IBU DAN NENEKU PART 4


Diperjalanan menuju rumah, aku sangat bahagia sekali karena kebiasaan rutinku setiap hari sudah tidak akan kulakukan lagi, badanku pun terasa ringan seakan seperti terlepas dari belenggu birahi yang mengikat. Nenek menjadi tempat bagiku untuk melepaskan segala beban yang ditanggung penisku. Rasa ngilu ketika penisku dijepit vagina nenek masih terasa dalam bayanganku, kehangatan dan kelembutannya bakalan sulit aku lupakan.




Sesampainya dirumah kulihat ibu sedang nyapu dihalaman depan yang kiri kanannya ada beberapa pohon mangga yang daunnya berguguran, rasanya tak tega melihat ibu dari sejak ku pergi selalu mengerjakan pekerjaan rumah, dengan inisiatif sendiri ku hampiri ibuku

"Assalamualaikum bu, Udin pulang... Sini biar Udin aja bu yang nyapu, ibu istirahat aja..." Kataku sambil berdiri disampingnya.


"Din? Kamu baru pulang? Gimana nenek kamu baik-baik saja?" Tanya ibu yang sapunya diberikan kepadaku.


"Iya bu, Udin baru dari rumah nenek... Udin mungkin akan sering-sering main kerumah nenek bu..."


"Kok tumben? Biasanya kamu abis dari sana gak lama langsung pulang?" Tanya ibu penasaran.


"Nenek udah tua bu... Udin merasa kasihan.. kata nenek juga Udin disuruh sering nginep malah bu..." Sambil nyapu ternyata ibu malah nemenin aku mengikuti kemana aku pergi nyapu sampah dedaunan yang jatuh ke tanah.


"Ibu senang mendengarnya Din, iya ibu gak bakalan ngelarang kamu mau nginep atau sering mengunjungi nenekmu... Kamu tahu? ibu segan sama nenek kamu Din. Bisa kualat kalau ibu melawan orang tua..."


"Emang ibu se-sayang apa sih sama nenek? Udin perhatikan ibu tak berani melawan perintahnya?" Ucapku penasaran, karena memang yang aku tahu ibu tidak berani menolak apapun yang nenek suruh. Seperti halnya aku sama ibuku tak berani melawan perintahnya karena takut dosa sama orang tua.


"Kamu gak tahu sama sekali Din?" Ucap ibu berdiri di sampingku sedangkan aku membungkuk menyapu. Ku menoleh kearah ibu sambil mataku memperhatikan tubuhnya. Aku sempat tertegun dengan baju dasternya yang dibagian dada menonjol payudaranya menjeplak dibalik kain dasternya.


"Tahu apa bu? Emang apa yang dirahasiakan ibu sama Udin?" Tanyaku lagi pada ibu, tak terasa beres juga nyapunya, tapi aku malah heran kok ibu ngikuti aku terus perasaan? Biasanya ku ingat-ingat tak seperti ini tingkahnya.


"Ibu sama bapak kamu tuh sebenarnya dijodohin sama kakek kamu... Tapi nenek kamu melarang karena bapak kamu dulu pernah nyakitin nenek"


"Lho? Kok Udin baru tahu sih bu? Terus ibu cinta kan sama ayah bu?" Tanyaku pelan, meskipun posisi rumah kami disekat pakai pembatas pagar bambu, tapi aku takut ada orang yang kebetulan lewat.


"Awalnya sih ibu sedih Din... Tapi lama-lama ibu cinta juga sama bapak kamu. Kalau ibu lagi kesal jujur saja kamu suka jadi bahan pelampiasan kemarahan ibu, makanya ibu kadang gak tega juga sama kamu Din... Maafin ibu ya..?" Mendengar curahan hati ibu, aku baru tahu rahasia yang tersembunyi dibalik pernikahannya. Juga sekarang aku tahu kenapa ibu selalu memarahiku, ternyata hanya pelampiasan kekesalan karena perjodohan.


"Gak apa-apa bu, Udin sekarang tahu kenapa ibu suka marahin Udin dengan suatu masalah yang Udin sendiri tidak paham... Tapi Udin senang ibu sudah terbuka sama Udin, kok tumben ibu betah cerita? Biasanya ngomel-ngomel terus hehee..." Kataku candain ibuku.


