Sejak peristiwa di ruang tengah itu, mereka jadi seperti dua orang asing, hanya saat benar-benar perlulah mereka baru bertegur sapa.
Di sisi lain, Anis juga seperti kehilangan sesuatu. P3ni$ Safiq yang besar dan panjang terus menghantui pikirannya, juga j!l4+an dan h!$4pan bocah itu di atas gundukan p4yud4r4nya, dan yang terutama, ku|um4n Safiq di lvb4ng v49in4nya yang sanggup mengantar Anis meraih 0r94$menya.
Semua itu ia rindukan, meski d4l4m hati terus berusaha ia bantah. Tapi tak bisa dipungkiri, pesona Safiq sudah menjerat n4f$u b!r4h!nya. Kalau dia yang beriman saja merasa seperti ini, bagaimana dengan Safiq yang ingusan? Bocah itu pasti lebih menderita.
Anis mulai meneteskan air mata. Pikirannya kacau, campur aduk antara ingin menolak dan minta ditiduri oleh Safiq. Ada rasa ingin merasakan, tapi juga ada rasa takut akan dosa. Tapi adzan subuh yang berkumandang lekas menyadarkannya, cepat ia menghapus air mata dan mengambil air wudhu. Ia harus tegar. Ini perbuatan maksiat. Sangat salah dan berdosa. Tidak boleh diteruskan. Kalau tidak, akan percuma lantunan tobatnya selama ini.
Tapi benarkah seperti itu?
Semuanya berubah saat Anis menerima surat panggilan dari sekolah keesokan harinya. Safiq memberikannya dengan takut-takut, ”M-maaf, Mi.” gagap bocah kecil itu.
Tidak menjawab, Anis menerimanya dan membacanya di kamar. Siangnya, bersama Safiq, ia pergi ke sekolah.
”Nilai-nilainya turun, Bu. Sangat jelek sekali.” kata ibu kepala sekolah yang gemuk berjilbab.
Anis berusaha untuk tersenyum dan meminta maaf.
”Mungkin ada masalah di rumah?” tanya ibu kepala sekolah. ”Dulu Safiq itu sangat pintar, salah satu yang terpandai di kelas. Tapi sepertinya sekarang lagi mengalami penurunan motivasi.”
”Emm, sepertinya tidak ada.” jawab Anis berbohong, padahal dia sangat tahu sekali apa yang dipikirkan anak angkatnya itu.
”Baiklah, saya harap ibu membantu kami untuk mengembalikan semangat belajarnya. Kalau begini terus, ia bisa tidak naik kelas.” pesan ibu kepala sekolah sebelum mengakhiri pertemuan itu.
Anis pun mengucapkan terima kasih dan memohon diri. Dilihatnya Safiq yang meringkuk ketakutan di sampingnya. DiP3luknya bocah kecil itu dan berbisik, ”Umi tunggu di rumah, belajar yang rajin ya…”
Safiq mengangguk. Mereka pun berpisah, Anis kembali ke rumah, sementara Safiq meneruskan pelajarannya.
Sorenya, saat pulang dari sekolah, Safiq mendapati ibunya menyambut di ruang tamu. Wanita itu memeluknya dengan erat. ”Maafkan Umi, Fiq. Gara-gara Umi, kamu jadi begini.” kata Anis lirih sambil berlinang air mata.
Belum sempat Safiq berkata, Anis sudah menunduk dan m3lum4t b!b!rnya dengan lembut. DiC!um untuk pertama kali, tentu saja membuat Safiq jadi gelagapan, tapi ia cepat belajar. Saat b!b!r Anis terus mendecap dan menempel di b!b!rnya, iapun mengimbangi dengan ganti melahap dan mengh!$4pnya rakus. DiN!km4t!nya l!d4h sang bunda yang kini mulai menjelajah di mu|u+nya.
”Ehmm… Mi,” Safiq melenguh, sama sekali tak menyangka kalau akan diberi kejutan menyenangkan seperti ini.
”Sst…” Anis kembali membungkam b!b!rnya. ”Diam, Sayang. Umi ingin menebus kesalahan kepadamu.” Pelan Anis menarik tangan Safiq dan ditempelkan ke arah gundukan p4yud4r4nya. ”Kamu kangen ini kan?” tanyanya sambil tersenyum m4n!s.
Dengan polos Safiq mengangguk dan mulai m3r3m4$-r3m4$ pelan. Jari-jarinya memijit untuk merasakan tekstur bulatan yang sangat meng94!r4hkan itu. Seperti biasa, ia tidak bisa mencakup seluruhnya, p4yud4r4 itu terlalu besar. Safiq bisa merasakan kalau Anis tidak memakai BH, tvbvh sintalnya cuma dibalut daster hijau muda yang sangat tipis sehingga ia bisa menemukan pu+!ngnya dengan cepat.
“Mi,” sambil memanggil nama sang bunda, Safiq meneruskan jelajahannya. Ia tarik tali daster Anis ke bawah hingga baju itu turun ke pinggang, menampakkan bu4h d4d4 sang bunda yang sungguh besar dan menggiurkan. Safiq memandanginya sebentar sebelum lehernya maju untuk mulai mencucup dan menj!l4+inya, sambil tangannya terus m3r3m4$-r3m4$ pelan.
