Selepas lulus dari SMA aku masih saja di rumah. Kondisi desaku yang jauh dari perkembangan jaman membuat suasananya masih saja seperti dulu, sama sejak aku lahir. Lapangan pekerjaan disini juga terbatas, makanya itu banyak sekali teman-temanku yang setelah lulus sekolah langsung merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Paling banyak mereka disana juga jadi tukang bangunan atau buruh di pabrik. Sedangkan aku memilih untuk tetap tinggal di desa merawat ladang peninggalan almarhum bapak.
Sebagai anak bungsu dan anak laki satu-satunya membuat aku tak bisa jauh dari ibuku. Kalau semalam saja aku jauh dari ibuku pasti sudah tentu aku tak bisa tidur. Bahkan sampai saat aku lulus SMA saja kamarku masih tetap jadi satu dengan kamar ibuku. Memang ada dua kamar lain, tapi semuanya ditempati oleh dua kakak perempuanku.
Namaku Angga, dan ini adalah ceritaku yang kurasakan penuh dengan keberuntungan dalam hidupku.
Kakak pertamaku bernama Nastika, atau biasa dipanggil Tika oleh keluarga kami dan orang-orang di desaku. Dia sekarang bekerja sebagai penjaga toko di kecamatan sebelah yang jauhnya sekitar 8 kilometer dari rumahku. Untungnya di rumah ada motor peninggalan bapak yang jadi angkutan untuk mbak Tika pergi kerja.
Kakakku yang kedua perempuan juga, namanya Dina. Umurnya beda 2 tahun dengan kak Tika dan beda 2 tahun juga denganku. Selepas lulus SMA dia masih saja tinggal bersama kami tanpa melakukan apa-apa selain membantu ibuku di rumah. Entah kenapa dia tak bekerja seperti kak Tika, kalau itu mungkin karena kak Dina tergolong gadis yang pemalas menurutku. Dia sukanya berdiam diri di kamar seharian, kalau bangun cuma ke dapur makan atau pergi mandi saja. Selebihnya dia senang bermalas-malasan di kamar.
Karena tidak sekolah lagi, setiap harinya aku pergi ke ladang membantu ibuku mengolah lahan peninggalan bapak. Memang tanahnya tak seluas milik warga yang lainnya tapi hasilnya cukup untuk membiayai aku dan mbak Dina sampai lulus sekolah. Memang ibuku janda dan tak punya penghasilan lain kecuali hasil garapan lahan milik kami.
Siang hari selepas menggarap ladang biasanya aku pulang untuk makan. Untungnya tanaman di ladang adalah palawija yang tak butuh perhatian terus-menerus seperti padi atau sayur-sayuran. Jadinya aku bisa santai di rumah setelah selesai merapikan beberapa lajur tanaman yang rusak karena hewan liar. Di desaku ini masih banyak babi hutan yang sering masuk ke ladang dan merusak tanaman. Itulah kenapa kita harus rajin melihat tanaman yang rusak supayan bisa panen.
“Banyak yang rusak ya Ngga?” tanya ibuku begitu aku datang dan mencuci kakiku di pinggir sumur belakang rumah.
“gak kok bu... ga ada yang rusak, mungkin hewan yang masuk belum sampai di ladang kita” balasku sambil terus mencuci kaki dan cangkul yang tadi kubawa.
“Walahh... ya syukur kalau begitu.. ladangnya kang Wanto kemaren habis dimakan sama celeng hutan lho Ngga..”
“Ohh.. ya memang nanam sayuran, pantas jadi incaran celeng” balasku melihat ke arah ibuku.
Nampak ibuku tengah menungguku di depan pintu dapur yang berbatasan dengan sumur. Sekilas kuperhatikan nampak keringat membasahi tubuh ibuku yang siang itu hanya memakai celana dalam saja. Kedua susunya tergantung bebas begitu saja tanpa ditutupi apa-apa. Tentu saja hal itu sudah sejak kecil aku menemuinya karena memang kebiasaan perempuan di rumahku memang begitu semuanya. Dari ibuku sampai kakak-kakakku juga melakukan hal yang sama kalau siang hari seperti ini.
