, saya hanya mendengarkannya saja.
"Wati, sebagai ibu yang sayang sama anaknya.. ibu berharap kamu percaya sama Udin.." kata nenek kepada ibuku.
"Maksudnya gimana Mak?" Balas ibu kepada nenek, memang ibuku kalau berhadapan langsung dengan nenek suka memanggilnya dengan nama
"Kejadian dulu apakah kamu masih ingat? Ketika kamu dijodohkan nenek membela kamu mati-matian agar jangan terjadi, tapi kakek kamu bersikeras untuk menikahkan kamu?"
"Iya Mak, saya ingat dan sampai sekarang hati saya belum bisa menerima suamiku sekarang Mak..." Kata ibu kepada nenek. Sambil mereka ngobrol aku tiduran dipangkuan ibu menghadap kearah nenek karena takut tidak sopan, tangan ibu pun mengusap kepalaku.
"Wati... Apa kamu masih mau menuruti nasehat ibu sekarang nak?" Kata nenek.
"Tentu Mak, saya akan menuruti emak karena berkat emak saya dan Udin merasa dipersatukan.." jawab ibu.
"Alhamdulillah, ibu merasa senang mendengarnya. Oiya, ada wasiat penting sebelum ibu meninggal, wasiat ini harus segera ibu katakan sama kamu..." Kata nenek mulai serius pada ibu.
"Apa itu Mak...?"
"Nenek mau kamu menikah sama Udin anakmu..." Duarrrr!!!! Aku dan ibuku terkejut dengan apa yang nenek katakan. Saya tak menyangka nenek akan berkata seperti itu yang tentunya membuat kami berdua terdiam.
"Astaghfirullah Mak, kok emak bilang begitu? Mana mungkin ibu menikahi anaknya sendiri Mak?! Selain itu saya masih bersuami Mak?!" Kata ibu memprotes keputusan nenek.
"Itu pun terserah kamu mau menuruti ibu atau tidak, ibu ingin kamu bahagia bersama putramu. Ibu tak rela kamu sebenarnya menikah dengan suamimu sekarang. Dirumah ini, saat ini juga kamu ibu restui jadi suami istri yang sah Wati.." ucap nenek kepada ibuku yang wajahnya melihatku ketika nenek mengatakan itu. Saya pun tak berani menatap ibuku karena merasa takut dan malu ibuku kecewa dengan keputusan nenek.
"Tapi Mak kenapa emak berpikiran saya dan Udin harus menjadi suami istri Mak...?" Ucap ibuku meminta penjelasan.
"Karena satu-satunya lelaki yang ibu ridhoi untuk menjadi suamimu adalah Udin anakmu. Ibu sangat percaya sama anakmu juga ibu yakin kamu akan bahagia bersama Udin anakmu.. percayalah nak..." Ucap nenek meyakinkan ibu yang sepertinya masih terkejut dengan apa yang dikatakan oleh nenek.
"Beri saya waktu untuk merenung Mak.. memang jujur saja saya tidak bahagia bersama suami saya sekarang... Tapi, entah kenapa saya merasa nyaman bersama Udin anak saya... Biasanya saya tidak pernah berpikiran seperti itu.. tidak pernah.." Ucap ibuku mulai saling sahut menyahut dengan nenek.
"Begini saja. Ini ibu punya cincin kayu dua pasang sebagai tanda kalau kalian berdua setuju menjadi suami istri. Din pakai cincin ini jika kamu setuju ibumu jadi istrimu..." Kata nenek menyuruhku memakai cincin kayu itu. Saya pun bangkit dari lahunan ibu lalu memakainya dijari manisku.
"Nek, saya sangat mencintai ibu. Jika ini amanat dari nenek buatku untuk membahagiakan ibu, saya terima ibuku menjadi istriku nek. Tapi, Udin tidak akan memaksa perasaan ibu untuk menjadikan Udin sebagai suami kedua ibu.. biarlah ibu Udin yang memutuskannya..." Kataku kepada nenek yang sepertinya sangat senang sekali dengan kata-kataku.
"Bagaimana dengan kamu Wati?" Tanya nenek kepada ibu.
"Mak, cincinnya saya terima dulu dan akan saya simpan..." Kata ibu kepada nenek.
"Baiklah, ibu takkan memaksa kamu Wati... Tapi ingat, jika kamu memakai cincin itu berarti kamu setuju ya...?" Tegas nenek kepada ibuku. Lalu ibu pun mengambil cincin itu dan menyatukannya dengan kalung emasnya. Kalung itu adalah mas kawin pernikahan ibu dengan ayahku.
Setelah membahas pembicaraan yang sangat serius itu, kami bertiga ngobrol apapun yang bisa menjadi bahan obrolan hingga malam hari. Sepertinya hari ini saya tak bisa melampiaskan hasratku menyetubuhi nenekku karena ada ibu. Akhirnya aku tidur dikamar sebelah sedangkan nenek bersama ibu dikamar nenek.
0 Komentar