Semenjak kejadian malam itu, kami masih saja bersikap seperti biasanya. Tak ada perubahan yang kelihatan dari ibuku dan kami tak juga sekalipun membahasnya. Namun malam-malam berikutnya aku masih saja suka memasukkan batang kelaminku ke dalam lobang memek ibuku, tapi hanya sebatas masuk saja karena setelahnya akupun tertidur sampai pagi.
Mbak Dina yang mungkin mengetahui perbuatan kami juga tak pernah membahasnya. Meski kurasakan dia semakin mendekatiku selayaknya aku bukan adiknya. Kadang kulihat ada pancaran wajah menggoda saat dia melihatku. Sering kali pas kita hanya berdua saja dia malah membahas hal-hal seputar selangkangan. Aku yang belum terlalu paham apa maksudnya hanya menjawab iya-iya saja.
Semenjak kutemui dia bersama pacarnya di dalam kamar, aku tak pernah lagi melihat pacarnya itu datang ke rumah. Entahlah, apa mungkin dia dengan pacarnya itu sudah putus. Tapi kalau dilihat dari gelagatnya memang dia sekarang tak punya pacar lagi. Kalau biasanya sore dia dijemput untuk pergi ke luar, sekarang dia malah lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah saja. Bahkan kini dia sering menemaniku pergi ke ladang. Meski saat di ladang dia cuma duduk-duduk saja tapi bagitu sudah sangat membantu kalau ada teman bicara selagi menggarap tanah.
Beberapa hari lagi tanaman di ladang akan dipanen. Ibuku sudah memanggil orang untuk membeli tanaman kami. Sekarang tugasku hanya menjaga tanaman itu supaya tidak rusak sebelum dipanen. memang pekerjaan di ladang tidak seberat saat baru ditanam tapi menunggui tanaman yang akan dipanen malah menyita waktuku semakin banyak. Kadang aku pulang sore dari ladang karena khawatir ada hewan liar yang masuk ke tanah kami dan memakan hasil tanaman yang mau dipanen.
Seperti biasanya siang sehabis menengok tanaman, aku pulang ke rumah. Kebetulan mbak Dina juga ikut denganku karena bosan terus-terusan di rumah katanya. Setibanya kami di rumah, aku dan mbak Dina langsung ke kamar mandi membersihkan diri dari noda tanah dan keringat yang mengering.
“Kok sepi ya Ngga.. ibu kemana?”
“Paling tidur siang mbak..”
“Ohh.. iya juga..”
Selepas membersihkan diri, kami menuju ke dapur lalu makan. Kebetulan ibuku memang sudah menyiapkan makanan untuk kami ketika kami pulang dari ladang. Kamipun makan berdua sambil ngobrol tentang pacar mbak Dina yang bernama Gunawan itu. Dari keterangannya aku tau kalau ternyata mas Gun itu sudah punya pacar baru setelah sebelumnya meninggalkan kakakku karena dianggap kurang cantik katanya. Kakakku hanya ketawa-ketawa saja mendengar alasan pacarnya, karena kutahu benar kalau mbak Dina itu punya wajah cantik dan menggoda. Bahkan di desa ini kakak perempuanku itu adalah salah satu dari sedikit perempuan yang cantik.
“Ngga.. kamu tidur sama mbak saja.. jangan ganggu ibu”
“Hemm... iya lah mbak.. gapapa”
Selesai makan dan membersihkan alat makan yang kami gunakan, aku dan mbak Dina lalu beranjak masuk ke dalam kamarnya. Meski kamar yang biasa dipakai mbak Tika sudah kosong tapi aku masih suka tidur dengan ibuku. Jadilah kamar yang dulunya dipakai mbak Tika dibiarkan tetap kosong saja.
“Lepasin saja itu celana dalamnya dek... bau kayaknya” tunjuk mbak Dina pada kancut yang aku pakai siang itu.
“Hehe.. iya sih mbak.. habis kena keringat banyak”
“Makanya itu.. lepasin dulu gih”
“Iya deh..”
Dengan santai aku lepaskan kain penutup pangkal pahaku itu lalu kutaruh di bawah kaki tempat tidur. Rupanya mbak Dina juga melakukannya sehingga kini kami berdua sudah dalam kondisi telanjang bulat di dalam kamar itu. Dalam pikiranku tak ada hal yang aneh kurasa, karena kami berdua sudah sering melihat ketelanjangan kami sedari kecil sampai sekarang. Apalagi siang itu udara terasa begitu panas dan membuat gerah, paling enak kalau kita tidur melepaskan pakaian kita. Tak ada yang beda dari hari-hari lainnya dan hanya biasa saja pikirku.
“Yukk.. sini Ngga.. istirahat dulu”
“Iya mbak.. geser dikit dong”
“Iya..iya.. sini..”
Beberapa saat lamanya aku tak bisa tidur karena memikirkan hasil panen yang akan kami dapat. Aku berharap kali ini hasilnya tak mengecewakan dan ibuku bisa mendapat uang yang cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari kami. Meski mbak Tika masih mengirim uang tapi ibuku tak mau menggantungkan kebutuhan kami pada uangnya mbak Tika.
“Ngga.. gak bisa tidur yah?”
“Eh, iya mbakk..”
“Kamu mikirin apa sih dek?”
“Anu mbak.. mikir panen kita”
“Ohh.. udah jangan dipikir terlalu dalam.. buat tidur aja, lupakan semuanya dulu” saran mbak Dina kemudian.