Kebiasaan di desaku ini juga tak jauh beda dengan apa yang ibuku lakukan. Sudah jadi hal yang wajar melihat perempuan di desaku kalau di rumah cuma memakai Bh dan celana dalam saja. Paling kalau keluar rumah baru mereka memakai kain kemben untuk menutupi bagian bawah tubuh. Tak ada yang aneh menurutku, karena sedari kecil sampai sekarang aku sudah terlalu sering melihatnya.
“Mau ibu buatkan kopi?”
“Hehe.. ya mau lah bu..”
“Ya sudah..”
Akupun menyusul ibuku yang lebih dulu masuk ke dapur. Kulepas baju dan celana kotorku hingga menyisakan celana dalam saja yang menutupi tubuhku. Setelahnya kudekati ibuku yang sedang membuatkan kopi untukku.
“Mbak Dina kemana bu? Kok sepi”
“Tuhh... masih ngorok di kamar” balas ibuku datar.
“Waduh, kalo begitu terus bisa jauh jodohnya ya bu.. hahaha..” celetukku kemudian.
“Ehh.. ya jangan begitu Ngga... gak baik, itu namanya kamu ngatain kakakmu sendiri”
“Hehe.. iya aku cuma bercanda”
Aku kemudian duduk di kursi yang ada di dapur sambil menunggu kopi yang dibuat ibuku jadi. Sungguh terasa nikmat sekali hidup di desa seperti ini. Semuanya serba sederhana, tak ada keruwetan yang membuat kita berpikir sampai pusing tujuh keliling. Hanya candaan dan obrolan saja sudah bisa membuat kita tertawa bahagia. Tak butuh alat elektronik canggih macam Hp atau gadget apapun.
“Nih kopinya... ibu mau tidur siang dulu.. kalo kamu mau makan lauknya ada di lemari”
“ya bu...”
Aku kemudian membawa gelas yang berisi kopi hitam itu ke belakang rumah. Di halaman belakang rumahku ada tempat duduk dari bambu yang bisa kita gunakan untuk santai di bawah rindangnya pohon mangga. Masih hanya memakai celana dalam saja aku kemudian duduk termangu di bawah pohon mangga itu. Hampir setiap hari aku melakukannya, bahkan sudah seperti ritual yang harus kulakukan kala siang hari seperti ini.
Sejenak aku melamun, tiba-tiba kulihat mbak Dina muncul dari pintu dapur lalu menuju ke kamar mandi. Aku rasa dia pasti ingin buang air kecil selepas dia bangun dari tidurnya. Aku tak peduli apa yang dia lakukan. Beberapa saat kemudian dia keluar lagi dari kamar mandi dan melihat ke arahku.
“Ngga.. kamu sudah makan?”
“belumm..” jawabku singkat.
“Ohhh..”
Bukannya kembali masuk ke dalam rumah lagi, mbak Dina malah jalan mendekatiku lalu ikut duduk di sebelahku. Karena tadi aku duduk selonjor mau tak mau aku harus menggeser dudukku untuk memberi mbak Dina tempat.
“gangguin aja nih mbak Dina” celetukku protes.
“Ehh.. sama yang lebih tua harus ngalah dong” ujarnya sambil menyeruput kopi milikku.
“Lhahh.. mengalah ya mengalah, tapi kok maen seruput aja gitu, duhh... jadi kurang nih kopinya”
“Rewel aja kamu ini..”
Mbak Dina kemudian menyibakkan rambutnya yang panjang tergerai itu. Karena siang itu mbak Dina hanya memakai celana dalam saja otomatis payudaranya yang bulat membusung itu terlihat jelas di mataku. Apalagi saat dia mengangkat kedua tangannya untuk merapikan rambutnya membuat kedua bulatan susu mbak Dina seperti ikut terangkat dan semakin membusung ke depan.
“Panas benget ya Ngga..”
“Iya mbak.. memang hari-hari ini rasanya desa ini semakin panas” balasku.
“Eh, ibu kemana ya? Kok ga keliatan”
“Ibu tadi bilang mau tidur siang katanya” balasku sambil mengangkat gelas yang berisi kopi lalu menyeruputnya.
“Ohhh...”
