ANAK ANGKAT KU PART 4



Anis berusaha menerima dengan ikhlas dan lapang d4d4. Toh kini sudah ada Safiq yang menem4n! hari-harinya. Dan bagusnya, bocah itu bisa bertindak lebih dari sekedar anak.




Itu dibuktikan Safiq saat mereka berbincang berdua sambil menunggu mas Iqbal yang bekerja lembur. Berdua mereka duduk di sofa ruang tengah, di depan televisi. Mereka mengobrol banyak, mulai dari sekolah Safiq hingga saat-saat !nt!m mereka berdua yang menjadi semakin sering. ”Kamu nggak bosen nenen sama Umi?” tanya Anis sambil membelai rambut Safiq yang lagi-lagi tenggelam ke b3l4h4n bu4h d4d4nya.




Dengan mu|u+ penuh p4yud4r4, Safiq berusaha untuk menjawab, ”Ehm… enggak, Mi. $u$u umi en4k banget!”




”Saat aku k0c0k gini, en4k juga nggak?” tanya Anis yang tangannya mulai menerobos ke d4l4m lipatan sarung Safiq.




Safiq melenguh pelan saat merasakan jari-jari Anis melingkupi b4+4n9 k3m4lu4nnya dan mulai men90c0k pelan benda coklat panjang itu. ”Hmm, en4k, Mi.” sahutnya jujur.




Anis tersenyum, dan melanjutkan aksinya. Terus ia permainkan b4+4n9 p3ni$ sang putra angkat hingga Safiq melenguh kencang tak lama kemudian. Badan kurusnya kejang saat $p3rm4nya berhamburan mengotori sarung dan tangan Anis. Mereka terdiam untuk beberapa saat. Anis memperhatikan tangannya yang belepotan $p3rm4, dan selanjutnya mengelapkan ke sarung Safiq. Lalu dip3luknya bocah itu penuh rasa sayang.




”Terima kasih, Mi.” gumam Safiq di sela-sela p3lukan mereka.




Anis m3n9ecup pipinya lalu membimbing anak itu untuk pindah ke kamar, sekarang sudah waktunya untuk tidur. Tapi Safiq tidak langsung beranjak, ia tetap duduk di sofa, sementara Anis sudah berdiri di hadapannya. Safiq menengadah memandangnya dengan tatapan sayu. Dengan nada bergetar, bocah itu berucap, ”Safiq sayang Umi,” sambil mu|u+nya mendekat untuk m3nc!um k3m4lu4n Anis.




Anis jadi bingung, mau menolak, tapi takut membuat Safiq kaget dan malu. Dibiarkan, ia tahu apa yang diinginkan bocah kecil itu. Belum sempat menjawab, tangan Safiq sudah menyu$up ke balik dasternya untuk mengusap p4h4 Anis dari luar. Dan terus makin ke atas hingga menemukan CD yang membungkus p4nt4t bulatnya. Anis sedikit terhentak saat Safiq mem3g4n9 dan menarik turun kain mungil itu. ”Ah, Safiq! Apa yang kamu lakukan?” teriaknya, tapi tetap membiarkan sang putra angkat menelanjangi dirinya. Ia berpikir, mungkin Safiq hanya akan m3nc!umnya sesaat saja.




Tapi tebakannya itu ternyata salah. Memang Safiq cuma m3nc!um pelan, hanya bagian luar yang dij4m4h oleh bocah kecil itu. Tapi itu cuma awal-awal saja, karena selanjutnya, saat melihat tidak ada penolakan dari diri Anis, iapun melakukan yang sebenarnya, Safiq mengangkat salah satu kaki Anis ke sandaran sofa hingga kini $el4n9k4ng4n sang ibu angkat terbvk4 jelas di depan matanya. Diperhatikannya k3m4lu4n Anis yang basah merona kemerahan untuk sesaat, sambil tangannya m3r3m4$ dan meng3lu$-3lu$ bongkahan p4nt4t Anis dengan gemas.




”Ehm,” Anis melenguh, tvbvh sintalnya mulai bergetar. Ia yang awalnya ingin menolak, kini malah terdiam mematung. Anis pasrah saja saat b!b!r k3m4lu4nnya mulai dis3ntuh oleh Safiq, dari mulai j!l4+an yang sopan hingga semakin lama menjadi semakin gencar.




Akhirnya Anis malah merapatkan k3m4lu4nnya ke b!b!r Safiq dan tanpa sadar mulai menggoyangkan pinggulnya. Aksinya itu membuat Safiq semakin leluasa m3nc!umi lvb4ng k3m4lu4nnya.




”Ough…” Anis merasakan l!d4h Safiq semakin kuat menari dan menjelajahi seluruh lekuk k3m4lu4nnya. Ia merasakan cairan k3w4n1taannya semakin deras mengalir seiring dengan rangsangan Safiq yang semakin kuat. Entah darimana bocah itu belajar, tapi yang jelas, j!l4+an dan h!$4pannya sungguh terasa nikmat. Tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh mas Iqbal membuat Anis mer!nt!h kegelian, namun terlihat sangat menyukai dan men!km4t!nya. Ia 3lu$-3lu$ kepala Safiq yang terjepit diantara pangkal p4h4nya, hingga akhirnya tvbvhnya mengejang dan menekuk kuat tak lama kemudian.




Safiq yang tidak mengetahui kalau Anis akan mencapai puncak, terus mengh!$4p kuat-kuat disana. “Uuhh…” didengarnya sang ibu angkat melenguh sambil menghentak-hentakkan pinggulnya. Dari d4l4m lvb4ng surga yang tengah ia nikmati, mengalir deras cairan bening yang terasa agak sedikit kecut. Baunya pesing, seperti bau air kencing. Cepat Safiq menarik kepalanya, tapi tak urung, tetap saja beberapa tetes a!r m4n! itu membasahi mukanya. Diperhatikannya Anis yang saat itu masih merapatkan kaki dengan tvbvh mengejang-ngejang pelan. Selanjutnya, tanpa suara, istri Iqbal itu jatuh lunglai ke atas sofa, men!nd!h badan kurus Safiq ke d4l4m p3lukannya.




Mereka terdiam untuk beberapa saat. Anis berusaha untuk mengatur nafasnya, sementara Safiq dengan polos melingkarkan tangan untuk mengusap-usap b0k0ng bulat Anis yang masih terbvk4 lebar.




”D-darimana kamu b-belajar seperti i-itu, Fiq?” tanya Anis saat gemuruh di d4d4nya sedikit mulai tenang.




Safiq memandangnya, ”Dari Umi,” jawabnya polos.




“Jangan ngawur kamu, Umi nggak pernah ngajarin yang seperti itu.” sergah Anis sedikit berang.




“Memang nggak pernah, tapi Umi pernah memintanya.” sahut Safiq.




“Meminta? Maksud kamu…”




Safiq pun berterus terang. Kemarin ia memergoki kedua orang tua angkatnya b3rc!nt4 di ruang tengah, di sofa dimana mereka tengah berp3lukan sekarang. Saat itu Anis meminta agar mas Iqbal meng0r4l k3m4lu4nnya, tapi laki-laki itu menolak dengan alasan jijik dan dilarang oleh ajaran agama. Anis memang kelihatan kecewa, tapi bisa mengerti.




Safiq yang terus mengintip jadi menarik kesimpulan perempuan suka jika k3m4lu4nnya dij!l4+. D4l4m hati Safiq berjanji, ia akan melakukannya untuk membalas budi baik Anis yang selama ini sudah merawat dan menyayanginya.




”Kamu sudah salah p4h4m, Fiq,” di luar dugaan, bvk4nnya senang, Anis malah terlihat ketakutan.




”Kenapa, Mi?” tanya Safiq kebingungan.




“Setelah menj!l4+, kamu pasti akan melakukan hal lain, seperti yang kamu tonton kemarin malam. Benar kan?” tuduh Anis.




Safiq terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Memang sempat terbersit di hati kecilnya untuk melakukan apa yang sudah diperbuat kedua orang tua angkatnya. Sepertinya nikmat sekali. Sebagai seorang remaja yang baru tumbuh, ia jadi penasaran, dan ingin merasakannya juga. Safiq sama sekali tidak mengetahui kalau itu sangat-sangat dilarang dan tidak boleh.




“Ah, ini salah Umi juga.” keluh Anis, pelan ia menarik tvbvhnya dan duduk di sisi Safiq. Tangan Safiq yang terulur untuk mem3g4n9i bongkahan p4yud4r4nya, ditepisnya dengan halus. Safiq jadi terdiam dan menarik diri. Anis merapikan bajunya kembali.




“M-maaf, Mi.” lirih Safiq dengan muka menunduk, sadar kalau sudah melakukan kesalahan besar.




“Tidak apa-apa. Tapi mulai sekarang, jangan nenen sama Umi lagi, kamu sudah besar.” putus Anis sambil bangkit dan beranjak menuju kamar, meninggalkan Safiq sendirian di ruang tengah menyesali kebodohannya.




***




Esoknya, Anis menyiapkan sarapan d4l4m diam. Dia yang biasanya ramah dan ceria, hari ini terlihat seperti menanggung beban berat. Mas Iqbal bvk4nnya tidak mengetahui hal itu, tapi dia mengira Anis cuma lagi PMS saja. Tapi setelah ditunggu berhari-hari, dan sang istri tercinta tetap cemberut saja, bahkan cenderung k3r4$ hati, iapun mulai curiga.


”Ada apa, Nis? Kuperhatikan, kamu berubah akhir-akhir ini. Ceritakanlah, siapa tahu aku bisa membantu.”


Anis menggeleng, ”Ah, nggak, Mas. Tidak ada apa-apa, aku cuma lagi capek aja.”


”Jangan bekerja terlalu k3r4$. Ingat, kita kan lagi program hamil.” Mas Iqbal mengingatkan.


Anis berusaha untuk tersenyum, ”Iya, Mas.” Dan saat sang su4m! merangkul lalu m3n9ecup b!b!rnya untuk diajak menunaikan sunnah rasul, iapun berusaha melayani dengan sepenuh hati. Siapa tahu, dengan begitu ganjalan di relung hatinya bisa cepat sirna.


Tapi harapan tetap tinggal harapan. Bvk4nnya hilang, hatinya malah semakin resah. Apalagi saat melihat Safiq yang mulai menjauhinya. Bvk4n salah bocah itu juga, Anis juga jarang mengajaknya bicara berdua seperti dulu.

Posting Komentar

0 Komentar