(POV PAK KARIM)
Namaku ahmad karim orang-orang biasa memanggilku karim. Istriku bernama juleha, bersama istri aku aku dikaruniai putri satu-satunya yang bernama ine. Sebenernya aku pengen menambah anak lagi akan tetapi Tuhan tidak merestui jadilah ine sebagai putri tunggalku.
Aku seorang pengusaha meubel di kota ini. Aku merintis meubel sudah bertahun-tahun. Dulu aku adalah seorang tukang kayu. Waktu muda aku terbiasa menabung gaji dari tukang kayu aku kumpulkan selama bertahun-tahun, dirasa tabunganku sudah cukup aku mulai resign dari tempatku bekerja. Aku mulai merintis usaha meubel, selang dua tahun meubel berdiri aku meminang juleha jadi istriku. Juleha bunga desa pada waktu itu akupun bersyukur dapat meminang juleha meski usahaku baru berdiri. Jatuh bangun, pasang surut aku menjalankan bisnis meubel dan sekarang aku bersyukur usaha meubelku bisa terbilang sukses dan terbesar di kotaku.
Aku memperkerjakan banyak karyawan. Awalnya juleha hanya sebagai ibu rumah tangga tapi setelah putriku masuk sekolah juleha ingin merintis usaha akhirnya dipilihlah usaha mini market yang berada di kota ini. Setelah juleha sibuk dengan usahanya urusan rumah akhirnya terbengkalai akhirnya aku merekrut pembantu rumah tangga. Aku meminta tetanggaku untuk mencarikan pembantu dan dia bilang ada pembantu tapi agak jauh dari desa. Tetanggaku bercerita calon pembantuku ini bernama mbak Wati, mbak wati ini sangat butuh pekerjaan karena dia tulang punggung keluarga. Suaminya meninggal akbat kecelakaan kerja di proyek sehingga dia sangat butuh pekerjaan untuk membiayai anaknya yang berada di desa. Aku terenyuh mendengarkan cerita tetanggaku, akhirnya akupun mengangkat mbak wati jadi pembantu kamu. Tak disangka-sangka mbak wati orang bekerja keras, jujur dan tanggung jawab. Urusan rumah setiap hari hari diselsaikannya rumah selalu bersih dan wangi. Akupun mengapresiasi kinerjanya, disamping mengurus rumah mbak wati juga menjadi juru masak kami, masakannya enak dan sesuai lidah saya. Jadi aku dan istri sangat cocok dengan kehadiran mbak wati di rumah ini.
Siang itu, anakku pulang awal sekolah karena guru-guru di tempat sekolah putriku dengan rapat. Ketika masuk rumah anakku menemukan mbak wati tidak sadarkan diri. Putriku yang terkejut langsung menelponku mengabarkan bahwa mbak wati pingsan, waktu itu aku masih di gudang tempat workshop meubel sangat kaget atas kabari dari putriku dan bergegas ke rumah tak lupa juga saya mengabari istri tentang kabar mengejutkan itu. Setelah di rumah akupun segera membawa mbak wati ke rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan intensif di ruangan ICU terlihat dokter keluar ruangan dengan wajah tegang.
“dok bagaimana keadaan mbak wati?”tanyaku ke dokter yang sudah paruh baya.
“ini dengan siapa?apakah keluarganya?” tanya balik dokter dengan wajah yang terlihat sedih dan tegang.
“ini saya karim majikan mbak wati dok, mbak wati bekerja di rumah saya, saya juga belum mengabari keluarganya karena saya panik banget dok” jawabku
“mohon maaf bapak karim, saya sudah melakukan yang terbaik, akan tetapi karena waktu pingsan kepala mbak wati membentur lantai sangat keras akhirnya mbak wati mengalami pendarahan otak dan saya tidak bisa menyelamatkan nyawa beliau. Saya mohon maaf pak” jawab pak dokter dengan memasang wajah sedih.
“innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Terlihat istriku dan anakku menangis mendengar kabar tersebut. akupun pada akhirnya ikut mengeluarkan air mata juga.
“untuk jasadnya ini bagaimana pak karim” tanya dokter
“segera diproses dan di bawa pulang ke keluarganya aja dok. Ini saya mau mengabari keluarganya yang ada di desa”
“ baik pak kalau begitu silahkan ke bagian administrasi dan memproses itu.”
Aku segera ke bagian administrasi untuk memproses jenazah mbak wati dan memberikan alamat rumah mbak wati. Setelah membayar biaya rumah sakit dan ambulans akupun bergegas menuju kediaman mbak wati yang berada di desa.
Suasana sunyi melingkupi perjalanan kami karena kita sekeluarga merasa sedih di tinggalkan mbak wati. Dan aku juga memikirkan anak semata wayang mbak wati yang aku hanya tahu namanya dari mbak wati yaitu untung ferdinand. Pasti dia merasa sedih karena ibunya menyusul bapaknya meninggal. Dia pasti akan putus asa dan tidak semangat untuk hidup dan yang pasti dia akan putus sekolah, kakeknya yang aku denger dari mbak wati dulu juga sudah tua jadi kemungkinan untuk biayai sekolahnya gak bisa.
“pa, aku gak bisa bayangin keluarganya mbak wati ketika mendengar berita buruk ini pa. Hiks.. hiks.” Istriku juleha memcah kesunyian didalam perjalanan.
“iya ma, tapi mau gimana lagi udah takdir. Papa juga menyesal gak tahu kenapa tiba-tiba mbak wati pingsan hingga kepalanya terbentur lantai apa kita yang lalai gak pernah menanyakan mbak wati sakit apa ya ma?.” Jelasku ke istriku.
Istriku mengangguk “iya pa, apa kita terlalu sibuk akhirnya kita gak bisa memperhatikan mbak wati.” Ujar Istriku dengan sedih.
“itulah ma, aku jadi merasa bersalah. Huft.” Imbuhku.
“ma, aku daritadi kepikiran anak semata wayangnya mbak wati, kasian lho ma pasti dia akan putus sekolah, padah tahun ini SMP harusnya tahun ini masuk SMA lho dia ma.” Kataku memberikan usul
“iya ya pa, aku juga sempet berpikir tadi”ujar istriku
“ma, gimana kalau dia diangkat jadi anak kita ma?” tawarku ke istriku
“jangannnn, nanti aku berkurang kasih sayang dan uang jajanku” ine menyela. Keluar manjanya. Maklum putri satu-satunya.
“enggak sayang, kamu satu-satunya anak papa. Gak mungkin berkurang uang jajan dan kasih sayangnya papa ke kamu. Jadi jangan khawatir sayang” imbuhku menenangkan putriku
“iya deh iya. Awas aja kalau berkurang. Aku kabur dari rumah.” Ucap anakku sambil manyun.
“Jangan donk sayang. Iya papa janji” ujarku tersenyum sambil melirik putriku lewat kaca tengah.
“gimana ma?setuju gak usul papa tadi” tanyaku ke istri
“setelah aku pikir-pikir, iya deh pa jadikan anak angkat aja lagian sebagai bentuk tanggung jawab kita karena lalai menjaga mbak wati.” Jawab istriku yang menyetujui usulku
“Iya ma, nanti kita ijin ke bapaknya mbak wati kl gak salah namanya mbah pardjo.” Ujarku.
“iya pa, semoga mbah pardjo merelakan anaknya kita bawa.” Kata istriku, akupun menganggukan kepala.
Tak terasa mobilpun sudah memasuki gapura desa, setelah bertanya ke warga desa kediaman mbah pardjo akhirnya kita sampai di rumahnya mbah pardjo. Akupun turun bersama istri dan anakku. Terlihat anak mbak wati untung dan mbah pardjo sendiri sedang bercengkarama di teras.
“selamat sore mbah parjo, saya karim, ini istri saya juleha dan ini ine anak saya, saya yang selama ini mempekerjakan anaknya mbah yaitu mbak wati. Sebelumnya mohon maaf, Saya mau menginformasikan bahwa mbak wati tadi siang tiba-tiba pingsan di dapur. ‘Hiks.. hiks..hiks’ begitu saya dikabari bahwa mbak wati pingsan saya langsung pulang dan membawa dia ke rumah sakit. Dan setelah dilakukan pemeriksaan ternyata mbak wati mengidap kanker darah yang sudah stadium 4 ‘Hik.. hiks’. Dan barusan mbak wati menghembuskan nafas terakhir ‘Hiks.. hiks.. hiks’ dan kemudian saya langsung kemari untuk menginformasikan itu’” ujar pak karim sambil mengusap air mata yang keluar dari matanya.
“innalillahi wa inna ilaihi rojiun,, sekarang jenazahnya dimana pak?” tanya kakek sambil berlinangan air mata yang tak kuasa menahan kesedihannya dan memeluk cucunya.
“jenazahnya sedang dalam perjalanan kemari. Saya mohon maaf mbah tidak memberitahukan kondisi wati sedari tadi karena saya panik, keselamatan wati saya dahulukan tapi ternyata takdir berkehendak lain setelah dilakukan pemeriksaan dan perawatan intensif mbak wati menghembuskan nafas terakhirnya, sekali lagi maafkan saya mbah.” Ujar pak karim
“huuaaaa ibuuuuuuuu... ibuuuuuuu.. jangan tinggalin untung sendiri ibuuuu...” sambil nangis menjerit-jerit untung seakan gak percaya kalau ibu meninggalkannya secepat itu.
Tak lama kemudian mobil ambulan datang dan warga desa sang kakek berduyun-duyun datang untuk melayat sang jenazah. Setelah dimandikan dan disholati malam itu juga jenazah mulai dikubur di pemakaman desa. Banyak warga menangisi kematian mbak Wati disamping beliau baik dan ramah di lingkungan desa itu warga juga memikirkan anak semata wayangnya yang menjadi yatim piatu mulai hari ini.
Setelah jenazah selesai dikuburkan, banyak warga yang kembali ke rumah masing-masing karena hari sudah malam. Sedangkan pak karim sekeluarga masih di kediaman mbah Parjo untuk menemani dan menenangkan Untung beserta kakeknya.
“Mbah, mohon maaf sebelumnya untuk menebus kesalahan saya karena kelalaian saya terhadap kesehatan mbak Wati almarhumah selama ini, maka ijinkan saya membawa cucu mbah ini nak untung untuk ikut saya ke kota, saya akan membiayai sekolah SMAnya dan kelangsungan hidupnya mbah” pak Karim memulai pembicaraan kepada mbah Parjo.
Tampak kakek berpikir sejenak yang kemudian “gimana kamu cu?mau ikut pak karim ke kota?” tanya mbah parjo kepada cucunya.
“aku terserah kakek aja bagaimana baiknya tapi kalau aku ke kota, kakek disini sama siapa?”sahut untung
“ Kakek ini sudah tua cu dan sudah terbiasa hidup sendiri semenjak ditinggal nenekmu. Mau ya cu? Biar kamu mandiri dan gak ketergantungan sama kakek terus”.imbuh mbah parjo.
“gini Pak karim, saya ijinkan untuk membawa cucuku satu-satunya ini ke kota akan tetapi saya tidak setuju kalau untung hanya jadi benalu di keluarga pak karim. Saya maunya cucu kesayanganku ini ajari kerja disana kerja apa aja terserah.jadi pembantu disana suruh nyapu, ngepel, cuci atau apa aja yang bisa dikerjakan untung. Atau bekerja di usahanya bapak jadi tukang kayu juga gak masalah. Gak perlu di kasih gaji cukup di kasih uang saku dan biaya hidupnya saja. Gimana bapak karim?’ tanya mbah parjo.
“apa tidak mengganggu sekolahnya Untung mbah kalau saya pekerjakan Untung di sana?” tanya bapak karim.
“tidak masalah pak, biar untung belajar mandiri yang pertama, yang kedua biar Untung bisa bagi waktu antara sekolahnya dan tanggung jawab kerjaannya, yang ketiga saya ingin bapak mendidik untung untuk bekerja keras dimulai dari sekarang, biar dia tahu bagaimana sulitnya mancari uang pada jaman sekarang. Pahamkan apa yang saya maksud pak?” mbah parjo memberikan alasan agar si cucu ini kuat dalam menghadapi pahitnya dunia nantinya.
“kalau itu keinginan mbah parjo saya senang hati menerimanya akan tetapi untuk bekerja di bisnis kayu, saya rasa belum waktunya mbah. Kasian untung nanti gak bisa fokus, kalau jadi penjaga rumah sekaligus merawat taman yang didepan rumah sepertinya bisa mbah karena gak banyak waktu tersita dan untung masih bisa fokus di sekolahan.” Terang pak karim ke mbah parjo.
Sambil manggut-manggut mbah parjo menyetujui saran dari pak karim yang terpenting keinginan mbah parjo agar cucunya ini tidak ketergantungan sama orang lain dan bisa bemanfaat bagi pak karim sekeluarga sudah tercapai.
“kapan untung bisa di bawa pak karim?” tanya mbah parjo.
“lusa atau 4 harian lagi siap saya bawa mbah, besok saya carikan sekolah untuk untung terlebih dahulu kalau sudah siap saya jemput nak untung kemari mbah.” Jawab pak karim.
