Sita hanya tersenyum pasrah di bawah Ivan. Selama tujuh tahun, dia selalu belum mencapai orgasme jika bermain dengan suaminya. Ketika sudah klimaks, senjata Ivan dengan cepat mengecil dan tertidur.
"Seperti biasa ya, Sayang?" pinta Ivan sambil menarik laci nakas, dan mengeluarkan benda berwarna merah, berbentuk alat kelamin pria.
Alat itu lalu dimasukan ke dalam pusat inti Sita. Kemudian, Ivan menekan salah satu tombol, sehingga menimbulkan getaran halus. Ivan juga tidak berhenti untuk memaju-mundurkan tangannya secara pelan. Sita hanya menggelinjang menahan kenikmatan sentuhan alat tersebut yang memasukinya.
"Gimana, Sayang, sudah siap untuk keluar?"
"Ma--as Ivan ... ahhhh .... "
Bersamaan itu, Ivan tidak membiarkan mulutnya menganggur. Dia melahap gundukan daging kenyal di dada Sita, dengan ujungnya yang masih keras dan mengacung, membuat Ivan untuk menggigit-gigit kecil dan menghisapnya. Tangan Ivan dengan lihai dan masih aktif bergerak di bawah sana. Ditekannya lagi tombol alat tersebut untuk menambah frekuensi getaran. Hal itu, membuat Sita bergerak tidak karuan, ketika Ivan menambah lagi kecepatan getaran , mulut Sita tidak berhenti untuk membuat suara.
"Ohhh ... Ma--as Ivan, lebih cepat Mas!"
Ditambahnya lagi frekuensi alat tersebut dengan getaran paling tinggi. Entah berapa lama Sita membuat suara seksi di kamar mereka berdua. Semakin cepat gerakan tangan Ivan, membuat desahan dan erangan Sita tidak beraturan.
"Iy--ya, Mas ... terus, Mas, ahhhh ... Cepetin lagi, Mas .... akuuuhhhh ... ahhhh ... lebih cepet, Mas ... ahhh ... Ma--as, akuuhhh ... akkhhhhhh .... "
Dada Sita membusung ke atas, dengan tangan kiri meremas sprai dan tangan kanan meremas rambut kepala Ivan yang masih menyusu disana.
Dilepaskan dada Sita dari mulut Ivan, dan sambil tersenyum melihat Sita yang masih terengah-engah mengatur napasnya yang memburu.
Dikeluarkannya alat tersebut dari liang seng-gama Sita. Terdapat cairan mengkilat yang meleleh di alat tersebut.
"Banyak sekali, Sayang."
Sita hanya tersenyum malu, kemudian di susul ciuman Ivan yang mendarat di bibir Sita. Merekapun lalu tertidur di dalam dekapan tubuh, selimut dan mimpi.
***
Paginya, Sita menyiapkan sarapan dengan perasaan senang. Mungkin hormon dopaminnya meningkat setelah semalam meneguk kenikmatan bersama sang suami. Kemudian, Ivan keluar dari kamar dengan rambut yang masih basah dan hanya menggunakan baju santai menuju meja makan. Rudi pun kemudian ikut bergabung bersama mereka.
"Pagi, Bro," sapa Ivan, melihat Rudi yang kemudian duduk disamping sebelah kanan Ivan.
"Pagi, Van. Pagi ... Sita," balas Ivan, ragu untuk menyapa Sita.
"Pagi." hanya itu yang keluar dari mulut Sita dan memberikan segelas susu kepada Ivan dan Rudi.
Beberapa menit mereka menjadi satu di meja makan, tapi hanya saling diam. Kemudian Ivan membuka percakapan agar tidak kelihatan kaku.
"Rud, terbang jam berapa?"
"Hmmm ... jam 5 sore. Tapi, nanti pamit jam 3, ya. Ada keperluan sama boarding pass juga," kata Rudi, sambil melirik Sita yang duduk di depannya yang di batasi meja makan.
"Oke, nanti aku anterin," balas Ivan.
"Lho, kamu gak kerja?" tanya Rudi.
"Sengaja libur, buat kamu, Rud. Eh, enggak, ding. Buat istriku hahahaha ... " tawa Ivan dibalas senyum Rudi dan Sita.
"Hmmmm ... Sita. Aku minta maaf, jika selama di sini, aku bersikap kurang ajar padamu. Mungkin, membuat kamu tertekan, atau bahkan tidak nyaman, padahal ini di rumah kamu sendiri. Dan ... Terima kasih untuk semuanya," tutur Rudi.
Sita hanya sekilas melihat Rudi, kemudian kembali ke sarapannya.
"Hah ... kenapa jadi melow gini, sih, Rud? Kamu disini 'kan atas permintaanku, " sahut Ivan.
"Iya, tapi 'kan aku jadi merepotkan yang punya rumah, " kata Rudi sambil melirik Sita yang masih sibuk dengan sendok dan piring sarapannya.
"Oke, kalau gitu aku dan Sita, kapan-kapan mau ke Australia buat ngerepotin kamu balik. Ya 'kan, Sayang? "
Sita hanya melihat Ivan dan tersenyum kecil, kemudian menunduk sambil menggigit bibir bawahnya.
Selesai makan Ivan dan Rudi bersantai di ruang depan. Sedangkan Sita, masih sibuk di dapur membereskan alat sarapan mereka bertiga.
"Rud, kamu tidak lupa dengan tugasmu hari ini 'kan?"
"Vaaannn ... " kata Rudi keberatan.
"Please! demi masa depanku dan Sita."
"Aku 'gak bisa, Van!"
"Aku akan lakukan apapun untuk itu, Rud. Hanya kamu juga yang bisa nolongin aku dan Sita. "
Rudi mengusap wajahnya dengan kasar.
"Hah! Untuk sekarang gimana caranya? Kamu saja ada di rumah. "
"Sudahku atur. Bahkan dia akan memohon-mohon padamu. "
"Kenapa aku harus punya sahabat seperti kamu, Vaaannn?" kata Rudi gemas.
"Mungkin ini sudah diatur Tuhan, Rud."
Mereka hanya diam, dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Kemudian, terdengar suara Sita memecah keheningan.
"Mas Ivan, kita jadi pergi 'kan?"
"Hah? Oh ... Iya, Sayang?" jawab Ivan. "Rud, aku keluar bentar, ya. Mau naikin moodbooster sang Ratu," imbuh Ivan.
"Ck, apaan, sih, Mas?" cibik Sita.
"'Kan biasanya gitu, Sayang. Moodbooster wanita itu, shopping. Ya, 'kan, Rud?"
Rudi hanya tersenyum menanggapi cuitan Ivan. Lalu Ivan dan Sita keluar meninggalkan Rudi, yang kemudian pindah ke kamarnya untuk 'prepare'.
***
Panas matahari membuat Sita ingin segera masuk ke dalam rumah dan menyalakan AC. Sebelum masuk kamar, dia ingin meletakan belanjaannya di dapur. Langkahnya memelan ketika mendapati Rudi shirtless di sana. Jantungnya berdegup tidak beraturan melihat Rudi hanya bertelanjang dada.
"Ohh ... Sh*it!" Rudi kaget menyadari dirinya tak memakai baju, ketika Sita datang membawa banyak belanjaan yang kemudian di taruhnya di meja dapur.
"Mmmm ... Maaf, Sita, panas banget cuacanya."
Mata mereka beradu. Sita hanya menggangguk menananggapi kata Rudi. Kemudian berbalik menuju kamarnya sambil memegang dadanya dan meyakinkan bahwa dia baik-baik saja.
Di dalam kamar Sita buru-buru mengganti pakaiannya dengan dress tanpa lengan, dan tali kecil yang menggantung di pundaknya. Dinyalakannya AC dengan mode terendah. Ivan masuk ke kamar dengan membawa minuman dingin di tangannya.
"Panas, Sayang?"
"Iya, Mas. Panas banget."
"Ini minum." Ivan memberikan minuman itu kepada Sita.
"Aku mandi dulu ya, Sayang. Gerah banget."
"Gak boleh langsung mandi, Mas. Ngadem dulu." Kemudian Sita meneguk minumannya, dengan leher naik turun membawa cairan dingin itu ke dalam perutnya.
"Tadi udah, Sayang."
Beberapa menit kemudian, Ivan kembali dari kamar mandi dengan rambut basah dan bulir-bulir air di tubuhnya.
"Kenapa masih panas banget, sih?" gerutu Sita.
"Kenapa, Sayang?" Sita menoleh ke sumber suara. Melihat suaminya yang hanya menggunakan handuk, tubuh Sita memanas dan jantungnya berirama cepat. Kemudian, dihampirinya sang suami. Di dorongnya Ivan ke pintu lemari, hingga terbentur punggungnya ke benda berpelitur tersebut.
Sita menciumi Ivan dari atas sampe bawah hingga dia menemukan sesuatu yang masih tergantung lemas di tubuh Ivan. Di lahapnya benda itu membuat Ivan mengerang.
"Akkhhhhh ... Sayang."
Tiba-tiba gawai milik Ivan berbunyi.
0 Komentar