Beberapa hari semenjak mbak Tika pergi meninggalkan rumah untuk ikut dengan mas Aryo ke kota, aku sudah bisa menerima keadaan. Kembali aku melakukan rutinitas keseharianku pergi ke ladang. Ibuku terus-terusan berusaha menghiburku dan menenangkan pikiranku. Memang kalau ibu yang bicara akupun selalu jadi tenang dan mulai bisa berpikir ke depan lagi. Kupikir memang percuma kalau aku terus menangisi perginya kakakku itu ikut suaminya, toh nanti kalau ada waktu pasti mereka datang lagi ke desa.
Hari ini aku kembali pergi ke ladangku sendirian. Biasanya memang ibuku yang selalu menemaniku tapi karena hari ini ibu ada kerjaan di rumah tetangga jadinya beliau tak bisa ikut denganku. Dari pagi sampai siang aku benarkan beberapa lajur tanaman yang rusak karena sudah dua minggu lebih aku tak menengoknya. Memang sejak acara nikahnya mbak Tika baru hari ini aku bisa pergi ke ladangku.
Selesai membenarkan tanamanku, aku duduk di bawah sebuah pohon nangka yang ada di pinggir ladang. Biasanya memang di situlah aku istirahat selepas menggarap ladangku. Sambil duduk santai kubuka kaos yang menutupi tubuh bagian atasku. Kukibaskan kaos yang kulepas itu untuk memberi semilir angin pada tubuhku.
“Ngga.. kamu kok sendirian? Budhe Aminah kemana?” tiba-tiba muncul temanku, namanya Adi. Selain temanku dia itu adalah sepupuku.
“kerja di rumah bu Karmi.. baru panen bawang orangnya” jawabku menoleh ke arah Adi yang baru datang itu.
“Owalahh..”
“kamu baru dari mana Di?” tanyaku balik.
“Dari sungai.. cari batu..”
“Batu apa? Akik?”
“Hehehe.. iya jelas.. lagi rame katanya”
“Hahaha.. kamu ini, harusnya cari batu akik ya pake mimpi.. atau kalau gak gitu ya pake mantra sambil bakar kemenyan.. biar gondoruwo mau kasih batunya” ujarku kemudian.
“Eh sembarangan kamu Ngga.. awas kalo didengar sama yang tinggal di pohon ini.. bisa-bisa kamu kesurupan, hahaa...”
“ya gak gitu Di.. mana ada batu akik di sungai? harusnya cari tuh di gunung sana... katanya ada bongkahan batu padas yang bisa jadi bahan batu akik.. coba kamu kesana” kataku memberi saran.
“Iya aku pernah dengar.. tapi ya itu.. ada penunggunya”
Kami terdiam sebentar. Aku masih terus mengipasi tubuhku dengan kaos, sementara Adi hanya duduk besandar pada pohon nangka di belakang kami.
“mbak Tika kok bisa ya nikah sama orang kota?” ucap Adi kemudian.
“ya gak tau.. namanya juga jodoh”
“Trus.. jadi dibawa ke kota ya Ngga?”
“Jadi... berangkat dua hari yang lalu” ucapku singkat, seakan tak mau membahas masalah itu.
“Enak ya pengantin baru.. bisa ngentot sepuasnya”
“Ngentot.. apa itu ngentot? kok baru dengar aku Di” balasku penasaran.
“Hahaha.. kamu ini lugu banget jadi lak-laki... ngentot itu ya gini” ucap Adi sambil mencolokkan jari telunjuk sebelah kanan pada jari telunjuk dan jempol tangan kiri yang membentuk lingkaran.
“Apa sih itu? maksudnya gimana sih Di?”
“Haduhh.. anak ini polos banget.. ngentot itu kalo kontol kamu masuk ke memek perempuan.. itu namanya ngentot” jelas Adi.
“Oohh.. gitu.. ya gak paham aku.. memangnya kamu pernah ngentot?”
“Hahaha.. ya pernah lah..”
“Masak?? Sama siapa?”
“Sssstt.. jangan bilang-bilang ya.. sama Rahayu..” bisik Adi kemudian.
“Apaa?? Rahayu yang sekelas sama aku dulu? kok bisa kamu?”
“Hahaha.. rahasia..” tawa si Adi menggelegar seakan menghinaku yang lugu ini.
“Duhh.. kamu ini... daripada bicara yang macem-macem mending aku pulang saja, bisa gila kalo aku gandeng sama kamu terus” ujarku sambil mengambil cangkul dan sabit yang kubawa dari rumah.
“Hahaha.. makanya kamu itu jangan cuma di rumah terus.. cari pergaulan yang luas Ngga..”
“udah.. udah... aku pulang dulu”
Sambil aku jalan pulang, pikiranku mendadak jadi teringat pada yang kulakukan dengan ibuku dulu. Saat itu memang kemaluanku masuk ke dalam memek ibuku, apa artinya kami sudah ngentot ya? Benar.. kami sudah ngentot saat itu. Aku jelas merasakan penisku masuk ke dalam lobang kencing ibuku. Katanya lobang itu sebutannya adalah memek.
Sambil berpikir begitu mendadak kemaluanku jadi tegang dengan sendirinya. Aku yang jalan menuju rumah akhirnya harus berhenti beberapa kali karena kemaluanku terasa ngilu bergesekan dengan celana dalamku. Untung saja siang itu tak ada orang yang berpapasan denganku.
Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke kamar mandi. Selain membersihkan tubuhku dari noda tanah, aku juga melepaskan celana yang aku pakai dan kemudian telanjang bulat di kamar mandi. Rasanya lega banget begitu penisku yang tegak mengeras itu sudah tak bergesekan dengan celana dalamku. Tapi aku tak bisa terus di kamar mandi seperti itu. Selesai membersihkan diriku kuputuskan untuk berlari menuju ke dalam rumah dalam kondisi tak memakai apa-apa lagi.
“Ehh, jangan lari begitu Ngga.. ada apa sih?” rupanya mbak Dina melihatku berlarian menuju ke dalam rumah.
“Anu mbak.. ga ada apa-apa kok” balasku sambil menutupi penisku yang masih tegak mengeras itu.
“Kalo gak ada apa-apa kok kamu lari begitu? Sini.. temenin mbak ke bawah pohon”
“Duhh.. gak bisa mbak.. aku.. aku..”
“Apaan sih bocah ini?” mbak Dina lalu mendekatiku dan membuka kedua tanganku yang kupakai menutupi kelaminku.
“Hahahahaa... Angga.. Angga.. kamu ngaceng ya? Aduuhhh.. mbak kira ada apaan”
“Haduh mbak.. ngilu rasanya.. pas pulang dari ladang tadi kok jadi begini ya?”
Aku tak menutupi lagi kemaluanku, percuma saja karena mbak Dina sudah melihatnya. Aku kemudian berdiri di depan kakak perempuanku itu dengan batang kemaluan yang tegak mengacung ke arahnya.
“Ohh.. gapapa itu.. artinya kamu laki-laki normal Ngga..” jawab mbak Dina sambil senyum-senyum. Aku malah semakin penasaran pada pikirannya.
“Normal? Maksudnya apa mbak?”
“ya itu sudah wajar buat laki-laki.. malah bagus, yang masalah itu kalo burungmu gak bisa ngaceng Ngga, hihihi..”
“Ohhh.. begitu ya mbak?”
“Iya dong.. yaudah.. mau gak mbak bantuin biar gak ngaceng lagi?”
“dibantu gimana sih mbak?
“Hihihi.. sini.. deket sama mbak”
Aku kemudian menuruti permintaan mbak Dina. Kudekati kakakku itu sambil mengacungkan penisku ke arahnya. Sampai di titik ini aku tak punya pikiran aneh-aneh, aku dan mbak Dina sudah dari kecil sering melihat ketelanjangan kami. Namun saat itu entah apa yang akan dia lakukan aku belum mengerti.
“Nahh.. lain kali kalo kamu ngaceng kamu coli saja”
“Coli? Apasih itu mbak?”
“Kamu gak tau yah? Hihi.. gini lho caranya”
Tangan mbak Dina langsung menggenggam penisku lalu bergerak maju mundur seperti gerakan menggosok. Terus terang meski aku sudah lulus SMA tapi aku belum sekalipun pernah melakukan hal itu. Mungkin itu adalah pertama kalinya kemaluanku di kocok. Untungnya ada mbak Dina yang mau membantuku.
“Gimana Ngga... enak?”
“Sssshhh.. aahh.. enak mbakk... terus” balasku.
“Hihihi.. udah jelas kamu keenakan itu.. gini.. terusin sampe pejuhmu muncrat”
“Aahh.. muncrat? Aahh.. iya mbakk.. coba lanjutin dulu”
Mbak Dina terus melakukan gerakan mengocokkan tangannya pada batang kemaluanku. Tubuhnya yang hanya tertutupi celana dalam itu sudah jongkok di depanku. Sedangkan aku yang sudah telanjang bulat berdiri di depannya dengan penis tegak mengacung tepat di depan mukanya.
“Aaahh... ssshhh.. aahh.. enak mbak... beneran enak..” lenguhku kemudian.
“Mau muncrat apa belum Ngga?”
“Belum mbak.. masih belum kerasa apa-apa selain geli-geli gatel” jawabku jujur.
“Ohh.. baguss.. kamu lumayan kuat Ngga..”
“Kuat apa sih mbak? aahh.. ini enak banget” ujarku.
Tanpa aku duga sebelumnya, mbak Dina lalu menarik tanganku dan diarahkannya ke buah dadanya sebelah kiri. Tanpa disuruhpun aku mulai meremas susunya dan mencubit putingnya yang menonjol keras itu. Apa yang kulakukan itu sebenarnya hanya insting ku saja, belum pernah ada yang mengajarinya. Memang kalau penis kita di kocok dan tangan kita memegang buah dada perempuan rasa enaknya akan berlipat-lipat.
“Uuhh.. terus Nggaa...ahh..”
“Iya mbakk.. jangan berenti yaaahh..”
Karena sedari tadi aku memejamkan mata, saat aku buka mataku mendadak aku kaget karena kulihat tangan mbak Dina yang satunya sudah menyusup ke dalam celana dalamnya. Entah apa yang dia lakukan aku belum mengerti, jelasnya dia begitu menikmati apa yang dia lakukan.
“Oohh.. enak ya Nggaa?”
“iya mbak enak.. ahh...”
“Mbak lepasin celana dalam mbak gapapa ya Ngga?”
“Dilepas? Iya mbakk.. terserah mbak Dina... lepasin aja” balasku.
Sejenak mbak Dina menghentikan kocokan tangannya pada kemaluanku. Dia lalu berdiri dan memelorotkan celana dalamnya sampai terlepas dari kedua kakinya. Dalam sekejap saja kami berdua sudah sama-sama telanjang bulat di dapur.
“Mbak pake ini aja ya? Biar kalo muncrat gak kemana-mana” ujar mbak Dina sambil membelitkan celana dalamnya pada batang kemaluanku.
“Iya mbak.. aku ikut saja maunya mbak Dina”
“Hihihi.. nikmatin ya dek..”
Kembali kakak perempuanku itu mengocok alat kelaminku dengan tangannya. Sekarang jadi aneh rasanya karena kulit kemaluanku bergesekan dengan kain celana dalamnya. Namun lama-kelamaan akhirnya jadi enak juga ternyata.
“Aahh.. kok tambah enak sih mbak.. ahh..”
“hihihi.. iya dek.. kamu nikmati saja..”
Sambil terus mengocok penisku, tangan mbak Dina yang sebelah kiri kulihat bergerak-gerak di sekitar selangkangannya. Aku masih belum mengerti apa yang sebenarnya dia lakukan, tapi kelihatannya dia juga ikut merasa keenakan juga.
“Ooohh.. enak Nggaa.. aahh... mbakk.. mbakk.. ahhh.. nyampeeee!!”
Tiba-tiba saja dari lobang kencing mbak Dina menyembur cairan banyak banget. Cairan itu menyemprot keluar dan jatuh di atas lantai dapur. Sehabis itu tubuh mbak Dina seperti kejang-kejang dan bergetar hebat. Aku hanya bisa melongo tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Aduhh.. aduhh... kok malah mbak yang nyampe duluan sih? aahhh.. aduhhh... parah” lenguh mbak Dina melepaskan tangannya dari batang penisku. Dia lalu menungging sebentar seperti ada sesuatu dari dalam dirinya yang lepas begitu saja.
“Mbak kenapa? gak sakit ya mbak?”
“Aahh.. enggak.. malah enak kok Ngga... hihihi”
“Ohhh... ya sudah, trus ini mau dilanjut apa enggak mbak? Kalo ga dilanjut aku mau tidur saja, capek soalnya..” ujarku.
“Emm.. yaudah kamu tidur aja.. mbak juga capek nih habis keluar” mbak Dina lalu berusaha berdiri dengan kaki gemetaran.
“Aku ke kamar dulu.. mau tidur sebentar mbak”
“Hahh.. iya.. iya..”
Akupun pergi meninggalkan kakak perempuanku yang masih tertatih-tatih berusaha duduk di kursi dapur. Aku sudah tak peduli lagi pada kondisi mbak Dina karena dia bilang tidak apa-apa. Tanpa menunggu lama akupun membaringkan tubuhku di atas tempat tidur meski penisku masih tegak mengacung. Aku sudah merasa capek dan mataku mulai lengket. Hanya dalam hitungan menit kemudian aku tertidur dengan lelap.
***
Peristiwa dengan mbak Dina itu tak aku bicarakan dengan ibuku karena kuanggap kejadian itu bukan apa-apa. Kami masih seperti biasa dan tak ada yang berubah diantara kami. Setelah itupun aku tak pernah mengocok penisku karena aku merasa capek saat melakukannya. Bukannya enak seperti mbak Dina melakukannya, kalau kulakukan sendiri rasanya malah membuat kulit kemaluanku terasa lecet dan perih.
Malam itu kebetulan ibuku membantu persiapan acara hajatan keluarga. Sedangkan mbak Dina sedari sore sudah pergi keluar bersama pacarnya. Jadilah aku ditinggal sendirian di rumah. sebenarnya sudah sering aku ditinggal begitu, tapi pada akhirnya aku pasti tak bisa tidur dan gelisah sepanjang malam.
Aku sudah terbaring di tempat tidur ibuku. Tubuhku sudah tak tertutupi apa-apa lagi karena memang aku biasanya tidur dalam kondisi begitu. Aku terus berusaha memejamkan mata tapi tetap tak bisa. Malah pikiranku melayang-layang tak tentu arah. Entah jam berapa akhirnya mbak Dina pulang ke rumah. Setelah kudengar dia berpamitan dengan pacarnya, kakak perempuanku itu masuk ke dalam kamarnya.
Merasa kalau mbak Dina suah berada di kamarnya, aku kemudian loncat turun dari tempat tidur dan menuju ke kamar kakakku itu untuk minta bantuan padanya supaya aku bisa segera tidur.
“Mbak.. mbak Dina..”
“Apa Ngga.. masuk”
Kriett... kubuka pintu kamar mbak Dina yang tak tertutup rapat.
“Mbak..”
Saat aku masuk kedalam kamarnya, kebetulan mbak Dina tengah melepas bajunya. Kulihat saat kakakku itu melepas pakainnya ternyata dia sudah tidak memakai Bh dan celana dalam. Berarti dia keluar bersama pacarnya tadi tidak memakai daleman apapun. Kembali aku menganggapnya sesuatu yang biasa saja karena perempuan di desaku memang tak wajib memakai Bh dan celana dalam. Melihat tonjolan puting di balik baju yang dipakai oleh wanita di desaku adalah hal yang wajar buatku.
“Apa?”
“gak bisa tidur aku mbak”
“Hihihi.. ibu belum pulang ya?”
“Belum.. kayaknya menginap”
“Ohh..”
Mbak Dina terlihat mencoba mencari celana dalam untuk dipakainya tapi begitu melihat kondisiku yang telanjang membuatnya mengurungkan niat. Akhirnya kami berdua kembali bersama dalam kondisi tanpa busana.
“Sini Ngga.. tidur sama mbak saja”
“Hehe.. iya mbak, makasih..”
Aku tak berucap apa-apa lagi. Kubaringkan tubuhku di samping tubuh mbak Dina yang sudah terbaring duluan mepet dengan tembok. Sesaat lamanya aku masih membelalakkan mata karena aku merindukan ibuku. Tak terasa air mataku mulai menetes ke pipi membayangkan kalau aku ditinggal oleh ibuku untuk selamanya.
“Lhoh.. lohh.. kok malah nangis? Aduhh.. udah gede kok nangis sih kamu Ngga??”
“Hemm... iya mbak.. aku kangen ibu” ucapku lirih.
“Hahaha.. baru ditinggal sebentar aja dah nangis gini.. tadi siang kenapa gak ikut sama ibu sekalian sih kamu?”
“gak mbak... ibu ga pamit tadi...”
“Hadeuuh.. ya sudah, biasanya kalo mau tidur ibu biasanya ngapain?”
“itu mbak.. nenen.. “
“Hihihi.. masih aja suka nenen kamu ya Ngga? Padahal badan udah gede kayak gini masih aja nenen sama ibu... hhhh.. ya sudah, sini nenen aja sama mbak..”
“Beneran?”
“Iya sini.. mau tidur gak?”
“ya mau lah mbak..”
Tanpa menunggu lama aku kemudian memposisikan kepalaku tepat sejajar dengan buah dada mbak Dina. Mulutku langsung menyeruput puting susu kakak perempuanku itu dengan manja. Memang bentuk puting susunya tak sebesar punya ibu, tapi lumayan daripada tidak ada.
“pelan-pelan.. awas kalo sampe kena gigimu lho...”
“emmmhh.. slurrrpphhh... ahh.. iya mbak..”
Aku memejamkan mataku berusaha untuk tidur. Aku ingin malam ini berlalu dengan cepat supaya ibu bisa cepat kembali ke rumah. Sedari kecil memang aku tak pernah jauh dari ibuku, meski aku sering ditinggal tapi ibuku hanya pergi ke rumah keluarga di desa ini juga. Itupun sudah membuat hidupku tak tenang dan tak bisa tidur karena kepikiran terus.
“Dek.. kamu sudah punya pacar belum?” tiba-tiba mbak Dina bertanya.
“Eummhh... ahh.. belum.. belum pernah punya pacar aku mbak”
“Ohh...”
“Mbak..”
“Apa Ngga..?”
“Kalo mbak Dina udah pernah ngentot belum?” tanyaku balik.
“Hah!? Apaa? Ngerti darimana kamu kata-kata itu Ngga?”
“Hehe.. dari Adi mbak.. jawab dong mbak”
“Hihihi.. mau tau aja kamu ini... ya pernah lahh Ngga” jawab mbak Dina tanpa menutupi kelakuannya.
“Ohhh..”
“Udah ahh.. jangan bahas itu lagi, cepetan tidur saja...”
Aku mengikuti saja permintaan kakak perempuanku itu. Dia terlihat memejamkan mata berusaha untuk tidur. Melihatnya tak mengajak aku ngobrol lagi, kuputuskan saja untuk mengikutinya tidur. Akhirnya dengan masih netek sama susu mbak Dina akupun tertidur dengan lelap.
Keesokan paginya aku bangun dengan agak malas. Tadi malam aku kembali mimpi basah. Tapi begitu kulihat pangkal paha dan daerah perutku tak ada bekas cairan mani yang mengering. Entah kenapa bisa begitu aku masih tak mengerti. Biasanya kalau aku mimpi basah pasti di sekitar selangkanganku atau di perutku akan ada bekas sperma yang mengering di pagi hari.
Memang tadi malam aku tengah bermimpi bertemu dengan seorang perempuan yang tiba-tiba mau ngentot denganku. Sayangnya wajah gadis itu aku tak bisa melihatnya, karena hanya berupa bayangan yang tak jelas di mimpiku. Terus terang di pagi ini aku merasa gembira dan lega banget. Mungkin karena aku berhasil bertemu dengan gadis pujaanku yang hanya hadir lewat mimpi saja.
Begitu aku terbangun, nampak cahaya matahari belum bersinar terang. Masih hanya berupa remang-remang cahaya yang terlihat menembus tembok rumah. Kusadari mbak Dina masih berada di sampingku dengan posisi miring menghadap tembok. Tubuh kami masih belum tertutup apa-apa. Bagiku hal ini tak ada yang aneh, karena kami sedari kecil memang sudah biasa melihat tubuh kami masing-masing tanpa pakaian apapun.
Tanpa berpikiran macam-macam lagi, akupun bangun dari tidurku dan menuju ke dapur. Hari ini aku harus kembali ke ladang lagi karena masih banyak pekerjaan yang akan aku lakukan. Setelah menyalakan kompor dan merebus air, aku pakai celanaku dan kaos yang biasa aku jadikan kostum saat pergi menggarap tanah.
“Ibu belum pulang ya Ngga?” muncullah mbak Dina dari balik pintu kamarnya yang berdekatan dengan pintu dapur.
“Belum kok mbak.. aku tinggal ke ladang dulu.. biar gak kesiangan” ujarku.
“Ohh.. sini, biar mbak yang bikinkan kopi”
Mbak Dina masih saja belum menutupi tubuhnya. Dia dengan bebasnya bergerak membuatkan aku kopi meskipun tubuhnya masih telanjang bulat. Kembali hal itu adalah hal yang biasa buatku. Tak ada pikiran yang aneh saat melihat kakak perempuanku yang cantik itu dalam kondisi tanpa busana.
0 Komentar