“baik mbah, sepertinya hari sudah semakin larut malam saya pamit dahulu, sekitar 4 hari lagi saya kesini untuk menjemput nak untung. Dan sekali lagi mohon maaf kalau saya lalai dalam menjaga mbak wati sampai saya gak tahu dia mengidap penyakit parah seperti itu.” Pamit pak karim dengan wajah yang masih menggambarkan raut kesedihan.
“namanya takdir mau diapakan lagi pak karim. Harus ikhlas melepas kepergian anak saya satu –satunya. Dan satu lagi tolong jaga cucu saya selagi di sana ya pak, seminggu sekali atau lebih saya akan menengok cucu saya nanti. Dan terima kasih banyak atas kebikan pak karim menolong keluarga saya ini. Hati-hati di jalan pak karim.” Imbuh mbah parjo.
“baik mbah, saya berjanji akan menjaga untung di sana dan rumah saya terbuka untuk kedatangan mbah parjo di sana. Pamit dulu mbah. Assalamualaikum wr wb .” ujar pak karim samil sambil berjalan ke mobil bersama istri dan anaknya dan tak lama kemudian mobil melaju meningglkan kediaman mbah parjo.
Di dalam perjalanan aku berbincang-bincang sama istriku, dia juga lega mbah pardjo sudah merelakan cucunya untuk kita bawa. Mbah pardjo juga terlihat lega cucunya masih bisa bersekolah, tapi mbah pardjo meminta satu syarat kepadaku bahwa cucunya jangan dijadikan anak angkat tetapi dia memintaku untuk mendidik kerja juga. Awalnya aku takut untung tidak bisa fokus tpi mbah pardjo meyakinkanku agar untung bekerja keras dan terbiasa hidup susah gak asal cuman numpang. Akupun mengiyakan permintaan mbah pardjo.
“ma, dari syarat mbah parjo tadi kita suruh ngapain ya untung?” tanyaku kepada Istriku
“iya pa, tapi bagus juga se untuk perkembangan untung, kalau dilihat dari sorot matanya untung itu anak yang rajin sepertinya pa” jawab Istriku
“ya itulah ma, atau gini aj ma. Untung kita suruh seperti mbak wati jadi pembantu sekaligus menjaga rumah tapi tugasnya aj yang kita kurangi. Kalau mbak wati dulu menyapu halaman dan dalam rumah, mengepel, masak, nyuci dan strika. Kalau untung pagi di suruh menyapu halaman rumah aj ma, terus nyirami tanaman depan dan samping rumah kan waktunya sebentar kalau pagi soalnya terbentur sekolah. Kalau sore suruh ngepel rumah dan cuci mobil. Untuk memasak, nyuci, strika dan menyapu dalam rumah kita rekrut pembantu baru tapi pembantunya yang datang pagi sampai siang aj. Gimana menurut mama?” kataku menjelaskan pekerjaan yang akan dilakukan Untung
"Iya pa, besok mama mau minta tolong sama temen mama yang di kampung sebelah untuk di carikan pembantu yang pulang pergi dan gak nginap.” Jawab Istriku
“oke deh gitu aja ya ma.” Kataku menyetujuinya.
“terus rencana papa, Untung mau di sekolahin di SMA mana pa?” tanya Istriku
“kalau aku pikir-pikir ma, Untung kan gak selamanya ikut kita. Kita Cuma membantu agar Untung siap untuk mandiri setelah itu kita kasih kebebasan kemana dia melangkah, apa gak kita sekolahin STM aja ma, setelah lulus STM biar dia siap bekerja.” jawabku
“kalau mama pikir apa gak mending SMA aja nanti kita kuliahin juga si untung” kata Istriku.
“kalau menurut papa, Untung gak akan mau ma di kuliahin dia pasti memilih bekerja. Tipe-tipe kayak Untung itu gak mau merepotkan orang lain hidupnya. Jadi menurut papa, disekolahin STM aj nanti kalau dia lulus bekerja apa kuliah terserah pilihannya dia ma. Gimana?” terangku menjelaskan maksud kenapa aku menyekolahkan Untung ke STM
“oke deh setuju pa” istriku menyetujui rencanaku.
“oke papa juga besok mau daftarin dia ke STM swasta, kepala sekolahnya temennya papa, nanti di papa titipin aj ke beliau” imbuhku.
“ya sudah pa, mama tidur sebentar ya. Mama capek euy” terlihat istriku rebahan di kursi mobil. Sedangkan putriku sejak tadi sudah tidur.
Di keheningan karena menyetir sendiri, aku jadi teringat beberapa tahun lalu aku menyimpan suatu rahasia yang akan aku tutup rapat-rapat.
0 Komentar