Setelah menginjakan kaki di Indonesia, Ivan membawaku pulang ke rumahnya. Untuk ukuran tinggal berdua, rumah Ivan mungkin lumayan besar. Kemudian, dia membawaku masuk. Dipanggilah istrinya, Sita.
Kami diperkenalkan kedua kalinya oleh Ivan. Sahabat macam apa ini? Kenapa dia tidak bercerita tentangku kepada istrinya? Sita, selama 7 tahun tetap sama. Cantik. Bahkan tidak banyak berubah.
Setelah itu, Sita menawarkan minum, kemudian lanjut ke dapur. Aku dan Ivan duduk santai di ruang depan.
"Van, Sita memang lupa denganku, ya? Padahal kan, aku pernah datang di pernikahan kalian?" tanya Rudi heran.
"Dia tidak begitu memikirkan teman-temanku, Rud." jelas Ivan.
"Kamu juga tidak cerita tentangku? Bahkan, ketika kamu mengalami kesulitan pekerjaan, siapa yang membantumu? Kamu tidak cerita dengan Sita?"
"Teman yang ada disini saja Sita tidak peduli, apalagi kamu, Rud, yang tidak pernah nongol sama sekali hahahaha .... "
"Lalu bagaimana aku mulai tahu tentang Sita, Van?"
"Kamu tidak perlu tahu tentang istriku, Dude. Yang harus kamu lakukan, setiap ada kesempatan, dekati Sita, bahkan kamu boleh langsung melancarkan aksimu."
"Ck, aku tidak yakin."
"Aku yakin kamu bisa, Rud. Berikan Sita apa yang tidak bisa kuberikan padanya. Selama ini, ketika main, hanya dalam lima menit, aku tidak bisa menahan yang akan meledak dalam diriku, Rud. Sita belum apa-apa aku sudah klimaks duluan. Ahh ... betapa kecewanya dia, hasratnya tertunda dan belum terpenuhi olehku." Ivan menjelaskan panjang lebar sambil memegangi kepalanya.
Percakapan kami terhenti ketika Sita datang membawa nampan berisi minuman yang masih mengepul uapnya. Agar tidak curiga, kemudian kami membicarakan soal bisnis. Lalu, Ivan meminta ijin agar aku boleh tinggal di tempatnya. Aku melihat Sita keberatan, tapi pada akhirnya di bolehkan juga.
***
Aku masih mengobrol dengan Ivan sampai makan malam di siapkan oleh Sita. Tapi, Sita tidak ikut makan demi menyiapkan kamarku. Setelah selesai makan malam, aku menuju kamarku. Sita benar-benar Istri idaman. Dia memberiku kamar yang nyaman, rapi dan wangi. Kemudian, aku membersihkan badanku karena sejak perjalanan tadi, tubuhku belum teraliri oleh air sama sekali. Rasanya sangat gerah.
Senja berganti malam. Rencananya aku ingin bertemu Sita untuk mengucapkan terimakasih. Tapi di setiap sudut rumah, istri temanku itu tidak terlihat barang hidungnya. Betapa b*dohnya aku, hanya karena ingin mengucapkan terimakasih saja, hingga mencarinya ke kamar pasangan suami istri tersebut. Aku mendengar sedikit keributan didalamnya. Lalu kuurungkan niat untuk menemuinya. Aku tersentak ketika pintu dibuka oleh Ivan. Tatapan ku tertuju pada Sita yang mematung dengan lingerie yang terbuka, hingga memperlihatkan bagian dadanya yang membuat tenggorokan ku menelan saliva. Ahh ... indah sekali pemandangan yang sedang aku lihat. Tapi, kemudian Sita buru-buru merapikannya, aku memperhatikan apa yang lakukan Sita. Tatapan kami beradu, sampai pintu kamarnya tertutup. Lalu, Ivan membawaku menuju ke Ruang kerjanya.
"Kamu ribut, Van? Karena aku?"
"Tidak. Sita .... " Ivan tidak meneruskan perkatannya.
"Ohh ... Oke, aku tahu."
"Selama kamu disini, biarkan dia begitu."
"Hah? Kamu sengaja?"
Ivan hanya meng-anggukkan kepalanya, menjawab pertanyaanku. Banyak yang kami obrolkan di ruang kerja Ivan, bahkan sampai dia tertidur. Mataku sejak tadi belum ingin terpejam, padahal hari sudah larut. Karena pintu ruang ini tidak ditutup, aku melihat Sita menuju dapur. Sempat berpikir, mungkinkah ini kesempatanku? Tidak menunggu lama, akupun menyusulnya.
Dengan sedikit alasan aku berbicara kepada Sita. Tapi, ada yang salah. Dia menangis. Ini pasti karena kejadian tadi. Ivan sempat bercerita bahwa penolakannya kepada Sita sedikit kasar. Aku terhanyut melihat Sita berpakaian seperti itu. Tidak sadar membuat jantungku berdetak tidak karuan. Dengan rambut yang dikuncir tidak beraturan, dengan bahu mulus yang terbuka, dan kaki jenjang yang kelihatan menggoda. Ahh ... Sita, siapa pria yang tahan melihatmu seperti ini. Aku pria normal, Sita.
Dia bicara ingin balik ke kamarnya, tidak kusia-siakan kesempatan ketika Ivan tertidur pulas di ruang kerjanya. Sedikit pemaksaan kepada Sita yang ingin ku rengkuh kehormatannya. Aku mendorongnya di dinding lemari pendingin, kurapatkan tubuhku, kemudian aku menyerang mulutnya secara kasar. Awalnya dia enggan dan menolakku, mungkin hasratnya tertahan sejak tadi, akhirnya dia bertekuk lutut padaku. Permulaanku tidak kulakukan secara langsung. Aku hanya bermain dengan jari-jariku. Pelajaran ini kudapatkan ketika bersama teman buleku, ketika menonton film dewasa. Ternyata berguna juga. Jari-jariku hangat, saat bermain dibawah sana. Suara desahan Sita membuatku semakin semangat melakukan itu. Hingga akhirnya lenguhan panjang keluar dari mulutnya. Aku merasakan ada yang mengalir di bawah sana. Permainan ini tidak akan kulakukan lebih. Masih ada 2 hari setelah ini. Kemudian aku menyuruhnya tidur, ketika wajah Sita menunjukan kepuasan. Lalu, aku meninggalkan dia sendiri di dapur.
***
Paginya, kami sarapan bersama. Serasa tidak terjadi apa-apa, aku mencoba bersikap biasa saja. Bahkan sempat bergurau juga dengan Ivan.
Setelah itu, Ivan mengajakku ikut rapat bersamanya. Dia ingin menunjukan bahwa dirinya telah belajar banyak dariku. Ivan bisa menjebolkan beberapa tender yang dia ikuti. Salah satunya sekarang.
Waktu berlalu sangat cepat. Ivan merayakan kesuksesannya dengan beberapa anak buahnya. Dia mem-booking bar untuk acaranya. Ketika mereka sudah tidak terkontrol lagi akibat minuman yang mereka pesan, satu persatu anak buah Ivan berpamitan untuk pulang. Sudah sejak lama aku tidak tergoda minuman beralkohol, karena menurutku itu tidak sehat. Aku melihat Ivan sudah mabuk berat. Bahkan, obrolannya sudah mulai kemana-mana.
"Rud, aku ingin jadi ayah," kata Ivan.
"Iya, Van, kamu akan jadi ayah, oke? Udah, kita pulang! Kamu udah teler berat ini."
"Tunggu, tunggu, Bro. Aku ingin kamu menghamili istriku. Hahahahaha .... " tiba-tiba Ivan tetawa, sambil meneguk beberapa sloki didepannya. Lalu dia menyambung kembali rancau-annnya, "aku ingin punya anak, Hu hu hu hu .... " kemudian, dia seperti orang menangis.
"Dasar b*doh! Jangan ngomong sembarangan, Van, ini tempat umum!"
"BIAR, BIARKAN SEMUA ORANG TAHU, AKU LELAKI TIDAK SEMPURNA!!!"
Ivan sudah mulai kacau. Dia Segera kubawa pulang, agar kata-katanya tidak memalukan untuk dirinya sendiri. Aku memegang kemudi saat itu. Karena Ivan sudah tidak sadarkan diri. Setelah sampai rumah, aku mengetuk pintu. Dengan cepat pintu itu terbuka. Sita melihat Ivan begitu khawatir. Lalu, ku antar dia ke kamarnya. Semoga saja, Ivan segera tidur dan omongannya tidak melantur kemana-mana.
Ternyata dibutuhkan banyak tenaga untuk memapah Ivan, hingga aku merasa gerah. Dapur adalah tujuanku untuk melepas dahaga. Baju yang tadi kupakai kini telah lepas dari tubuhku, hingga hanya bawahan saja yang menempel di badan. Kemudian, aku mengambil softdrink dan duduk di sana dengan banyak pikiran. Aku harus mulai darimana lagi untuk mendapatkan Sita.
Pucuk dicinta, Sita datang ingin mengambil air minum. Tanpa ini itu aku mulai menyerang Sita. Dia memberontak. Tapi, tidak akan aku lepaskan. Semakin dia memberontak, seakan memanggil libidoku untuk naik. Dan pada akhirnya dia menyerah. Malam ini juga, akan ku tanam benih di rahimmu, Sita. Ohh ... sungguh aku menikmati tubuh istri temanku.
0 Komentar