"Tidurlah!" perintah Rudi sambil mengusap bibir kemudian ke pipi Sita dengan jempol tangannya. Rudi pun berlalu pergi, meninggalkan Sita yang masih bersandar di pintu pendingin itu.
***
Pagi saat sarapan, Sita melihat Rudi seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal sejak kejadian tadi malam, Sita sulit tidur dan merutuk dirinya sendiri karena kesetiannya hancur di tangan teman suaminya. Walaupun apa yang didapat dengan Rudi, tidak pernah di berikan oleh Ivan. Dia merasa puas, dia merasa bagaimana merasakan kebutuhan batin yang sebenarnya.
Dia berpikir untuk hal-hal seperti itu bersama Rudi, hingga tanpa sadar, Sita hanya memainkan garpu dan sendok diatas piring yang ada nasi gorengnya.
"Kamu gak apa-apa, Sayang?" tanya Ivan, sambil menyentuh tangan Sita.
"Hah?" Sita terlonjak kaget.
"Kamu sakit?" tanya Ivan lagi.
"Eng--enggak, Mas. Mungkin kecapekan kali, " jawab Sita, sambil melihat Rudi yang masih asik menguyah sarapannya dan memainkan gawainya.
"Do'akan, Sayang, semoga tender suamimu ini jebol. Nanti, kamu bisa belanja apa saja yang kamu inginkan. Atau mau liburan juga boleh. Ke Dubai, ke Swiss, atau yang deket ke Korea."
"Atau ke Australia," sambung Rudi tiba-tiba.
Sita hanya tersenyum masam, melihat mereka berdua tertawa. Seakan suaminya pun setuju dengan perkataan Rudi. Ivan pun juga tidak merasa bersalah, atas perlakuannya terhadap Sita tadi malam.
Setelah selesai sarapan, mereka bertiga menuju garasi. Sita bersalaman dengan Ivan, dengan mengecup punggung tangan sang suami serta Ivan yang membalas dengan mengecup kening Sita. Rudi pun salah tingkah seakan tidak mau melihat pemandangan itu.
Satu jam kemudian, setelah mengurus Suaminya, Sita menuju dapur ingin mengambil minum untuk Ivan. Dia kaget mendapati Rudi disana sedang minum softdrink dengan bertelanjang dada. Sita pura-pura tidak memperhatikan, walaupun detak jantungnya lebih cepat dari biasanya saat melihat Rudi. Dia memang sedikit kagum dengan tubuh Rudi yang terjaga, dengan Abs sixpack di perutnya.
Sambil mengambil air galon, Sita basa-basi bertanya kepada Rudi.
"Eemm ... Kamu ... sudah makan?"
Tak ada jawaban, yang terdengar hanya suara botol softdrink yang remuk ditangan Rudi. Kretaakkkk ....
"Aku ingin memakanmu," jawab Rudi, lalu berbalik, mengambil gelas yang dibawa Sita dan diletakan begitu saja. Kemudian kedua tangan Rudi menangkup wajah Sita dan menciumnya dengan kasar.
"SE--TOP! RUDI, JANGAN LAKUKAN INI PADAKU!" teriak Sita sambil mendorong tubuh Rudi keras-keras, dan tidak peduli kalaupun Ivan bangun karena suara Sita. Dia mulai menangis. Dengan frustasi Rudi mendekati Sita lagi.
"Kamu tidak berhak atas aku! Kamu harus tahu batasanmu!"
Rudi tidak peduli, dia menggapai Sita dengan paksa. Menciumnya dan membuka kimono tidurnya dengan paksa pula. Di tariknya penyangga dada itu dari tubuh Sita. Dua gundukan kenyal itupun terpampang dan tidak luput dari tangan Rudi untuk diremasnya.
"Ru--di, jang--an!"
"Nikmatilah, Sita sayang."
"Aku tidak menyiksamu, Sita."
Perlawanan Sita pun gagal dan akhirnya menyerah, setelah tenaganya habis untuk memberontak melawan Rudi. Pelan-pelan Rudi memainkannya dengan lembut.
"Buatlah dirimu nyaman denganku, Sita." tatap Rudi yang kemudian pagutannya mulai disambut oleh Sita. Bunyi decak tautan lidah dan lenguhan terdengar nyaring di ruang dapur. Diangkatnya Sita oleh Rudi dan didudukan di meja dapur. Ciuman Rudi turun ke dada milik Sita, dia menyusu seperti bayi yang kehausan.
"Mmmhhhh ... ahh ... Ru--di."
"Iya, Sayang, mende-sahlah, sebut namaku."
Ciuman dan sapuan lidah Rudi pun turun ke perut, paha dan berhenti ke area pusat Sita. Di turunkannya celana dalam Sita, hingga Rudi menemukan bagian paling sensitif dari tubuh Sita. Setelah beberapa menit bermain di sana, tubuh Sita mengejang dan bergetar hebat.
Giliran Rudi menurunkan celananya. Senjatanya yang sudah berdiri sejak tadi, sudah tak sabar ingin mencari mangsanya. Sambil terengah-engah, mata Sita membelalak melihat ukuran
yang berbeda, lebih panjang dan lebih besar dari suaminya.
"Rud, please, jangan lakukan ini! Aku masih mencintai Mas Ivan."
"Ayolah, Sita. Jangan munafik."
"Aku gak mau, Rud, aku tidak bisa. "
"Benarkah?"
Sita memandang Rudi dengan ketakutan, tatapan nyalang Rudi membuat dia menelan salivanya, karena benda itu akan memasuki dirinya. Seakan Rudi tau akan kekhawatiran Sita. Dia mencoba untuk membuat tenang.
"Aku akan melakukannya pelan-pelan, Sita."
"Ohhh ... Sita Sayang, lihatlah ini, lihatlah, tubuhmu berkata lain, tubuhmu menerimaku."
Tempo permainan mereka pun semakin panas dan semakin ganas. Entah sudah berapa menit mereka bermandi peluh.
"Bentar sayanghh, a--ku juga mau kel--uar mmmmhhhh ... ahhhh ... Sitaaaa ... Akkhhhhhhhhh .... " lenguhan panjang pun keluar dari mulut keduanya, serta suara nafas yang bersaut-sautan memenuhi ruang dapur.
Setelah stabil irama denyut jantung serta bernafas dengan teratur, kemudian mereka membenarkan pakaian dan celana yang sudah tercecer dilantai. Sejurus kemudian, Rudi melihat Sita menangis sambil membenarkan kimononya.
"Sita, aku ..... "
Sambil mengusap air mata, Sita pun berlalu tanpa menghiraukan Rudi yang ingin berbicara kepadanya.
0 Komentar