“Hemmm.. ga bisa mbak.. kepikiran terus”
“Sini.. mau gak emut punya mbak Dina? biar pikiran kamu gak kemana-mana” tawarnya kemudian.
“Hehe.. ya mau dong mbak”
“yaudah sini.. ayoo..”
Aku melirik ke arah kakakku yang ternyata sudah memegangi payudaranya. Puting susunya memang terlihat masih mungil dan warnanya merah pucat. Sebenarnya dari segi ukuran, bulatan payudara mbak Dina tak jauh beda dengan punya ibuku. Hanya warnanya saja lebih cerah dan lebih mulus.
“Hehe.. iya deh mbak.. eeemmhhhhh... nyamm.. nyamm..”
“Aaahh.. pelan Nggaaa..”
“Hehee..”
Begitu puting susu mbak Dina masuk ke dalam mulutku, langsung saja kuhisap dengan kuat dan kumainkan dengan lidahku seperti sedang mengulum permen. Kelakuanku itu tentu membuat mbak Dina semakin belingsatan menahan geli. Wajahnya berubah jadi menggemaskan, matanya terpejam sambil menggigit bibir yang sebelah bawah. Terus kuhisap puting susunya bergantian kiri dan kanan sampai aku merasa puas.
“Aaahh.. aduuh.. iiya Nggaa..ahh.. itu... duhh...”
Tanpa kusadari ternyata tangan mbak Dina sudah menggosok permukaan memeknya. Aku tak peduli apa yang dia lakukan karena aku fokus menikmati puting susunya.
“Mbak.. daripada digosok-gosok begit mending pake ini saja” tawarku sambil menyodorkan batang kelaminku.
“Aaahh.. kok pake itu? kamu ini ada-ada saja”
“Lahh.. biasanya ibu kalo mau tidur pasti aku masukkan burungku ini ke lobang memeknya”
“Apaaa??” ucap mbak Dina melotot.
“Loh.. ehh.. kok marah sih? kan ibu yang nyuruh..”
“Jadi memang benar kamu selama ini... emm.. ngen...”
“Ngentot?”
“Iya bener.. ahh.. kok bisa sih kamu ini Ngga?”
“ya gak tau mbak.. lha kan ibu yang mau.. ya sudah aku ikut saja” balasku.
“Emm.. jadii.. aahh.. beneran kamu yah? duhh.. kamu ini..”
“ya gimana lagi.. trus sekarang mbak Dina mau apa tidak?”
“itu.. anu.. emm.. gimana ya Ngga?”
“Sudah.. sini.. daripada digosok gak jelas gitu malah lecet nanti”
Aku tanpa menunggu ijin dari mbak Dina lalu menarik pinggulnya. Posisi kami yang miring dan sudah saling berhadapan itu membuat ujung penisku menyentuh permukaan kemaluannya.
“Aaah... Anggaaa..”
“Sudah diam saja mbakk... ibu saja enak kok kalo aku ginikan” balasku.
Tanpa disuruh pun akhirnya mbak Dina mengangkat pahanya sebelah. Kesempatan itu aku gunakan untuk mencucukkan ujung penisku pada belahan vaginanya. Karena belahan itu masih agak rapat, aku jadi kesulitan melakukannya. Namun lama kelamaan kepala kemaluanku berhasil masuk ke dalam lobang memeknya.
Clepppp!!
“Aaaahhkkkh.. Nggaa.. pelann.. aahh..”
“Iya..iya mbak.. tahan saja.. nanti kalo sudah masuk lebih enak lagi” ucapku menirukan reaksi ibuku biasanya.
“Iyaa.. aahh... duhhh.. dorong aja Ngga.. aahh.. punya kamu gede lhoo..”
“Ohh.. gedean mana sama punya mas Gunawan?” celetukku tiba-tiba.
“Aaahh... gede punya kamu dekk.. ahh..”
“Hehehe.. iya lahh..”
Cleepp... Blessssshh!!
“Huaaaaahhh... Anggaa.. pelaannn...!!”
Mbak Dina menjerit kala kumasukkan penisku secara keseluruhan. Wajahnya nampak sekali kalau dia tengah menahan rasa sakit. Sebaliknya aku malah tak peduli pada reaksinya, kuteruskan saja dorongan pinggulku sampai membuat penisku menancap lebih dalam pada lobang kemaluannya.
“Aaahh..sudah Nggaa... sudahh.. men.. tokkk”
“Aaaahh.. iya mbakk.. sini susunya lagi”
“Emmhhhh..ahhh.. iya... ini”
Kudiamkan saja kemaluanku di dalam lobang memek mbak Dina. Aku lalu mengemut lagi puting susunya seperti aku melakukannya pada ibuku biasanya. Sambil terus kunikmati puting susunya, di bawah sana rasanya penisku semakin becek dan hangat. Terasa ada cairan yang merembes keluar dari celah kemaluan kakak perempuanku itu.
“Huhhhhh.. Anggaaa.. aahhh.. enak sekali dekk.. eemmhhhh...”
Bukan aku yang memulainya, tapi mbak Dina yang lebih dulu menggoyangkan pinggulnya supaya penisku bergerak-gerak. Aku hanya diam saja menikmati apa yang dia lakukan sambil terus mengemut puting susu yang terasa mengeras di mulutku. Rupanya kakak perempuanku ini lebih banyak bergerak daripada ibuku.