"Ehh.. iya ya? Ibu baru sadar kok ibu lihat kamu beda banget Din?" Ucap ibu menatap wajahku tajam.


"Aneh kenapa bu? Apa Udin bukan anak ibu?" Kataku polos.


"Hushh!! Kamu kalau ngomong suka ngasal... Kamu anak ibu lah! Masa anak ayam... Hihii..." Ucap ibu ketawa






Saya sendiri baru sadar kalau ibu kok beda banget, lebih respek dan terbuka. Apa mungkin karena kebaikanku yang sudah membahagiakan nenek? Orang tua ibuku? Gumamku dalam hati.






"Kirain Udin, Udin anak tiri bu... Soalnya Udin selalu aja kena marah ibu, selalu dimarahi, diomelin terus..." Rupanya kata-kataku telah membuat ibu sedih dan menitikkan air mata.


"Bu? Ibu menangis? Maafin Udin bu... Udin memang gak guna selalu menyusahkan ibu... Kita kedalam aja yuk bu? Nanti Udin disebut anak durhaka sama tetangga." Ku ajak ibu masuk kedalam rumah lewat pintu dapur belakang rumah, lalu kami duduk dikursi diruang tengah. Saya dudukkan ibu, lalu mengambil air putih didalam gelas bening dan ku berikan kepada ibuku.






Setelah ibu menenangkan diri, ibu mulai bercerita lagi meskipun masih tersisa pada ibu bekas dari tangisan yang terisak-isak tadi.






"Din, nenek tak mau tinggal sama kita dirumah ini sebenarnya tak suka sama bapak kamu... Sampai sekarang bapak kamu kadang suka memperlihatkan tingkah laku yang tak beradab sama nenek kamu.. ibu sedih sebenarnya Din, tapi berkat kamu ibu senang nenek ada yang jagain, apalagi kamu cucu kesayangannya..." Ucap ibu yang semakin deras meneteskan air mata. Melihat ibu menangis jiwa lelakiku yang gak tegaan merangkul ibu sehingga ibu menyender miring kearah dadaku.


"Terus, tadi ibu bilang aku beda, beda apanya sih bu? Perasaan Udin gak ada yang berubah...?" Kataku mengingatkan ibu tentang obrolan diluar tadi.


"Gak tahu Din, kok kamu beda banget.. ibu kayak merasa ada nenek pada diri kamu. Makanya ibu merasa seolah lagi curhat sama ibuku sendiri Din... Nenek kamu.." mendengar omongan ibu barusan, aku merasa semakin heran ada apa denganku? Sejak menyetubuhi nenek, mendapat doa dari nenek ibu jadi berubah begini?.


"Bu? Apa ibu mau sendiri dulu atau Udin temenin supaya ibu tenang...?"


"Biarin ibu dipeluk kamu dulu Din..." Aku peluk ibu menunggu dirinya puas menangis di pelukanku. Jika dilihat-lihat tubuh ibu seperti artis Paramitha Rusady lagi pake daster, aku merasa seperti ada rasa aneh pada diriku. Kenapa aku berpikir dan ada dorongan kuat agar menyetubuhi ibuku sendiri? Bisikan-bisikan jahat seakan mengerubungi hati dan pikiranku untuk melakukan sebuah hubungan cinta sedarah dengan ibu.






Penisku pun merespon pikiran jahatku, hingga batangku terbangun mengeras dan menggeliat merasakan adanya lobang hangat didekatnya. Dengan gemetar aku seka air mata ibuku dengan jempolku, lalu memegang pipi kanannya dengan tangan kiriku. Ketika ku letakkan telapak tanganku dipipi kanannya, ibuku merasa rileks dan mulai tenang.






"Din? Tangan kamu anget banget di pipi ibu nak... Biarin disitu jangan dilepas dulu Din... Kok ibu merasa nyaman banget..." Ucap ibu memegang tanganku agar jangan dilepas. Tentu aku merasa bingung karena keadaan seperti ini membuatku dengan ibu terasa sangat dekat sekali dengan wajahnya.


