TEMAN SUAMIKU PART 7

 POV RUDI


Aku di pesawat masih terbayang Sita merintih dan mendesah di bawahku. Jika bukan karena temanku dari kecil memintanya, tidak akan ku lakukan perbuatan hina itu terhadap seorang wanita. Dari jendela pesawat aku melihat gugusan awan berwarna jingga dari barat. Masih jelas di ingatanku beberapa hari yang lalu, Ivan datang menemuiku, memohon agar istrinya bisa hamil. Ahh ... rasanya aku masih tidak percaya. Pagi itu aku kaget, setelah lama kami hanya terkoneksi lewat benda elektronik, sebagai sahabat kecil dan partner bisnis. Ivan tiba-tiba menyusulku ke Australia. Bahkan dia datang langsung ke kantorku tanpa memberi tahu terlebih dahulu. 

Tok ... tok ... tok ... 

Biasanya sekretarisku yang hanya bisa mengusikku ketika aku sedang sibuk. 

"Yes, Please come in!" jawabku waktu itu seperti biasa. 

"Good afternoon, Sir."

Aku mendongak kaget, mendengar suara tidak asing di depanku, setelah berjam-jam terpekur dengan kertas-kertas penting di hadapanku.

"Ohh ... sh*it!" begitu umpatku ketika wajah yang selama ini hanya bisa kutatap lewat benda elektronik, kini dengan jelas tertawa terbahak di depanku. 

"Kenapa tidak kasih tahu dulu mau kesini, Bro?" sapaku, sambil berdiri dari kursi kebesaranku, menyalami dan merangkul sosok yang terakhir kutemui 4 tahun lalu, ketika melayat Kakekku yang meninggal. 

"Kamu lupa dengan Indonesia, Rud? Bahkan selama 7 tahun, kamu menginjakan tanah kelahiranmu hanya 2 kali. Salah satunya pas acara pernikahaku."

"Yah ... gimana lagi, Van? Setelah Kakek meninggal, siapa yang akan kutemui di Indonesia kalau semua keluargku disini?"

"Aku!" jawab Ivan, singkat dan menggebu. Aku tertawa terbahak mendengar jawaban itu keluar dari mulutnya.

"Kamu sudah punya Sita, Van." wajah Ivan berubah, ketika aku menyebut nama istri yang sudah 7 tahun menemaninya tersebut. Namun sayang, sekian lama pernikahannya, mereka belum dipercaya Tuhan untuk mendapat keturunan. 

Lalu, Ivan menghenyakan tubuhnya di sofa ruang kerjaku sebelum aku suruh. Rahangnya mengeras. Kemudian aku ikut duduk di sampingnya. 

"Van? Are you okey?"

Wajahnya berubah serius. Aku tidak pernah melihatnya seserius ini. Selama ini, urusan pekerjaannya baik-baik saja. Bahkan semakin kesini, dia dinobatkan sebagai generasi milenial yang sukses.

Kemudian dia merogoh tas yang tadi di bawanya. Ivan mengambil sebuah map, dan diberikannya kepadaku. 

"Bacalah, Rud!"

Dengan serius aku menerima, membuka dan membacanya. Ada istilah medis yang tidak pernah aku ketahui sebelumnya. 

"Azoospermia? Aku tidak tahu maksudnya apa, Van?"

Ivan menghela napasnya secara kasar. 

"Aku mandul, Rud, aku mandul?" jelas Ivan memelas.

Glek!

Tenggorokanku tercekat saat dia berkata seperti itu.

"Lihatlah, hasil yang lain! Sita dinyatakan sehat. Ternyata selama 7 tahun, permasalahannya ada padaku, Rud," kata Ivan dengan frustasi. 

"Sita, tahu masalah ini?"

"Tidak, aku tidak akan memberitahunya. Aku tidak mau ditinggalkan Sita, setelah tahu kondisiku begini."

"Oke, lalu aku harus bagaimana? Aku bukan dokter, Van. Dalam hal ini, aku tidak bisa membantumu."

"Bisa, Rud, tujuanku kesini adalah untuk itu."

Dahiku mengerut, mencerna omongan Ivan yang tidak tahu arahnya kemana. Aku bukan dokter yang bisa memecahkan masalahnya. Kemudian Ivan melanjutkan perkataannya. 

"Aku ingin kamu menghamili Sita, Rud."

Wajahku berubah kaget dan tak percaya apa yang di katakan lelaki bod*h di hadapanku saat ini.

"Kamu gila, Van? Kamu sadar barusan ngomong apa?"

"Aku sangat sadar, Rud?"

"Apa ... apa tidak ada cara lain. Bayi tabung misalnya. Temanku ada yang melakukan itu setelah 5 tahun tidak mempunyai anak."

"Kamu kira aku tidak berusaha, kamu kira aku belum melakukan apapun untuk ini, hah? Bahkan aku rela uangku habis untuk mendapatkan anak dari Sita. Aku stres, Rud, aku capek. Apalagi, ketika semua usaha yang kita lakukan dinyatakan gagal oleh dokter. Karena apa? Karena, memang kualitas sp*rmaku itu buruk, Rud," jelas Ivan menggebu-gebu.

"Lalu, kenapa kamu ingin aku membut Sita hamil? Kalau aku sepertimu, bagaimana?"

"Tidak, kamu beda denganku, Rud, lifestyle kamu bagus, aku yakin kamu bisa. Kalaupun Sita hamil, aku gak mau anak itu dari orang lain."

"Kamu gila, Van, kamu gak waras," kataku dengan perasaan ikut campur aduk.

"Ya, aku gila, Rud. Kamu tahu, ketika semua keluarga besarku kumpul dalam suatu acara? Di Sana, Sita menjadi bahan gunjingan. Dia dikatakan tidak sempurna menjadi seorang wanita, dia dikatakan mandul, dia dikatakan gagal menjadi seorang istri karena tidak bisa hamil. Bahkan ibuku sendiri, salah satunya yang mengatakan itu. Dia menelan semua omongan itu sendiri, demi menjaga kehormatanku, Rud. Dan sekarang, faktanya, aku yang tidak sempurna." mata Ivan memerah menjelaskan semua itu. Betapa aku tahu, dia sangat mencintai istrinya. Ivan melanjutkan lagi semua unek-unek yang ada di kepalanya. 

"Aku sangat mencintai Sita, Rud. Bahkan keluargaku ingin aku menceraikannya. Bagaimana bisa? Dia selama ini yang kudapatkan dengan susah payah, menemaniku 7 tahun dengan segala hinaan, dengan rela tidak mendapatkan nafkah batinnya, lalu, begitu saja aku tinggalkan? Aku tidak bisa, Rud. Aku ingin Sita hamil, aku ingin membungkam mulut mereka yang kejam terhadapnya."

"Van, apakah kamu juga tidak terlalu kejam pada Sita? Dengan kata lain ... kamu ... kamu ingin aku menyetubuhi istrimu! Arrgghh ... brengsek," kataku juga mulai frustasi.

"Dipikiranku sekarang hanya itu jalan satu-satunya, Rud. Aku lebih rela menyerahkan Sita kepadamu daripada orang lain. Aku juga lebih rela jika suatu saat berhasil mempunyai anak, walaupun bukan darah dagingku, tapi, itu dari kamu, Rud," kata Ivan mendongak ke langit-langit sambil mengerjapkan matanya, seakan menahan sesuatu yang akan mengalir dari sana. Lama kami hanya diam. 

"Beri aku waktu, Van!"

"Besok." dengan cepat dia menyahutku. 

"Wahh ... Asal kamu tahu, Van, aku lebih suka kamu memberikan masalah bisnis kepadaku daripada masalah seperti ini."

Ivan tersenyum masam kepadaku. Bagaimana bisa aku meninggalkan semua pekerjaanku, jika harus besok keputusan yang aku berikan kepadanya. Ivan menungguku sampai aku pulang kerja. Dia kubawa pulang kerumah, agar bertemu dengan keluargaku. Bahkan selama 7 tahun jarang bertemu, keluargaku masih sangat baik terhadapkannya. Apalagi ketika kami di ruang keluarga, betapa antusiasnya Ibuku bercerita masa kecil kami, hingga harus berpisah ketika aku dan keluargaku pindah ke negara orang. Saat itu aku dan Ivan lulus SMA. Kami bahkan kuliah di universitas yang sama. Baru satu semester, pekerjaan ayahku memaksa kami untuk tinggal lama di Australia. Dan sampai sekarang, aku mempunyai bisnis dan bisa berdiri sendiri.

Semalaman aku berpikir keras tentang apa yang kami bahas siang tadi. Bagaimana mungkin aku bisa melakukan itu kepada istri sahabatku sendiri? Tapi, satu hal yang membuatku iba adalah Ivan. Mana ada suami yang mau memberikan istrinya kepada orang lain untuk dinikmati? Dia akan berkorban terlalu dalam. Aarrgghhh ... lama-lama aku juga pasti akan gila.

Aku menghubungi sekretarisku untuk meng-handle semua pekerjaan selama 3 hari kedepan. Betapa senangnya Ivan mendengarkan keputusanku pagi ini.

"Sita tahu kalau kamu kesini, Van?" tanyaku sambil meminum segelas susu protein.

"Sita tahunya aku dinas keluar kota, Rud, padahal aku keluar negri, mencari malaikat buat keluargaku." Ivan memujiku setinggi langit, ketika dia tahu aku menyetujui rencana untuk ke Tanah Air.

"Hah, dasar," cibikku. 

Ivan tersenyum sambil menekuri smartphone-nya.

"Nanti siang kita berangkat, Rud. Aku sudah booking tiket pesawat ke Indonesia." Ivan menunjukan tiket online dari gawainya kepadaku. 

"Secepat itu?"

"Kalau bisa cepat, kenapa tidak?"

Siangnya setelah berpamitan dengan keluargaku, kami menuju bandara. Alasanku dengan mereka, karena bisnis Ivan yang membutuhkan bantuanku. Saat di pesawat, pikiranku kemana-mana ketika Ivan membuat rencana setelah sampai di rumahnya. Tiba-tiba mataku terpejam, serasa nyaman terbang ke awan. Tidak berapa lama tubuhku terguncang. Ternyata pesawat sedang 'landing'. Aku mengatur napasku. Akhirnya, tiba juga ke tanah kelahiranku lagi. Welcome to Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar