Silent rose part 11

 

Bab 11






Deru mesin dan deru ombak berbaur menjadi satu kala sebuah kapal yacht berwarna biru berlogo FONDO – corp membelah lautan yang mulai gelap. Matahari baru saja terbunuh di ufuk timur, membuat langit memerah seolah terluka. Di salah satu ruangan pribadi di yacht itu, Eddy Arya, salah satu relasi bisnis yang sudah lama sekali menjalin hubungan kerja dengan perusahaan milik Fondo, duduk tenang di atas sofa, seorang gadis cantik sedang sibuk berlutut di antara selangkangannya.




Sesekali Eddy mengerang, tubuh gemuknya tampak sedikit menggeliat, saat gadis itu memanjakan batang kejantanannya dengan lidah dan hisapan-hisapan kecil. Eva, nama gadis itu, sedang memberi blowjob terbaik pada orang kaya tua itu. Meski sebenarnya Eva sedikit risih karena Eddy bukan satu-satunya pria di ruangan itu.




Ada tiga laki-laki lain selain Eddy di ruangan itu, satu diantara ketiganya terlihat babak belur dengan beberapa lebam di wajahnya. Satu pria lagi terlihat cukup berumur dengan badan besar yang penuh dengan otot. Sedang satu pria yang tersisa adalah pemuda berbadan sedang dengan wajah yang cukup tampan.




Eva mengulum penis Eddy dengan penuh perasaan, setidaknya itu dilakukannya untuk membuang rasa risih atas tatapan ketiga pria lain di ruangan itu. Gadis cantik berambut panjang itu menggerakkan kepalanya naik turun semakin cepat. Membuat Eddy memejamkan mata semakin rapat.






"Ouhhh...", Eddy menggeram ketika mencapai puncaknya. Dia mencengkeram kepala Eva dan menyemprotkan cairannya langsung ke dalam tenggorokan gadis cantik itu. Eva sedikit tersedak, bagaimanapun, ini adalah sperma pertama yang ditelannya.






Eddy mengejang selama beberapa detik, dan membiarkan seluruh batang kejantanannya amblas ke dalam mulut Eva sebelum mencabutnya. Eva tersungkur sambil sedikit terbatuk-batuk, beberapa cairan yang tak tertelan menetes dari sudut bibirnya.






"Sedikit amatir, tapi sungguh luar biasa, cantik!", kepuasan tampak di wajah Eddy Arya. Eva masih meringkuk diam, T-shirt ketat berwarna kuning yang dikenakannya sudah terangkat dekat leher bersama dengan bra yang dikenakannya, membuat dua buah payudaranya terlihat naik-turun, kala dia mengatur nafas.






Eddy tua itu memasukkan kejantanannya ke dalam celana, dan memasang kembali resleting celananya. Melihat apa yang dilakukan oleh Eddy, Eva mulai membenahi pakaiannya yang berantakan, namun Eddy menahannya.






"oke nona manis, sekarang berdiri dan buka seluruh pakaianmu", perintah Eddy terdengar jelas. Eva sedikit terkejut, baru saja dia pikir tugasnya selesai.






Eva berdiri dengan sedikit ragu, memegang ujung kaosnya yang sudah tergulung, berhenti sejenak dan mulai menarik kaos itu lepas lewat atas kepalanya. Kaos itu terjatuh di samping kakinya, disusul dengan bra merah muda yang dikenakannya. Kini, tubuh bagian atasnya telah telanjang, menampilkan kedua buah dadanya yang membulat indah.




Gadis itu kini menyentuh tepi celana jeans biru tua yang sudah terbuka saat Eddy mengobok-obok vaginanya. Eva menarik turun tepi celananya hingga paha, berhenti sejenak dan melayangkan pandangan pada sosok di dalam ruangan itu, sebelum menarik turun jeans itu hingga lepas.




Eddy menatap gadis itu sambil tersenyum nakal, sedang pria lain di ruangan itu tidak melepaskan pandangan dari tubuh Eva saat gadis itu menurunkan celana dalamnya hingga tak satupun benang menutupi tubuh telanjang gadis itu.




Eva bergidik dalam hati, satu-satunya pengalaman telanjang di depan lebih dari satu pria adalah saat dia mengalami perkosaan di pulau. Dan bisa dibilang, inilah pertama kalinya dia menelanjangi dirinya sendiri di depan beberapa pria. Tangannya bergerak reflek menutupi kedua payudaranya. Dapat dia rasakan seluruh mata di ruangan itu menelusuri lekuk indah tubuh telanjangnya.






"Wow", pria dengan wajah penuh lebam tidak bisa menahan kagumnya saat melihat tubuh telanjang Eva, nafasnya pria itu mulai terdengar memburu.






Eddy beranjak dari sofanya dan mendekat ke arah Eva yang berdiri diam dengan tubuh telanjang menghadapnya. Dengan lembut Eddy menempatkan kedua tangannya di lekuk pinggang Eva, lalu membalikkan badan Eva. Kini, Eva berhadapan langsung dengan tiga laki-laki lain di ruangan itu.




Tubuh Eva sedikit terlonjak saat tangan Eddy bergerak meremas payudara kanannya, seolah memamerkan betapa kenyal dan padatnya buah dada Eva ke tiga pria lain di depannya. Eva hanya diam saat Eddy memeluknya dari belakang, dan meremas kedua buah dadanya di hadapan para pria itu.




Sejenak Eva melayangkan pandangan ke sosok di ruangan itu, sebelum mulai memejamkan mata dan melenguh, menikmati remasan nikmat di buah dadanya. Eddy mulai mencium tengkuk dan leher gadis itu sambil sesekali memandang ke ketiga anak buahnya.




Pria dengan wajah penuh lebam tampak terpana dengan apa yang dilakukan oleh bosnya, nafasnya memburu, dapat dikatakan bahwa sekarang penisnya pasti sangat tegang. Mata pria itu tampak tidak lepas dari buah dada Eva yang sedang dipermainkan oleh Bosnya.




Pria tua kekar menunjukkan hal yang sama, meski terlihat lebih tenang, namun nafas pria tua itu memburu. Pandangannya terlihat bergairah, sesekali dia bergerak untuk membetulkan sesuatu di dalam celananya. Sesuatu yang terlihat sedang berontak.




Pandangan Eddy terhenti pada sosok terakhir yang ada di ruangan itu, pemuda itu terlihat begitu tenang, matanya memang terarah ke apa yang dilakukan Eddy pada tubuh telanjang Eva, namun nafasnya sama sekali tidak terlihat memburu. Raut wajah pemuda itu tampak biasa saja, seolah-olah dia sudah sering melihat adegan seperti itu.




Jari jemari Eddy kini bergerak ke bawah, menyentuh liang kenikmatan Eva yang memang terlihat sangat terawat dan sempit. Eddy menggerakkan telunjuknya menyusuri belahan vagina Eva, membuat Eva menggelinjang kecil sambil mendesis nikmat. Tidak berhenti disitu, Eddy juga menggerakkan ibu jarinya menyentuh gundukan kecil di bagian atas vagina indah itu.






"Ah!", Eva memekik tertahan saat merasakan ibu jari itu menyentuh titik sensitifnya, memberi kenikmatan pada dirinya. Eddy terus bergerak sambil memperhatikan reaksi ketiga anak buahnya.


"Berapa kontol yang sudah masuk kesini?", Eddy bertanya sambil sedikit menekan bibir kewanitaan Eva dengan telunjuknya.


"Ungh..., baru satu", jawab Eva jujur. Memang, hingga detik ini hanya mantan kekasihnyalah yang pernah menikmati jepitan liang kewanitaannya. Eva bukan gadis yang berpengalaman, hanya dua kali dia melakukan hubungan seksual. Namun entah kenapa, dijamah di hadapan banyak pria memberikan sensasi tersendiri yang membuatnya cepat bergairah. Sangat bergairah hingga dia sedikit lupa akan peran yang dimainkannya dan menjawab pertanyaan itu dengan jujur.


"Kalau begitu sebentar lagi akan ada dua", Eddy berkata sambil menarik tubuh Eva ke belakang.






Eddy melepas pelukannya dari tubuh telanjang Eva dan membuka kembali celananya. Batang kejantanannya belum tegang setelah melepaskan muatannya tadi. Eddy kembali duduk di atas sofa.






"hisap lagi", perintahnya pada Eva.






Gadis itu kembali berlutut di sela-sela selangkangan orang tua kaya itu, tangan lentiknya mengenggam lembut batang kejantanan pertama yang memuntahkan isinya ke dalam mulutnya. Eva mulai mengocok penis itu dengan lembut, sebelum memasukkan penis yang belum tegang itu ke dalam mulutnya dan mulai menghisap.






"Ouhh... nikmat hisapanmu nona cantik", puji Eddy kembali menikmati oral sex dari Eva. "Sekarang, sambil kontolku kamu hisap, memekmu akan dimasuki kontol kedua", Eddy melemparkan pandangannya pada tiga anak buahnya.






*_*_*​






Jakarta, 2 Hari sebelumnya






Eva baru saja menyelesaikan makan malamnya saat Ian kembali dari 7th avenue Café. Hujan mengguyur Jakarta malam itu. Ian melemparkan jaket kulit hitamnya ke atas sofa di ruang keluarga, lalu berjalan ke arah Eva yang masih duduk di meja makan.






"Sudah makan?", suara Eva terdengar lembut, meski dia masih menatap Ian dengan sedikit ragu-ragu.


"Belum, kamu baru selesai makan?", Ian memperhatikan remah-remah makanan di tepi piring Eva.


"Aku buatkan sop bening dan nugget, tadi aku pakai bahan makanan yang ada di lemari es", Eva mengangkat tudung makanan yang ada di atas meja makan. Semangkuk besar sop sayuran dan beberapa potong nugget tersaji dibaliknya.


"Wah! Spesial nih!", Ian tersenyum sambil duduk di hadapan Eva. Ian mengambil nasi dan mulai menyendoki sop serta mengambil dua potong nugget. Setelah itu, Ian memandang tajam ke arah Eva.


"Kenapa?", tanya Eva heran.


"Nggak keberatan kalau aku minta kamu makan sop dan sepotong nugget di depanku kan?", ujar Ian sambil menatap mata Eva.






Sejenak Eva tampak bingung, sebelum kemudian dia mengerti apa yang dimaksud Ian, Ian memintanya menguji apakah makanan yang dimasaknya mengandung racun atau tidak. Dengan sedikit kesal Eva menyendok sop dan memakannya, lalu mengambil sepotong nugget dan memakannya.






"sudah!", ujar Eva dengan nada kesal. "nggak ada racun di dalamnya. Aku nggak pengen bunuh diri kok!".




Ian tersenyum pelan, "maaf, sudah kewajibanku untuk waspada, bahkan terhadap orang-orang dekatku sekalipun. Harap maklum", Ian menjelaskan sambil mulai menyendok makanannya. Eva masih terlihat cemberut.




"Jadi... ada tugas baru?", tanya Eva saat Ian mulai asyik dengan makanannya. Ian menghentikan sejenak makannya dan mengangguk. Ian makan dengan sangat lahap, selama ini, jika dia sedang sibuk dengan Case dia hanya makan makanan instant. Memakan makanan yang dimasak orang lain adalah sesuatu yang jarang dia lakukan. Dan kali ini dia harus mengakui, Eva sangat pintar memasak.






Tiba-tiba Ian tersentak, raut wajahnya berubah seketika. Lalu mengeluarkan sesuatu berwarna kuning yang sempat dikunyahnya. Ian memandang benda itu, LENGKUAS!. Dia baru saja mengunyah lengkuas, dan rasanya tidak enak!. Ian buru-buru menyambar segelas air di depan Eva. Melihat tingkah Ian, Eva tertawa lepas.




Seketika itu suasana menjadi cair. Selama Eva tinggal bersama Ian disini, baru kali itulah mereka sama-sama tertawa.






"Kok sop ada lengkuasnya?", tanya Ian. karena setahunya, Sop tidak menggunakan lengkuas sebagai bahan masakan.


"Kecemplung kayaknya", Eva menjelaskan dengan wajah tanpa dosa. "Enak?", goda Eva. Ian mencibir, Eva tertawa sekali lagi.






*_*_*​






"Kenyaaang...", Ian mengelus perutnya setelah menghabiskan dua porsi manusia biasa. Eva tersenyum geli melihat ekspresi pada wajah Ian.


"Mungkin aku akan pergi untuk beberapa lama, menyelesaikan tugas. Sebelum itu tolong buatkan daftar bahan makanan yang kamu mau, jadi aku bisa menyiapkannya untukmu", Ian berkata sambil mulai membakar rokoknya.


"Berapa hari?", Eva bertanya seraya menjulurkan tangannya, membereskan piring Ian.


"Entahlah, sebulan mungkin. Atau lebih", asap keluar dari bibir Ian.






Eva terdiam sejenak, memandang kosong ke garis-garis yang di bentuk oleh kepulan asap rokok yang dihisap oleh Ian. "Aku...", Eva berhenti, seolah ragu atas apa yang akan diucapkannya.






"kenapa?", Ian bertanya menyelidik. Saat ini, entah mengapa Ian tidak merasakan beban yang kemarin-kemarin dirasakannya ketika ada di dekat Eva. Alih-alih beban, kini dia malah merasa sangat nyaman, seolah berada di rumah sendiri (meski memang di rumah sendiri).


"apa aku tidak bisa... ikut?", setelah sempat ragu akhirnya Eva mengutarakan maksudnya. "maksudku, apa aku tidak bisa berguna, membantu membawakan barang atau...", ucapannya terhenti saat ia menyadari Ian tengah menatap tajam padanya.


"kamu tahu apa yang jadi tugasku, bukan?", mimik wajah Ian kini terlihat serius.