Mungkin kalian bertanya-tanya, kok bisa kami sebebas itu hanya memakai celana dalam saja di luar rumah. Memang kami biasa melakukannya dan sampai saat ini tidak ada satupun yang mempermasalahkannya. Meski ada tetangga yang melihat kami tapi mereka juga tak sekalipun membicarakannya. Hal seperti ini kalau di desaku biasa-biasa saja asalkan hanya di lakukan seputar rumah.
“Ngga.. makan yuk.. mbak lapar nih”
“ya sudah.. ayo lahh..”
Kamipun kemudian berjalan menuju dapur. Mbak Dina kubiarkan jalan duluan sementara aku di belakangnya sambil membawa gelas bekas kopi tadi.
Selepas makan, mbak Dina kembali ke dalam kamarnya. Tentu saja dia balik tidur lagi sampai sore. Karena aku tak ada teman ngobrol dan tak ada hal yang harus aku lakukan, akupun jadi ingin tidur juga. Apalagi sehabis dari ladang tadi memang badanku terasa capek. Kututup pintu depan rumah lalu akupun masuk ke dalam kamar yang ditempati ibuku. Seperti yang aku bilang di atas kalau aku masih tidur bersama ibuku.
Begitu aku masuk ke dalam kamar, kulihat ibuku memang sedang tidur lelap. Saking lelapnya sampai tak menyadari kalau celana dalam yang dipakainya itu sudah melorot sampai di bawah pantatnya. Memang sudah biasa bagiku melihat hal itu dan tak ada rasa apa-apa pada diriku. Lha itu kan ibu kandungku sendiri, mau ada rasa apa memangnya?.
Akupun menyusulnya dengan membaringkan tubuhku tepat di sebelahnya. Karena merasa ada orang lain datang, ibuku membuka matanya sedikit dan melirik ke arahku.
“Sudah makan kamu Ngga?”
“Sudah kok bu.. sama mbak Dina tadi” balasku sambil berusaha memejamkan mata.
“ya sudah.. ibu mau tidur sebentar”
“Iya bu.. aku juga”
Akhirnya tanpa ada hal lain yang kami bahas, aku dan ibuku kembali terlelap lagi ke alam mimpi.
***
Sore hari itu selepas maghrib kami berdua duduk di teras depan rumah. Ibuku selesai mandi tadi sudah memakai daster terusan. Tapi biasanya di balik daster yang dipakainya itu ibuku sudah tak lagi memakai celana dalam atau Bh. Memang aku mengetahuinya tapi tak berpikiran macam-macam karena itu sudah jadi kebiasaan bagi kami. Sedangkan aku duduk di sebelah ibuku dengan hanya memakai celana pendek yang biasanya aku pakai untuk bermain bola. Tubuh atasku kubiarkan terbuka tanpa memakai kaos.
Belum lama aku dan ibuku ngobrol tentang ladang kami, tiba-tiba mbak Tika datang dari tempat kerjanya. Biasanya dia akan santai memasukkan motor yang dipakainya itu ke sebelah rumah, tapi sore itu kulihat mbak Tika seperti orang diburu setan. Tergesa-gesa sekali dan tak seperti biasanya.
Brakk..!!
“Ehh.. ehh.. kok bisa nabrak? Mbaakk... pelan mbakkk..” ujarku yang kemudian memburu kakak perempuanku itu ke samping rumah.
“gapapa Ngga... biarin aja.. memang sudah rusak barang itu” balas mbak Tika.
“Lhoh.. kamu ini kenapa kok sampe buru-buru begitu, pelan saja kan bisa” ibuku ikut menimpali.
“Iya niih bu.. ahh... bingung aku...”
“Udah.. sini dulu.. duduk dulu” ajak ibuku kemudian.
Mbak Tika mulai duduk dan menenangkan dirinya. Nafasnya kulihat ngos-ngosan sambil tangannya sering membernarkan rambutnya yang acak-acakan karena habis memakai helm. Keringatnya juga terlihat membasahi dahi dan pelipisnya. Ada apa sebenarnya dengan kakak pertamaku itu.
“Bu.. tadi.. aku ketemu sama cowo”
“Terus? Kan biasa ketemu sama laki-laki” ucap ibu santai.
“Ya gak gitu bu.. dia itu berani banget ngelamar aku jadi istrinya”
“Masak sih? bagus dong kamu ada yang mau ngelamar”
“Duhh.. ibu ini.. ahh..” rutuk mbak Tika jengkel dengan reaksi ibuku yang santai.
“Orang mana dia itu Tik? Namanya siapa?”
Mbak Tika tak menjawab. Dia malah sibuk melepas jaket yang dipakainya lalu melipatnya. Sejenak kemudian dia membuka tas lalu mengeluarkan botol air untuk diminumnya.
“Aahhh.. itu.. dia anak kota.. namanya eh, siapa tadi ya.. itu.. Aryo” jawab mbak Tika.
“Ohh.. anak kota.. kok bisa ketemu kamu gimana ceritanya Tika?”
“Emmm.. aku tadi nganter temanku berobat, pas di toko katanya dia mencret, jadi aku antar dia ke puskesmas.. nahh, disitulah aku sama Aryo itu ketemu bu..”
“Waahh.. jodoh berarti kalian ini” tukas ibuku.
“Aahh... ibu ini jangan gitu dong.. ya belum tentu bu”
“Hihihi.. gak.. perasaan ibu sudah bilang kalau kalian pasti berjodoh”
“Huaaaaa... ibu kok gitu sih? haadehhh... dia bilang mau kesini ngelamar aku bu” mbak Tika lalu memeluk ibuku dengan erat.
“Eh Tika dengerin ibu dulu, kamu gak usah bingung gitu.. kalau dia memang baik ya terima saja.. masih untung ada yang mau sama kamu.. kita ini orang desa yang tak punya nasib sebaik orang-orang kaya, mestinya kamu bersyukur...” ucap ibuku penuh perhatian pada mbak Tika.
“Iya sih buu.. tapi aku takut...”
“takut apa?”
“ya takut kalo menikah terus ninggalin ibu”
“Hehehe.. gak, gapapa.. ibu baik-baik saja.. malah ibu semakin bahagia kalau kamu memang jadi menikah nantinya.. artinya beban ibu jadi berkurang satu”
“Itu bu.. besok katanya dia mau kesini ngelamar aku”
“Wah.. ya gapapa.. berarti dia memang serius sama kamu, dia itu laki-laki yang berani artinya..” ujar ibuku kemudian.
Aku yang masih berdiri mematung terus mendengar pembicaraan antara mbak Tika dan ibuku. Tiba-tiba aku jadi berpikiran, kalau nanti mbak Tika menikah pasti aku yang jadi walinya dong? Karena saudara kandung bapak semuanya perempuan. Mendadak aku jadi ikut kebingungan juga, tapi sekuat tenaga aku berusaha membuat pikiranku santai.
Malam harinya saat akan tidur mendadak pikiranku kembali berputar memikirkan apa yang akan terjadi besok. Kalau benar mbak Tika akan dilamar oleh pemuda dari kota pasti dia akan dibawa ikut serta suaminya kelak. Bagaimana wajah calon suamin mbak Tika, bagaimana perangainya, kerja dimana, dan lain-lain. Pikranku terus berputar tak tentu arah.
“Angga.. kenapa kamu gelisah begitu?” tanya ibuku yang sudah berbaring di sampingku.
“Anu bu.. mikirin mbak Tika” jawabku.
“Mikir apa?”
“ya mikir apa jadi mbak Tika beneran menikah”
“Ohh.. kamu tenang saja nak.. jangan risau, semuanya sudah ada yang mengatur.. kita hanya menjalaninya saja” ucap ibuku tenang. Akupun jadi ikut tenang.
“Iya bu..”
Sejenak ibuku kemudian duduk dan menarik daster yang dipakainya itu ke atas melewati perut, dada dan kepalanya. Akhirnya terlepaslah daster yang dipakai ibuku. Rupanya benar saja dugaanku tadi, ibuku memang sudah tak memakai apa-apa lagi di balik daster yang dipakainya. Sehabis itu ibu lalu berbaring di sampingku lagi.
“Sudahh.. jangan bingung, tidur saja.. besok biarlah semuanya terjadi seperti biasa”
“Iya bu..”
“Lepas saja celananu itu.. biar besok bisa dipakai lagi” ucapnya kemudian.
Aku menuruti saja perintah ibuku. Aku kemudian turun dari tempat tidur dan melepaskan celana pedek yang kupakai. Setelah itu kuletakkan di kursi depan meja rias ibuku. Aku melakukan semua itu dengan santai saja karena sudah sering aku melakukannya dan tak pernah terjadi apa-apa. Sedari kecil dulu memang ibuku membiasakan kalau tidur tidak memakai apa-apa lagi. Akupun mengikuti kebiasaan itu sampai sekarang.
“Sini.. biar kamu bisa tidur, kamu isep saja susunya ibu.. sini Ngga..”
“Hehe.. iya bu..”
Akupun kembali naik ke tempat tidur. Kini aku dan ibuku berbaring bersebelahan di atas satu tempat tidur. Kepalaku kuposisikan tepat di depan puting susu ibuku. Memang bentuknya sudah tak lagi membusung, tapi masih terlihat besar dengan puting coklat kehitaman.
“nih.. ibu susuin kamu lagi.. biar bisa tidur”
“hehe.. iya bu.. makasih”
Sudah bukan sesuatu yang aneh lagi aku mengemut puting susu ibuku seperti itu. Seluruh keluargaku tahu kalau aku tak bisa tidur pasti ibuku akan menyusuiku. Bahkan selepas aku lulus SMA ini pun kebiasaan itu masih saja kulakukan. Ibuku sepertinya juga merelakan saja puting susunya aku hisap seperti aku masih bayi.
“Emmhhh... emmhh.... sluurrrpp.. emmhh..”
“Pelan saja Ngga.. ibu ga kemana-mana kok.. nikmati pelan-pelan..” ujarnya kemudian.
Sambil aku menyusu pada ibuku, tanganku memeluk pinggangnya dan kaki kiriku menindih kaki ibuku. Posisi kami yang saling berhadapan membuatku dengan mudah mekakukan semua itu.
“Emmmmhhh... slurrrpphh.. emmmhhh.. ahhh..”
“Enak kan Ngga? Udah kamu tenang saja.. biarkan kakakmu besok ibu yang pikir” ujar ibuku berusaha menenangkan pikiranku, dan ibuku pasti berhasil melakukannya.
Lambat laun aku mulai bisa melupakan kegundahan hatiku. Dengan nikmatnya kusedot puting susu ibuku meski tak ada sedikitpun air susu yang keluar. Tapi sensasinya itu benar-benar bisa menenangkan pikiranku. Sampai akhirnya pikiranku yang tenang mendadak kacau karena kurasakan kemaluanku malah berdiri dan tegak mengeras.
“Lohh.. mau tidur apa enggak ini? kok malah ngaceng kamu” tanya ibuku sambil tersenyum melihatku.
“Hehe.. gak tau bu.. anunya bangun sendiri” balasku.
“ya sudah, kamu lanjut tidur saja..”
Seperti kata ibuku, aku cuek saja pada batang penisku yang mulai tegak mengeras itu. Akupun berusaha memejamkan mataku dan ibuku pun sama. Tanganku yang terus memeluk pinggang ibuku membuat posisinya semakin mendekatiku. Otomatis ujung penisku yang tegak mengeras itu bisa menyentuh paha ibuku. Bahkan sesekali mulai menyodoki daerah pangkal pahanya.
“Kok jadi ribet banget ya Ngga... duhh.. kamu ini pake ngaceng juga sih” sergah ibuku kemudian.
“Lha gimana lagi bu.. itu lho bangun sendiri, gak bisa diatur” balasku.
“Hemm.. ya sudah.. sini... masukin disini saja.. tapi kamu harus tidur ya..”
Ibuku menunjuk pada celah kelaminnya. Aku yang memang tak tahu harus berbuat apa malah cuma bisa melihat tangan ibuku yang menunjuk pada celah di bawah perutnya itu.
“Loh, ya gak bisa masuk bu.. kan sempit itunya”
“Bisa.. kamu saja yang belum tahu.. sini.. ujungnya tempel disini”
Ibuku lalu membuka celah itu dengan jarinya. Nampaknya memang lobang yang ditunjuk oleh ibuku itu jadi membesar. Bentuknya seperti bibir tapi arahnya naik turun dengan lobang berwarna merah kecoklatan menganga di tengahnya. Baru kali ini aku melihat lobang itu meski berkali-kali aku melihat ibuku telanjang.
“Di sini ya bu.. begini ya?” kuarahkan ujung penisku ke lobang yang dibukakan oleh jari ibuku, kudekati lobang itu dengan ujung kemaluanku.
“Naaahh.. iya bener.. sekarang dorong pinggulmu Ngga.. yang kuat”
“Gini ya bu..?”
“Aaahhh.. iyaaaahhhh... ahh... pelan.. pelann..”
Clepppp !! masuklah kepala kemaluanku pada lobang milik ibuku.
Aku melihat raut wajah ibuku seperti menahan sakit. Segera kuhentikan dorongan pinggulku karena khawatir apa yang aku lakukan itu semakin menyakiti ibuku. Aku sementara hanya diam sambil melihat wajah ibuku.
“Aaahh.. kok berhenti.. lajut saja Ngga, terus sampai habis.. ahhh..”
“Ii..iiya bu.. gak sakit kan bu?”
“Enggakk.. sudah kamu lanjutkan saja.. dorong Ngga... aahh.. dorong...”
Akupun mengikuti permintaan ibuku untuk kembali mendorong pinggulku ke depan. Kudorong dengan kuat sampai kemaluanku masuk seluruhnya ke dalam lobang yang ditunjuk oleh ibuku tadi. Rasanya hangat dan empuk. Kemaluanku seperti terjepit daging yang hidup. Rasanya berdenyut-denyut dan meremas penisku.
“eeeggghh... eehh.. Nggaa.. sudah jangan kamu dorong lagi.. ahh..” pinta ibuku.
“Ii..iya bu..”
“Sudah.. jangan digerakkan, kamu lanjut netek saja..”
“Emm.. baik buu”
Akupun lanjut mengemut lagi puting susu ibuku. Rasanya sekarang jadi tambah enak semenjak kemaluanku masuk ke dalam lobang milik ibuku. Aku tak mengerti semua ini tapi yang jelas aku menikmatinya. Entah kenapa baru hari itu ibuku memberikannya padahal setiap malam kami tidur bersama dalam kondisi tak memakai apa-apa lagi.
“Ngga.. punya kamu sudah besar ukurannya.. rasanya memek ibu jadi penuh”
“Memek? Apa itu bu? Kok baru dengar aku”
“memek itu ya lobang yang kamu masuki itu.. namanya memek Ngga”
“Ohhh.. bukannya itu vagina ya bu?”
“ya pas sekolah kamu pasti diajari pelajaran itu Ngga”
“Tapi kok namanya memek ya?”
“ya begitu sebutannya.. dahh kamu tidur cepet, jangan banyak pikiran”
Dengan puting susu ibuku berada di dalam mulutku dan kemaluanku berada pada lobang milik ibuku, akhirnya aku bisa tidur juga. Aku tidur masih dalam posisi yang sama ketika aku memeluk tubuh ibuku dengan erat. Namun setelah aku tertidur dengan lelap, aku rasanya malam itu mimpi basah. Kemaluanku berdenyut-denyut denga kencang dan rasanya benar-benar nikmat. Tapi karena aku sudah terlalu mengantuk, tak kuhiraukuan lepasnya air maniku. Kulanjutkan saja tidurku dengan nyenyak.
Pagi harinya kondisi rumahku mendadak heboh. Aku yang baru bangun tidur langsung disuruh mandi dan berpakaian yang rapi oleh ibuku. Tanpa bertanya apa sebabnya aku langsung loncat dari tempat tidur lalu berlari ke arah kamar mandi. selepas itu aku kemudian mengikuti permintaan ibuku untuk berpakain rapi, meski aku melakukannya tanpa tahu apa yang akan terjadi.
“Bu.. kenapa semua kebingungan gini sih?” tanyaku setelah ibuku sempat berdiri di depanku.
“Itu.. orang yang mau ngelamar mbak Tika kesini”
“Apa?? Kok gak bilang-bilang sih bu... bawa rombongan ya?”
“Enggak.. cuma dia sendiri.. itu lagi di depan.. ngobrol sama mbak Tika”
Sebelum aku sempat bertanya lagi ibuku sudah keburu ke dapur menyiapkan makanan yang akan disajikan untuk tamu. Sudah jadi kebiasaan orang desa kalau ada tamu pasti kita harus menyuguhkan apa yang kita punya. Baik makanan maupun oleh-oleh untuk dibawa pulang. Meski kelihatan remeh tapi bagi kami itu adalah wujud penghormatan bagi tamu.
“Angga sini...”
“Eh, iya kak...” balasku pada panggilan mbak Tika.
“Kenalin ini mas Aryo.. yang aku cerita kemarin”
“Ohh.. ini orangnya ya”
“hehe.. kakak kamu cerita apaan sih Ngga?” tanya mas Aryo kemudian.
“Enggak mas, cuma cerita katanya mbak Tika mau dilamar orang, ternyata orangnya tampan dan gagah” ujarku.
“Halahh.. kamu bisa aja.. hahaha...” tawa mas Aryo mendengar pengakuanku.
“Udah Ngga, gimana kamu setuju apa enggak mbak Tika jadi istriku?” sambungnya.
“Setuju mas.. setuju”
“Heh! Kamu ini.. kok bisa-bisanya langsung jawab setuju.. emang yang mau nikah kamu?” protes mbak Tika menatapku garang.
“Hehehe.. eh salah ya? Maaf deh mbak..”
“Udah.. kamu diem aja dulu.. biar ibu yang bicara” tukas mbak Tika setelah ibu kembali hadir bersama kami.
Suasanya mendadak tegang. Ibuku seperti menunggu waktu yang tepat untuk bicara, sedangkan mas Aryo kulihat menunduk. Mungkin dia takut kalau lamarannya ditolak sama ibuku. Apalagi dia hanya sendirian saja, kalau di desa kami yang namanya lamaran itu harus mengajak orang tua kita, minimal keluarga kita yang lebih tua.
“jadi gini nak Aryo..”
“Iya bu gimana”
“Soal lamaran itu... ibu serahkan pada Tika, harusnya dia bisa memutuskan mana yang terbaik buatnya.. kalo ibu ikut saja keputusan Tika nanti” ucap ibuku tenang.
“Ba.. baik bu.. sekarang apa jawaban kamu dek?” mas Aryo balas menatap mbak Tika.
“Ohhh.. iya.. anu.. emm... terima.. eh.. apa.. emm.. iya aku terima” jawab mbak Tika gugup.
“Alhamdulillaahh” mas Aryo begitu mendengar jawaban dari mbak Tika langsung sujud syukur di depan kami. Sepertinya dia memang benar-benar mencintai mbak Tika sepenuh hatinya.
Dari wajah mas Aryo kulihat watak yang penuh tanggung jawab. Gerak-geriknya selalu tertata dan tidak buru-buru. Sopan satunnya juga terjaga. Selain itu wajahnya juga tampan dan badannya lumayan kekar. Cocok banget kalau dia jadi suami mbak Tika yang punya watak keras kepala itu.
“Nahh.. sekarang kita bahas hari baik pernikahan kalian” ucap ibuku kemudian.
“Iya bu.. kalau dari keluarga saya semua hari itu baik.. kalau dari keluarga dek Tika ya terserah.. kami ikut saja” balas mas Aryo.
“ya sudah.. nanti biar ibu berkunjung ke orang tua yang biasa ngitung hari baik untuk nikah.. biar nak Aryo dikabari lewat telpon saja” wajah ibuku nampak sumringah, rupanya beliau begitu bahagia karena sebentar lagi mbak Tika menikah.
“Iya bu.. saya siap”
Selang dua bulan semenjak pertemuan itu akhirnya mbak Tika benar-benar menikah dengan mas Aryo. Acara pernikahannya cukup meriah meski sederhana. Banyak keluarga ibuku dan bapakku yang datang. Bahkan acaranya sampai tengah malam baru tak ada lagi tamu yang datang.
Seperti yang aku khawatirkan, setelah seminggu dari acara nikahan itu mbak Tika diboyong ke kota untuk ikut suaminya. Memang di kota mas Aryo sudah punya rumah sendiri, jadi istrinya harus menemaninya hidup di kota. Saat perpisahan dengan mbak Tika, ibu dan mbak Dina nampak terharu. Hanya aku yang menangis meraung-raung seperti anak kecil yang ditinggal pergi orang tuanya. Aku langsung masuk ke kamar dan tak mau lagi melihat kakak perempuanku itu pergi.
0 Komentar