"Bu? Nanti ada ayah datang lho... Liat ibu nangis terus lagi dipeluk Udin.." kataku mulai merasa takut kalau sampai dilihat ayah dalam posisi dan suasana seperti ini.


"Kamu gak tahu ya? kalau bapak kamu lagi pergi kondangan?"


"Gak tau bu... Emang siapa sih yang nikah?"


"Itu anak keduanya pak Asep katanya sih nikah sama orang cipepek.."


"Bukannya kampung cipepek jauh banget bu? Butuh setengah hari perjalanan lho bu...? Terus kenapa ibu gak ikut?" Aku entah sejak kapan sambil ngobrol mulai menciumi kepala sama pipi ibuku, tapi ibu tak mempedulikannya membiarkanku melakukan itu. Mungkin menganggapnya rasa sayang dari putranya, padahal sejak ku peluk ibuku penisku mulai bereaksi aneh.


"Kalau ibu pergi nanti kamu di rumah sendirian Din... Lagian ayah kamu nyuruh gak boleh ikut soalnya perjalanannya sangat jauh... Kok kamu senyum-senyum sih sama ibu?" Kata ibu sambil mencubit pahaku.


"Aduh! Ibu ihh nakal... Udin bales nihhh...?!" Kataku sambil mencubit pahanya bagian tengahnya tapi pelan saja.


"Tuh! Kamu udah nyakitin ibu nyubit paha ibu... Dosa lho Din...?"


"Ahh biarin! Lagian ibu juga yang mulai duluan... Tapi gak sakit kan bu...?"


"Gak berasa Din, soalnya kamu gak keras kan nyubitnya? Ibu tadi hanya bo'ongan doang pura-pura sakit hihiii..." Ucap ibuku ketawa renyah, enak banget dilihatnya.


"Oiya bu, Udin dapat salam dari nenek buat ibu. Nanti kalau ada waktu main kerumah nenek ada yang ingin dibicarakan katanya penting bu..?"


"Ada apa ya? Ibu kok punya firasat aneh...?"


Ucap ibu yang masih tetap ku peluk tubuhnya.


"Mungkin ada perlu banget sama ibu, tapi katanya jangan sampai ayah tahu bu ke rumah neneknya...?"


"Kenapa emang Din? Oh iya ibu paham kenapa nenek kamu gak mau ketemu ayah... Ya sudah nanti Anter sama kamu aja ke rumah neneknya ya...?"


"Baik bu, oiya ibu udah baikan sekarang? Gak sedih lagi? Udin lepas ya pelukannya..?" Kataku pada ibu yang masih aja memelukku, bahkan tangannya melingkar di pinggangku.


"Udah, ibu udah gak sedih lagi... Ibu heran kok kamu kayak berwibawa Dimata ibu? Deket kamu ibu merasa nyaman banget...?" Ucap ibu menatapku, ahh! Rasanya ingin ku cium saja bibirnya, tapi aku takut ini hanya sesaat saja.


"Udin juga merasa nyaman dengan ibu. Bu? Jadilah seperti ini terus.. jangan marahin Udin lagi... Udin pengen seperti ini dekat dengan ibu... Untung ibu tadi sudah terbuka waktu kita ngobrol diluar, Udin senang akhirnya masalah itu sudah ditemukan titik permasalahannya dan terselesaikan". Sekarang malah aku peluk ibuku dari samping bermanjaan dengan ibu, lalu giliran aku bersandar dipundaknya. Tercium dari kulit lehernya minyak wangi bunga rose yang begitu menggairahkan, sampai secara reflek aku cium leher ibu sambil menghembuskan hawa panas dari dalam tubuhku. Ketika ku cium itu ibuku sampai sempat mendesah tapi ditahannya kembali dan memprotesku.


"Udin?! Geli ihh..." Ucap ibu sambil mendelik tajam matanya kearahku, tapi entah kenapa anehnya aku merasa semakin tertantang ingin lebih dari sekedar mencium leher.


"Gak boleh ya bu...?" Masih mendekap ibu dari samping.


"Bukannya gak boleh Din.. tapi.... Tapi...?"


"Tapi kenapa bu? Udin sayang banget lho sama ibu..." Kataku menyela ibu bicara.


"Iya ibu tahu Din... Tapi jangan disekitar leher ya? Soalnya kulit leher ibu sangat sensitif, itu kelemahan ibu.." ucap ibu malu-malu.






Mendengar hal itu aku malah senang sekali, karena ibu memberitahukan kelemahan dirinya yang paling sulit untuk menolak. Tapi aku biarkan ibu tak ku cium lagi lehernya, aku tak mau memaksakan keegoisanku menguasaiku. Akhirnya, aku hanya mengobrol saja sambil iseng megang-megang pundak ibu sambil memijitinya.






"Iya Din enak disitu..." Kata ibu ketika aku memijiti antara lengan dan pundaknya. Memijiti ibu sambil memeluknya aneh memang, tapi ibu pun merasa tak aneh dengan yang aku lakukan. Biasanya saya tak berani melakukan hal tabu semacam ini dan ibu pun pasti akan marah jika aku memeluknya karena dianggap melecehkan. Aku bertanya-tanya pada diriku lagi, apa yang terjadi terhadapku? Apakah ini akibat dari menyetubuhi nenek lalu anaknya alias ibuku ikut terpengaruh oleh kata-kataku? Atau mungkin ini hukuman atas diriku karena perbuatan maksiatku yang melampaui batas?.






Ketika sedang merenung sambil memijiti ibu, tiba-tiba ibu memelukku erat sehingga wajahku mendarat di samping lehernya dan mulutku mengenai kulit lehernya juga. Saking gemasnya karena tekstur kulit ibu yang lembut dan kenyal, secara reflek aku gigit gemas leher ibu. Tentu saja ternyata perkataan ibu benar juga. Ibuku mendesah dan semakin memelukku dengan kuatnya, "Aahhh... Diinnn jangan disituhhh... Aahhh...!!" Tapi tak aku gubris ucapannya, mulutnya memang melarangku tapi reaksi dari tubuhnya malah sebaliknya, ibu menekan-nekanku kearah tubuhnya seakan ibu ingin menyatu denganku.






Ditengah rumah aku terkam leher ibuku dengan gigitan yang penuh nafsu, lalu aku hisap kuat-kuat sampai tubuhnya menggelepar. Sebelum ibu marah karena aku sudah berani melakukan yang baru saja dilarang oleh ibu, cepat-cepat aku minta maaf kepada ibuku tapi kami masih berpelukan di kursi tengah rumah.






"Maafkan Udin bu... Udin sudah berani gigit ibu.." saya sudah selesai bicara tapi ibu masih ngos-ngosan, lalu ibu menatap tepat dimataku dan meneteskan air mata.


"Tega kamu Din... Kamu nafsu sama ibu?! Hampir kita melakukannya. Untung kamu lepaskan mulut kamu dileher ibu?! Coba liatin leher ibu merah gak?" Suruh ibu agar aku mengamati lehernya, ku lihat memang ada bekas gigitan dan hisapan yang berwarna merah membekas di kulit lehernya. Tapi kami masih saja berpelukan dengan ibu yang sedikit miring posisi tubuhnya karena ada pembatas dipinggir kursi. Selain itu pintu rumah depan terbuka lebar, jika ada yang masuk atau melihat kami sedang bercumbu mesra bisa fatal akibatnya.


"Iya bu ada merah-merahnya... Udin memang anak durhaka, tak pantas disayang ibu..." Aku jadi merasa bingung dan takut sifat ibu kembali ke awal yang suka melampiaskan kemarahannya kepadaku.


"Ibu takut kalau ayah kamu lagi pengen, bekas ini masih ada..." Ucap ibu yang sekarang duduk, sebenarnya aku mau melepaskan genggaman tangannya. Tapi sepertinya ibu tahu kalau aku ketakutan, lalu ibu memegang kedua pundakku sehingga kami saling berhadapan.


"Bu? Kenapa ibu tak tampar aja sekalian Udin biar Udin gak mendekati ibu lagi..?" Aku menatap wajah ibu lalu ku tundukan pandanganku.


