KEBERUNTUNGANKU PART 3

 


“Ini.. diminum dulu..” mbak Dina kemudian meletakkan segelas kopi di depanku.




“Iya mbak makasih..”




Kakak perempuanku itu lalu duduk di dekatku sambil melihatku minum kopi. Entah kenapa pandangan matanya begitu teduh dan senyumannya mengembang. Sepertinya dia merasakan sebuah kebahagiaan saat bersamaku. Meski begitu aku tetap cuek saja karena kondisi seperti itu sudah tiap hari terjadi di sekitarku.




“Mbak aku berangkat dulu... nanti kalo ibu pulang bilang saja aku belum sarapan”




“Iya... iya... lagipula belum ada makanan kok..”




“ya mangkanya itu.. nanti saja sarapannya”




Akupun lalu menuju belakang rumah mengambil cangkul dan sabit yang biasanya aku bawa. Selepas itu kulangkahkan kakiku menuju ke ladang yang jaraknya memang lumayan jauh dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki.




Saat bekerja di ladang pikiranku kembali teralihkan dari kerinduan pada ibuku. Aku belum tahu juga apa ibuku sudah pulang apa belum karena aku masih belum pulang. Kuteruskan saja pekerjaanku sampai semuanya selesai dan tidak ada lagi tanamanku yang rusak.




“Angga.. Anggaa...!!” tiba-tiba terdengar suara teriakan perempuan, aku tahu betul kalau itu suara ibuku.




“Buuuu.. ibuuu..” balasku kemudian berlari mendekatinya yang sedang berteduh di bawah pohon nangka.




“Sinii.. ibu bawakan makanan”




“Loh... kok banyak sekali makanannya?”




“Iya ini ibu bawakan dari rumahnya Wati, kamu pasti belum sarapan”




“Ohh... lha ibu apa belum pulang?” tanyaku keheranan.




“ya belum.. nanti sore baru pulang sehabis hajatannya selesai”




“Duhh.. berarti habis ini ibu belum ke rumah ya?” ucapku agak kecewa.




“Hehe.. ya belum, kenapa? kamu pasti sudah kangen sama ibu kan?”




“Huhhh.. iya bu... semalam aku gak bisa tidur”




Akupun mendekati ibuku yang sudah duduk lalu memeluknya seperti masa kecilku dulu. Rasanya memang nyaman banget kalau bisa pelukan sama ibu.




“Sudah.. sudah.. nanti malam kan tidur sama ibu lagi.. kamu jangan manja seperti ini”




“Bentar dulu bu.. aku masih kangen” ujarku tak mau melepaskan pelukanku pada tubuh ibuku.




“ya ampun.. kamu ini sudah besar, sudah lulus sekolah.. masak masih manja terus-terusan sama ibu?”




“pokoknya ibu nanti malam pulang saja.. aku gak bisa tidur beneran bu..”




“Iya... iya... sekarang kamu makan dulu..”




Aku kemudian duduk dan makan, sedangkan ibuku terlihat melepas kerudungnya. Rambutnya yang sudah mulai ada ubannya itu kembali terlihat olehku. Dengan ditunggui oleh ibuku, makanku jadi lahap dan banyak. Tentu saja selain ditunggui ibuku perutku juga lapar, itulah kenapa aku jadi makan banyak sekali.




“Mbak Dina masak apa di rumah Ngga?”




“gak masak bu.. dia malah seneng tidur saja..”




“Ohh, ya sudah.. biarkan saja..”




Beberapa saat kemudian aku selesai makan. Ibuku lalu kembali membungkus makanan yang tersisa. Memang sengaja dia membawa banyak makanan, sisanya aku disuruh membawanya pulang ke rumah.




“Sudah selesai semuanya Ngga?”




“Sudah bu.. tinggal dua hari lagi harus nambah pupuknya” balasku.




“syukur kalau begitu..”




Ibuku diam sejenak lalu menatap tanaman yang ada di ladang. Akupun juga sama, coba memperhatikan tanaman yang ada di depan kami dengan seksama.




“Ibu kembali lagi ke rumah Wati.. kamu mau pulang apa masih lanjut?”




“Ya pulang lah bu.. sudah selesai kok”




“Ya sudah, ayo kita pulang saja..”




Akhirnya siang itu aku pulang ke rumah setelah selesai menggarap lahan milik keluargaku. Aku dan ibuku pulang melewati jalan yang sama, tapi begitu sampai di pertigaan jalan desa, ibuku belok ke kiri dan aku belok ke kanan. Memang ibu sudah bilang mau kembali ke rumah keluargaku yang punya acara hajatan nanti malam. Disitulah aku kembali menatap wajah ibuku, sambil tak rela hati aku melepasnya.




Dengan langkah kaki gontai aku akhirnya berhasil sampai di rumah. Dalam hatiku tetap saja tak merelakan ibuku pergi dariku. Namun sekuat tenaga aku harus melawan perasaanku sendiri supaya aku bisa menjalani kehidupanku.




“Mbak Dinaa... ini ada makanan” teriakku dari dapur.




“Iyaa... tungggu sebentar” jawabnya dari dalam kamar.




Aku tak menunggu kakak perempuanku itu keluar dari kamarnya. Aku terus menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diriku dari noda tanah dan lumpur selepas dari ladang tadi. Begitu aku kembali ke dapur telingaku sayup-sayup mendengar suara laki-laki dari kamar mbak Dina. Aku langsung menuju ke pintu kamarnya untuk mengetahui siapa orang itu sebenarnya.




“Mbakk.. ada siapa di dalam?” ucapku dari luar kamarnya.




“Eehh.. anu.. aahh... ini.. ada... mas Gunawan..”




Gunawan? Bukannya itu pacar mbak Dina? Kok tumben siang-siang gini dia datang ke rumah. Aku tak curiga pada apa yang mereka lakukan di dalam kamar. Hanya saja aku ingin ketemu dengan mas Gunawan untuk menanyakan kabarnya. Karena kalau dia biasa datang ke rumah pasti sempat ngobrol denganku.




“Aku masuk ya mbak?”




“Jangann... aahh.. jangann.... uuuhh.. bentar Ngga.. ahhh..”




“Mbak Dina kenapa sih? sakit ya?” tanyaku penasaran, karena mendengar kakakku itu merintih dan mendesah seperti kesakitan.




“Emmhhhh... aahh.. gaapaa Nggaa.. ahh..”




“Beneran gak apa-apa?”




“Iyyyaaahhhh.. udah hamp.. pirr.. aahh... bentaarrr!” teriak mbak Dina kemudian. Aku tak tahu apa yang dia bicarakan.




“Ohh.. yasudah, aku tunggu di dapur... sekalian mau bikin kopi”




“Aahh.. ahh.. iya Ngga.. duhh kok udah keluar sih mas?” balas mbak Dina yang kemudian bicara dengan pacarnya.




Akupun tanpa pikir panjang langsung kembali ke dapur. Selain menaruh makanan yang dibawakan ibuku tadi, aku sengaja membuat kopi untukku sendiri. Aku tak berpikiran membuatkan kopi untuk pacarnya mbak Dina karena kupikir dia pasti sudah dibuatkan sendiri oleh kakakku itu.




Setelah aku selesai membuat kopi, kembali aku duduk di bawah pohon mangga di belakang rumah. Posisi dan kondisiku sama persis seperti hari biasanya. Aku santai saja duduk sambil minum kopi di kursi bambu yang ada di bawah pohon mangga itu meski hanya memakai celana dalam saja.




“Itu makanan dari mana Ngga?” belum beberapa lama kemudian mbak Dina muncul dari pintu dapur.




“Dari ibu.. tadi ibu ke ladang kasih makanan buat sarapan.. tapi ibu gak pulang”




“Ohh.. makanya banyak banget makanannya”




Mbak Dina juga sama sepertiku. Nampak cuek saja dengan kondisinya yang hanya menutupi tubuhnya dengan sebuah celana dalam warna krem. Siang itu keringat memenuhi tubuh kakak perempuanku itu begitu banyak, seakan siang itu mbak Dina habis bekerja keras. Rambutnya tergerai lepek karena keringat yang mengering. Wajahnya merona kemerahan dengan bulir keringat di dahi dan dadanya.




“Loh.. mas Gun mana kok gak kesini?”




“Itu.. emm.. dia langsung pulang, katanya buru-buru mau menimbang kacang hasil panen ladangnya”




“Ohh.. iya... tapi bukannya panennya sudah seminggu yang lalu, masak sekarang baru ditimbang?”




“Ya aku gak tau.. katanya begitu kok”




Sambil menjawab pertanyaanku, mbak Dina nampak mengikat rambutnya yang sedari tadi tergerai. Kulihat rambutnya lumayan lepek oleh keringatnya sendiri. Jarang aku temui kakakku itu berkeringat seperti itu. Bahkan tak pernah malahan. Entah apa yang dia lakukan di dalam kamar bersama pacarnya tadi aku tak tahu.




“Kamu gak lapar Ngga?”




“Enggak.. kan tadi sudah makan mbak..” balasku.




“Yaaah... yausudah aku makan dulu aja, lapar aku...”




“Iya mbak.. makan saja”




Hari itu kembali kami melewati satu hari seperti biasanya. Kehidupan di desa memang berkutat hanya itu-itu saja. Tapi itulah yang membuat pikiran penduduknya tenang, tidak ada pikiran macam-macam seperti orang di kota yang harus memutar otak dengan keras tiap harinya. Inginnya aku memang tetap tinggal di desa ini sampai kapanpun dan tak berpisah dari keluargaku.




Malamnya ibuku beneran pulang ke rumah. Aku senang sekali malam ini bisa tidur dengan ibuku lagi. Kami berdua sudah sama-sama membaringkan diri di dalam kamar. Semua baju juga sudah kami lepas seperti biasanya. Namun sebelum kami tidur tiba-tiba mbak Dina masuk ke dalam kamar menyusul kami sambil membawa Hpnya.




“Buu.. ini lho ada mbak Tika telfon..” ucap mbak Dina sambil buru-buru masuk ke kamar.




“Mana.. mana.. sini...”




Meski tanpa tertutupi apa-apa lagi, ibuku langsung duduk dan kemudian memegang Hp yang diberikan oleh mbak Dina.




“Ini video call bu.. ada gambarnya” ingat mbak Dina.




“Apa? Video.. ohh.. jadi bisa lihat Tika disana ya..”




“Iya, itu lho mbak Tika sudah nungguin”




“Haloo Buu... assalamualaikum..” terdengar suara mbak Tika menyalami ibuku.




“Iyaa.. eh.. waalaikumsalam, Tikaa..”




“Ibu.. aku kangen ibuu.. ahh.. lama gak ketemu..”




“Iya... iya..” balas ibuku dengan tersenyum sumringah menatap layar Hp.




“Sudah mau tidur ya bu?”




“Iya.. capek aku Tik.. dua hari ini Wati ada hajatan nyunatin anaknya”




“Ohh.. mbak Wati.. trus sama Angga ini pasti ya?”




“Iya.. ini, dia kalo gak aku kelonin ga bisa tidur Tik” ibuku menoleh ke arahku.




“haloo mbakk.. ehehe...” aku kemudian menyerobot sorotan kamera Hp.




“Duhh.. manja banget kamu ini.. pasti kemaren ga bisa tidur ya pas ditinggal sama ibu?”




“Hehehe.. iya mbak bener” balasku nyengir tak jelas.




“Hadehh.. ya sudah.. yang baik.. jaga ibu sama mbak Dina”




“Iya mbak.. pasti aku jaga semuanya” ucapku. Setelah itu aku kembali membaringkan tubuhku.




“Ya sudah bu.. besok disambung lagi.. mas Aryo sudah datang itu, aku mau nyiapin kopi dulu”




“Iya.. iya.. kamu yang baik juga sama suami kamu.. biar bahagia terus”




“Iya bu.. minta doanya saja”




“Pasti.. kita semua ikut mendoakan Tik”




“Assalamualaikum..”




“Waalaikumsalam.. “ kami bertiga kompak menjawab salam dari mbak Tika.




Selepas itu mbak Dina kembali keluar membawa Hpnya. Sedangkan aku dan ibuku kembali membaringkan diri dan berusaha memejamkan mata.




“Bu..”




“Kenapa? sini.. kamu pasti kangen netek lagi ya Ngga?”




“Hehe... iya bu..”




“ya sudah, ini kamu emut saja..”




Aku kemudian menyorongkan mulutku ke arah puting susu ibuku. Bagiku puting susu itu adalah sumber ketenanganku dikala mau tidur. Mungkin buat orang lain akan jadi aneh kalau aku yang sudah segede ini masih saja netek sama ibunya. Aku tak peduli pada anggapan orang, selama ibuku mau dan rela maka aku akan terus melakukannya selagi bisa.




“Ininya gak ngaceng lagi kan Ngga?” tangan ibuku kemudian memegangi kemaluanku.




“Emmhh.. ehh... enggak kok bu..” balasku melirik ke bawah.




“Ohhh.. ya sudah..”




Belum selesai aku menjawab pertanyaan ibuku, tiba-tiba batang kemaluanku mendadak tegak mengeras. Mungkin karena disentuh tangan ibuku tadi. Jadilah aku menyusu pada ibuku dengan kemaluan yang tegak mengacung lagi.




“Loh, katanya gak ngaceng.. lha apa ini?” ibuku kembali memegangi penisku.




“Hehehe.. ya ibu sih megang-megang itu terus... ya bangun”




“Waahh.. kamu ini Ngga..”




“Bu.. masukin lagi dong bu.. kangen aku” pintaku kemudian.




“Masukin? Ohh.. biar kamu nyaman terus tidur nyenyak ya Ngga? ya sudah.. sini”




“Hehe.. iya bu.. nyaman banget kalo burungku masuk ke.. emm.. anu..”




“Apa? Memek? Ini ya Ngga..” tunjuk ibuku pada belahan vaginanya.




“Iya bu.. mem.. memekk..” ucapku lirih. Entah kenapa ucapanku itu malah semakin membuat penisku mengeras dan berdenyut-denyut.




Tanpa diminta dua kali, ibuku yang sudah dalam posisi miring menghadap ke arahku lalu mengangkat sebelah kakinya. Sengaja dia angkat kakinya untuk membuka pangkal pahanya supaya batang kelaminku bisa menyusup masuk ke dalam lobang kemaluannya.




“Ini.. sudah ibu buka” ucap ibuku sambil tersenyum.




“Ehh... iya bu.. emm... sebentar.. ahh.. ini dia” aku memajukan ujung penisku setelah sejajar dengan lobang memeknya, lalu dengan sekuat tenaga aku dorong pinggulku ke depan.




“Uuhhh.. iyaaaahhh... ahh.. dorong lagi Ngga.. ahh.. iya dorong”




Slepppph!! Akhirnya batang kejantananku masuk setengahnya.




“Oohhh.. sudah Ngga.. ahh.. biarkan begitu saja, jangan digerakkan lagi”




“Hehe.. iya bu.. aku lanjut nyusu lagi ya bu?”




“Iya.. teruskann.. ahh... tapi kamu harus tidur yahh..”




“Hemm.. iya.. aku mau tidur lagi bu”




Aku berusaha mendiamkan batang kemaluanku di dalam lobang memek ibuku. Tentu saja kembali kurasakan kemaluanku itu jadi hangat dan becek di dalam sana. Aku kemudian merapatkan tubuhku ke arah tubuh ibuku untuk mecucup payudara ibu dengan mulutku. Meski aku berusaha untuk diam tapi ketika aku berusaha menggapai puting susu ibuku membuat pinggulku ikut bergerak juga. Otomatis batang penisku yang masih berada di dalam kemaluan ibuku jadi ikut bergerak keluar masuk tanpa sengaja.




“Aaaahh.. Angga... sudah ibu bilang jangan digerak-gerakkan... ahh..”




“Iya bu gak sengaja...”




Saat tanpa sengaja batang kemaluanku tadi bergerak, rasanya jadi lebih enak dan nikmat daripada cuma didiamkan saja. Begitu mulutku bisa kembali mengenyot puting susu ibuku, aku kemudian berusaha menggerakkan lagi pinggulku tapi dengan gerakan pelan.




“Aaahhh.. sudah Ngga... jangan digoyang begitu.. uhhh... itu.. ahh.. jangann...” larang ibuku lagi.




Dasar aku yang sudah usil masih saja meneruskan gerakan pinggulku maju kemudian mundur pelan-pelan supaya ibuku tak terganggu. Namun sepelan apapun aku bergerak, ibuku tetap saja bisa meraskan goyangan tubuhku. Kurasakan penisku yang terjepit di dalam lobang kemaluan ibuku jadi tambah becek dan licin. Entah kenapa bisa begitu aku tak tahu, karena memang baru kali ini aku mengalaminya.




“Aaahh.. duhh.. sudah Ngga... jangan diterusin.. ahh... nan.. tii.. ahh.. enakk” ceracau ibuku yang kini mulai memejamkan matanya.




“Ohh.. enak ya bu?”




“Enggak... eehh.. aaahh.. sudahh... ahh...” meski bilang enggak, tapi kulihat wajah ibuku seperti menikmatinya.




Aku tak peduli lagi pada larangan ibuku. Kuteruskan saja mengemut puting susu ibuku sambil menggoyangkan pinggulku maju mundur pelan-pelan. Aku merasa enak sekali dan kulihat ibuku juga ikut menikmatinya. Bahkan sekarang ini tak keluar lagi suara dari ibuku yang menyuruhku berhenti. Sekarang malah terdengar suara desahan tertahan dari mulut ibuku, memang rupanya ibuku ikut menikmatinya.




“Oohhh... Angga.. aahh.. kamu.. kamu.. ahh... ngen.. toottt...”




“Iya buu.. ahh.. ini yang dibilang ngentot ya bu?” balasku memastikan.




Kudekap tubuh ibuku erat sambil kugoyangkan pinggulku maju mundur dengan gerakan yang lebih cepat dari yang pertama tadi. Sebenarnya pada posisi seperti sekarang ini aku kurang bisa leluasa menggoyang pinggulku karena tertabrak oleh pahanya. Namun aku tak berani meminta lebih, bisa merasa enak saja aku sudah bersyukur.




“Angga.. tunggu.. ahh.. tunggu sebentar.. ahhh.. ibu mau.. ahh... baring dulu”




Aku lalu menghentikan gerakan pinggulku. Kucabut penisku dari lobang kemaluan ibuku. Seketika itu nampaklah batang kejantananku seperti basah oleh lendir yang cukup banyak.




“Sebentar Ngga.. aahh.. ibu mau baring dulu biar kamu gak susah”




“Hehehe.. iya bu.. makasih”




Ibuku kemudian beringsut agak ke tengah tempat tidur. Beliau lalu berbaring kemudian mengangkat kedua kakinya sampai dengkulnya berada di atas perut. Pada posisi seperti itu aku bisa melihat dengan jelas celah kemaluan ibuku yang sudah berwarna merah kehitaman dengan bibir tebal agak menonjol keluar.




“Masukin lagi Ngga...”




“Ohh.. iya bu...”




Sebagai anak yang baik aku menuruti saja perminataan ibuku. Kembali kusorongkan penisku ke dalam lobang memek ibuku yang terlihat melongo itu. Uhhhh.. rasanya memang tiada duanya. Enak dan membuat bulu di badanku merinding semua. Sebuah sensasi yang baru aku dapatkan sekarang ini.




Slpeeebbbb... blesss...!! masuklah penisku seutuhnya ke dalam lobang kemaluan ibuku.




“Aaaahh.. ddduuuhhh.. enaknyaaa” jerit ibuku tertahan, sepertinya dia menahan supaya teriakannya tak terdengar sampai luar kamar.




“Ohhh.. iya buuu... ini enak bangeeett... aahh..”




“Goyang Ngga... aahh.. goyang.. yang keras.. ayo goyang...”




“Iyaaahh... ini buu.. aku goyang”




Tanpa ragu lagi kugoyangkan pinggulku maju mundur untuk membuat penisku bisa keluar masuk lobang kemaluan ibuku. Rasa enaknya tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Aku hanya bisa merem-melek menerima denyutan penisku yang terus bergerak mengocok lobang memek ibuku sendiri. Benar-benar enak dan nikmat gabung jadi satu dalam sebuah sensasi yang membuatku mabuk.




“Teruss Nggaaa... aahhh.. ibu.. ibu.. ahh.. keluaarrrr...”




Aku saat itu masih tak paham dengan kata keluar yang ibuku ucapkan. Entah artinya apa itu aku tak peduli, yang aku lakukan hanya terus mengeluar-masukkan penisku melewati bibir kemaluan ibuku yang sekarang terasa berdenyut-denyut kencang. Setelah itu kurasakan tubuh ibuku mengejang dan bergetar sambil kedua matanya terpejam rapat.




“Buu.. ibu gapapa kan? Buuu.. “




“Hoohhhhh... iyaaaahh.. aahh.. gapapa Ngga.. aahh.. terusin.. jangan berenti”




“Iya bu, siap..”




Kembali aku gerakkan pinggulku maju mundur, kali ini kecepatannya bertambah dari yang pertama tadi. Sampai terdengar bunyi benturan antara pangkal pahaku dengan pangkal paha ibuku. Suaranya nyaring sekali.




Plok... plok.. plokk.. plokk..




“Hhaahh.. iya Nggaa.. ahh.. yang kencang.. teruusss.. ahh..”




Batang kemaluanku seperti sedang dijepit, diurut dan diremas-remas di dalam sana oleh sesuatu yang hangat dan becek. Otakku tak bisa berpikir apa-apa kecuali menikmati rasa geli tapi enak pada permukaan penisku. Sungguh sesuatu yang benar-benar membuatku mabuk rasa nikmat. Sampai-sampai aku tak bisa berpikir kalau ada mbak Dina yang mungkin bisa mendengar suara kami dari dalam kamarnya. Kuteruskan saja gerakanku menggoyang pinggulku.




“Aaahh.. bu.. capek aku..”




“Bentar.. kamu tiduran saja.. biar ibu yang di atas”




Aku tak mengerti apa yang ibuku mau, tapi kubaringkan saja tubuhku di atas tempat tidur sesuai permintaannya. Setelahnya aku agak kaget karena ibuku kemudian naik di atas perutku setelah sebelumnya dia kembali memasukkan penisku pada lobang kemaluannya.




“Aaaah... aahhh.. aaaahhhhh..”




Kini aku hanya bisa melihat gerakan ibuku meliuk-liuk di atas tubuhku. Pinggulnya bergoyang dengan liar dan cepat. Kali ini kurasakan penisku seperti diperas dan disedot oleh sesuatu yang aku tak tahu apa itu. aku hanya bisa menikmatinya saja dan menyerahkan semuanya pada ibuku.




“Aaahh.. Angga.. kamu kuat banget sayang... ahh.. kuaaatt..”




“Iya buu.. enak ini.. ahh.. enaaakkk.. bangeett..”




Tiba-tiba kurasakan penisku seperti mau meledak rasanya. Denyutan dan tekanan pada batang kemaluanku seperti bertambah. Rasanya ada sesuatu yang mendesak ingin keluar. Semakin lama semakin enak dan gatal. Kubiarkan saja tanpa kukatakan pada ibuku karena mungkin itu suatu yang wajar saja.




“Aaaahhh... buuuu... ini.. ini.. aahhhhhhh..”




Nyut.. nyutt.. nyuuutttttt... crottt... crotttt... crooott...




Akhirnya terlepaslah sesuatu dari dalam penisku saat itu. Tubuhku kejang-kejang tak karuan hingga membuat ibuku melihatku dengan heran. Setelah itu tubuhku terasa lemas dan semua tulang di badanku rasanya mau copot.




“Aaaahh.. iyaaa Nggaa... ibu mau jugaaa.. eeemhhhhhh.. aaahhhh”




Bruk!! Tubuh ibuku ambruk ke depan jatuh tepat di atas tubuhku. Dada ibuku bertemu dengan dadaku yang membuat bulatan payudaranya tergencet di antaranya. Kurasakan tubuh ibuku bergetar sambil kedua kakinya kaku dan mengejang dengan lemah.




“Aaahh.. makasih ya Ngga.. ahhh.. ibu sudah lama menginginkannya” ucap ibuku yang masih menyandarkan tubuhnya di atasku.




“Iya bu.. rasanya enak banget.. ahhh.. memang apa tadi bu?”




“Hemm.. itu artinya kamu sudah jadi laki-laki dewasa Ngga... sudah bisa membuat perempuan puas..”




“Oohh.. jadi itu.. trus kok seperti ada yang keluar ya bu? Kayak mimpi basah rasanya”




“Hihihi.. iya itu namanya kamu muncrat Ngga... itu yang keluar ya peju kamu..”




“Walahh... berarti ibu bisa hamil lagi yah? aduuhh.. maaap.. maap ya bu..” mendengar ucapan ibuku tadi aku mendadak takut, takut kalau ibuku hamil dari perbuatanku.




“Hihihi.. enggak.. ibu sudah tak bisa hamil lagi Ngga.. makanya itu kamu harus hati-hati.. kalau sudah terasa mau keluar jangan kamu diamkan saja, cepat keluarkan burungmu itu..”




“Hehee.. iya bu.. nanti Angga ingat..”




Setelah nafas kami mulai reda, ibuku kemudian turun dari atas tubuhku lalu membaringkan dirinya di sebelahku. Akupun lalu mulai terlelap dalam tidurku karena tubuhku rasanya lemas dan tak bertenaga. Apalagi setelah spermaku keluar tadi mataku mendadak lengket dan enggan untuk terbuka lagi.

Posting Komentar

0 Komentar