Pagi itu kicauan burung kudengar sangat merdu. Setelah bangun tidur, entah kenapa, ada perasaan yang tidak bisa aku ungkapan, ketika tadi malam, aku mampu merengkuh nikmat bersama Sita. Kemudian, aku menuju kamar mandi. Segarnya tubuh diguyur siraman air, yang aku rasakan sampai hingga tulang. Selesai mandi dan mengenakan baju aku menuju dapur. Aku kira Sita sudah berada di sana untuk menyiapkan sarapan. Kalau Ivan, pasti masih tidur karena efek mabuk berat semalam. Tapi, setelah aku lihat dapur dan sekeliling rumah, ternyata tidak ada tanda kehidupan manusia kecuali aku. Pikirku, Sita mungkin juga kelelahan karena pertempuran tadi malam, dia bekerja keras untuk mengimbangiku. Ahh ... aku jadi tersenyum sendiri ketika membayangkannya.
Kemudian, aku berinisiatif untuk memasak. Lumayan juga, skill yang aku dapat dari Ibukku. Mungkin beliau membekaliku agar bisa bekerjasama dengan istriku nanti, saat berumah tangga. Ternyata di dapur tidak begitu banyak bahan makanan. Tapi, masih sempat kudapatkan makaroni di dalam rak atas dapur. Pagi itu aku membuat sarapan 'macaroni cheese'. Mungkin Ivan atau Sita akan suka. Aroma keju dan makaroni menguar hingga memenuhi ruangan. Sampai salah satu penghuni rumah terbangun. Ivan. Dia menyapaku dan sempat bergurau. Lama juga kami menanti Sita untuk bergabung. Setelah itu, kami menemui Sita dalam keadaan sakit. Ahh ... benar, dia pasti kelelahan. Ada perasaan bersalah waktu itu. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Aku mencoba untuk menebus kesalahanku kemarin. Bahkan aku rawat Sita melebihi Ivan, ketika dia pergi dengan urusan pentingnya.
Setelah menjelang Sore, saat aku bersantai, Sita sudah kelihatan sehat waktu keluar kamarnya untuk mencari Ivan. Sepertinya dia membentengiku. Sikapnya galak dan ketus. Ya, jika begitu, berarti dia sudah benar-benar pulih.
Sore berganti malam, aku lihat mobil Ivan parkir di garasi. Aku sedikit marah padanya. Meninggalkan istri yang sedang sakit, dan lebih memilih pekerjaannya. Lelaki macam apa seperti itu? Bahkan dia memintakku untuk melakukan berhubungan dengan Sita sebelum kembali ke Australia. Melihat Sita dengan wajah pucatnya saja, aku tidak tega. Ivan menjelaskan bahwa untuk besok dia yang akan mengatur rencana untuk meniduri istrinya. Sebenarnya sampai disini, aku sudah mulai gamang, bingung dan harus bagaimana melanjutkannya. Rasanya ingin kuambil Sita dari tanganmu, Van. Tapi, aku harus ingat, bahwa tugasku hanya membuat Sita hamil. Bukan untuk mengambil orang dan hatinya. Ahh ... breng-sek, kenapa aku masuk dalam perasaan ini, ketika aku merasakan dan melihat dia merintih dan mendesah di bawahku.
Pagi hari ketiga, aku melihat Sita di dapur, saat menyiapkan sarapan. Sita tidak seperti kemaren yang terlihat ketus padaku. Dia sekarang lebih fresh, lebih bahagia dan tentunya lebih cantik. Entah apa yang di lakukan Ivan tadi malam. Setelah sarapan, aku dan Ivan berbincang sebentar di ruang depan. Dia mengingatkan lagi akan tugasku untuk hari ini. Kemudian Sita datang mengajak Ivan keluar. Apalagi kalau bukan belanja. Ingin sekali aku menggantikan posisi Ivan, mengajak wanitaku bermanja, melihat dia bahagia, keluar masuk toko, memilih apapun yang dia mau dan menghabiskan berapapun jumlah uangku semaunya.