Anis mer3b4hkan diri di sofa, dibiarkannya Safiq men!nd!h tvbvhnya dari atas. B!b!r bocah itu terus men3lu$ur di sepanjang bukit p4yud4r4nya, mulai dari pangkal hingga ujungnya, semuanya dih!$4p tanpa ada yang terlewat. Beberapa kali Safiq membuat cupangan-cupangan yang membikin Anis mer!nt!h kegelian. Terutama di sekujur pu+!ngnya yang mulai kaku dan men3g4n9, baik yang kiri maupun yang kanan. Safiq mengh!$4p benda mungil kemerahan itu dengan begitu rakus, ia mencucupnya kuat sekali seolah seluruh p4yud4r4 Anis ingin dilahap dan ditelannya bulat-bulat. Tapi tentu saja itu tidak mungkin.
“Ehmmm…” mer!nt!h keen4k4n, Anis membimbing salah satu tangan Safiq untuk turun menj4m4h k3m4lu4nnya yang sudah sangat basah. Ia sudah menanti hal ini dari tadi. Sepulang sekolah, Anis berpikir dan merenung, Safiq jadi malas belajar karena p3r$eteruan mereka tempo hari. Maka, untuk meningkatkan kembali semangat bocah kecil itu, inilah yang bisa ia lakukan. Anis akan memberikan tvbvhnya!
Jangan dikira mudah melakukannya. Anis sudah menimbang dengan matang, memikirkan segala resikonya, dan tampaknya memang inilah jalan yang terbaik. Selain bagi Safiq, juga bagi dirinya sendiri. Karena tak bisa dipungkiri, Anis menginginkannya juga, hari-harinya juga berat akhir-akhir ini.
Pesona k3m4lu4n Safiq yang besar dan panjang terus mengganggu tidur malamnya. Mas Iqbal yang selalu setia menem4n! di atas r4nj4n9, mulai tidak bisa memuaskannya. Memang p3ni$nya juga besar dan panjang, tapi entahlah, dengan Safiq ia seperti mendapatkan sensasi tersendiri. Sensasi yang membuat 94!r4h dan b!r4h!nya berkobar kencang. Sama seperti sekarang.
Bergetar semua rasa tvbvh Anis begitu Safiq mulai memainkan jari di lvb4ng v49in4nya. bocah itu menggesek-gesek kelentitnya pelan sebelum akhirnya m3nu$ukkan jari ke d4l4m lvb4ngnya yang sempit dan gelap. ”Ough,” Anis mer!nt!h nikmat. Di atas, b!b!r Safiq terus bergantian menj!l4+i pu+!ng kiri dan kanannya sambil sesekali mengh!$4p dan mengg!g!tnya rakus.
Anis mendorong kepala bocah kecil itu, meminta Safiq untuk beranjak ke bawah. Safiq yang mengerti apa keinginan sang bunda, segera menurunkan c!umannya. Ia j!l4+i sebentar perut Anis yang masih langsing dan kencang sebelum mu|u+nya parkir di k3w4n1taan perempuan yang sudah membiayai hidupnya itu.
”J!l4+, Fiq!” Anis meminta sambil membvk4 kakinya lebar-lebar, memamerkan k3m4lu4nnya yang sudah becek memerah pada Safiq.
Si bocah menelan ludah, memandangi sebentar lvb4ng indah yang terakhir kali dilihatnya sebulan yang lalu itu. Perlahan mu|u+nya turun saat Anis menarik kepalanya. Safiq menjulurkan l!d4h dan mulai m3nc!uminya. Ia lumat b!b!r tipis yang tumbuh berlipat-lipat di tengah permukaannya. Bulu k3m4lu4n Anis yang tercukur rapi juga dic!uminya dengan senang hati. Anis merasakan Safiq membvk4 b!b!r k3m4lu4nnya dengan dua jari. Dan saat terkuak lebar, kembali lorongnya dibuat mainan oleh bocah kecil itu.
L!d4h Safiq bergerak l!4r, juga cepat dan sangat d4l4m. Namun yang membuat Anis tak tahan adalah saat l!d4h bocah itu masuk diantara kedua b!b!r k3m4lu4nnya sambil mengh!$4p kuat-kuat kelentitnya. Lama tidak bertemu, rupanya Safiq jadi tambah lihai sekarang. Diam-diam Anis bersyukur d4l4m hati, rupanya ia tidak salah membuat keputusan. Memang, ia tahu ini dosa -salah satu dosa besar malah- tapi kalau rasanya senikmat ini, ia sama sekali tidak menyesal telah melakukannya.
Safiq terus memainkan k3m4lu4n Anis. Mu|u+nya mengh!$4p begitu rakus dan kencang, hingga d4l4m beberapa menit, membuat sang bunda jadi benar-benar tak tahan. ”Auw… arghh!” Mengejang keen4k4n, Anis pun berteriak sekuat tenaga sambil mengangkat p4nt4tnya tinggi-tinggi. Kelentitnya yang sedang dijepit oleh Safiq, berkedut kencang saat cairannya menyembur deras membasahi lantai ruang tamu.
”Hah, hah,” terengah-engah, Anis m3r3m4$ pelan rambut Safiq yang duduk berjongkok di lantai.
”En4k, Mi?” tanya bocah kecil itu dengan polos, matanya menatap sang bunda sebelum beralih memandangi $el4n9k4ng4n Anis yang masih mengucurkan sisa-sisa cairan 0r94$menya.
0 Komentar