"Apa kamu pikir ibu akan melakukannya Din?" Tanya ibu yang masih memandangiku.


"Saat Udin menggigit dan menghisap ibu tadi rasanya enak banget bu... Tapi Udin sadar dan melepaskan ibu karena ibu pasti akan marah..." Saat ku katakan itu ibu tersenyum.


"Hei..?! Din liat ibu...?" Kata ibu yang sedang memegang kedua pundakku.






diciumnya bibirku oleh ibu sekitar dua detik ibu mendaratkan bibirnya dengan bibirku.






"Ibu marah Din.. itu hukuman buat kamu..." Ucap ibu yang katanya marah, tapi dengan perkataan yang lembut. Aku sempat tak percaya ibuku berani menciumku. Aku pun merasa terharu mendapat perlakuan istimewa seperti itu, lalu ku beranikan diri mengecup keningnya layaknya seorang pacar mencium kekasihnya dengan lembut. Ketika selesai dikecup, ku lihat ibu memejamkan matanya dan menatapku lagi.






Lagi dan lagi otak warasku mencoba mencerna situasi yang sedang aku dan ibuku lakukan, ada apa dengan ibu? Ada apa denganku? Kenapa sebegitu mudahnya kami melakukan hal tabu semacam ini. Tapi setan dan hawa nafsuku berusaha menerjang akal warasku, sehingga yang tinggal hanyalah rasa penasaran dan keingintahuan. Aku ingin bertanya pada ibu apa yang sudah aku lakukan sehingga ibu jadi liar seperti ini? Mana mungkin hanya karena gara-gara menyetubuhi nenek, anaknya yaitu tidak lain adalah ibuku terpengaruh oleh akibat hubungan sedarah. Belum selesai aku bertanya-tanya pada diriku, rupanya ibu seperti menangkap apa yang sedang aku pikirkan.






"Nak, kamu pasti bingung kenapa ibu yang suka marah-marah sama kamu tiba-tiba menjadi seperti wanita dijalanan menunggu pelanggan..." aku hanya mendengarkan ibuku bicara, meskipun sempat aku kaget ibuku disamakan dengan WTS. Tapi aku tak mau memotong pembicaraannya, biarlah ibu sendiri yang menjawab kebingunganku atas keanehan yang terjadi pada dirinya. Lalu lanjutnya, "ibu pun sama, apa yang sudah terjadi pada ibu? Rasa malu juga akal sehat ibu seperti ditelan oleh birahi yang tiba-tiba menguasai ibu." Sepertinya ibuku tak sanggup bercerita lagi ia hanya menunduk, lalu agar ibu tak merasa bingung dan rasa malunya kembali, ku pangku ibuku bangkit dari kursi menuju kamarku, lalu ku tutup pintu depan dengan kakiku. Ibu pun malah nyempetin mengulurkan tangannya meraih kunci yang tergantung dipintu lalu dikuncinya pintu depan oleh ibu.






"Mau ngapain kita kekamar Din...?" Ucap ibu setelah ku rebahkan tubuhnya.


"Udin pengen tiduran bareng ibu... Gak papa kan bu?"


"Tapi jangan macam-macam ya..?" Rupanya ibu masih ada akal sehatnya.


"Peluk ibu boleh... Hehee?" Bujikku sambil tersenyum.


"Hmmm... " Setelah membalikkan badan hanya suara itu saja yang keluar dari mulutnya, Padahal aku kira ibu mau kalau diajak melakukan berhubungan badan, tapi ternyata aku kena PHP akh!






Sambil ku peluk ibuku dari belakang, tanganku melingkar di pinggangnya lalu perlahan ku rapatkan tubuhku dengan ibuku, karena posisi tubuh ibu yang meringkuk tentu aku pun mengikuti posisi ibu didepanku. Sampai ku rasakan bongkahan pantatnya yang tentunya merekah terasa hangat menempel dengan penisku. Aku takut melakukannya lebih jauh lagi karena tak yakin kalau ibu tak se-sayang nenek, akhirnya sedikit kecewa karena tak mungkin bisa menyetubuhi ibu ku berusaha untuk memejamkan mataku.



Posting Komentar

0 Komentar