Dengan setumpuk pertanyaan di kepala aku meluncur menuju rumah Pak Bimo. Pikiranku berusaha merangkai-rangkai apa yang terjadi sebenarnya. Namun aku belum memiliki cukup bukti. Ohh bukti...sepertinya aku butuh Prima untuk hal ini.
Aku segera menepikan sepeda motor dibahu jalan untuk melakukan panggilan telepon. Sedikit kripik untuk anda pembaca, memang begitulah seharusnya berkendara. Menggunakan alat komunikasi saat mengemudi meski tak membahayakan bagi anda, namun berpotensi membahayakan pemakai jalan lainnya. Selain efek samping lain tentunya... Mesam-mesem sendiri dijalan, prengas-prenges, misuh sendiri, mewek sendiri, bahkan hingga rela mencium aspal demi menyelamatkan keterlambatan membalas pesan whatsapp. Itulah tradisi +62 yang keceh badai.
L : Haloo bro, nandi (dimana)??
P : Di kontrakan sob, hari ini aku off.
L : Ok share loc, aku otewe
P : Sipp
Aku segera berbalik haluan menuju lokasi yang dikirim Prima. Kulirik kaca spion, ada gerakan beberapa motor yang mencurigakan. Malas berurusan adu otot pagi-pagi, aku segera menghindar. Keluar masuk gang kecil, haluan tipu-tipu, masuk di keramaian lalu lintas, akhirnya aku lolos dari kuntitan motor-motor tadi. Cepat kupacu kuda besiku agar segera sampai di tempat Prima.
"Hahh bro, kamu mo minggat? Bawa tas traveling segala!!, eh geseran ke dalam aja, antisipasi biar lebih aman," sapa Prima saat kuhempaskan tubuh di kursi teras.
"Ga. Sementara mau tinggal di rumah Firsa," jawabku apa adanya, jujur aku lupa bahwa Prima juga menaruh hati pada kekasihku.
"Ehmmm sori. Sebenarnya dia memang pacarku. Udah jadian lama sih. Tapi aku ga terus terang ke kamu karena kasihan, kamu juga suka," terangku sedikit berkelit.
"Ohh..."
"Ya kalau kamu kecewa gapapa sih mundur aja ga perlu bantu, aku bisa jalan sendiri." ucapku terkesan legowo, namun sebenarnya mengandung nada persuasif.
"Haisst...santuy sob. Kita ini sudah sobatan. So, ga usah mikir ga enak. Titip pesan aja ke Firsa, kali aja ada temen dia yang cakep, boleh tuh hahaha..."
Prima terbahak, aku tahu ada luka dihatinya, tapi pilihannya untuk menjaga persahabatan sungguh pantas diacungi jem..but hehe.
"Thanks bro, beruntung dapet sohib mantuy kayak kamu!!" ucapku simpatik.
"Apaan mantuy?? mantu/menantu gitu?" tanya Prima bingung.
"Mantap euy...haha," balasku dengan menjulurkan lidah. Tapi tak berharap sama sekali juluran lidahku bakal dilumat Prima. Haha, emang kita cowok apa-apakah??.
"Makasih bro udah mau gabung dengan Buscando Identidad disingkat B-Id. Nama agenku, Lucky Sikat. Kunamai kamu dengan julukan Primata, kepanjangan dari Prima sang Pengintai, atau Prima sang mata-mata!!" ucapku dengan gaya sok serius.
"Jancok. Primata lagi!!, ga ada pilihan lain hahaha??" ucap Prima tergelak.
"Ada, Primitif. Prima sang pemberi inisiatif. Prima ahlinya detektif." Jawabku santai.
"Ga..ga. Primata aja!!"
Prima lemas, aku puas.
"Eh ini kontrakan kamu sendirian bro?" tanyaku sambil memutar leher menyapu semua sisi rumah.
"Iya, ngekos mehong bro. Jatohnya lebih murah kalau ngontrak rumah. Kamar lebih dari satu, ke kamar mandi bebas, ada ruang tamu, ada ruang tengah, mau masak juga ada dapur, di halaman belakang bisa bebas jemur pakaian, mo maen gundu juga bisa haha..."
"Wahh luas juga yah," ungkapku menanggapi.
"Kamu mau gabung sini?. Tenang aja, aku suka cewek kok!" seloroh Prima.
"Matamu!!. Aku juga normal cukk!. Eh bagus nih kalo aku pindah sini. Sekalian buat markas B-Id, iya ga??"
sejujurnya aku prefer tinggal disini daripada di rumah Firsa. Lihat nanti saja lah.
"Yaudah buruan." balas Prima.
"Sektalahh (Tar dolo lah). Aku lihat dulu perkembangan kasus Firsa. Eh tapi kalau gabung, kita patungan yak. Aku ga mau digratisin!!"
aku antusias, tinggal menunggu situasi ke depan.
"Kamu bisa baca pikiran bro?, baru aja aku mo ngomong kalau gratis aja. Hahaha, yaudah terserah deh."
Prima tersenyum, aku tersipu malu-malu wkwkwk anjirr.
"Ehh sampe lupa. Aku mo ngomong sesuatu bro. Makanya aku kesini," ucapku kembali serius.
"Opo'i (Apa sob)?"
"Kamu punya keahlian melacak?"
"Onok (Ada)."
"Temen ta (Bener)??"
Prima menarik tanganku mesrahh kearah satu ruangan kamar yang mirip gudang. Busett, aku terbelalak. Di ruangan itu tersaji lengkap beberapa komputer, laptop, radar gps, peta pariwisata, daftar cewek gang lebar, daftar cewek sememi, peta surabaya, kamera, headphone, beha, dan sebagainya. Ini lebih dari cukup untuk dijadikan sebagai pusat control utama.
"Aku hacker bro!!"
"Ebuseett...jangkrikk, gendeng koen!!"
Batman kalah jago dibanding Robin ini mah. Wah cocok banget dijadikan markas. Selain juga lokasinya yang agak pinggiran kota, masuk ke kampung pula. Great place for great job (sego goreng mangewu entuk separo)!!.
Prima melangkah mendekati salah satu komputer dan menyalakannya. Ketercengangan segera menyeruak di dalam diri Lucky tatkala ia dapat melihat Prima mampu memindai wajah Lucky lengkap dengan data nama lengkap berikut pekerjaan dan alamat kosannya.
"Tolong kamu lacak perusahaan pak Bimo dan istrinya, alur perdagangannya, kompetitor-nya, interaksi dengan pihak luar dalam dua bulan terakhir, apapun deh yang bisa kamu lakukan maka lakukanlah." ucapku penuh semangat.
"Cuma itu??"
songong nih hacker.
"Satu lagi, kapan jadwal purel yang cantik??"
aku terbahak. Prima hanya memonyongkan bibirnya minta dicium. Segera ku jawab dengan tapukan raket nyamuk.
"Issh nandi ae seh mas (mas kemana aja sih)?, siang baru nongol. Papa pagi tadi nungguin, mama juga. Sekarang papa ke warehouse, mama belanja dianter supir," Firsa merajuk. Namanya juga kekasih baru, selalu ingin berdua terus.
"Aku masih ngurus ini dan itu Fir. Buat kamu juga kok urusannya!" sedikit membela diri, namun tak membuatnya cukup puas.
"Wes maem (Udah makan)??"
perhatian Firsa, tak mau terjadi seperti kemarin yang kacau.
"Dorong (Belom)." Jawabku singkat.
Sementara aku masih memendam kisah penyerangan terhadapku semalam. Ada hal yang tak beres. Aku perlu tahu dulu benang merahnya agar tak salah bercerita.
"Tuhkan...ayo makan. Dibawa ke kamarku aja makannya!!"
Firsa mengambilkanku makanan di dapur kemudian menggandengku ke lantai atas, kamarnya. Aku menarik tas punggung di kursi, mengikuti langkah Firsa. Sengaja aku tinggal beberapa pakaian di rumah Prima agar todak terlalu berat.
"Kamar mas nanti ada disebelah, kalau jadi tidur sini. Enak kan?, deket, mo nyelup tinggal nyeberang,"
Firsa sudah tak malu-malu lagi berkata vulgar. Matanya mengerling genit seakan menggodaku.
"Sayang makan dulu ya disini, aku mau mandi. Gerahh!!"
aku tak menggubris ucapan Firsa. Aku lebih sibuk menyendok nasi karena rasa laparku sudah pada level stadium 4.
Jangan membayangkan nantinya Firsa akan keluar kamar mandi dengan berbalut handuk. Kenyataannya, Firsa muncul dari balik pintu kamar mandi dengan pakaian lengkap. Atasan t-shirt putih sedikit ketat, dipadu dengan rok umbrella motif kotak burberry selutut. Cantik sekali.
"Kate metu ta (Mau keluar)??" tanyaku heran.
"Ga. Dirumah aja." jawab Firsa santai.
"Kok dandan cantik banget!" kejarku masih heran.
"Cantik??. Bagus dong. Niatnya emang biar kelihatan di depan kamu sayang," ucap Firsa tersipu, pipinya sedikit menyemu merah.
"Eh bentar deh. Aku salah lihat atau emang gitu??" kalimatku sedikit tertahan, jariku menunjuk ke arah tonjolan di dadanya.
"Iih..gosah ditanyain laaah. Malu kaaan!!"
Firsa merajuk. Ia melangkah hendak duduk disampingku. Di bibir ranjang.
Tanganku cekatan, Firsa kutarik sebelum sempat duduk di ranjang. Kini ia sudah duduk di pangkuanku. Rok umbrella-nya sedikit terangkat dalam posisi duduknya. Paha yang putih, mulut, dan sintal menguras liurku.
"Kamu kok seksi sih sayang..." godaku.
"Ehmm..cuma buat kamu mas," bisik Firsa di telingaku.
Kugerakkan tanganku mendekati area dada yang membuatku penasaran.
"Auuwh...mas jangan kenceng-kenceng pegangnya. Sakit tauu!!"
Firsa meraung parau saat putingnya langsung kupijit dan kupilin. Benar saja, dia tidak memakai bra.
Namun saat hendak kulepas kaosnya, ia menolak.
"Setengah lencang kanan, setengah dada aja mas. Keburu mama balik," ucapnya sambil memposisikan gulungan bawah kaos berhenti dibawah lehernya.
Meski tak dilepas, aku dapat memandang bukit bulat yang menggemaskan itu. Langsung saja aku meremasnya.
"Ehmmm mass," Firsa mendesah.
Aku menunduk, kukulum putingnya yang kiri, menjalar kukelamuti area kulit buah dadanya. Dapat ku inderakan wangi sabun yang masih melekat dikulitnya. Wangi dan segar.
"Geli sayangg," desah Firsa lagi.
"Turunin nah celananya, dalemannya juga!" bisik Firsa. Aku menurut.
Aku kembali duduk dengan pakaian bagian bawah tertanggal seluruhnya. Firsa segera menyusul dalam pangkuan. Aku tertegun.
Kusingkap rok Firsa. Jamputtt...dia ternyata juga tak mengenakan celana dalam. Pantas saja kulit kami saling bertemu tanpa halangan. Hmm dasar, sudah persiapan dia.
Tak menunggu lama, dengan posisi tangan bertumpu pada lututnya ia menurunkan bibir vagina legit kearah penisku yang sudah mendongak keras.
Aku duduk agak melebarkan paha, ia membelakangi dan duduk diatas kemaluanku.
"Eehmm mass...gedenya bikin nagih!" lenguhnya.
Dengan gerakan cepat ia memompa maju mundur, turun naik. Aku rasa ia akan segera lelah dalam posisi ini.
"Oohh saayang. Enakk..." lirihnya lagi.
"Ssshh...ganti posisi yaangg, capee...aahhssh,"
aku tersenyum mendengar prediksiku tepat.
Aku segera mundur dan telentang di ranjang. Firsa ikut mundur, menunggangiku dalam posisi membelakangi. Adoooh...posisi ini mungkin enak bagi dia. Tapi batangku serasa di tekuk ke depan. Wadohh, ceklek engkok rek (bisa patah nanti). Iyo lek ceklek, lha lek mlengse pindah bokong yopo jal??!!
Kuminta ia berputar, menunggangiku dalam posisi menghadap. Nah... ini baru oyeee.
Tanganku ikut menggoyang pinggul Firsa. Tapi edan...dia malah mengaduk penisku dengan gerakan memutar dan menekan. Enakk sekali. Lebih maut daripada goyang ngebor-nya mbak Inul.
"Oosstt..."
aku tak kuasa menahan desahan nikmat.
"Aaahhh..." Firsa pun ikut mendesah.
Kulirik tubuh Firsa yangbmasih berpakaian lengkap dan tersingkap disana-sini. Sangat sensual dan menarik. Jadi ingat film Sailormoon XXX yang dulu pernah ku tonton.
"Mass...nikmat hmmmh,"
"Aku ga kuat sayaang..."
Firsa mendesah berulang-ulang.
"Aauuwh aaahh mass ahhhh aku sampehh!!"
Tubuh Firsa mengejang. Mulutnya terbuka lebar dengan mata yang mendelik. Penisku serasa disiram sesuatu yang hangat dan lengket.
Merasakan liang yang semakin licin akibat orgasme Firsa, aku pun tak kuat lagi.
"Belum masa subur sayangg?" teriakku sesaat sebelum aku ejakulasi.
"Belum."
Begitu mendengar kalimat terakhir, aku segera mengambil alih pompaan. Kuhentak-hentakkan penisku ke atas. Menghujam semakim dalam.
"Aaahhhh..." desah kami bersahutan. Sesaat kemudian Firsa terjatuh di dadaku.
"Kontolmu besar sekalih sayang hehe..." Ucap Firsa dalam pelukan.
"Memekmu juga besar..." jawabku bercanda. Ia langsung merajuk dan menjewer kupingku dengan gemas.
Sejenak kami saling memagut bibir sebelum kemudian segera berbenah sebelum mama Firsa datang.
Telegram : @cerita_dewasaa
"Haloo sayang..."
terdengar suara wanita menyapa Firsa di serambi rumah. Aku yang masih merokok di samping pekarangan rumah belum bisa melihat jelas sosok tersebut. Itu mungkin itu suara mama Firsa.
Terdengar keduanya bercakap-cakap.
"Mass.. mas Lucky!!" suara Firsa memanggilku, bergegas aku menuju serambi.
Sesosok wanita cantik berdiri disamping Firsa. Usianya belum terlalu senja. Masih pertengahan 45th an kurasa.
"Siang tante..."
kujabat tangan mama Firsa. Ia menjabat tanganku. Tapi wajahnya begitu datar tanpa ekspresi. Bahkan sangat lekat ia memandangi wajahku tiada henti. Aku jadi salah tingkah sendiri dan segera mundur.
"Sayang...bikinkan mama es, haus!!"ucap mama Firsa.
"Siapp mama cantik...mas Lucky tunggu dulu ya. Situ duduk aja sama mama di ruang tamu biar santai!"
suara riang Firsa tak merubah tatapan aneh mama Firsa kearahku. Ujung kaki hingga ujung rambut tak ada yang lolos dari sapuan matanya.
"Masuk mas," ucap si mama lirih. Aku mengikuti langkahnya hingga duduk berhadapan di ruang tamu.
"Kamu Lucky??"ucap mama Firsha seperti kurang yakin.
"Iya tante, saya Lucky," jawabku tenang.
"Siapa nama lengkapmu??
"Lucky Mansario."
"Yaa Tuhan!!!"
0 Komentar