Cuaca disini benar-benar tidak bersahabat. Panas sekali. Aku sampai tidak memakai baju karena kegerahan. Jika di rumah sendiri, mungkin aku sudah tel*njang. Saat aku di dapur, santai, melihat gawai, dengan minuman dingin di tanganku, aku tidak sadar bahwa Sita berada di dapur membawa banyak belanjaan. Tatapan kami beradu, dia melihatku dengan menggigit kecil bibir bawahnya. Manis sekali. Kemudian, dia berlalu meninggalkanku tanpa berkata. Lalu aku melihat Ivan, ingin menyusul Sita. Dia berhenti sebentar sebelum masuk ke kamarnya, sambil mengacungkan minuman yang dia bawa dan mengedipkan satu matanya. Apa maksudnya coba?
Beberapa menit aku di dapur masih menekuri smartphone-ku, aku melihat suami istri itu keluar dari kamarnya dengan sedikit ribut. Sita mengejar Ivan sampai ke depan. Aku mencoba menyusul dan menubruk Sita ketika Ivan sudah pergi. Aku merengkuhnya di pelukanku saat dia akan terjatuh. Tatapannya lain, tangannya mengelus pipiku, lalu turun ke dadaku serta napasnya yang kurasakan hangat dan memburu. Kemudian dia melepaskan pelukanku dan menuju dapur. Aku menyusulnya, karena ingin menanyakan apa yang terjadi.
Di depan lemari pendingin dia membanting pintu lalu menyergap mulutku secara membabi-buta. Aku mencoba menahan tubuhku agar seimbang saat dia menuju kebawah melahap bagian sensitif dalam tubuhku. Rasanya sulit di bayangkan. Nikmat. Akupun berpikir bahwa ini kerjaan Ivan, kenapa Sita bisa seliar ini. Dia pasti memasukan obat perangsang kedalam minumannya tadi. Dan kemudian, Sita ditinggal pergi saat obatnya bekerja.
Sita benar-benar membuatku ingin menyerangnya. Akan kubuat dia berteriak dibawahku sekarang. Bahkan dia memohon-mohon dan memancing ku kembali ketika permainan pertama selesai. Aku bawa dia ke kamar pada babak kedua. Dia memekik, merintih, mendesah dan mengeluarkan suara nyaring dari mulutnya. Aku suka dengan Sita yang seperti ini. Seandainya, dia wanitaku, sudah kuhabiskan sehari waktuku di ranjang bersamanya. Bahkan akan ku buat dia tidak mampu bangun menikmati kepuasan dariku. Ketika permainan selesai, aku menatapnya dalam-dalam. Aku ucapkan permintaan maaf padanya, atas semua yang terjadi sekarang. Dengan sedikit sandiwara, aku mengatakan agar dia tidak menceritakan hal ini kepada Ivan. Biar ini menjadi rahasia kita berdua. Sita menangis, lalu kudekap dia dalam pelukanku hingga tertidur.
Setelah kupastikan Sita terlelap, kemudian aku pindahkan ke kamarnya. Aku keluar menuju ke dapur, ingin membereskan semua yang telah terjadi sebelumnya. Ternyata Ivan sudah berada di sana dengan muka frustasi. Dia bercerita bahwa dia mendengar suara istrinya ketika, merintih, mendesah bahkan mengeluarkan kata-kata seksi kepadaku. Aku tahu, pasti hatinya hancur. Kemudian, aku mencoba menenangkannya sebelum pamit pergi.
***
Tak terasa, kurang lebih enam jam penerbanganku telah mencapai tujuan. Lamunanku menghilang saat tubuh bergetar akibat guncangan pesawat yang akan landing. Aku tiba di Australia ketika sudah larut. Kemudian menuju rumah. Tubuhku sangat lelah. Hanya mencium kasur dan bantal, aku sudah terlelap dan tidak ingat apa-apa lagi.
Paginya, aku harus siap-siap ke kantor membereskan semua pekerjaan yang sudah kutinggalkan tiga hari. Hari ini pasti aku akan sangat sibuk. Aku baru ingat bahwa semalam setelah sampai rumah, smartphone-ku dalam keadaan mati. Setelah aku nyalakan, banyak sekali pesan yang masuk. Salah satunya dari Ivan yang memberondong banyak pertanyaan tentang keadaanku sekarang setelah sampai Ausie. Setiap berhubungan dengan Ivan, dipikiranku hanya ada Sita. Dia tidak bisa hilang begitu saja.
Dua bulan aku menyibukkan diri agar tidak mengingat kejadian yang bagiku seperti mimpi setelah bangun tidur. Bahkan aku jarang melakukan koneksi bisnis dengan Ivan. Ternyata psikisku benar-benar terganggu. Dan pada hari ini dia meneleponku.
[Sita hamil, Rud.]
Kata itu yang keluar dari mulut Ivan dari seberang telepon. Perasaanku campur aduk. Aku harus bagaimana? Senang karena berhasil membuat Sita hamil, atau sedih karena, calon bayi yang kini di perut Sita adalah anakku? Tapi, segera aku tepis pikiran itu. Karena dia adalah anaknya Ivan. Ya, dia yang berhak jadi ayahnya.
Setiap bulan, Ivan selalu mengabariku tentang perkembangan Sita dan kehamilannya. Setelah empat bulan, dia memberitahuku bahwa calon bayinya laki-laki. Dia tidak pernah absen memberi tahu perkembangannya sampai usia kandungan Sita sembilan bulan. Dia mengirim vidio hasil USG 4G. Aku menatap calon bayi itu yang terlihat sangat jelas, ada yang bergerak-gerak di sana. Mataku terasa berembun dan berkabut ketika melihatnya.
Saat malam hari ketika aku terlelap tidur, beberapa kali gawaiku berdering. Setelah itu aku terbangun karena merasa terganggu. Dilayar terdapat nama Ivan yang memanggil.
[Ada apa, Van? Malem banget ini lho.]
[Sita mau melahirkan, Rud!]
Mataku kemudian membuka sempurna ketika mendengar itu. Betapa khawatirnya dia saat itu. Berkali-kali dia meneleponku, bahkan memberitahu dan memastikan kondisi terbaru Sita. Hingga lama aku dibuat frustasi karena Ivan tidak segera menghubungiku. Lalu ada notif masuk di gawaiku. Sebuah vidio proses melahirkan Sita. Hatiku tercekat dan tersentuh, betapa berat sekali perjuanganmu Sita untuk mendapat gelar Ibu. Kamarku adalah saksi dimana aku menangis tergugu sendirian.
Ivan selalu mengirim vidio bayi laki-laki itu kepadaku tanpa sepengetahuan Sita. Anak itu sehat, lucu dan sangat mirip dengan ibunya. Kadang terbesit pikiran jahat di kepalaku. Dengan segalanya yang aku punya, bisa saja aku mengambil Sita dan anak itu dari Ivan. Tapi, tidak. Aku tidak akan melakukan itu.
Sepertinya aku tidak bisa jika harus begini terus. Aku harus mengambil keputusan yang berat. Mungkin itu akan baik bagiku ataupun Ivan.
[Nikmatilah peranmu jadi ayah. Jaga anak itu baik-baik untukku.]
[Aku tidak akan mengganggu dan mengusik kehidupanmu. Aku juga akan menutup semua akses padamu, termasuk urusan bisnis. Bahkan ketika kamu mencariku di Ausie, kamu juga tidak akan bisa menemuiku. Maafkan aku, Van. Sementara, beri aku waktu dan biarkan aku menata hatiku untuk semua ini.]
Ketika pesan itu berubah menjadi tanda biru, lalu ada telepon masuk dari Ivan. Aku menolak untuk menjawab. Bahkan berkali-kali aku tidak menerimanya. Kemudian, ada pesan masuk.
[Angkat, Rud!] pesan dari Ivan. Tapi, tetap saja ku abaikan.
[Sampai kapan, Rud? Kenapa perasaanku seperti akan kehilangan seseorang untuk selamanya. Aku akan menceritakan semuanya pada Sita, Rud.]
[Dasar bodoh! Jika kamu melakukan itu, kamu benar-benar tidak akan bisa menemuiku selamanya! Bahkan jika kamu meminta bantuanku sekalipun.] balasku dengan sedikit anca-man.
[Aku harus bagaimana, Rud?]
[Jadilah ayah yang baik untuk anak itu, Van. Jangan sia-siakan dia dan Sita. Aku berdoa semoga keluarga kecilmu sempurna dan selalu bahagia.]
Setelah centang biru yang terakhir, aku mengambil SIM card dari smartphone-ku. Aku patahkan dan kubuang. Setelah itu aku menyuruh sekretarisku mengganti e-mail dan hal-hal lain yang tidak bisa terlacak oleh Ivan. Memang akan sedikit ribet dan repot. Tapi, ini harus aku lakukan. Selamat tinggal Ivan, Sita dan malaikat kecilku. Semoga kalian akan selalu bahagia.
TAMAT.
0 Komentar