"membunuh seseorang kan?, orang yang jahat?", Eva menjawab. Dia sempat membaca beberapa kliping berita tentang Silent Rose yang tersimpan di saku samping lemari es saat mencari pembuka botol. Silent Rose hanya membunuh orang-orang yang jahat.






Jawaban Eva membuat Ian tersenyum. "tidak semudah itu, nona cantik", kata 'cantik' yang diucapkan Ian membuat Eva sempat tersipu. "Aku harus membuat rencana, memperhitungkan probabilitas dan variabel-variabel yang bisa menyebabkan terganggunya sebuah rencana, mempersiapkan manuver-manuver jika rencana utama tidak dapat dilakukan, dan mempersiapkan semua pendukung untuk melaksanakan rencana itu. Yang terakhir, aku harus memastikan rencana berjalan baik".






Eva terdiam, berpikir tentang apa yang dikatakan Ian. "Tidak adakah cara agar aku bisa masuk sebagai bagian dari rencana itu?".






Kali ini giliran Ian yang terdiam. Otaknya bekerja sangat cepat mencari kemungkinan menjadikan Eva sebagai bagian dari rencana yang dia susun untuk Case kali ini. Memang, harus diakui, selama ini yang menjadi target dari Silent Rose adalah laki-laki, dan keberadaan seorang heroine, sangat membantu dalam menyelesaikan sebuah Case.






"Jika aku bisa memasukkanmu dalam rencanaku, apa kamu bisa bersikap penuh totalitas dalam menjalankan peranmu?", tanya Ian.


"Aku harus bisa", Eva berkata sambil mengangguk yakin.


"Kamu tahu resikonya?, aku mungkin tidak akan ada untuk menolongmu seperti yang terjadi tempo hari. Apalagi jika itu dapat merusak rencana", Ian mencoba memberi tekanan pada kalimat 'menolongmu lagi'.


"Ya", Eva mengangguk lagi.


"Apa kamu bersedia tidur dengan beberapa laki-laki demi berjalannya rencana?".




Kali ini Eva terdiam. "Maksudnya?".




"seks, jika itu diperlukan dalam rencana, apa kamu sanggup melakukan hubungan seks dengan pria yang tidak kamu kenal?, bahkan mungkin dengan banyak orang sekaligus?, atau saat mereka memaksamu melakukan hal yang belum pernah kamu lakukan sebelumnya?".




Eva masih terdiam, kali ini lebih lama.




"Ya...", nada suara Eva kali ini terdengar lebih lemah. "aku bersedia".


"Pikirlah baik-baik dulu", ujar Ian sambil beranjak dari kursinya. "Beritahu aku jawabanmu besok pagi, kalo memang kamu siap, besok siang kita akan berangkat", ujarnya sambil meninggalkan ruang makan.






*_*_*​






Pelabuhan Belawan, beberapa jam sebelum keberangkatan Eddy Arya ke Pulau Iyu Kecil.




Angin laut bertiup hanya sesekali di dermaga siang itu, aktivitas pelabuhan masih terlihat normal, beberapa awak kapal terlihat asyik bercanda di kantin-kantin dan di dek kapal mereka masing-masing. Sebuah SUV berwarna hitam masuk ke dermaga dan berhenti tepat di sebuah kapal yacht berwarna biru dengan logo FONDO-corp di lambung kapalnya. Seorang laki-laki turun dari kapal, membukakan pintu untuk penumpang mobil tersebut. Eddy Arya, pemilik salah satu perusahaan industri makanan di Indonesia turun dari mobil dengan menggandeng seorang gadis muda yang dibalut dengan pakaian biasa. Eddy mengusap dahinya yang botak dengan sapu tangannya, memandang sebentar ke arah matahari yang tengah bersinar terik lewat kacamata hitamnya.






"Maaf Bos, gadis itu?", ujar laki-laki berambut cepak yang mengenakan jas hitam.


"dia keponakan Tohir, tadi aku sempat mampir untuk menagih hutang, dan dia malah memberikan keponakannya sendiri untuk melunasi sebagian hutangnya. Hahahaha...", Eddy tertawa dengan lebar. "Kau bantu Alan angkat barangku di mobil, Budi", ujarnya lagi. Laki-laki berambut cepak yang dipanggil Budi segera beranjak ke mobil.






Alan, pria tua berbadan kekar, mengangkat beberapa peti sekaligus, menunjukkan kekuatan ototnya. Sedang, Budi malah bergerak menjauh dari mobil.






"Kemana? Hey? Bud?", Alan berteriak.


"Aaah... kau urus sajalah barang-barang itu, aku mau melemaskan ototku dulu", ujar Budi sambil memutar-mutar lengannya seperti orang yang tengah melakukan peregangan otot.








BERSAMBUNG 







Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar