Silent Rose part 20

 

Bab 20






Tiga pasang kaki melangkah keluar dari sebuah elevator, kaki-kaki itu melangkah tanpa ragu menyusuri karpet bermotif mahkota berwarna merah marun yang menjadi penutup lantai koridor hotel itu. Ketiganya berhenti tepat di sebuah kamar, salah satu dari mereka, Inspektur Dean, mengeluarkan kunci kamar hotel dari sakunya. Dua yang lain, Detektif Rio dan Agen FBI Christ Oackland, menunggu Dean membuka pintu kamar tersebut.




Ketiganya masuk beriringan, suara pintu terbuka menarik perhatian Ian yang masih terborgol tak bergerak di sebuah kursi yang telah dipaku ke lantai. Ian tidak perlu repot-repot menoleh ke arah suara, karena tiga sosok segera mendatanginya.




Siap untuk pertunjukan? Bapak-bapak detektif? ujar Christ Oakland, senyum terkembang di wajahnya.




Aku masih belum mengerti bagaimana caranya agar dia tidak menuntut. Rio berkomentar.




Christ bergerak mendekati Ian dengan dua tangan tersembunyi di balik punggungnya. Ian merasakan gelagat yang kurang mengenakkan, dia tahu, Agen FBI ini menyembunyikan sesuatu di tangannya sesuatu yang mungkin tidak akan disukainya. Christ berhenti tepat di belakang Ian. Kini alasan Ian untuk merasa khawatir bertambah besar.




ap..!! Ian tidak sempat menyelesaikan kalimatnya saat dia merasa sebuah benda sekecil jarum menusuk lehernya. Dengan tangkas dan cepat Christ menarik tangannya kembali sesaat sebelum Ian mengibas-ngibaskan lehernya.




Apa yang kalian lakukan?! Nada suara Ian terdengar panik.




Rio sama diamnya dengan Dean, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.




Beberapa Jam yang lalu, ruang kerja Dean dan Rio, Mabespolri.




Rio memandangi sebuah papan whiteboard besar yang memenuhi satu sisi dinding ruangan kerjanya. Sesekali detektif muda itu melayangkan pandangannya pada tumpukan berkas-berkas yang teronggok di lantai tidak jauh dari papan tersebut. Berkas-berkas itu adalah berkas kasus dimana Silent Rose menjadi aktor utama. Beberapa diantaranya bahkan terkait dengan kasus yang terjadi dua puluh tahun yang lalu. Salah satu yang memberatkan Rio untuk memastikan Ian sebagai terdakwa adalah karena usianya, tidak mungkin Ian melakukan kejahatan dua puluh tahun yang lalu, dimana kemungkinan dia baru memasuki Sekolah Dasar.




papan whiteboard di hadapannya tidak kosong, ada tiga gambar besar yang merupakan peta tiga TKP yang telah terjadi pada kasus kali ini. Beberapa catatan kecil mengenai waktu dan bukti-bukti yang disita sebagai bahan penyelidikan tertulis di samping masing-masing denah. TKP kedua adalah yang paling banyak meninggalkan catatan.




Maaf menunggu lama, Agen FBI Christ Oakland masuk ke dalam ruangan. Dean berdiri dari kursinya. Pria asing itu meletakkan sebuah koper hitam ke atas meja kerja Dean.




Jadi bagaimana kau akan melakukannya? tanya Rio seraya mendekat ke arah Christ.




Christ membuka koper hitam yang tadi dibawanya, isi koper itu tampak rapi, sebuah pistol




Beretta 67,




sebuah




, dan kotak hitam kecil. Sebuah suntikan berukuran mini dan beberapa botol kecil warna-warni tampak berjejer rapi di dalam koper tersebut. Christ mengambil sebuah botol berwarna hijau lalu memasukkan cairan di dalam botol ke suntikan berukuran mini.




Apa itu? tanya Dean penuh selidik.




Christ tidak segera menjawab, pria asing itu melihat ke seisi ruangan seolah mencari sesuatu. Ruangan ini tidak ada penyadapnya? tanyanya kemudian.