“Aaahh.. mbaakk.. jangan gerak terus dong, jadi lepas ini emutanku”
“Oohhh.. gapapa Nggaa.. aahh.. kamu baring saja biar enak dek... ahh.. ayoo..”
Aku mengikuti kemauan mbak Dina. Seperti yang sudah aku lakukan pada ibuku, akupun siap menahan tubuh mbak Dina yang duduk di perutku. Benar saja, begitu aku dalam posisi terbaring telentang, kakakku itu langsung naik di perutku dan menancapkan penisu pada lobang kemaluannya lagi.
“Hhhooohhhhh... asssssshhhh.. enaknyaa...” lenguh mbak Dina saat kemaluanku masuk kembali.
“Goyang dong kakk.. tapi jangan lupa susunya sini..”
“Aahh.. iya Nggaa... emmhh.. ini..”
Sedikit membungkukkan tubuhnya ke depan, mbak Dina seperti menyerahkan puting susunya untuk aku nikmati lagi. Cupphhh.. cuphh.. tanpa menunggu lama langsung kukenyot puting susu mancung itu bergantian kiri dan kanan.
“Aauhhh... aahh.. Anggaa... kamu pinter banget dekk... ahh...”
“Emmhhhh... emmhhh... ahhh..”
“Uuhh.. berhasil juga ibu ngajarin kamu dek.. ahhh.. teruss..”
Pinggul mbak Dina terus bergoyang sambil mulutnya meracau. Dia bergerak naik-urun, kekiri-kekanan, memutar, pokoknya apapun dia lakukan untuk membuatnya terus merasa enak. Sebaliknya aku hanya diam sambil terus mengemut dan menjilati puting susunya.
“Ahh.. iyahh.. iyahh.. ini.. ini.... aaaahhhh...aahhhh....”
Srrutttt.. Sruttt... srutt.... currrr..
Ada cairan yang keluar dari belahan memeknya banyak sekali. Aku sempat panik dan berpikir kalau kakak perempuanku itu ngompol. Tapi melihat raut wajahnya yang sangat menikmati itu aku jadi tenang dan tak peduli pada cairan yang membasahi pangkal pahaku dan turun ke sprei di bawah tubuhku. Sedangkan mbak Dina masih terus menggoyangkan pinggulnya lagi dan menunggangiku bagai seseorang yang sedang naik kuda.
“Huuoooohhhh.. ini enak banget dekkk...ahh... rugi gak ngelakuin dari dulu.. aahh..”
“Eemphh... ahh... slurrrpp.. ahh.. emmhhhh... iya kan mbak.. ahh..”
“Gantian Ngga.. mbak capek..”
“Iyaa.. sini mbak..”
Mbak Dina lalu turun dari atas tubuhku lalu membaringkan dirinya di sampingku. Aku yang sudah terlanjur merasa enak tak ingin lama-lama meninggalkan rasa itu. Kutekuk kedua kaki mbak Dina lalu kudekatkan pada perut ratanya. Seketika itu terbukalah celah kemaluannya yang sudah penuh dengan lendir bening itu.
“Aaaahhhhhh... pelan Ngggaaa.. punyamu besar itu dekk..”
“Hehe.. iya mbak maaf”
“Sudahh.. lanjutin..”
Kembali kugoyangkan pinggulku maju mundur. Tanganku kemudian meraih bulatan payudara mbak Dina lalu kumainkan dan meremasnya dengan lembut. Kulihat kakak perempuanku itu sepertinya memang sangat menikmati apa yang aku lakukan. Terus kuhentakkan pinggulku ke depan dan kutarik dengan cepat lalu kuhentakkan lagi. Begitu terus sampai mbak Dina hanya bisa terpejam menerima perlakuanku.
“Aaaahhh… aaagghhh… ohh.. deekk...” desah mbak Dina tak tertahan lagi.
“Enak gak mbak?” tanyaku iseng.
“Aaagghhh.... iyaaahhh...ahhh..” pertanyaanku dibalas dengan desahan dari mbak Dina.
“Mbak.. jawab dong.. enak gak?” tanyaku lagi.
“Hhhmm.. e.. enak Nggaa.. aaahhh..” jawab mbak Dina.
Selagi aku memusatkan perhatianku pada mbak Dina, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan terlihat ibuku sudah berdiri di sana. Aku dan mbak Dina langsung saja menoleh ke arah ibuku berada. Meski kemaluanku masih berada di dalam lobang memek mbak Dina tapi aku tenang saja karena merasa apa yang aku lakukan ini tidak ada yang salah. Selama ini baik ibuku maupun kedua kakakku tak pernah memberitahuku kalau apa yang aku lakukan ini adalah hal yang salah. Jadilah aku santai saja dan tetap menggoyang pinggulku maju mundur meski sedang dilihat oleh ibuku.
“Lhoh.. ini kok siang-siang sudah ngentot sih? pake teriak-teriak lagi...”
“Eh, iya buu... katanya mbak Dina gatel tadi.. hehe..” balasku cengengesan tak jelas.
“Aaahh.. iya buu.. ahh..” tambah mbak Dina yang hanya mendesah saja.
“jangan teriak-teriak gitu dong.. nanti dikira ada apa-apa di rumah ini...”
“Hehe.. iya bu.. tuhh mbak.. jangan teriakk..” ujarku pada mbak Dina yang masih aku genjot dari atas.
“Habis ini kalian cepat tidur.. Angga jangan lupa nanti sore ke ladang lagi...” ibuku lalu pergi meninggalkan kami.
“Eh, iya bu.. iyaa..” balasku.
Kuperhatikan wajah mbak Dina sempat ada rasa takut saat ketahuan ibuku tadi. Entah kenapa dia takut? Apa mungkin dia takut ibu akan marah kalau melihat kami seperti ini. Sebaliknya aku malah tenang-tenang saja, toh apa yang aku perbuat ini tak pernah dilarang oleh ibuku. Akupun lalu melanjutkan saja genjotan pinggulku karena rasa enaknya sudah menguasai otakku.
“Aaaagghhh.. aa.. akuu.. mm… maauuu keluaarr… haaaahhhh.. aaaahhhh.. aaaahhh.. aggghhh..” desah mbak DIna kemudian. Badanku mengejang sampai melengkung ke atas seperti hendak melepaskan sesuatu dari dalam tubuhnya.
Sreettt... sreettt.. currrrrr.....
Kembali muncrat cairan bening banyak sekali dari celah kemaluan mbak Dina. Penisku sampai basah kuyup terkena cairan itu. sprei di bawah kami semakin basah dan becek. Aku tak peduli karena kemaluanku sudah jadi gatal dan berkedut-kedut. Sepertinya aku akan mengeluarkan pejuhku.
“Aaahhh.. mbak Dina... awas mbaakkk...”
Aku langsung mencabut penisku lalu ku arahkan pada perut rata milik mbak Dina. Seketika itu penisku berdenyut-denyut dengan kencang dan menyemburlah cairan putih kental dari ujungnya.
“Hooooohhhh.. sini dek... uuhhhh... enak ini” ucap mbak Dina sambil meraih penisku dengan tangannya.
“Uuuhhhh... iyaaa mbaaakkkk.. enaakkk”
Tangan mbak Dina yang memegang penisku langsung mengocoknya dengan cepat. Akibatnya semburan ari maniku semakin jauh jatuhnya. Bahkan sampai jatuh di muka mbak Dina.
“Aaahh.. aahhh.. sudah mbakk.. ahhh.. ngilu.. ngilu mbakk..” teriakku kemudian.
“Hhihihi.. sampe habis Ngga... ayo keluarin”
“Sudah mbakk.. sudah habis ini..”
“Hihihi... “
Brukk..!!
Aku kemudian ambruk di samping tubuh mbak Dina. Kubaringkan diriku sambil menata nafasku yang terengah-engah sehabis memuncratkan peju tadi. Keringat mengucur deras di kedua tubuh kami. Rasanya cuaca panas siang itu semakin membuat kami gerah dan berkeringat hebat. Duhh, memang harusnya kalau ngentot itu malam hari saja pikirku.
“Sudah, kamu tidur Ngga.. nanti gak bisa ke ladang lagi”
“Iya mbakk... hhhhuhhhhh.. aahh.. makasih ya mbak”
“Sama-sama.. aku juga makasih dek.. Cuphhh!” mbak Dina mengecup bibirku. Rasanya aneh tapi entah kenapa malah membuatku nyaman.
***
Semenjak kejadian itu aku semakin dekat dengan mbak Dina. Rasanya kami bukan lagi saudara kandung, malah seperti orang pacaran saja kelihatannya. Tapi aku tetap menjaga jarak dengan kakakku ketika aku dan dia berada di luar rumah. Aku takut kalau kedekatanku dengan mbak Dina jadi olok-olok semua temanku. Pasti mereka akan bilang kalau aku gak bisa cari pacar karena dihalangi sama kakak sendiri. Belum lagi pandangan orang pada kakak perempuanku akan jadi lebih meremehkan lagi karena sampai sekarang masih belum dapat jodoh. Itulah kenapa aku terus berusaha menyembunyikan kelakuan kami di rumah pada tetangga dan pada keluarga besar kami khususnya.
“Kamu jangan sering-sering tidur sama mbak Dina” ucap ibuku saat kami sudah akan mulai tidur malam itu.
“Loh.. memang kenapa bu? Kan dia saudaraku sendiri”
“Iya bener, tapi apa yang kalian lakukan itu salah Ngga”
“Salah gimana bu?”
“Seharusnya saudara kandung itu gak boleh sampe ngentot begitu.. kalian sudah melanggar aturan keluarga”
“Aturan yang mana sih bu? Bukannya ibu sendiri sudah rela burungku masuk ke dalam itunya ibu” tandasku sambil menunjuk pada kelamin ibuku yang terpampang jelas di depanku.
“ya itu laen Ngga.. ibu pas lagi pengen berat”
“Ooohh.. jadi kalo pengen boleh ya bu?”
“ya gak gitu.. tetap gak boleh...” ujar ibu sambil menatap wajahku lekat.
“Kalo gak boleh biar aku sama orang lain saja bu.. kan katanya gak boleh sama saudara sendiri”
“ya tetap gak bolehh.. “
“Aahh.. ibu kok jadi repot banget sih.. jadi gak senang aku bu” balasku mulai merajuk.
“Hadeuh.. trus maunya kamu gimana sih Ngga?”
“Mauku sih ya begini saja bu... ga usah dilarang-larang.. memangnya ada masalah?”
“Hemm.. sama kamu ini memang susah ngomongnya.. begini saja Ngga.. lakukan apa yang kamu mau sama ibu saja”
“Trus kalo mbak Dina mau juga?”
“Yaa terserah kalian.. asal semuanya tetap di dalam rumah” ujar ibuku menjelaskan syaratnya.
“jadi.. selama di dalam rumah boleh ya bu?”
“Ii.. iya.. hemmm.. gapapa.. asal kamu jangan maksa” balas ibuku sambil memalingkan muka dariku.
“Asekkk...”
“Sudah.. sudah.. sekarang kamu tidur saja.. besok pagi sekali kamu harus tungguin orang yang mau panen”
“Iya bu.. siap..”
Kembali ibuku tak tega pada rengekanku. Mungkin yang aku pinta itu adalah hal yang aneh dan diluar kewajaran, tapi mau bagaimana lagi kalau menurutku apa yang aku minta itu sebagai hal yang lumrah. Memang akan repot kalau pada posisi ibuku, mungkin saja beliau mengorbankan sesuatu yang besar untuk ketenangan keluarganya.
***
Siang itu setelah melihat sisa-sisa panen di ladangku, aku sengaja menuju ke sungai karena ingin mandi. Sudah lama aku tak mandi di sungai semenjak di rumahku punya sumur. Sambil membawa sabit, aku berjalan pelan menuju pinggiran sungai yang letaknya tak terlalu jauh dari ladangku. Hanya saja jalannya berupa bebatuan yang terjal dan menurun. Kalau lagi musim hujan akan sangat susah sekali menuju sungai karena jalannya pasti licin dan banyak batu yang jatuh.
Begitu tiba di sungai aku terkejut melihat sudah ada orang lain di situ. Setelah aku amati ternyata ada temanku Adi dan Nanang yang sedang menceburkan diri mereka. Begitu aku sapukan pandanganku langsung saja aku menangkap ada orang lain selain mereka berdua. Entah kenapa ada Rahayu juga disitu. Dia itu adalah teman sekelasku di SMA dulu.
“Hoee.. tumben kalian mandi disini?” teriakku.
“Ehh.. ada Angga tuhh.. sini.. ikut kita mandi”
“Iyaa.. tunggu aku kesitu”
Aku kemudian mendekati bibir sungai lalu melepaskan kaos yang aku pakai. Saat mau melepaskan celana pendekku kulihat dulu ke arah Rahayu yang sedang berenang tapi agak jauh posisinya. Tiba-tiba aku sadar kalau teman perempuanku itu sudah tak memakai apa-apa lagi, begitu juga Adi dan Nanang. Ketiganya berenang di sungai dalam kondisi telanjang bulat semua.
“Ayoo.. tunggu apa lagi?” teriak Nanang.
“Iya.. ini aku mau kesitu”
Tanpa ragu lagi langsung kulepas celana pendekku sekaligus celana dalam yang aku pakai.
Byurrrr..!! aku loncat dari pinggiran sungai menceburkan diri.
“Huaaahhh... segarrrrrr!!” ujarku.
“Hehehe... segar ya Ngga.. apalagi ada yang cantik di sana.. tambah segarnya” ucap Adi sedikit pelan, mungkin supaya Rahayu tidak mendengarnya.
“Kok dia bisa kesini?”
“Hehe... iya lahh.. kan aku yang ngajak” balas Adi nyengir kuda.
“Duhhh.. kamu ini.. awas lhoo.. kamu dapat amukan dari orang tuanya”
“Gapapa.. lah kan dia anaknya janda.. paling juga ibunya yang marah, hehehe..”
“Ohhh.. ya sudah.. itu urusan kamu berarti”
“Iya lahh.. kamu tenang saja Ngga” ucap Adi berusaha meyakinkan diriku
Sejenak kemudian Rahayu tampak mendekati kami. Dia begitu cuek dengan kondisi tubuhnya yang tak memakai apa-apa. Dia mendekat kemudian memeluk Adi dengan mesra. Aku yang melihatnya hanya biasa saja karena aku tahu kalau Adi dan Rahayu itu memang pacaran.
“Lama gak ketemu ya Ngga”
“Eh, iya Yu.. sejak kita lulus sepertinya” balasku pada sapaan Rahayu.
“Hihihi.. kamu jadi tambah ganteng sekarang” ujarnya lagi.
“Husss... ini ada pacarnya kok malah muji orang lain” protes Adi menengahi kami.
“Hahaha.. kamu cemburu apa Di? Gak lahh.. kita kan cuma teman kok Di”
“Iya semuanya awalnya juga teman Ngga.. aku juga sama Rahayu awalnya teman” balas Adi agak sewot. Dia memang cemburu beneran kurasa.
“Hahaha.. ya sudah maaf.. sana aja Yu.. agak jauh, pacarmu itu cemburu”
“Ihhhh.. kamu ini apaan sih Di? masak sama temen sendiri cemburu?” gantian Rahayu yang protes pada Adi.
“ya gak begitu Yuu.. ini namanya Was-pa-da”
“Udah ahh.. aku ga mau mandi lagi.. aku mau ke atas” rupanya Rahayu mulai jengah dengan kelakuan pacarnya. Dia kemudian berenang ke pinggir lalu naik ke pinggiran sungai.
Terus terang mataku bisa melihat dengan jelas tubuh Rahayu yang tak memakai apa-apa itu. Tubuh perempuan muda yang molek dan tengah matang-matangnya. Tak ayal teman perempuanku itu jadi salah satu kembang desa yang banyak laki-laki ingin merebutnya. Hanya saja ternyata memang hatinya tertambat pada Adi, temanku sekaligus sepupuku sendiri.
Tubuh Rahayu memang langsing dan terawat. Pinggulnya lebar dangan bulatan pantat yang tak terlalu besar tapi cukup kelihatan membusung. Wajahnya cantik dan manis, disertai rambut hitam lurus sebahu yang semakin membuat penampilannya menarik. Hanya saja payudaranya tak terlalu besar, menurutku kurang seimbang antara bentuk tubuhnya dengan ukuran payudaranya.
Aku terus saja berenang dan bermain air, menikmati segarnya air sungai di siang yang panas terik seperti hari ini. Sambil sesekali aku menyelam ke dalam sungai supaya seluruh tubuhku ikut terendam.
“Nggaa.. kamu gak ikutan?” celetuk Nanang mendekatiku.
“Ikutan apa?”
“Ituu....”
Aku langsung menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Nanang. Begitu aku melihat ke arah itu mendadak aku seperti merasa bingung harus berbuat apa. Kusadari ternyata Adi tengah merangkak di atas tubuh Rayahu. Dari awal mereka sudah sama-sama telanjang dan kini mereka dengan leluasa mempertontonkan kemesraan mereka di depan kami.
“Kamu ikut apa tidak Ngga?” tanya Nanang lagi.
“Eh, enggak.. memang kamu mau ikutan?”
“Ya iya lahh.. kan Adi yang mengajakku kesini”
“Ohh... ya sudah”
Itu artinya hanya akulah orang yang tak diundang untuk mengikuti kelakuan bejat mereka itu. Dalam hatiku masih saja teringat pesan ibuku untuk tidak melakukannya dengan orang lain. Sehingga waktu ini aku hanya mampu melihat saja apa yang mereka lakukan.
Di atas tanah pinggiran sungai nampak Adi tengah memeluk tubuh Rahayu dari atas. Karena pantat mereka menghadap ke arahku maka aku bisa melihat dengan jelas bagaimana batang penis Adi tengah menyusup ke dalam lobang kemaluan Rahayu yang sudah siap di bawahnya.
“Aaahhh... emmmhhh.. aahh.. iyaaahhh... terus Dii..”
Teriakan Rahayu terdengar begitu keras di telingaku. Tentu saja dia berani melakukannya karena tak ada satupun penduduk desa siang-siang begini pergi ke sungai. Mereka pasti memilih pulang ke rumah setelah selesai mengerjakan tanah garapannya.
“Oohhh.. aahh.. Nang.. sini Nang... bantu aku main sama Rahayu” terdengar suara Adi yang memang menghendaki Nanang untuk mendekati mereka.
Aku tak bisa berbuat banyak selain melihat saja kelakuan mereka. Sambil berendam di dalam sungai aku terus mengamati apa yang mereka lakukan. Kulihat Nanang memang datang mendekati Adi dan Rahayu yang sedang ngentot. Temanku itu kemudian menyela dengan menyodorkan penisnya pada mulut si perempuan. Baru kali ini aku melihat sesuatu yang seperti itu. Tak pernah aku bayangkan kalau satu perempuan bisa melayani dua batang kelamin sekaligus.
“Aaahhh... enak banget Di.. terus Yu.. ahh.. enak emutanmu” ceracau Nanang yang sudah masuk ke permainan bertiga.
Slepp.. slepp... slepp.. sleepp...
Kulihat dengan jelas bagaimana alat kelamin Adi keluar masuk loban memek Rahayu yang meremasnya dengan erat. Dengan posisi mengangkang tentu saja vagina Rahayu begitu jelas terlihat olehku bagaimana lobang itu seperti mengulum penis Adi yang masuk ke dalamnya. Aku hanya bisa duduk di dasar sungai hingga tak terasa kalau penisku ikut-ikutan tegang juga.
Puas menusukkan penisnya, Adi kemudian bergeser dan menyerahkan lobang memek pacarnya itu pada Nanang. Gila.. benar-benar gila apa yang dilakukan oleh Adi itu. Rahayu yang dengan rela menyerahkan tubuhnya pada pacarnya malah dia bikin begitu rupa. Aku sebenarnya merasa kasihan pada teman perempuanku itu, tapi begitu melihat wajahnya yang sangat menikmati membuat rasa kasihanku mendadak sirna. Rupanya perempuan itu sudah biasa bermain bertiga sepertinya. Tak kulihat muka protes atau tidak senang, yang ada malah muka bahagia dan penuh kepuasan.
“Oohhh.. enak banget memekmu Yuu... aahhh.. gak rugi Adi punya pacar kamu” ujar Nanang yang kini gantian ngentot dengen si perempuan.
“Aahhh... cepat Nang.... ahh.. cepaaatt.. aku mau.. aahh..”
Beberapa saat kemudian kulihat ada carian putih kental merembes keluar dari celah vagina Rahayu. Cairan itu memang tidak banyak tapi cukup terlihat dari tempatku duduk.
“Gila.. kalo begini terus aku bisa ikut gila” gumamku.
Aku tak punya pilihan lain. Kusudahi acara mandi di sungai siang itu. Akupun naik ke atas lalu mengambil pakaian dan memakainya kembali. Selesai berpakaian akupun lalu meninggalkan tempat itu beserta kegilaan yang sedang terjadi. Aku bukan merasa apa-apa, hanya saja aku takut kalau makhluk halus penunggu tempat itu marah dan akibatnya bisa mencelakai orang yang berbuat bejat di tempat itu.
Kembali dengan susah payah aku menahan kemaluanku yang sedang tegak mengeras di dalam celanaku. Rasanya memang ngilu dan gak nyaman banget. Hampir seperti siksaan yang kurasakan tapi tidak sampai membunuhku. Namun begitu akhirnya aku bisa sampai dengan selamat di rumahku.
Begitu sampai di rumah, aku langsung ke kamar mandi dan melepaskan semua pakaianku tanpa sisa. Lega banget rasanya begitu penisku lepas dari jeratan kain celana dalamku. Aku kembali bernafas lega. Berikutnya dengan cuek-cuek saja aku berjalan masuk ke dalam rumah, aku tak peduli lagi pada siapa yang bisa melihat ketelanjanganku.
“Ngga... kamu gak makan dulu nak?” tanya ibuku begitu melihatku masuk ke dapur.
“Enggak bu.. nanti saja” balasku.
“lhoh.. burungmu kok bangun begitu? kamu apakan Ngga?”
“Aahh.. ibu ini.. tadi barusan aku mandi di sungai bu..”
“Terus?”
“yaa itu.. ada Adi sama pacarnya ngentot disitu..”
“Wahh... lha terus kamu ikut?”
“ya enggak lahh.. kan ibu sudah melarangnya” balasku jujur sambil menatap ke arah ibuku berada.
“Oohh... ya sudah.. kamu tidur saja.. lupakan semuanya”
“Iya, baik bu..” balasku sambil lanjut jalan menuku kamar.
“Eh iya.. Ngga..”
“Apa bu?”
“Nanti sore mbak Tika pulang ke sini.. kamu siap-siap ya”
“Masak? Yang bener bu?”
“Iya.. ini masih di perjalanan.. paling nanti habis manghrib sampai di sini”
“Asekkk.. bisa ketemu mbak Tika lagi...”
“Sudah.. kamu tidur saja dulu..”
“Iya bu...”
Akupun lanjut menuju ke kamar ibuku. Selagi aku belum dilarang tidur bersama ibuku maka aku akan terus melakukannya. Siang itupun aku tertidur dengan lelap dan berusaha melupakan apa yang terjadi di sungai tadi. Pikiranku pun tenang karena sebentar lagi aku akan bertemu lagi dengan mbak Tika dan mas Aryo.
***
Sore menjelang maghrib mbak Tika dan suaminya akhirnya sampai juga di rumah. Aku yang baru selesai mandi langsung menghambur mendatangi keduanya lalu bersalaman dan mencium tangan mereka. Mbak Tika masih saja cantik seperti dulu, tapi kini tubuhnya jadi montok dan berisi. Sedangkan mas Aryo masih saja tampan dan gagah seperti dulu saat kami pertama kali ketemu.
Rencananya mereka mau mendatangi acara nikahan keluarga paman. Sebenarnya ibuku sudah cerita padaku kalau pamanku minta bantuan pada keluarga untuk bisa datang semua. Tentu saja aku pasti kebagian jadi pengantar makanan dari dapur menuju ke tenda depan, karena biasanya pemuda-pemuda desa yang melakukannya.
Kulihat banyak sekali oleh-oleh dari kota yang mbak Tika bawa. Dari makanan sampai alat masak pun mereka bawa dari kota. Bahkan ada makanan yang baru kali itu aku tahu bentuknya. Semuanya senang dan bahagia bisa berkumpul lagi.
Sekira selepas maghrib, aku dan mas Aryo duduk santai di teras depan rumah. Tak lama kemudian datanglah Adi dan Nanang yang kulihat pakaian mereka masih sama seperti kutemui tadi siang. Itu artinya mereka belum sempat pulang sehabis dari sungai. Hanya saja yang jadi pikiranku adalah nasib Rahayu, kemana dia sekarang.
“Di.. itu si Rahayu kemana?” tanyaku setengah berbisik. Untungnya mas Aryo sedang bicara dengan Nanang.
“Eehh.. tenang Ngga.. sudah pulang dengan puas dan aman, hehehe..”
“Oohh.. ya sudah... syukur kalau begitu”
“Kamu kok jadi perhatian banget sama Rahayu.. jangan-jangan kamu memang ada rasa sama dia ya Ngga?”
“Dasar monyet buntung.. ya enggak lah.. lha dia itu pacar kamu kok, masak aku berani merebutnya?” ucapku agak keras, supaya Adi tahu kalau aku sungguh-sungguh.
“Hehehe.. kalo mau sih ya gak apa-apa.. kuserahkan saja dia ke kamu”
“Gakk.. habis kamu pake kok aku yang suruh ngerawat.. edan apa??”
“Hahaha.. iya.. iya.. ya sapa tau kamu mau”
“Gak.. kamu makan saja sendiri... nanti kalau dia hamil baru tau rasa kamu”
“Lhah.. ya jangan gitu lah... gakk.. gakk.. moga saja dia gak hamil” Adi menggelengkan kepalanya.
“Hahaha.. kamu bingung kan? Makanya kalo mau nakal itu jangan bodoh..”
Selepas itu kami kembali ngobrol berempat dengan mas Aryo. Kami ngobrol tentang kabar proyek yang akan di kerjakan tahun depan di perbatasan desa kami. Nanang yang bapaknya adalah perangkat desa paham betul kabar berita proyek itu. Bahkan nantinya dia sudah disiapkan oleh bapaknya untuk ikut kerja di proyek.
Sekitar jam 9 malam kami bubar. Adi dan Nanang pergi dari rumahku. Sebenarnya mereka mau mengajakku untuk pergi ke warung kopi yang ada di pojok desa tapi aku menolaknya. Mungkin kalau besok aku tak ada acara pasti saat ini aku akan mau ikut dengan mereka.
Selesai mengunci pintu depan, aku kemudian masuk ke dalam kamar yang ditempati ibuku. Semuanya sudah tahu kalau aku masih tidur dengan ibuku. Bahkan mas Aryo yang jadi kakak iparku itu juga tahu kalau aku masih biasa netek ke ibuku kalalu aku gak bisa tidur.
“Sudah selesai ngobrolnya Ngga?”
“Sudah bu.. sudah bubar mereka” ucapku sambil melepas kaos dan celana pendekku.
“Lepas juga celana dalamnya, biar bisa dipakai lagi besok”
“Iya bu..”
Tentu saja setelah melepas celana dalamku tubuh telanjangku kembali terlihat di depan ibuku. Tanpa menunggu lama aku kemudian naik ke tempat tidur yang sudah ada ibuku disitu. Seperti biasanya kami memang tidur tak memakai baju. Kebiasaan ini sudah kami lakukan semenjak aku kecil sampai sekarang.
Sambil mulai memejamkan mata, mendadak aku kembali teringat bagaimana Adi dan Nanang mengerjai Rahayu di tepi sungai. Aku hanya bisa membayangkan saja bagaimana rasa memek teman perempuanku itu. Entah kenapa aku jadi penasaran karena kulihat Adi dan Nanang seperti menikmati sekali apa yang mereka lakukan pada Rahayu.
“Duuhh.. kamu mikir apa sih Ngga..?? burungmu kok jadi bangun”ucap ibuku, tentu saja karena ujung kemaluanku menyenggol pantatnya.
“Ahhh.. maaaf bu.. gak sengaja”
“Kamu mikir apa sih Ngga?”
“Anu bu.. itu.. ahh... sudah gapapa bu”
“ya sudah.. lanjut tidur saja.. besok bangun pagi, siap-siap mau ke rumah pamanmu”
“Iyaa..” balasku kemudian.
Kubalik bantalku untuk memberi sugesti pada pikiranku sendiri supaya tak lagi memikirkan kejadian di tepi sungai tadi. Namun batang kelaminku masih saja tegak mengeras. Kalau sudah ngaceng begini pasti akan susah sekali lemesnya.
“Sini.. masukin saja sini.. biar kamu tenang” tiba-tiba ibuku mengangkat kakinya sebelah. Posisinya yang membelakangiku tentu saja membuatku bisa melihat celah pantatnya.
“Ehh.. iya bu..”
Akupun memiringkan tubuhku dan menghadap pada ibuku. Kumasukkan saja penisku pada celah kedua paha ibu. Rasanya memang tak seenak kalau masuk ke belahan memek, tapi itu cukup membuatku nyaman dan pikiranku tak melayang kemana-mana.
“Enak gak Ngga?”
“Emm.. enak bu... cuma... kurang menjepit seperti biasanya”
“Ohh.. ya jelas, gak lah.. malam ini cukup begini saja..”
“Iya bu.. aku juga berusaha tidur ini”
Dengan penisku terjepit pada celah pangkal paha ibuku, kupeluk pinggangnya dengan rapat. Aku kembali merasakan sebuah kedamaian dan kenyamanan seperti biasa. Saat mataku hendak terpejam, kurasakan batang kelaminku malah berdenyut-denyut dengan kuatnya. Kumajukan pinggulku sedikit sampai ujung kemaluanku itu menyentuh sesuatu yang hangat dan basah.
“Eehh.. sudah kamu jangan terlalu banyak gerak..” larang ibuku tapi masih menghadap tembok.
“Ii...iiya bu.. gak kok”
Sambil menata kakiku di antara kaki ibuku, tentu saja membuat pinggulku ikut bergerak. Tak ayal ujung penisku juga ikut maju mundur menabrak celah pangkal paha ibuku. Jadilah rasanya kepala penisku seperti menekan daging kenyal yang hangat dan basah. Aku tak tahu apa itu dan tak ingin mengetahuinya karena otakku sudah malas berpikir.
“Eemmhhhhh... uuuhh” terdengar desahan dari ibuku ketika kepala penisku menabrak bagian pangkal pahanya tadi.
“Buu.. kenapa? sakit ya?” tanyaku memastikan.
“Enggakk... gapapa kok Ngga.. sudah kamu tidur saja”
“Ohh... iya bu”
Tanpa rasa curiga sedikitpun aku kemudian tetap memeluk ibuku dari belakang tubuhnya. Meski tak kugoyang lagi tapi kepala kemaluanku seperti tertelan pada sebuah celah yang hangat dan basah. Aku tak bertanya pada ibuku tentang itu, asal aku merasa nyaman dan ibuku tidak merasa terganggung aku tetap membiarkannya saja.
0 Komentar