Setahu kami tidak. Jawab Rio ringan.




Mendekatlah, Dean, kubisikkan sesuatu Christ memberi isyarat sambil setengah berbisik. Tanpa curiga Dean mendekatkan dirinya ke arah Christ. Saat itulah Christ dengan cepat menusukkan suntik ke lehernya.




Apa-apan kau!! Rio bereaksi, dengan cepat menarik pistolnya dan mengarahkan ke arah Christ, hal yang sama dilakukan oleh Dean. Christ mengangkat kedua tangannya dan meletakkan jarum di tangannya.




Serum kejujuran. Kami menggunakannya untuk interogasi. Tanpa efek samping, percayalah. Ilmuwan kami telah menghabiskan banyak waktu untuk menyempurnakan serum ini. Christ menjelaskan.




Sebuah senyum jahil muncul di raut wajah Rio, detektif muda itu menatap atasannya. Selama mereka bekerja bersama, yang diketahui oleh Rio hanyalah Dean adalah detektif senior yang menjaga sopan santunnya dengan baik. Timbul niat iseng dalam pikiran Rio.




Dean, apakah kau pernah melakukan hubungan seks? tanya detektif muda itu iseng.




Dean membelalakkan matanya mendengar pertanyaan yang diajukan Rio, namun tidak berapa lama kemudian dia menjawab. Ya.




Wow! wajah Rio tampak berbinar, raut wajahnya kini dengan jelas menampakkan keisengan. Siapa gadis pertama yang kau tiduri? pertanyaan iseng itu pun kembali meluncur.




Reni Augusta, sepupuku sendiri. Jawab Dean tanpa bisa mengendalikan apa yang dibicarakannya. Rio tertawa mendengarnya.




Dimana seks terekstrim yang pernah kau lakukan? pertanyaanpun berlanjut.




Di dalam bioskop. Sekali lagi Dean menjawab dengan nada datar tanpa ekspresi. Nada suaranya memang terdengar datar, tapi ekspresi jengkel tergambar jelas di raut wajah Inspektor Dean.




Oh ya? Rio makin girang. Dengan siapa?




Bripda Asha Nurmayanti.




Kali ini senyum mendadak hilang dari wajah Rio. Dia menatap ke arah Dean seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Kapan? Rio kembali bertanya.




Dua bulan lalu.




Sialan!! Harusnya aku tahu! Rio mengumpat, Christ memandang heran ke arahnya.




Kau mengenal Bripda itu? tanya Christ pada Rio.




Sampai beberapa detik yang lalu dia adalah pacarku! Rio mendengus kesal.




*_*_*​




Christ menatap tajam pada Ian yang kini melihatnya dengan wajah bingung. Rio dan Dean duduk tepat di seberang Ian, memperhatikan tersangka mereka dengan seksama.




Sebutkan nama dan pekerjaanmu, saudara Ian Christ bertanya, tanpa penekanan dalam kata-katanya.




Christian D Ambaraksa, jurnalis lepas di majalah game Xtron. Jawab Ian dengan nada datar.




Senyum tersirat samar di raut wajah Christ. apa kau Silent Rose? tanyanya tanpa tedeng aling-aling.




Bukan. Jawab Ian masih dengan nada yang datar. Ekspresi wajahnya penuh dengan kebingungan.




Apa kau teman dari Silent Rose?




Bukan.




Kau pernah membunuh?




Tidak.




Apa kau membunuh Komang Mahendra? Rio menyela pertanyaan yang diajukan Christ. Agen C.O memandang Rio seketika.




Tidak.




Kau pernah bertemu dengan Cathy sebelumnya?




Tidak. Kami tidak pernah bertemu.




Christ berdiri, mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahu. Aku sudah selesai. Ada yang ingin kalian tanyakan?.




Dean memandang Rio. Rio tampak serius menatap pada Ian. Jika serum itu benar-benar bekerja, maka pemuda yang telah mereka sekap berminggu-minggu ini benar-benar hanyalah umpan untuk membuat mereka menjadi kebingungan.




Bagaimana sidik jarimu bisa ada di senjata laras panjang itu? Rio mengajukan pertanyaan.




Aku tidak tahu. Nada suara Ian masih terdengar sangat datar.




Rio menghela nafas dan menundukkan kepalanya, tampaknya detektif muda ini telah mengakui kekalahannya. Dalam benaknya, Rio merasa tertekan saat menyadari selama ini mereka telah melakukan hal yang sia-sia. Detektif muda itu kini memegangi kepalanya dengan kedua tangannya sendiri.




Dering ponsel Dean memecah keheningan sesaat, Dean meninggalkan ruangan untuk menerima panggilan.




Begitu saja? tanya Rio pada Christ, seolah telah menyaksikan sesuatu yang kurang dari harapannya.




Kita sama-sama tahu dia tidak mungkin berbohong dalam pengaruh serum itu. Kalau kau belum yakin, kau bisa mengajukan pertanyaan lagi. Christ melirik ke arloji di pergelangan tangannya. kita masih punya waktu sekitar sepuluh menit sebelum efek obat itu habis.




Tidak Rio menggeleng malas. Aku sudah selesai. Tambahnya.




kita harus bersiap, Dean masuk kembali ke dalam ruangan. Ahmadi Fahsa besok akan mengadakan pertemuan dengan KPK di kantornya. Dia menolak tempat yang disarankan kepolisian, dan dia menolak perlindungan dari kepolisian.




Apa-apaan orang itu? Rio tampak gusar dengan apa yang disampaikan Dean. Sebentar, bagaimana dengan dia? Rio menunjuk ke arah Ian.




Dean berpaling ke arah Christ. Kau bilang kau punya cara agar dia bisa kita lepaskan tanpa menuntut? Dean menagih apa yang pernah disampaikan oleh Christ.




Christ mengangguk sambil tersenyum. Dia beranjak dari kursinya.




Tidak semua agen mampu menguasai pelajaran khusus dari FBI yang satu ini. Ucapnya sambil tersenyum lebar. Kalian beruntung aku salah satu yang mampu.




Agen FBI itu berpaling ke arah Ian yang menatapnya bingung, tanpa satu katapun Christ memegang bahu Ian.




Tidur. Ucap Christ Oakland dengan nada datar yang sedikit nyaring. Dan seketika leher Ian terkulai, membuat wajahnya menunduk.




Hipnotis gumam Rio.




Kau telah diminta secara sukarela untuk membantu penyelidikan kepolisian, dan itu secara rahasia. Kau tidak akan ingat apapun kecuali kau telah diminta tolong oleh polisi, dan kau melakukannya dengan baik. Setelah bangun, kau akan menyalami kami semua dan pulang ke rumah seperti tidak terjadi apa-apa. Christ memasukkan sugestinya dengan cepat dan tegas pada Ian yang kini tampak tertidur lelap. Jika paham anggukkan kepalamu.




Ian mengangguk. Christ memberi isyarat pada Dean dan Rio untuk melepas borgol di tangan Ian. Dean mendekat dan melepas borgol tersebut, meninggalkan bekas lebam di kedua pergelangan tangan Ian.




Sekarang bangun! perintah Christ pada Ian.




Seketika Ian bangun, mengerjap-ngerjapkan matanya untuk beberapa saat sebelum memandang ke arah tiga orang lain di ruangan itu.




Oke Mr. Ian, tugasmu sudah selesai, kau sudah melakukan hal yang luar biasa. Jika kami butuh bantuanmu, kami akan menghubungimu lagi. Christ berkata seraya mengajak Ian bersalaman.




Ian berdiri dan tersenyum sambil menjabat tangan Clever Owl, setelah itu dia berjalan ke arah Dean dan Rio lalu menyalami mereka berdua.




dimana pakaianku? tanya Ian setelah menyadari dirinya hanya mengenakan boxer.




Rio menepuk keningnya. Seluruh pakaian Ian tentu saja saat ini tersimpan di lemari barang bukti kepolisian.




Ada pakaian di dalam lemari, pakai saja mana yang kau suka. Anggap itu hadiah ucap Dean sambil tersenyum.




Ian tersenyum ke arah Dean. Baik, terima kasih. Ucapnya.




Sama-sama.




Mereka bertiga memandang Ian yang kini mengambil sebuah celana panjang dan sebuah kemeja putih dan mengenakannya.




Hipnotis? bisik Rio pada Christ. kenapa tidak terpikir olehku sebelumnya?.




Mereka mengajarkan itu di FBI? Dean bertanya.




TIdak semua agen mampu menguasai hipnotis. Tapi ya, itu bisa membantu. Jawab Christ sambil tersenyum.




Dean membukakan pintu untuk Ian, memastikan pemuda itu sampai keluar dari hotel lalu kembali ke kamar hotel.




Apa yang kita lakukan sekarang? Rio bertanya. Kedua tangannya kembali memegangi kepalanya.




Kita harus menemui Ahmadi Fahsa, dia menolak perlindungan dari kepolisian. Dia satu-satunya benang penghubung kita dengan Silent Rose yang tersisa. Dean menjawab sambil beranjak untuk pergi.




Aku serahkan keamanan target pada kalian berdua ujar Christ.




Dean dan Rio menoleh ke arah Christ.




Kau tidak ikut? tanya Dean kemudian.




Christ menggeleng. Aku serahkan lapangan pada kalian, aku masih akan meneliti berkas, bukti dan mencoba mengais petunjuk dari apa yang tersisa di TKP serta pada barang-barang bukti yang kita miliki. Christ menjelaskan apa yang akan dilakukannya. Aku serahkan lapangan pada kalian, jika kalian menemukan sesuatu, atau sebaliknya, aku yang menemukan sesuatu, kita akan saling menghubungi.




Dean terdiam sejenak, menatap agen FBI di depannya lalu mengangguk pelan. Baiklah, lakukan apa yang kamu bisa, aku rasa kamu lebih tahu apa yang harus dilakukan dengan barang-barang itu, dan selagi itu, kami yang akan mengamankan target.




Dean bergegas meninggalkan ruangan, diikuti oleh Rio. Mereka berjalan menuju elevator.




eh.. Rio.. ucap Dean setelah elevator mereka bergerak. Tentang Bripda Asha aku minta maaf. Aku tidak tahu kalau dia




mantan. Rio memotong ucapan Dean. Kami memang pacaran diam-diam, dan sekarang, dia cuma mantan. Tambah Rio dengan senyum terpaksa.




Harusnya aku tahu kalau dia bitchy!, kali ini Rio mendengus kesal.




*_*_*​




Beberapa mobil patroli berlambang kepolisian tampak terparkir di halaman depan sebuah gedung bertingkat. Petugas-petugas berseragam berkerumun di dekat pintu masuk utama gedung tersebut. Tepat di depan pintu masuk utama, sekelompok pria berbadan kekar menghalangi pintu masuk. Beberapa diantara pria-pria itu membawa senjata tajam.




Dean membelokkan mobilnya memasuki halaman parkir gedung itu, Inspektor polisi itu turun dari mobilnya dan bergegas ke kerumunan petugas di dekat pintu utama. Rio berjalan tepat di belakangnya.




Ada apa ini? tanya Dean pada salah seorang petugas kepolisian.




Siap Ndan! Mereka tidak mengijinkan kami masuk ke dalam gedung. Kami bergegas kemari atas perintah langsung Kapolri Barat Pradapa untuk melindungi Ahmadi Fahsa.




Dean memandang sekelompok preman yang menghalangi pintu masuk. Tidak lama kemudian, dia melangkah ke arah kelompok pria berwajah seram itu.




Siapa yang berani menghalangi polisi? tanya Dean lantang. Beberapa preman tampak meningkatkan genggaman mereka pada senjata tajam. Melihat itu, beberapa petugas bersiaga, tangan mereka berada tepat di samping pistol yang tergantung di pinggang mereka.




Bapak tidak ingin gedung ini dimasuki siapapun. Ini permintaan langsung dari Bapak Ahmadi Fahsa, pemilik gedung. Salah satu dari preman itu angkat bicara.




Simon, kalau tidak salah itu namamu kan?, ujar Rio sambil mendekat ke samping Dean. Masih ingat aku? tambahnya sambil tersenyum.




Raut wajah pria yang dipanggil Simon itu berubah seketika. Pria itu lalu mengangguk sambil sedikit ketakutan.




Jadi ini pekerjaan Hercules? Dimana dia? Rio kembali bertanya. Dean sedikit terkejut mendengar nama Hercules penguasa preman di Tanah Abang Jakarta disebut.




Bos sedang di dalam bersama Bapak Ahmadi Fahsa.




Bilang padanya, Inspektor polisi Dean dan Detektif Rio ingin masuk.




Simon merogoh saku celananya dan mengambil sebuah ponsel, beberapa detik kemudian dia terlihat sedang berbicara serius dengan seseorang di seberang telepon.




Beri mereka berdua jalan, hanya berdua saja. Ucap Simon kemudian.




Rio tersenyum pada Dean. Aku pernah menghajar mereka beberapa bulan yang lalu. Sekaligus memberi pelajaran pada Hercules. Ujarnya dengan wajah tanpa dosa.




Belum sempat keduanya masuk, seorang pria gemuk berpakaian formal keluar dari bangunan, Pria itu Ahmadi Fahsa, target terakhir dari ancaman Silent Rose kali ini. Tepat di sebelah Ahmadi berdiri seorang pria tua berbadan kekar yang dikenal sebagai Hercules.




Inspektor Dean rupanya, aku baru saja hendak pulang. Ujar Ahmadi Fahsa sambil tersenyum.




Selamat malam Bapak Ahmadi Fahsa. Dean menunjukkan sopan santunnya. Bapak Kapolri memberitahu saya bahwasanya Bapak menolak perlindungan dari kepolisian.




Ya, Ahmadi Fahsa menjawab cepat. Kalian lihat sendiri, dengan perlindungan dari Hercules aku sudah tidak membutuhkan polisi. Lagipula, aku tidak percaya dengan polisi. Tidak setelah sebuah peluru nyaris merenggut nyawaku.




Kami berusaha sebisa mungkin untuk memberikan perlindungan kepada semua target. Seperti yang anda tahu, nyawa Bapak saat ini terancam. Dean mencoba meyakinkan Ahmadi Fahsa.




Tidak. Satu jawaban tegas diberikan oleh Ahmadi Fahsa. Aku paham kalian khawatir dengan pertemuan besok yang akan diadakan di gedungku sendiri. Tapi aku tidak percaya kalian. Satu-persatu korban terbunuh begitu saja, aku tidak tahu apakah ini trik baru polisi untuk menghabisi tersangka-tersangka dalam kasus korupsi yang melibatkan banyak orang penting.




Dengan segala hormat, Pak. Nada suara Dean terdengar sedikit bergetar menahan emosi. Kami telah mengejar Silent Rose cukup lama. Dan kami sudah sangat dekat. Fasilitas dan peralatan kami juga lebih menjanjikan dari yang bisa ditawarkan oleh preman-preman ini.




Kalian boleh berjaga di luar gedung. Ahmadi Fahsa masih kukuh dengan keputusannya. Keamanan di dalam gedung adalah urusanku dan Hercules. Titik! ujarnya sambil bergegas pergi ke arah mobilnya.




Dean membiarkan Ahmadi Fahsa berlalu. Sejenak dia memandangi keadaan di sekitar gedung, melihat beberapa gedung tinggi lain yang mengelilingi gedung ini.




Dean, kita Rio mencoba membuka pembicaraan.




Kumpulkan orang-orang terbaik kita. Kita akan mengadakan rapat strategi. Kita akan amankan semua tempat yang berpotensi sebagai titik tembak Silent Rose!. Ujar Dean gusar.






BERSAMBUNG 







Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar